"Hebat sekali kamu bisa menggaet Mas Ray. Apa kamu menjebak Mas Ray biar ia menikahimu?" selidik Vika padaku."Maaf, apa yang kamu bicarakan?""Nggak usah pura-pura. Laki-laki normal pasti akan lebih memilih Frida daripada kamu. O ya aku lupa, kalau kamu kan janda, jadi kamu memanfaatkan tubuhmu untuk menggoda Mas Ray. Sudah berapa kali kamu tidur dengan Mas Ray.""Memangnya apa urusanmu? Apa yang aku lakukan bersama Mas Ray kamu tidak perlu tahu. Itu urusan kami. Atau kamu memang kepo, ingin tahu? Jangan-jangan kamu cemburu ya? Mungkin ada rasa dengan Mas Ray."Vika tampak kesal mendengar ucapanku."Dengar ya Vika. Aku tidak peduli kamu menyukaiku atau tidak. Jadi aku tidak akan berusaha membuatmu terkesan, ataupun membuatmu bersikap baik padaku. Aku tidak peduli itu. Jadi, nggak usah repot denganku. Ingat, kita adalah sesama orang luar di keluarga ini.""Tapi aku menantu kesayangan Mama," kilah Vika."Oh, begitu rupanya. Jadi kamu takut tersaingi ya? Jangan khawatir aku tidak akan m
Satu Minggu ini kami disibukkan dengan urusan surat menyurat. Mulai dari RT sampai ke KUA. Alhamdulillah, semua sepertinya dilancarkan jalannya. Niat baik memang selalu dipermudah.Hari ini kami sedang mengikuti penasehatan pra perkawinan di KUA. Materi yang disampaikan menitikberatkan pada kesiapan mental bagi calon pengantin, mulai bagaimana dia menata dirinya, kemudian nanti siap memasuki jenjang perkawinan, mengelola keluarga dan menyiapkan generasi masa depan yang berakhlak mulia. Kami pun duduk dihadapan seorang penasehat perkawinan."Assalamu'alaikum. Perkenalkan nama saya Ahmad Baihaqi, saya ditugaskan oleh pimpinan KUA untuk memberikan pengarahan kepada Bapak dan Ibu. Berdasarkan data yang saya baca, Bapak Raynar Arga dan Ibu Hanum Salsabila akan melaksanakan pernikahan yang kedua. Berarti setidaknya Bapak dan Ibu sudah tahu seperti apa kehidupan rumah tangga."Aku dan Mas Ray mengangguk."Bapak dan Ibu berstatus duda janda, selain saling percaya dan kerja sama, perlu diperh
Pulang dari toko Mbak Rida, aku membawa dua pakaian, Mama juga mendapatkan dua. Di sepanjang perjalanan, Mama selalu mengajakku berbicara. Tentang berbagai hal. Sebenarnya Mama ini baik, mungkin kemarin dia belum mengenalku, jadi sangat antipati padaku.Sampai di rumah Mama, sudah ada mobil Mas Ray. "Namanya perempuan kalau berbelanja sampai lupa waktu ya, Pa," sindir Mas Ray, seolah-olah berbicara dengan Papa."Biarkan saja, Ray. Yang penting mereka senang. Nanti kalau Hanum moodnya sedang jelek, suruh dia belanja sepuasnya. Dijamin pulang wajahnya sudah ceria," sambung Papa.Aku dan Mama ikut bergabung duduk bersama Papa dan Mas Ray."Nah Mama setuju dengan Papa." Mama menimpali."Papa kan sudah bersama Mama lebih dari empat puluh tahun, tentu saja sudah hafal watak Mama seperti apa," kekeh Papa.Mama terkekeh mendengar ucapan Papa. Aku dan Mas Ray pun ikut tertawa. "Ray, Papa bahagia, akhirnya kamu menemukan perempuan yang kamu cintai. Bahagiakan Hanum, jadilah kepala rumah tang
Ibu berjalan mendekatiku, aku sangat deg-degan. Berbagai prasangka melintas di pikiranku. Yang lain kulihat juga berwajah tegang.Tiba-tiba Ibu memelukku sambil menangis. Aku masih bingung dengan situasi ini, aku pun mengeratkan pelukanku. Mataku mulai berkaca-kaca."Kamu berhak untuk hidup bahagia. Perjalanan hidupmu masih panjang. Berjuanglah demi cucu-cucu Ibu."Aku yang masih tidak percaya dengan ucapan Ibu hanya bisa mengangguk. Yang lain juga terlihat bernafas lega."Iya, Bu. Anak-anak lah yang membuat saya masih bersemangat menjalani hidup."Ibu melepaskan pelukanku, kemudian menatapku dengan mata yang basah karena air mata."Selamat untuk pernikahanmu, maaf, mungkin Ibu nggak bisa datang. Tapi bukan berarti Ibu tidak merestui kalian. Jauh didalam lubuk hati, Ibu masih tetap menyayangimu, walaupun kamu bukan istrinya Fahmi lagi. Maafkan untuk konflik yang terjadi selama ini." Suara Ibu terdengar bergetar."Saya juga minta maaf, Bu. Saya tidak pernah membenci Ibu. Kalau Ibu tida
Dua hari lagi aku akan menikah, menurutku waktu yang lumayan lama. Sudah tidak sabar lagi mau menikah. Siang ini setelah salat Jumat, rencana aku dan Mas Ray akan mengajak anak-anak jalan, untuk berbelanja. Arya masih salat Jumat di masjid, aku dan Adiva di rumah asyik dengan ponsel masing-masing. Aku sedang mengecek tulisanku di berbagai platform. Penghasilanku dari menulis cukup lumayan. Yang jelas, dengan menulis aku bisa mengekspresikan emosi, khayalan dan pikiranku dalam bentuk tulisan. Terdengar suara Arya mengucapkan salam, berarti sudah selesai salat Jumat. Aku segera mengambil air wudhu untuk melaksanakan salat Dzuhur."Bu, Om Ray sudah datang," kata Adiva yang muncul di kamarku. Aku masih melipat mukena. "Iya, sebentar ya. Ibu berganti pakaian dulu."Aku pun segera berganti pakaian, memakai tunik dan rok celana. Selanjutnya mematutkan diriku di cermin. Hmm, sudah cantik, gumamku. Aku segera mengambil tas, memeriksa isi tasku, kemudian keluar menemui calon suami tersayang.
