Share

Bab 7

Leo datang ke ranjang rumah sakit dan duduk. Kemudian, dia memeriksa denyut nadi Dani.

Karena waktu tiga hari semakin dekat, Dani mengalami koma lagi. Kondisinya tidak begitu baik.

Agung dan Markus sedang menonton di samping. Sampai saat ini, mereka bahkan berpikir Leo tidak dapat menyembuhkan Dani.

Bagaimanapun, mereka telah mendiagnosis Dani tidak dapat diselamatkan lagi.

Dani dapat bertahan selama tiga hari lagi. Hal itu karena obat yang diminum hari itu sangat ampuh. Orang yang meracik obat itu mungkin bukan Leo.

Robby dan Febi sangat gugup. Terutama ketika Leo mengerutkan keningnya, jantung mereka berdebar kencang.

Dani bukan hanya kerabat mereka, tapi dia juga tulang punggung Keluarga Sharon.

Jika Dani celaka, itu akan menjadi pukulan yang menyakitkan bagi Keluarga Sharon.

"Bagaimana? Apakah kakekku bisa diselamatkan?" tanya Febi dengan tergesa-gesa ketika dia melihat Leo selesai memeriksa denyut nadinya.

"Selama dia masih bernapas, aku bisa menyelamatkannya. Jangan khawatir," hibur Leo.

"Nak, kamu sangat pandai membual. Bahkan aku nggak bisa menyembuhkannya. Bagaimana mungkin anak muda sepertimu bisa menyembuhkannya?" kata Agung dengan ekspresi meremehkan.

"Tentu saja berdasarkan kemampuanku. Kalau kamu nggak bisa melakukannya, itu berarti kamu nggak punya kemampuan," jawab Leo dengan tidak sungkan.

"Apa! Beraninya kamu bilang aku nggak punya kemampuan!"

Agung membelalakkan matanya. Dulu, setiap orang yang bertemu dengannya akan menghormati dan mengatakan bahwa dia adalah dokter genius. Namun, sekarang Leo bahkan mengatakan dia tidak memiliki kemampuan. Agung benar-benar merasa kesal.

Agung sangat marah hingga tertawa. "Oke, aku mau melihat bagaimana kamu menyembuhkannya. Kalau kamu bisa menyembuhkannya, aku akan melakukan siaran langsung untuk meminta maaf padamu!"

Leo mencibir, "Kamu benar-benar menjijikkan, tapi aku menantikannya."

"Aku malas untuk berbicara omong kosong denganmu. Ayo, kita mulai." Agung mendengus dengan dingin.

"Kalau begitu, lihatlah dengan jelas."

Saat berbicara, Leo mengeluarkan sebuah kotak dan membukanya. Ada sembilan jarum perak dengan panjang berbeda di dalam kotak itu.

Leo membuka pakaian pasien, mengambil jarum, lalu menjentikkan jarinya. Kemudian, jarum perak itu segera menembus dahi pasien.

"Jarum terbang menusuk titik akupunktur!"

Mata Markus langsung membelalak dengan terkejut dan tidak percaya.

Agung juga menunjukkan ekspresi terkejut dan tidak percaya. Ekspresi terkejutnya itu seolah-olah dia baru saja melihat alien.

"Dokter Markus, apakah teknik akupunktur ini sangat hebat?" tanya Febi dengan rasa ingin tahu ketika dia melihat Markus begitu terkejut.

Markus menatap Leo yang menusukkan jarum akupunktur dengan serius. "Bukan hanya hebat, ini adalah teknik paling canggih di antara akupunktur. Bahkan aku nggak dapat melakukannya."

"Itu karena dia sering berlatih. Apa gunanya teknik itu? Teknik itu nggak berguna." Aston menunjukkan ekspresi menghina.

"Nggak."

Markus menggelengkan kepalanya. "Ini bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan hanya karena sering berlatih. Menerbangkan jarum perlu mengontrol jarum dengan energi. Siapa pun yang menguasai teknik ini harus memiliki keterampilan medis yang sangat baik. Aku sudah salah menilainya."

Saat mereka berbincang, Leo telah memasukkan enam jarum perak ke tubuh Dani satu demi satu. Kemudian, dia mengulurkan tangan untuk menekan tubuh Dani.

Tak lama kemudian, semua orang melihat pemandangan yang luar biasa. Keenam jarum perak di tubuh Dani bergetar sedikit, lalu jarum itu berubah menjadi hitam dengan kecepatan yang terlihat dengan mata telanjang.

Febi terlihat sangat terkejut. Pada saat ini, akhirnya dia mengerti bahwa Leo melepas pakaiannya pagi itu bukan untuk melecehkannya. Namun, Leo ingin mengobatinya.

Sekitar satu menit kemudian, Dani membuka matanya dengan perlahan.

"Ayah, kamu sudah bangun."

"Kakek."

Beberapa anggota Keluarga Sharon buru-buru berkumpul. Febi begitu gembira hingga air mata berlinang matanya.

"Dokter Agung, terima kasih telah menyelamatkanku."

Dani memandang Agung sambil menangis.

Agung merasa sangat malu sehingga dia ingin mencari bersembunyi.

"Adik ini yang menyelamatkanmu," jelas Markus.

"Dia?"

Dani memandang Leo sejenak, kemudian dia menggelengkan kepalanya, "Dokter Markus, jangan bercanda. Dia masih sangat muda. Bagaimana dia bisa menyelamatkanku."

"Aku merasa malu. Dulu, aku pikir aku adalah seorang dokter genius. Baru setelah aku melihat keterampilan medis adik ini, aku menyadari bahwa aku nggak tahu diri." Setelah berkata, Markus membungkuk ke arah Leo.

