Share

Bab 5

"Ayah, Paman, dia adalah dokter genius yang aku undang," kata Febi.

"Dokter Genius?"

"Dia?"

Semua orang mendengar Febi berkata bahwa Leo adalah seorang dokter genius. Mereka memandangnya dengan tatapan menghina.

Baik itu pengobatan tradisional ataupun pengobatan modern, keterampilan medis yang hebat perlu dipelajari untuk waktu lama.

Sementara Leo baru berusia dua puluhan. Bagaimana mungkin keterampilan medisnya luar biasa.

"Febi, di mana kamu menemukan pembohong ini?" tanya Eko.

"Paman, dia bukan pembohong. Dia benar-benar dokter genius. Dia menyembuhkan serangan jantungku sebelumnya."

Meskipun Febi membenci Leo karena telah merampas kepolosannya, ini adalah dua hal yang berbeda. Pagi ini, dia mengalami serangan jantung dan nyawanya sekarat. Setelah Leo menusuk akupunktur beberapa kali, serangan jantung Febi sembuh.

Bahkan Markus tidak memiliki kemampuan seperti itu. Jadi, Febi tidak salah mengatakan bahwa Leo adalah dokter genius.

"Anak muda, apakah kamu yakin bisa menyembuhkan ayahku?" tanya Robby dengan ragu.

"Aku belum mendiagnosis pasiennya, jadi aku nggak bisa menjamin bisa menyembuhkannya. Tapi, aku yakin kalau aku nggak bisa menyembuhkannya, nggak ada seorang pun di dunia ini yang bisa menyembuhkannya."

Nada suara Leo terdengar santai, tapi apa yang dia katakan penuh dengan keyakinan.

"Sombong sekali. Bahkan Dokter Genius Markus nggak berani memuji dirinya sendiri seperti ini," kata Eko sambil mencibir.

"Dia nggak berani menjamin karena keterampilan medisnya buruk. Kalau nggak, dia nggak akan menyuruhmu mempersiapkan pemakaman," kata Leo dengan acuh tak acuh.

"Nak, kamu benar-benar sombong." Markus berkata dengan marah. "Aku telah hidup lebih dari 50 tahun. Aku telah berpraktik kedokteran sejak aku berusia tiga belas tahun. Aku sudah lebih dari enam puluh tahun menjadi dokter. Kamu adalah satu-satunya orang yang bilang bahwa keterampilan medisku buruk."

"Itu karena kamu belum pernah bertemu dengan dokter genius yang sesungguhnya. Kebetulan aku adalah dokter genius itu," ucap Leo sambil tersenyum.

"Anak siapa ini? Sombong sekali!"

Bersamaan dengan suara mengejek, dua pria berjalan masuk.

Salah satunya adalah seorang lelaki tua yang mengenakan pakaian batik dan memiliki janggut yang panjang.

Orang lainnya adalah seorang pria muda berusia dua puluhan tahun. Dia terlihat sangat tampan. Pria itu mengenakan setelan bermerk dan kacamata berbingkai emas.

"Pak Aston, kamu sudah datang. Siapa dia?" tanya Robby sambil menunjuk ke arah lelaki tua itu dengan rasa ingin tahu.

Aston Ginanjar tersenyum sambil memperkenalkan, "Paman Eko, aku tahu Kakek Dani sakit parah, jadi aku secara khusus mengundang Dokter Agung."

"Dokter Agung?"

Markus buru-buru menghampiri lelaki tua itu dan bertanya, "Apa kamu adalah Agung si sembilan akupunktur yang dikenal sebagai dokter yang mampu menghidupkan orang mati?"

"Ya, namaku Agung Perdana!"

Agung Perdana meletakkan tangannya di belakang punggung. Dia mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan ekspresi sombong.

Awalnya, Agung tidak disebut dengan panggilan ini. Karena dia menggunakan sembilan jarum perak untuk setiap akupunktur untuk menyelamatkan orang dari ambang kematian. Orang-orang pun menyebutnya dengan panggilan ini.

