Hari kedua Wira bermeditasi, auranya semakin pekat dan kuat. Gerakan tangan semakin selaras dengan aliran energi dalam tubuhnya.
Sesekali muncul fluktuasi energi keluar tubuh dan membentuk pusaran-pusaran angin kecil. Dalam beberapa nafas, pusaran itu menghilang lagi.
Di luar goa, pepohonan bergoyang hebat. Menari dan mengikuti irama. Senada dengan gerakan angin di dalam goa.
Ki Santarja memperhatikan dengan seksama dan mengangguk beberapa kali.
'Sungguh anak yang berbakat. Tidak salah aku menerimanya sebagai murid.'
Lonbur terbang mendekat dan memberikan sekantung bunga senggani pada Ki Santarja. Melihat sekilas pada sahabatnya, lalu dia keluar dari goa lagi.
“Sepertinya kamu akan segera naik ke alam Adhikara Madhyama. Stabilkan terus dan padatkan energimu. Misteri kekuatan angin mulai kau kuasai.“ Ki Santarja berkata dengan suara dalam membimbing meditasi Wira.
Di hari ketiga, pusaran angin di sekitar Wira semakin kuat dan cepat. Hingga seluruh ruangan dalam goa terpengaruh.
Rambut dan pakaian Wira berkibar hebat karena angin yang berputar seirama gerakan tangannya.
Saat mencapai titik kritis, keringat mengucur deras di dahi dan langsung kering seketika karena angin.
Dalam periode beberapa tarikan nafas, perlahan gerakan Wira melambat dan semua fluktuasi angin seolah meresap ke dalam tubuhnya.
“Selamat, kau telah mencapai kanuragan Adhikara Madhyama yang sesungguhnya. Bukalah matamu!“ ucap Ki Santarja.
Saat ini Wira baru saja benar-benar menerobos ke alam Adhikara Madhyama, setelah beberapa waktu lalu dalam emosinya yang memuncak, kekuatannya telah mendekati alam kanuragan itu. Setelah penerobosan, dia harus menstabilkan dulu kekuatannya.
Mengikuti bimbingan dari gurunya, Wira perlahan membuka mata dan menghaturkan hormat.
“Terima kasih, Guru. Atas bantuan dan bimbinganmu.“
“Bejana airku sudah kosong lagi. Ayo segera penuhi lagi. Gunakan kakimu sendiri jangan mengandalkan bantuan orang lain. Dan jangan terlalu lama!“
“Sendika dawuh, Guru!“
Berpikir sejenak, Wira mencari kantung kulit yang sebelumnya untuk memgambil air, ternyata tidak ditemukan di sekitar goa. Dia segera mencari ke luar dan hanya menemukan 2 saja.
“Kemarin bawa 5 kantung saja bisa 20 kali bolak-balik ditambah 1 kali sudah dibawa sebelumnya. Kalo cuma 2 kantung, berapa lama lagi? Nanti bisa-bisa guru marah lagi.“ Wira mulai berpikir keras dan terdiam.
“JANGAN BANYAK MIKIR! AYO CEPAT!“ terdengar teriakan keras menggema dari dalam goa.
Dengan kaget, Wira segera berlari ke arah sumber air hanya berbekal 2 kantung air saja. Larinya lebih kencang dari sebelumnya, karena energinya saat ini memang masih berlimpah.
Saat sampai di sumber air yang sebelumnya. Ternyata alirannya tidak sederas biasanya.
Mengisi satu kantung saja butuh waktu cukup lama. Sampai sempat untuk bermeditasi di pinggiran sumber itu.
Dalam meditasinya, Wira mendengar suara aliran air lebih deras di kejauhan. Dia memfokuskan indra spiritualnya, dan menemukan sumber air lain di sisi lain lereng itu.
Wira membuka mata saat kantung pertama terisi penuh, lalu mengganti dengan kantung lainnya dan kemudian bermeditasi lagi. Dan setelah kedua kantung penuh, dia segera kembali ke goa dan menuang airnya ke dalam bejana.
Saat keluar lagi, dia menuju arah yang dia lihat dalam meditasi. Walau jaraknya lebih jauh, tapi dengan debit air yang lebih besar, dia yakin lebih cepat menyelesaikan tugasnya.
Wira segera berlari dengan lebih cepat. Kali ini energi spiritualnya juga membantu dalam berlari. Di jalan menurun, hanya butuh waktu setengah ghatika dia sudah sampai di lokasi yang lebih jauh. Dan saat kembali pun sama, walau jalannya menanjak.
Seiring waktu, setelah lebih dari sepuluh kali Wira turun dan naik di lereng itu, kecepatannya semakin meningkat. Yang awalnya setengah ghatika untuk sekali jalan, akhirnya bisa satu ghatika untuk turun, mengisi air lalu kembali lagi.