"Adik, aku baru saja dibutakan. Maafkan aku."

"Nggak apa-apa!"

Leo tampak tidak mempermasalahkan hal itu.

"Nak, apakah kamu benar-benar menyelamatkanku?" Dani melihat Leo dengan tidak percaya. Dia merasa Leo masih terlalu muda, paling-paling usianya baru dua puluh lima atau enam tahun.

"Kakek, Pak Leo yang telah menyelamatkanmu," kata Febi.

Dani duduk dari ranjang rumah sakit. "Terima kasih, Pak Leo. Kamu telah menyelamatkan hidupku."

Saat ini, Robby mengeluarkan kartu bank dan menyerahkannya kepada Leo sambil berkata, "Terima kasih telah menyelamatkan ayahku. Ada 20 miliar di kartu ini. Aku harap kamu mau menerimanya."

Leo tidak menolak. Dia memasukkan kartu bank itu ke dalam sakunya.

"Pak Leo, apakah kamu sudah menikah?" tanya Dani tiba-tiba.

"Belum." Leo menggelengkan kepalanya.

"Apakah kamu memiliki wanita yang kamu sukai?" tanya Dani lagi.

"Nggak ada."

Leo kembali menggelengkan kepalanya.

Dani tampak gembira. "Lalu, apa pendapatmu tentang cucuku?"

Leo melihat Febi sambil berkata, "Nona Febi sangat cantik dan cerdas."

"Kalau begitu, apakah kamu bersedia menikahinya?" tanya Dani dengan tergesa-gesa.

Begitu pertanyaan ini keluar, semua orang terkejut.

"Tentu saja aku bersedia. Tapi, aku khawatir Nona Febi nggak akan setuju."

Leo melihat ke arah Febi. Meskipun dia baru berhubungan dengan Febi, dia telah jatuh cinta pada wanita ini.

Adapun alasannya, dia harus mengakui bahwa dia terlalu murahan. Dia menyukai wanita cantik. Febi sangat cantik. Dia sangat menarik untuk dilihat, nyaman dipeluk. Leo merasa terhormat membawanya keluar.

Aston langsung menjadi cemas. "Kakek, Febi ingin menikah denganku. Kamu nggak boleh asal menjodohkan Febi."

"Ya. Ayah, Keluarga Ginanjar dan keluarga kita sangat cocok. Pak Aston tulus pada Febi. Kalau Febi menikah, dia harus menikah dengan Pak Aston," kata Robby.

"Febi, apakah benar?" tanya Dani dengan tergesa-gesa.

Febi menggelengkan kepalanya. "Nggak, aku hanya menganggap Pak Aston sebagai teman."

Aston sangat marah. Sebagai salah satu dari empat pemuda terkaya di Kota Kumara, ada banyak sekali wanita yang bermimpi menikah dengannya. Sementara Aston telah mengejar Febi selama lebih dari dua tahun. Namun, Febi tetap tidak menganggapnya serius. Aston benar-benar merasa kesal.

"Kalau begitu, aku akan menjodohkanmu dengan Pak Leo. Apakah kamu bersedia?" tanya Dani dengan penuh harap.

"Aku nggak bersedia."

Febi menggelengkan kepalanya tanpa ragu-ragu. Dia tidak memiliki kesan yang baik terhadap Leo, Febi bahkan merasa sedikit jijik padanya.

Jika bukan karena ingin meminta Leo untuk mengobati kakeknya, Febi bahkan tidak ingin bertemu dengan Leo, apalagi menikah dengannya.

"Ayah, Pak Leo telah menyembuhkanmu. Kita sangat berterima kasih, tapi Ayah nggak boleh menyuruh mereka menikah begitu saja. Ini terlalu terburu-buru." Robby merasa keberatan.

"Paman Robby benar. Kalian baru saja telah memberinya 20 miliar. Kalau nggak cukup, aku bisa memberinya 20 miliar lagi."

Meskipun Aston ditolak oleh Febi, dia tetap tidak menyerah. Selama Febi belum menikah, Aston masih memiliki kesempatan.

Dani ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi Leo menyelanya, "Pak Dani, aku menghargai kebaikanmu. Karena Nona Febi nggak mau, lupakan saja. Aku masih ada urusan lain. Aku pergi dulu."

Dani berkata dengan ekspresi kecewa, "Febi, cepat antar Pak Leo pergi."

Setelah itu, Febi menghentikan mobil di sebelah Leo. Leo duduk di kursi penumpang dengan tidak sungkan.

Sebelumnya Leo membuka suara, Febi telah menginjak pedal gas. Seketika, mobil melesat keluar seperti anak panah.

Sepuluh menit kemudian, keduanya kembali ke kamar hotel sebelumnya.

Masih sama seperti sebelumnya. Setelah menutup pintu, Febi mulai melepas pakaiannya.

"Nona Febi, apa kamu sangat kepanasan?" tanya Leo dengan rasa ingin tahu.

"Apa maksudmu?" Febi tampak bingung.

"Kalau kamu nggak kepanasan, kenapa begitu masuk, kamu langsung melepas pakaianmu?" tanya Leo dengan rasa ingin tahu.

Wajah Febi langsung memerah. Kemudian, dia berkata dengan marah, "Sudah tahu masih bertanya. Aku akan menepati janjiku. Kamu menyelamatkan kakekku. Aku akan memenuhi janjiku sekarang. Tapi ini adalah terakhir kalinya, aku nggak ingin bertemu denganmu lagi."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status