Share

Bab 4

Dihadapkan dengan sambutan hangat dari semua orang, Febi hanya mengangguk dengan sopan. Dia terus mencari di kerumunan, tapi Leo didesak ke belakang oleh semua orang. Setelah melihat sekeliling, Febi tidak menemukannya.

Febi hanya bisa melihat ke arah Erik dan bertanya, "Pak Erik, di mana menantumu?"

Saat semua orang mendengar ini, mereka langsung menunjukkan ekspresi memahaminya.

"Nona Febi benar-benar datang untuk Pak Rendi. Keluarga Wiryawan memang hebat."

"Tentu saja, Keluarga Wiryawan adalah keluarga kelas satu. Jadi, masuk akal kalau Nona Febi menghargainya."

Semua orang berkomentar. Sementara Rendi begitu bersemangat sehingga dia bergegas maju dan mengulurkan tangannya dengan antusias. "Halo, Nona Febi, namaku Rendi."

Febi selalu hidup dalam pengasingan. Meskipun ada banyak pria yang menyukainya, tidak ada pria yang bisa mendekatinya.

Saat ini, Rendi sangat bersemangat karena dia akan menjabat tangan Febi. Hal ini saja sudah cukup baginya untuk menyombongkan diri dalam waktu lama.

Selain itu, jika dia bisa mendapatkan bantuan dari Febi, itu akan lebih luar biasa lagi. Semua pria di Kota Kumara akan iri padanya. Adapun Ranti, Rendi akan memutuskannya.

Saat Fei melihat Rendi, dia langsung mengerutkan keningnya. Namun, detik berikutnya dia melihat Leo yang hendak pergi. Febi buru-buru berlari ke arahnya.

"Jangan pergi!"

Saat semua orang melihat Febi berlari ke arah Leo, ​​​​​​mereka langsung membeku. Ekspresi mereka tampak terkejut dan tidak percaya.

Bagaimana mungkin?

Febi adalah putri sulung Keluarga Sharon. Dia sangat cantik dan cerdas. Sedangkan Leo hanyalah pengemis yang malang. Keduanya sangat berbeda bagaikan langit dan bumi.

Senyuman di wajah anggota Keluarga Ananda tiba-tiba membeku. Awalnya, mereka mengira Febi datang untuk mereka atau Rendi. Namun, sekarang tampaknya Febi bukan mencari mereka sama sekali. Dia mencari pengemis yang mereka katakan.

Orang yang paling malu tidak diragukan lagi adalah Rendi. Dia berdiri di sana dengan tangan terulur. Ekspresi kegembiraan di wajahnya menjadi terkejut hingga akhirnya marah.

Leo ​​​​yang hendak pergi itu berhenti. Dia melihat Febi berlari ke arahnya. Dia tanpa sadar berpikir bahwa Febi datang untuk ke sini menyelesaikan masalah dengannya.

Jika Febi menggugatnya, masalah akan menjadi runyam. Meskipun dia tidak takut tertimpa masalah, dia merasa itu akan sedikit merepotkan.

"Ternyata kamu memang di sini. Cepat ikut aku pergi."

Febi meraih tangan Leo dan berjalan keluar.

Kali ini adalah pertama kalinya Febi berinisiatif menggandeng tangan seorang pria. Namun, gerakannya itu terkesan wajar. Febi tidak menolak sentuhan itu.

Hal ini mungkin karena dia telah menghabiskan malam bersama Leo. Tentu saja, alasan lainnya adalah Febi terlalu cemas.

"Nona Febi, apa kamu nggak salah?" Erik memimpin seseorang dan menghalangi jalan mereka.

"Apa maksudmu?" tanya Febi dengan bingung.

"Nona Febi, dia adalah pria miskin yang baru saja keluar dari pegunungan. Bagaimana kamu mengenalnya? Kamu pasti salah orang."

"Aku mengerti. Orang yang kamu cari adalah menantuku, Rendi. Dia ada di sini." Erik menarik Rendi ke depan Febi.

"Aku nggak salah, orang yang aku cari adalah dia, tolong minggir," kata Febi dengan tidak sabar.