"Dokter Agung, aku sudah lama mengagumimu."

Markus tampak sedikit bersemangat.

"Dokter Markus, apakah Dokter Agung ini lebih hebat darimu?" tanya Robby dengan rasa ingin tahu.

Markus mengangguk dengan penuh semangat. "Meskipun aku juga menyebut diriku dokter genius, aku hanya terkenal di Kota Kumara. Rapi, Dokter Agung adalah dokter genius yang terkenal di seluruh negeri. Dia bahkan adalah salah satu dokter terbaik di dunia."

Saat Robby mendengar bahwa Agung sangat hebat, dia langsung berkata dengan semangat, "Dokter Agung, tolong selamatkan ayahku. Selama kamu dapat menyembuhkan ayahku, aku akan membayar berapa pun!"

Agung berkata dengan bangga, "Aku datang bukan untuk mencari uang. Kalau Pak Aston nggak mengundangku, bahkan dibayar mahal pun, aku nggak akan datang ke sini."

"Pak Aston, terima kasih banyak." Robby dan Eko buru-buru berterima kasih kepada Aston.

"Paman, kalian terlalu berlebihan. Ini adalah tanggung jawabku." Aston melihat ke arah Agung sambil berkata, "Dokter Agung, kamu harus segera memulai pengobatan."

"Nggak perlu terburu-buru."

Agung melihat ke arah Leo sambil berkata, "Nak, apa maksudmu tadi? Apakah menurutmu, hanya kamu yang memiliki keterampilan medis terbaik di dunia ini?"

"Yah."

Leo mengangguk dengan serius. Dia tidak bersikap sombong. Dalam hal keterampilan medis, bahkan jika gurunya masih hidup, dia mungkin tidak sebaik Leo.

Sebelum Agung membuka suara, Markus tidak bisa menahannya lagi. "Nak, kamu hanya berpura-pura hebat di depanku. Tapi, sekarang kamu bahkan berpura-pura hebat di depan Dokter Agung. Kamu benar-benar nggak tahu diri."

"Paman, siapa orang bodoh ini?" tanya Aston sambil memandang Robby.

"Dia adalah orang dibawa oleh Febi untuk mengobati ayahku," kata Robby.

Aston melihat ke arah Febi sambil berkata, "Febi, kamu ditipu olehnya. Kelihatan jelas orang ini adalah penipu. "

"Bukan, keterampilan medisnya sangat bagus," kata Febi untuk menjelaskan.

"Seberapa hebat? Mungkinkah itu lebih hebat dari Dokter Agung?" tanya Aston.

"Eh ...."

Febi terdiam. Agung adalah seorang dokter genius yang terkenal di seluruh negeri. Meskipun keterampilan medis Leo sangat hebat, Febi tidak percaya jika Leo mengatakan dia lebih kuat dari Agung. Bagaimanapun, usia Leo masih terlalu muda.

Aston berkata sambil tersenyum, "Febi, Dokter Agung sudah datang, Kakek Dani pasti akan baik-baik saja. Cepat suruh penipu ini keluar."

Febi merasa sedikit malu. Bagaimanapun, dia yang membawa Leo kemari. Jika dia mengusir Leo seperti ini, itu akan sangat keterlaluan.

"Kalau kamu percaya penipu ini, aku akan segera pergi," kata Agung sambil hendak pergi.

Robby buru-buru menghentikannya dan berkata sambil tersenyum, "Dokter Agung, jangan marah. Aku akan segera mengusir penipu ini."

"Nak, apa kamu sudah mendengarnya? Kamu ingin keluar sendiri atau aku yang mencari seseorang untuk mengusirmu!" kata Robby sambil menatap Leo dengan dingin.

Cahaya dingin melintas di mata Leo. Jika Leo tidak memikirkan Febi, orang yang berani berbicara dengannya seperti ini akan langsung ditampar olehnya.

Febi berkata dengan ekspresi canggung, "Pak Leo, maafkan aku. Bagaimana kalau kamu pergi dulu."

"Kalian yang mengusirku pergi. Jangan memohon padaku untuk kembali lagi nanti!"

