Wira membuka mata perlahan. Setelah bermeditasi beberapa hari, akhirnya dia selesai menyerap kekuatan Aji Saipi Angin yang ia dapat sebelumnya. Auranya semakin pekat dan stabil.
“Tak heran, perkembanganmu selalu berjalan lancar. Bakatmu memang bagus. Beruntung aku bisa punya murid sepertimu.“ Ki Santarja mengamati Wira sambil memegangi dagunya.
“Guru terlalu memuji.“
“Baiklah. Sekarang apalah artinya kamu telah menguasai ajian itu kalau kamu hanya berdiam di dalam goa. Pergilah berkelana untuk mendapat pengalaman sejati di dunia persilatan.“
“Sendika dawuh, Guru!“
“Tapi sebelumnya, jemputlah Lonbur, dia kemarin ku tugaskan mencari sesuatu, tapi dia belum kembali.“
“Kemana aku harus mencarinya, Guru?“
“Kau rasakan auranya saja, lalu konsentrasi padanya. Dengan begitu, Aji Saipi Angin akan membantumu menuju tempat dimana Lonbur berada. Setelah ketemu, segera kembali.“
“Baik, Guru.“
“Baru selanjutnya kalian pergilah bersama.“
Segera Wira memejamkan mata dan merasakan pancaran aura dari sahabatnya. Walau jauh dan samar, mereka cukup dekat satu sama lain. Jadi tidak butuh waktu lama, Wira merasakan aura Lonbur.
Dalam beberapa nafas, konsentrasi terpusat, sosok Wira perlahan tampak kabur.
Sebenarnya dia telah bergerak mengikuti arah pancaran aura Lonbur. Hanya pusaran angin kecil yang tertinggal di tempat ia berdiri sebelumnya.
Ki Santarja masih memegang dagu dan mengangguk beberapa kali. Dia benar-benar bersyukur mendapat murid seberbakat Wira.
Berselang selama setengah aghita, Wira telah kembali berdiri di tempat semula. Membawa Lonbur dan 3 jantung penuh berisi sarang rayap. Lalu menyerahkan pada gurunya dan melapor.
“Murid ini telah kembali, Guru. Apakah benar inilah sesuatu yang Guru perintahkan untuk kami cari?“
“Betul. Terimakasih.“ Ki Santarja mengangguk dan menerima kantung-kantung itu. “Sekarang, pergilah kalian dan dapatkan banyak pengalaman. Nanti ketika saatnya tiba, aku akan memanggilmu kembali untuk pembelajaran selanjutnya. Dan ingatlah, aku akan tetap memantau perkembangan kalian.“
Setelah berpamitan, Wira dan Lonbur segera pergi.
Tempat pertama yang mereka tuju adalah kampung halaman Wira. Desa Sena berada di kaki gunung Maruta. Mereka berjalan biasa tanpa menggunakan ajian. Kendatipun tetap terasa lebih cepat sampai.
Desa Sena, salah satu kampung tertinggi di gunung Maruta. Sebuah kampung yang damai dengan penduduk yang mayoritas bertani.
Di salah satu sudut ada sebuah padepokan persilatan. Guru pertama Wira dan teman dekatnya ada di padepokan itu. Wira dan Lonbur mampir untuk berpamitan juga di sana.
“Akhirnya kau pulang juga, Kang?“ Seorang gadis cantik menyambut Wira di depan padepokan.
“Iya, Nyi.“
“Aku bersyukur bisa diterima menjadi murid Garuda Emas di atas sana. Dan sekarang ditugaskan untuk mencari pengalaman di luar.“ Wira berhenti sejenak, “Mari kita temui guru padepokan dulu!“
Mereka bersama berjalan menuju sebuah bangunan yang paling besar di lingkungan padepokan.
“Salam, Guru.“
Seorang pria tua dengan janggut putih yang panjang memakai pakaian putih yang sudah kusam berdiri dan mempersilakan duduk.
Setelah duduk mereka mulai berbincang.