“Ayo cepat, jangan kelamaan!“ Ki Santarja kembali membentak Wira.
“Hampir penuh, Guru! Sekali jalan lagi selesai!“
Wira langsung pergi dan kembali lagi untuk menyelesaikan tugasnya.
Setelah selesai Wira segera melapor pada gurunya, Ki Santarja mengangguk.
“Bagus, kecepatan larimu semakin meningkat.“
“Maaf, Guru. Kantung air saya hilang 3, jadi saya harus lebih bekerja keras dalam memenuhi bejananya.“
“Kantung itu tidak hilang, hanya saya yang menyimpan. Agar kamu lebih berlatih berlari lagi.“
“Karena elemen yang terkandung gunung ini adalah udara atau angin. Begitu juga yang orang tua ini kuasai, maka kamu juga harus menguasainya. Setiap tugas yang saya berikan, merupakan langkah-langkah awal dalam menguatkan dasar kanuraganmu. Sekarang, kamu sudah di alam kanuragan Adhikara Madyama atau tingkat menengah dan kekuatan fisik serta vitalitasmu telah ditingkatkan, sudah saatnya kamu mempelajari ajian ini.“ Ki Santarja menyerahkan sebuah slip lontar pada Wira.
“Dengan ini, kamu bisa berjalan sangat cepat seperti aliran angin. Segera pelajari dan sempurnakan!“
“Sendika dawuh, Guru.“
Wira segera duduk bersila dan membaca slip lontar yang baru diterimanya. Dalam lembaran lontar itu, terdapat beberapa mantra ajian yang bernama 'Aji Saipi Angin'. Dalam waktu hanya dua ghatika, Wira sudah menghafal betul bacaan mantranya.
Sambil merapalkan mantra dalam hati, Wira memejamkan mata dan memulai periode meditasi lagi. Dengan posisi awal duduk bersila dan tangan diletakkan di atas paha denga jari tengah ditempelkan dengan ibu jari. Fluktuasi angin mulai bergerak disekitar tubuh Wira.
Perlahan, tangannya bergerak mengikuti aliran energi dalam tubuh. Tarikan nafas semakin dalam dan teratur. Suasana goa menjadi begitu hening dan sepi.
Tanpa disadari, dalam 5 ghatika saja, tubuh Wira sedikit terangkat dari atas tanah tempatnya duduk. Walau tidak terlalu tinggi, itu adalah perkembangan yang pasti.
Sementara di tempat lain, Lonbur telah mendapat tugas untuk pergi mencari sarang rayap. Dia pergi menelusuri hutan belantara bermodal sebuah kantung kain milik Wira.
Sarang rayap atau biasa disebut 'unur' bukanlah sesuatu yang mudah dicari di dalam hutan. Itu tersembunyi dan tampak seperti gundukan tanah biasa.
Entah sudah berapa jauh, Lonbur telah terbang juga berlari. Membuka beberapa gundukan dedaunan yang ternyata kadang-kadang hanya tumpukan daun kering saja atau malah sarang binatang buas.
Suatu ketika, Lonbur dikejar 'blacan', kadang ia juga bertemu dengan ular.
Berkat kekuatan mimikrinya, dia bisa terhindar dari bencana beberapa kali.
Belum juga mendapatkan apa yang dia cari, tiba-tiba turun hujan cukup deras. Lonbur berhenti dan istirahat di atas dahan pohon besar yang cukup tinggi dan aman.
Dia menempel di ketiak pohon besar, lalu merubah warna kulitnya hingga menyatu dengan warna pohonnya.
Walaupun Lonbur adalah bangsa bunglon dan masih satu jenis dengan 'tlerep' atau cicak pohon dan juga tokek. Dia tetap berhati-hati saat bertemu mereka.
Hujan reda saat hari mulai gelap. Menghela nafas, Lonbur mulai bergerak. “Syukurlah, hujannya tidak sampai malam.“
Mata seekor bunglon adalah salah satu keistimewaan lain. Selain bisa melihat ke arah yang berbeda, itu juga cukup mampu melihat dalam gelap.