"Tapi dia hanyalah orang kampungan. Untuk apa kamu mencarinya?" tanya Erik dengan bingung.

"Ini masalah pribadiku, bukan urusanmu! Minggir!" Febi sedang tidak ingin berbicara omong kosong dengan mereka. Jadi, dia menarik Leo dan melewati mereka.

Hal ini membuat ekspresi semua anggota Keluarga Ananda dan Rendi terlihat masam. Mereka ingin menjalin hubungan Febi. Namun, Febi malah mengabaikan mereka sama sekali. Sebaliknya, Febi malah memegang tangan seorang pengemis dan berjalan pergi. Menjengkelkan sekali.

Cahaya dingin melintas di mata Rendi. Dia tidak menyimpan dendam Febi, tapi dia kesal pada Leo. Dia merasa Leo telah mempermalukannya.

Leo berjalan ke pintu dan berhenti lagi. Dia kembali menatap Erik dan berkata, "Aku dengan hormat mengingatkanmu untuk segera membeli tanah kuburan yang lebih baik. Hidupmu nggak akan lama lagi."

"Sialan. Berani-beraninya kamu mengutuk ayah mertuaku. Aku bunuh kamu!" Rendi mengangkat tangannya dan hendak menampar wajah Leo.

Cahaya dingin melintas di mata Leo. Tepat ketika dia hendak mengambil tindakan, Febi tiba-tiba menampar wajah Rendi.

"Nona Febi, kenapa kamu memukulku?" Rendi menutupi wajahnya dengan sangat marah, tapi dia tidak berani mengutarakan kemarahannya.

"Kalau kamu berani berbicara kasar kepada Pak Leo lagi, percaya atau nggak aku akan membuat Keluarga Wiryawan bangkrut," kata Febi dengan dingin.

Rendi dan semua anggota keluarga Ananda melihat Febi meraih tangan Leo dan berjalan pergi. Mereka sangat marah, tapi Febi bukan orang yang bisa mereka provokasi.

"Nona Febi, kamu mau bawa aku ke mana?"

Setelah meninggalkan Kediaman Keluarga Ananda, Leo bertanya dengan rasa ingin tahu.

"Ikut aku pergi menyelamatkan orang," jawab Febi. Kemudian, dia membuka pintu mobil dan mendorong Leo ke kursi penumpang.

"Siapa yang harus diselamatkan?"

"Kakekku, dia sakit parah dan hidupnya sedang sekarat. Hanya kamu yang bisa menyelamatkannya sekarang." Febi tampak sangat cemas. Dia menjawab Leo sambil melaju cepat menuju rumah sakit.

"Kalau sakit, kamu harus mencari dokter. Kenapa kamu malah mencariku?"

"Kalau dokter bisa menyembuhkannya, aku nggak akan datang menemuimu."

"Menurutmu, kenapa aku bisa menyelamatkan kakekmu?" tanya Leo dengan bingung.

"Aku terkena serangan jantung pagi ini. Kamu menyembuhkan aku hanya dengan beberapa jarum akupunktur. Ini menunjukkan bahwa keterampilan medismu sangat hebat, jadi aku datang mencarimu," ucap Febi.

"Bukan nggak mungkin aku untuk menyelamatkan kakekmu, tapi apakah kamu nggak mau melunasi utangmu sebelumnya?" tanya Leo.

"Aku punya uang di tasku, aku akan memberikan semuanya padamu."

"Apa ini?"

Febi sedang mengemudi. Begitu dia melirik ke samping, dia menjadi marah. Leo memegang pembalut wanita di tangannya sambil melihatnya berulang kali.

"Ini popok, 'kan? Kamu sudah dewasa, kenapa kamu masih menggunakan benda ini? Kamu pasti memiliki penyakit yang nggak bisa diungkapkan, 'kan?" tanya Leo dengan serius.

"Kamu yang penyakitan!" Febi sangat marah hingga dia menggertakkan giginya. Jika dia tidak ingin mengandalkan Leo untuk menyelamatkan kakeknya, Febi pasti akan menghajarnya.