“Syukurlah kakek itu mau menerimamu menjadi muridnya. Dan tingkat kanuraganmu rupanya juga sudah naik satu tingkat.“ Pria tua melihat Wira dengan pandangan auranya dan membuat kagum.
“Berkat bimbingaa Guru Padepokan juga, Guru.“
“Sekarang, lanjutkan tugasmu. Dan ajaklah adik seperguruanmu itu. Dia juga ingin mencari pengalaman di dunia luar. Dan kalau beruntung, semoga dia juga mendapat guru lain yang bisa membimbingnya lebih baik lagi.“
“Sendika dawuh, Guru.“
Wira segera berpamitan bersama Nyi Meru pada guru mereka. Setelah cukup membawa bekal keperluan, mereka melangkah menuruni lembah gunung Maruta.
“Kita akan kemana, Kang?“ tanya Meru.
“Mengikuti langkah kaki berjalan saja, Nyi. Nanti kita akan dituntun ke arah mana seharusnya.“
Di lereng gunung Maruta, terutama di lingkungan padepokan, adalah umum memanggil saudara seperguruan yang perempuan dengan sebutan 'Nyi'. Sedangkan untuk laki-laki adalah 'Kang'. Walau umur mereka di bawahnya.
Senioritas tidak berdasarkan usia seseorang, atau rentang waktu mereka di padepokan. Tetapi berdasarkan tingkat kanuragannya.
Walaupun seorang murah sudah puluhan tahun atau bahkan ratusan, kalau tingkat kanuragannya tidak lebih tinggi. Maka dia tetap juniornya.
Gunung Maruta merupakan sebuah gunung tertinggi di negeri itu. Mayoritas penduduknya bertani kentang dan umbi-umbian lain. Saat panen, mereka akan sibuk di ladang sejak pagi buta.
Siang ini, Wira dan Meru telah sampai di sekitar ladang kentang. Banyak petani tengah mengangkut hasil panen dengan gerobak pedati yang ditarik seekor sapi. Tak jarang, saat di jalan menanjak beberapa orang ikut membantu mendorong gerobak supaya sampai dengan aman.
Thash!
Tiba-tiba tali pengikat gerobak pada sapi terputus. Semua orang berteriak histeris meminta tolong. Tapi belum sampai gerobak mundur terlalu jauh, sudah ada seorang pendekar muda yang membantu mereka.
Meru kaget seketika, saat sedang berbicara dengan Wira, tiba-tiba Wira menghilang dari sampingnya. Dengan secepat angin dia sebenarnya sudah berada jauh di depan, menahan gerobak yang hampir masuk ke jurang.
Gerobak penuh muatan kentang itu kemudian di dorong ke tempat aman dan tali kekangnya diperbaiki. Warga pun merasa lega dan berterimakasih pada Wira dan Meru.
Namun, petualangan hari itu belum berakhir. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan sekelompok perampok kejam yang merampok seorang wanita tua yang berjualan di sebuah warung makan.
Tanpa ragu, Wira Soma membidik ke arah perampok dengan panah-panahnya, sementara Dewi Meru bersiap memimpin serangan dengan pedangnya yang mematikan. Perampok yang menodongkan golok pada wanita tua terkena panah tepat di tangan kanannya hingga golok terjatuh.
Melihat temannya terluka, tiga perampok lain berbalik dan berlari mengejar ke arah Wira. Satu orang bertemu Meru dan terjadi pertarungan sengit. Satu lagi hampir terkena panah di kakinya, sedangkan yang terakhir telah sampai di dekat Wira.
Walau Wira tak memiliki senjata untuk pertarungan jarak dekat, tapi fisiknya saja sudah kuat untuk menunjukkan perampok beringas itu. Hanya dalam tiga gerakan dasar, perampok sudah terkapar.
Sementara perampok yang hampir terkena panah juga segera menghunuskan pedang panjangnya ke Wira. Pedang panjang hampir mengenai jantung Wira, tiba-tiba Wira telah bergerak ke belakang perampok itu tanpa disadari. Dan perampok pedang panjang pun jatuh.