Dalam remang-remang penglihatan mata Lonbur, dia melihat beberapa makhluk kecil terbang mengejar arah cahaya. Makhluk ini biasanya keluar setelah hujan. Lonbur langsung berbinar senang. “Ah itu dia! Akan ku ikuti arah datang mereka saja, pasti kan ku temukan sarangnya!“
Wira membuka mata perlahan. Setelah bermeditasi beberapa hari, akhirnya dia selesai menyerap kekuatan Aji Saipi Angin yang ia dapat sebelumnya. Auranya semakin pekat dan stabil.“Tak heran, perkembanganmu selalu berjalan lancar. Bakatmu memang bagus. Beruntung aku bisa punya murid sepertimu.“ Ki Santarja mengamati Wira sambil memegangi dagunya.“Guru terlalu memuji.““Baiklah. Sekarang apalah artinya kamu telah menguasai ajian itu kalau kamu hanya berdiam di dalam goa. Pergilah berkelana untuk mendapat pengalaman sejati di dunia persilatan.““Sendika dawuh, Guru!““Tapi sebelumnya, jemputlah Lonbur, dia kemarin ku tugaskan mencari sesuatu, tapi dia belum kembali.““Kemana aku harus mencarinya, Guru?““Kau rasakan auranya saja, lalu konsentrasi padanya. Dengan begitu, Aji Saipi Angin akan membantumu menuju tempat dimana Lonbur berada. Setelah ketemu, segera kembali.““Baik, Guru.““Baru selanjutnya kalian pergilah bersama.“Segera Wira memejamkan mata dan merasakan pancaran aura dari s
Dalam hening hutan yang rapat, Wira bersama Meru dan Sari tiba di dekat sebuah hutan. Di pinggir hutan itu, terdapat sebuah sumur tua yang kelihatannya tak terpakai. Setelah perjalanan yang panjang, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak dan membersihkan diri dengan mandi bergantian.Saat giliran Sari mandi, tanpa sengaja, cincin kesayangannya terjatuh dan bergulir ke dalam sumur tua tersebut. Sari panik dan berteriak memanggil Wira dan Meru.“Tolong! Cincin Sari jatuh!“ teriak Sari mengagetkan Wira dan Meru.Wira dengan sigap datang menolong, sementara Sari buru-buru memakai pakaian.“Ada apa, Sari? Apa yang jatuh?“ tanya Wira.“Itu cincin Sari jatuh ke dalam sumur. Cincin itu satu-satunya yang diberikan ibuku. Kang Wira ambilkan!“ Sari menjelaskan dengan wajah sangat sedih dan memelas.Merasa iba, Wira memutuskan untuk menyelamatkan cincin tersebut dan menceburkan diri ke dalam sumur.Tak disangka, sumur tua itu bukan hanya sumur biasa. Wira merasa seolah memasuki sebuah loron
“Wira Soma muridku. Datanglah ke atas puncak gunung Susuh Angin. Kau akan bertemu seseorang yang akan memberimu anugerah setelah mengujimu.“ Suara Ki Santarja terdengar melalui bisikan angin di telinga Wira.Wira masih fokus dalam meditasinya. Walaupun matanya tertutup, indera batinnya tetap awas terhadap lingkungan. Bahkan seekor tikus atau bahkan nyamuk yang terbang tak luput dari pengawasannya.Ketika pagi menjelang, teman-temannya bangun dan bersiap melanjutkan perjalanan. Dengan tenang, Wira menceritakan pesan dari gurunya. Dewi Meru, Sari, Lonbur, dan Blentung mendengarkan dengan penuh perhatian. Semuanya setuju untuk mengarah ke puncak gunung yang disebut dalam pesan tersebut.“Karena itu arahan Guru, kita harus menjalankannya, Wira!“ Lonbur berseru menyakinkan.Dewi Meru dan Sari secara alami mengangguk setuju, terlebih lagi Blentung yang baru bergabung.Perjalanan dimulai dengan langkah hati-hati, mengarungi hutan dan melalui lembah-lembah yang dalam. Para pendekar itu berjal
Matahari meredup di langit senja saat Wira dan rombongan bersiap-siap menjalani malam yang penuh petualangan. Seperti biasa Wira duduk di tepi api unggun, matanya terpejam dalam meditasi, menyambut bisikan angin yang membawa pesan gurunya.Lonbur dan Blentung, sebagai teman-teman setia, mencoba membuat suasana lebih ceria. "Hei Blentung, malam ini kita harus memberikan penyambutan yang istimewa untuk Wira. Mungkin kita bisa menyanyi atau menari di sekitar api unggun?" ucap Lonbur sambil tertawa.Blentung menjawab dengan suara serak khasnya, "Ide yang bagus, Lonbur! Mungkin aku bisa menunjukkan gerak tarian katak yang selalu aku latih di sumur tua itu."Mereka adalah dua wujud makhluk yang berbeda, tapi dalam hal kekompakan bercanda, mereka nomor satu. Blentung dengan suara serak khasnya, membuat suara layaknya orkestra alam. Sambil menggerakkan tubuhnya menari tarian katak. Rupanya suara-suara Blentung memancing ratusan katak liar di alam untuk bersahutan memainkan orkestra. Lonbur me