Leo tidak merangsangnya lagi, lalu dia melihat ke dalam tas. Ada dua tumpuk uang di sana. Mungkin uang itu baru saja diambil dari bank.

"Lupakan saja, aku nggak ingin uangnya sekarang." Leo memasukkan barang bawaan Febi.

"Lalu, apa yang kamu inginkan?" tanya Febi.

"Tidur denganku satu malam."

Setelah Leo selesai berbicara, Febi tiba-tiba mengerem. Ban bergesekan dengan jalan hingga mengeluarkan bau karet yang menyengat. Jika mereka tidak menggunakan sabuk pengaman, mereka berdua mungkin akan terpental keluar.

Setelah mobil berhenti, Febi berbalik dan menatap Leo dengan marah. Matanya penuh amarah seolah dia ingin menelan Leo.

"Jangan marah, aku hanya bercanda denganmu."

"Aku nggak suka lelucon seperti itu!" Febi menatap tajam ke arah Leo, kemudian dia lanjut mengemudikan mobilnya.

Saat ini, di bangsal VIP rumah sakit swasta. Sekelompok orang berkumpul di sekitar ranjang, termasuk direktur Vicky Pradhika dan Markus Setiawan, dokter genius nomor satu di Kota Kumara.

Markus sedang berkonsentrasi melakukan akupunktur untuk lelaki tua di ranjang rumah sakit.

Lelaki tua itu terlihat kurus, pucat dan napas lemah. Dia tampak akan mati kapan saja.

Saat Markus mencabut jarum perak terakhir dari tubuh lelaki tua itu, seorang pria paruh baya di sebelahnya buru-buru bertanya, "Dokter Markus, bagaimana kondisi ayahku?"

Markus tampak murung. Dia menggelengkan kepalanya dan berkata, "Pak Dani sakit parah. Dia nggak memiliki kekuatan untuk bertahan lagi. Menurut perkiraanku, dia nggak akan bertahan hingga malam ini."

"Apa!"

Semua anggota Keluarga Sharon terkejut.

"Dokter Markus, mohon pikirkan cara lain," mohon Eko Sharon.

"Yah, Dokter Markus, selamamu dapat menyelamatkan ayahku, aku akan menyetujui syarat apa pun yang kamu katakan," lanjut Robby Sharon.

"Kalau ada secercah harapan, aku akan menyelamatkannya. Tapi, Pak Dani benar-benar nggak dapat diselamatkan. Kamu harus mempersiapkan pemakamannya," kata Markus dengan tak daya.

"Menyuruh orang mempersiapkan pemakaman sebelum seseorang mati. Apakah hal ini pantas dikatakan oleh seorang dokter!"

Bersamaan dengan suara marah, Febi dan Leo membuka pintu dan berjalan masuk.

Markus melihat Leo dengan ekspresi masam. "Apakah kamu yang berkata tadi?"

"Yah, apakah kata-kataku salah?" tanya Leo.

"Aku yakin Pak Dani nggak dapat diselamatkan lagi, jadi aku meminta mereka mempersiapkan pemakaman!" jawab Markus dengan marah.

"Kamu bilang dia nggak bisa diselamatkan berarti sudah nggak bisa diselamatkan? Dasar dokter gadungan," kata Leo dengan nada menghina.

"Apa! Beraninya kamu bilang aku dokter gadungan!" Saat mendengar perkataan Leo, Markus sangat marah. Dia adalah dokter genius nomor satu di Kota Kumara. Kali ini adalah pertama kalinya seseorang meragukan kemampuan medisnya.

"Dari mana asalmu? Beraninya kamu berbicara dengan Dokter Markus seperti ini?" Eko menatap Leo dengan ekspresi masam.

Meskipun Markus gagal menyelamatkan Dani kali ini, dia telah menyelamatkan nyawanya selama bertahun-tahun sebelumnya. Jadi, mereka sangat berterima kasih dan menghormati Markus. Bagaimana mungkin mereka bisa membiarkan orang lain memfitnahnya?

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Arman MSi
pastinya keren banget deh
goodnovel comment avatar
Erizal Firman
mantap cerita nya jos
goodnovel comment avatar
Fakri Mukhtar
keren pisan euy.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status