Di sisi lain, Meru masih bertarung sengit dengan sesama pengguna pedang pendek. Menjadi tertekan saat perampok yang terkena panah dan pemimpinnya yang sebelumnya duduk santai sambil makan akhirnya ikut mengeroyok Meru. Tapi tekanan tak berlangsung lama.
Lonbur yang sedari tadi diam, ikut bertindak dengan terbang menyerang langsung ke wajah pemimpin perampok. Lonbur tertangkap dan hampir diremas oleh sang pemimpin, tiba-tiba panah melesat menyerempet tangan pemimpin perampok.
Wira secara tiba-tiba muncul di depan pemimpin itu dan menyelamatkan Lonbur. Kemudian menjatuhkan perampok dengan tinju anginnya.
Dua perampok yang melawan Meru juga telah dijatuhkan, dan semua perampok terkapar di tanah. Mereka berusaha bangkit dan langsung berlari tunggang-langgang menyelamatkan diri.
Setelah mengusir perampok, mereka menghampiri wanita tua pemilik warung, dan akhirnya sadar bahwa wanita itu seorang janda yang punya seorang anak gadis cantik bernama Sari. Nyai Sartini berterimakasih pada mereka.
Meskipun awalnya enggan, Sari akhirnya ikut berkelana dengan Wira Soma dan Dewi Meru. Dia ingin mencari pengalaman dan belajar seni bela diri yang luar biasa agar kelak bisa menjaga ibunya.
Bersama-sama, mereka melanjutkan perjalanan mereka, menjelajahi tanah yang belum dijamah dan membawa keadilan kepada yang lemah. Dalam sela waktu istirahat, mereka sempatkan berlatih bersama.
Sari awalnya memperhatikan kedua pendekar yang mengajarinya. Dengan masing-masing keahlian yang berbeda, Sari akan menentukan sendiri bakatnya di keahlian yang mana.
Setiap langkah diiringi oleh desiran angin, senandung panah, dan kelincahan pedang yang menggambarkan kisah keberanian dan persahabatan yang tak terlupakan.
Di atas langit yang tinggi, seekor burung besar berkilau tampak terbang melayang. Memperhatikan gerak setiap manusia di atas permukaan bumi.
Dalam hening hutan yang rapat, Wira bersama Meru dan Sari tiba di dekat sebuah hutan. Di pinggir hutan itu, terdapat sebuah sumur tua yang kelihatannya tak terpakai. Setelah perjalanan yang panjang, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak dan membersihkan diri dengan mandi bergantian.Saat giliran Sari mandi, tanpa sengaja, cincin kesayangannya terjatuh dan bergulir ke dalam sumur tua tersebut. Sari panik dan berteriak memanggil Wira dan Meru.“Tolong! Cincin Sari jatuh!“ teriak Sari mengagetkan Wira dan Meru.Wira dengan sigap datang menolong, sementara Sari buru-buru memakai pakaian.“Ada apa, Sari? Apa yang jatuh?“ tanya Wira.“Itu cincin Sari jatuh ke dalam sumur. Cincin itu satu-satunya yang diberikan ibuku. Kang Wira ambilkan!“ Sari menjelaskan dengan wajah sangat sedih dan memelas.Merasa iba, Wira memutuskan untuk menyelamatkan cincin tersebut dan menceburkan diri ke dalam sumur.Tak disangka, sumur tua itu bukan hanya sumur biasa. Wira merasa seolah memasuki sebuah loron