Aku dan anak-anak mengikuti Mas Ray ke atas. Di lantai atas ada dua kamar tidur dan satu kamar berukuran kecil yang digunakan untuk menyetrika pakaian. Juga ada tempat untuk mencuci dan menjemur pakaian. Ada ruang untuk menonton televisi, yang beralaskan karpet dan beberapa bantal kursi. Memang enak untuk menonton televisi sambil rebahan."Ini nanti untuk kamar kalian. Silahkan kalian pilih sendiri," kata Mas Ray pada Arya dan Adiva."Kamarnya memang masih kosong, nanti kalian bisa pilih furniture yang sesuai selera kalian." Mas Ray menambahkan."Kasur dan lemari nggak usah beli, Mas. Pakai saja yang ada di kamar mereka." Aku memberikan solusi."Iya, Om. Kasur dan lemari di kamar kami masih bagus kok," sambung Arya."Oke, terserah kalian. Besok Om pasang AC dulu ya? Kapan mau pindahan?""Nanti saja, Mas, setelah hari Minggu. Nggak butuh waktu lama kok untuk pindahan."Arya dan Adiva duduk di depan televisi, tentu saja sibuk dengan ponselnya masing-masing. Aku dan Mas Ray ada di salah
Sampailah aku di rumah Bapak. Tidak seperti biasa, rumah Bapak agak sedikit berbeda. Biasanya rumah tampak sepi, tapi hari ini agak sedikit ramai. "Tante Hanum!" Ada yang memanggilku ketika aku turun dari mobil Mas Ray.Aku pun menoleh, ternyata ada Nadya yang memanggilku. Arya dan Adiva juga sudah sampai. Mereka sedang asyik mengunyah sesuatu. Kemudian Arya mendekati mobil, dan mengambil barang-barang yang tadi dibawa."Halo sayang, kapan nyampenya?" tanyaku sambil memeluknya."Kemarin sore, Te." Aku pun melepaskan pelukannya."Halo Om Ray," sapa Nadya sambil menyalami Mas Ray."Halo juga," sahut Mas Ray."Makan seblak, Om," tawar Adiva."Kok hanya Om saja yang ditawari, Ibu nggak ditawari ya?" kataku."Nanti kalau Ibu ditawari, pasti Ibu ikut mencicipi terus ngomel-ngomel," sahut Adiva sambil cengengesan.Mas Ray tertawa mendengarkan kata-kata Adiva."Memang Ibu suka ngomel-ngomel?" tanya Mas Ray."Iya, Om. Kalau ngomel panjang kayak kereta api dengan kecepatan cahaya."Mas Ray se
"Mbak, kok kayaknya Mbak sedang sakit ya? Kok pucat sekali." Aku berkata pada Mbak Hani, karena dari tadi aku melihat wajahnya tampak berbeda. Badannya juga ada yang berbeda, semakin mengecil saja walaupun ia tutupi dengan menggunakan pakaian yang agak besar."Aku nggak sakit, kok, Num. Hanya kurang tidur saja. Entah kenapa sekarang susah sekali untuk tidur, menjelang subuh baru terasa mengantuk," jawab Mbak Hani. Ia tampak gelagapan menjawab pertanyaan ku, tapi kemudian ia bisa menguasai diri."Ya kalau menjelang subuh mengantuk, tidur saja Mbak. Yang penting kan kualitas tidur daripada kuantitas tidur. Lama tidur tidak menjamin kualitas tidur kita bagus." Aku memberikan saran untuknya, berdasarkan apa yang pernah aku baca.Mbak Hani menganggukkan kepalanya."Bener Mbak nggak sakit? Hari Senin Hanum antar berobat ke rumah sakit, ya?" tanyaku lagi, karena aku sangat penasaran. Aku yakin kalau Mbak Hani menyembunyikan sesuatu."Benar kok, Num. Nggak usah terlalu memikirkanku. Pikirkan