Pohon-pohon besar menjulang tinggi tampak di kejauhan. Dikelilingi hamparan padang ilalang luas, yang tampak putih seperti kapas. Itu adalah bunga-bunga ilalang. Sesekali bunga-bunga itu rontok yang terbang terbawa angin kencang puncak gunung.Mendaki jalan yang terjal memerlukan kerjasama dan saling membantu. Para pendekar muda masih berada di kaki gunung. Mereka bertemu warga lokal yang memberikan petunjuk tentang kondisi puncak. "Puncak ini terkenal dengan keangkerannya. Tetapi jika kalian memiliki niat baik, mungkin kalian akan menemukan keberuntungan di sana," ujar seorang tua dengan rambut putih yang terurai panjang.Setelah melewati desa terakhir, mereka memasuki hutan lebat yang penuh dengan makhluk pengganggu. Semuanya bersatu untuk melindungi satu sama lain. Perjalanan ini tidaklah mudah. Hutan menyimpan berbagai rintangan yang tak terduga. Pohon-pohon besar dan akar-akar menjulang membuat mereka harus selalu berhati-hati dengan setiap langkah. Sering kali, suara aneh dan b
Wira Soma, dengan penuh rasa syukur menerima senjata busur sakti yang bernama "Tunggak Bawarastra". Busur sakti pemberian dewa angin ini sangat kental aura kekuatan anginnya. Dia mengucapkan terima kasih kepada Batara Bayu yang telah memberinya anugerah, pada gurunya yang memberi arahan dan mengawasi selama proses penerobosan, dan Sang Hyang Semar sebagai salah satu dewa tertinggi.Lalu, dengan tekad yang semakin kuat, Wira menyelaraskan kekuatannya pada busur sakti itu, merasakan energi yang mengalir di setiap urat tubuhnya. Begitu energi terserap sempurna, wujud busur pun menyatu dalam dirinya, tersimpan di Alam Pusarnya.Sementara itu, teman-teman yang menunggu juga menerima hadiah dari Batara Bayu, yang sesuai dengan keahlian masing-masing. Mereka dengan antusias menyelaraskan diri dengan senjata baru mereka, merasakan kekuatan baru yang mengalir melalui tubuh mereka.Setelah selesai, rombongan itu memutuskan untuk menuruni gunung melalui jalan lain, mencari penginapan untuk beris
Sejauh mata memandang, semua tampak tenang dan tak ada gerakan apapun. Lingkungan yang luas membentang, langit biru cerah serta vegetasi hutan yang masih sangat alami. Padang rumput luas dengan beraneka jenis rerumputan yang tumbuh liar.Tiba-tiba muncul fluktuasi energi di atas langit kosong membentuk riak gelombang seperti kolam yang tenang terkena lemparan batu kecil.Wira Soma memasuki alam Mahapuspha melalui lorong hampa di tengah riak gelombang di langit. Dia memasuki sebuah dunia miniatur yang tersembunyi di dalam bunga raksasa.Melihat sekeliling, Wira bergumam, “Apakah aku salah masuk? Kenapa di tempat ini begitu sunyi? Bahkan tak ada jejak orang lewat sedikitpun, apalagi pertempuran.“ Begitu banyak pertanyaan dalam pikiran yang tau kepada siapa dia harus bertanya.Berjalan di padang rumput, Wira menemukan beberapa tumbuhan herbal liar yang memancarkan aura yang kuat menandakan tumbuhan itu benar-benar berkhasiat. Walaupun sebagian besar Wira belum mengetahui kegunaan pastiny
Wira Soma melangkah dengan hati penuh tekad menuju Rawa Kangkung, diiringi oleh suara gemercik air dan alunan angin yang sepoi-sepoi. Setiap langkahnya dihiasi dengan kecantikan alam yang mengelilinginya. Namun, perjalanannya tak sepenuhnya mulus.Tiba-tiba, lonceng di leher Blentung berdenting keras. Ada aura ancaman yang membuat mereka waspada. Melihat sekeliling, sebuah serangan mendadak melesat dari bayangan pepohonan di tepi rawa. Sebilah benda bercahaya melesat ek arah Wira, dengan ketajaman mata dan kekuatannya, benda itu ditangkap tanpa terlalu banyak usaha. Benda itu berbentuk seperti jarum kecil, tajam, beraura sangat kuat. Serangan itu dilakukan oleh makhluk halus yang ingin menggagalkan pencarian Wira.Dengan sigap, Lonbur dan Blentung bertindak. Lonbur terbang mengelilingi area untuk mengamati musuh yang tak terlihat. Blentung, dengan keahliannya sebagai makhluk halus, menggunakan kekuatan gaibnya untuk membuat selubung.Wira Soma, yang tetap berada di jalannya, menyadar