“Wira Soma muridku. Datanglah ke atas puncak gunung Susuh Angin. Kau akan bertemu seseorang yang akan memberimu anugerah setelah mengujimu.“ Suara Ki Santarja terdengar melalui bisikan angin di telinga Wira.Wira masih fokus dalam meditasinya. Walaupun matanya tertutup, indera batinnya tetap awas terhadap lingkungan. Bahkan seekor tikus atau bahkan nyamuk yang terbang tak luput dari pengawasannya.Ketika pagi menjelang, teman-temannya bangun dan bersiap melanjutkan perjalanan. Dengan tenang, Wira menceritakan pesan dari gurunya. Dewi Meru, Sari, Lonbur, dan Blentung mendengarkan dengan penuh perhatian. Semuanya setuju untuk mengarah ke puncak gunung yang disebut dalam pesan tersebut.“Karena itu arahan Guru, kita harus menjalankannya, Wira!“ Lonbur berseru menyakinkan.Dewi Meru dan Sari secara alami mengangguk setuju, terlebih lagi Blentung yang baru bergabung.Perjalanan dimulai dengan langkah hati-hati, mengarungi hutan dan melalui lembah-lembah yang dalam. Para pendekar itu berjal
Matahari meredup di langit senja saat Wira dan rombongan bersiap-siap menjalani malam yang penuh petualangan. Seperti biasa Wira duduk di tepi api unggun, matanya terpejam dalam meditasi, menyambut bisikan angin yang membawa pesan gurunya.Lonbur dan Blentung, sebagai teman-teman setia, mencoba membuat suasana lebih ceria. "Hei Blentung, malam ini kita harus memberikan penyambutan yang istimewa untuk Wira. Mungkin kita bisa menyanyi atau menari di sekitar api unggun?" ucap Lonbur sambil tertawa.Blentung menjawab dengan suara serak khasnya, "Ide yang bagus, Lonbur! Mungkin aku bisa menunjukkan gerak tarian katak yang selalu aku latih di sumur tua itu."Mereka adalah dua wujud makhluk yang berbeda, tapi dalam hal kekompakan bercanda, mereka nomor satu. Blentung dengan suara serak khasnya, membuat suara layaknya orkestra alam. Sambil menggerakkan tubuhnya menari tarian katak. Rupanya suara-suara Blentung memancing ratusan katak liar di alam untuk bersahutan memainkan orkestra. Lonbur me
Pohon-pohon besar menjulang tinggi tampak di kejauhan. Dikelilingi hamparan padang ilalang luas, yang tampak putih seperti kapas. Itu adalah bunga-bunga ilalang. Sesekali bunga-bunga itu rontok yang terbang terbawa angin kencang puncak gunung.Mendaki jalan yang terjal memerlukan kerjasama dan saling membantu. Para pendekar muda masih berada di kaki gunung. Mereka bertemu warga lokal yang memberikan petunjuk tentang kondisi puncak. "Puncak ini terkenal dengan keangkerannya. Tetapi jika kalian memiliki niat baik, mungkin kalian akan menemukan keberuntungan di sana," ujar seorang tua dengan rambut putih yang terurai panjang.Setelah melewati desa terakhir, mereka memasuki hutan lebat yang penuh dengan makhluk pengganggu. Semuanya bersatu untuk melindungi satu sama lain. Perjalanan ini tidaklah mudah. Hutan menyimpan berbagai rintangan yang tak terduga. Pohon-pohon besar dan akar-akar menjulang membuat mereka harus selalu berhati-hati dengan setiap langkah. Sering kali, suara aneh dan b
Wira Soma, dengan penuh rasa syukur menerima senjata busur sakti yang bernama "Tunggak Bawarastra". Busur sakti pemberian dewa angin ini sangat kental aura kekuatan anginnya. Dia mengucapkan terima kasih kepada Batara Bayu yang telah memberinya anugerah, pada gurunya yang memberi arahan dan mengawasi selama proses penerobosan, dan Sang Hyang Semar sebagai salah satu dewa tertinggi.Lalu, dengan tekad yang semakin kuat, Wira menyelaraskan kekuatannya pada busur sakti itu, merasakan energi yang mengalir di setiap urat tubuhnya. Begitu energi terserap sempurna, wujud busur pun menyatu dalam dirinya, tersimpan di Alam Pusarnya.Sementara itu, teman-teman yang menunggu juga menerima hadiah dari Batara Bayu, yang sesuai dengan keahlian masing-masing. Mereka dengan antusias menyelaraskan diri dengan senjata baru mereka, merasakan kekuatan baru yang mengalir melalui tubuh mereka.Setelah selesai, rombongan itu memutuskan untuk menuruni gunung melalui jalan lain, mencari penginapan untuk beris