Leo mendengus dingin dan berbalik untuk pergi.

Dia datang ke sini karena Febi. Dia tidak menyangka keluarga ini akan begitu menjengkelkan. Leo tidak marah jika mereka tidak percaya pada keterampilan medisnya. Namun, mereka mengusirnya ketika dia tidak lagi dibutuhkan. Keterlaluan sekali.

"Pak Leo, maafkan aku, aku nggak menyangka akan terjadi hal ini. Aku akan mengantarmu kembali."

Febi mengejarnya keluar. Dia merasa sedikit bersalah.

"Nggak perlu."

Leo berjalan beberapa langkah, lalu dia berjalan kembali dan menyerahkan sebuah botol Febi. "Karena kamu telah membantuku sebelumnya, ada obat di dalamnya, ambillah. Asalkan orang itu masih bernapas, orang itu akan bertahan selama tiga hari setelah meminumnya."

Leo meletakkan botol obat itu ke tangan Febi dan berjalan pergi. Dia telah berbaik hati memberikan obat itu.

Febi kembali ke bangsal sambil membawa botol obat itu.

"Febi, apa yang kamu pegang di tanganmu?" tanya Aston dengan rasa ingin tahu.

"Ini adalah obat yang diberikan Pak Leo padaku. Katanya selama orang itu masih bernapas, dia bisa hidup selama tiga hari setelah meminumnya," kata Febi.

"Febi, kamu sangat naif. Bagaimana kamu bisa memercayai kata-kata seorang penipu?" kata Aston.

Agung bahkan mencibir, "Pak Aston benar. Siapa pun yang berani meminum obat penipu akan dirugikan. Dia bahkan mengatakan bisa bertahan selama tiga hari. Benar-benar obat mujarab."

"Kamu nggak dengar apa yang dikatakan Dokter Agung. Cepat buang obat itu," teriak Robby.

Febi merasa sedikit ragu. Meskipun dia membenci Leo karena merampas kepolosannya, dia tidak menganggap Leo adalah seorang penipu. Bagaimanapun, Leo telah menyembuhkan penyakit jantungnya.

"Sampah harus dibuang ke tempat sampah." Robby mengambil botol itu dari tangan Febi dan melemparkannya ke tempat sampah.

Setelah itu, Agung baru merasa puas. Kemudian, dia memeriksa denyut nadi Dani.

Markus berdiri di samping sambil menonton dengan penuh harap. Dia ingin belajar dari idolanya.

Setelah beberapa saat, Agung menunjukkan ekspresi mengerti.

"Dokter Agung, bagaimana kondisinya?" tanya Robby dengan tergesa-gesa ketika dia melihat Agung selesai memeriksa denyut nadi Dani.

"Pak Dani keracunan," kata Agung.

"Keracunan!"

Robby sangat terkejut. Dia selalu mengira Dani sakit. Bagaimanapun, mereka telah memeriksa berkali-kali di rumah sakit.

"Yah, dia keracunan. Ini adalah racun sangat langka yang sulit dideteksi oleh orang biasa," kata Agung.

"Dokter Agung, apakah kamu bisa menyembuhkannya?" tanya Febi dengan penuh harap.

"Omong kosong, nggak ada penyakit di dunia ini yang nggak bisa aku obati. Nggak ada racun yang nggak bisa aku netralkan," kata Agung dengan bangga.

"Dokter Agung, terima kasih." Febi sangat bersemangat.

Agung segera membuka sebuah kotak. Dia mengeluarkan jarum perak, lalu memberikan akupunktur pada Dani.

Febi mengepalkan tangannya erat-erat. Dia terlihat sangat gugup.

Aston buru-buru menghiburnya, "Febi, kamu harus percaya pada Dokter Agung, Kakek akan baik-baik saja."

"Pak Aston, kali ini semuanya berkatmu. Febi, kamu harus berterima kasih kepada Pak Aston," kata Robby dengan penuh arti.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fakri Mukhtar
hebatnya ilmu akupunktur.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status