Sejauh mata memandang, semua tampak tenang dan tak ada gerakan apapun. Lingkungan yang luas membentang, langit biru cerah serta vegetasi hutan yang masih sangat alami. Padang rumput luas dengan beraneka jenis rerumputan yang tumbuh liar.Tiba-tiba muncul fluktuasi energi di atas langit kosong membentuk riak gelombang seperti kolam yang tenang terkena lemparan batu kecil.Wira Soma memasuki alam Mahapuspha melalui lorong hampa di tengah riak gelombang di langit. Dia memasuki sebuah dunia miniatur yang tersembunyi di dalam bunga raksasa.Melihat sekeliling, Wira bergumam, “Apakah aku salah masuk? Kenapa di tempat ini begitu sunyi? Bahkan tak ada jejak orang lewat sedikitpun, apalagi pertempuran.“ Begitu banyak pertanyaan dalam pikiran yang tau kepada siapa dia harus bertanya.Berjalan di padang rumput, Wira menemukan beberapa tumbuhan herbal liar yang memancarkan aura yang kuat menandakan tumbuhan itu benar-benar berkhasiat. Walaupun sebagian besar Wira belum mengetahui kegunaan pastiny
Wira Soma melangkah dengan hati penuh tekad menuju Rawa Kangkung, diiringi oleh suara gemercik air dan alunan angin yang sepoi-sepoi. Setiap langkahnya dihiasi dengan kecantikan alam yang mengelilinginya. Namun, perjalanannya tak sepenuhnya mulus.Tiba-tiba, lonceng di leher Blentung berdenting keras. Ada aura ancaman yang membuat mereka waspada. Melihat sekeliling, sebuah serangan mendadak melesat dari bayangan pepohonan di tepi rawa. Sebilah benda bercahaya melesat ek arah Wira, dengan ketajaman mata dan kekuatannya, benda itu ditangkap tanpa terlalu banyak usaha. Benda itu berbentuk seperti jarum kecil, tajam, beraura sangat kuat. Serangan itu dilakukan oleh makhluk halus yang ingin menggagalkan pencarian Wira.Dengan sigap, Lonbur dan Blentung bertindak. Lonbur terbang mengelilingi area untuk mengamati musuh yang tak terlihat. Blentung, dengan keahliannya sebagai makhluk halus, menggunakan kekuatan gaibnya untuk membuat selubung.Wira Soma, yang tetap berada di jalannya, menyadar
Padepokan Ki Santarja saat ini kedatangan beberapa pendekar baru. Mereka duduk bersila di halaman luas mendengarkan laporan Wira. Sang guru pun mengangguk dan memberi mereka wejangan yang lebih dalam.Ketenangan malam yang dihiasi derik serangga tiba-tiba terusik.Di salah satu sudut area, telah terjadi fluktuasi energi yang kacau. Sebuah pusaran cahaya tiba-tiba muncul di tengah dan berkembang menjadi sebuah portal dimensi. Aliran angin pun terasa kacau di dekat portal itu.Dari sana muncul sosok pendekar tua yang bermartabat.“Salam Kakek Garuda Emas!“ Pendekar yang tampak lebih tua itu justru memberi hormat pada Ki Santarja.Ki Santarja mengangguk, lalu mempersilakan duduk.“Mohon ampun. Saya datang ke sini hanya sebentar saja. Karena situasi di dunia kami, dunia Puser Bumi sedang kacau. Raja mengutusku untuk mencari bala bantuan. Menurut ramalan kuno, akan ada seorang pemuda sakti yang menjadi muri Garuda Emas. Dialah yang bisa membantu menyelamatkan Puser Bumi.“Ki Santarja terse