Aku dan anak-anak mengikuti Mas Ray ke atas. Di lantai atas ada dua kamar tidur dan satu kamar berukuran kecil yang digunakan untuk menyetrika pakaian. Juga ada tempat untuk mencuci dan menjemur pakaian. Ada ruang untuk menonton televisi, yang beralaskan karpet dan beberapa bantal kursi. Memang enak untuk menonton televisi sambil rebahan."Ini nanti untuk kamar kalian. Silahkan kalian pilih sendiri," kata Mas Ray pada Arya dan Adiva."Kamarnya memang masih kosong, nanti kalian bisa pilih furniture yang sesuai selera kalian." Mas Ray menambahkan."Kasur dan lemari nggak usah beli, Mas. Pakai saja yang ada di kamar mereka." Aku memberikan solusi."Iya, Om. Kasur dan lemari di kamar kami masih bagus kok," sambung Arya."Oke, terserah kalian. Besok Om pasang AC dulu ya? Kapan mau pindahan?""Nanti saja, Mas, setelah hari Minggu. Nggak butuh waktu lama kok untuk pindahan."Arya dan Adiva duduk di depan televisi, tentu saja sibuk dengan ponselnya masing-masing. Aku dan Mas Ray ada di salah
Sampailah aku di rumah Bapak. Tidak seperti biasa, rumah Bapak agak sedikit berbeda. Biasanya rumah tampak sepi, tapi hari ini agak sedikit ramai. "Tante Hanum!" Ada yang memanggilku ketika aku turun dari mobil Mas Ray.Aku pun menoleh, ternyata ada Nadya yang memanggilku. Arya dan Adiva juga sudah sampai. Mereka sedang asyik mengunyah sesuatu. Kemudian Arya mendekati mobil, dan mengambil barang-barang yang tadi dibawa."Halo sayang, kapan nyampenya?" tanyaku sambil memeluknya."Kemarin sore, Te." Aku pun melepaskan pelukannya."Halo Om Ray," sapa Nadya sambil menyalami Mas Ray."Halo juga," sahut Mas Ray."Makan seblak, Om," tawar Adiva."Kok hanya Om saja yang ditawari, Ibu nggak ditawari ya?" kataku."Nanti kalau Ibu ditawari, pasti Ibu ikut mencicipi terus ngomel-ngomel," sahut Adiva sambil cengengesan.Mas Ray tertawa mendengarkan kata-kata Adiva."Memang Ibu suka ngomel-ngomel?" tanya Mas Ray."Iya, Om. Kalau ngomel panjang kayak kereta api dengan kecepatan cahaya."Mas Ray se
"Mbak, kok kayaknya Mbak sedang sakit ya? Kok pucat sekali." Aku berkata pada Mbak Hani, karena dari tadi aku melihat wajahnya tampak berbeda. Badannya juga ada yang berbeda, semakin mengecil saja walaupun ia tutupi dengan menggunakan pakaian yang agak besar."Aku nggak sakit, kok, Num. Hanya kurang tidur saja. Entah kenapa sekarang susah sekali untuk tidur, menjelang subuh baru terasa mengantuk," jawab Mbak Hani. Ia tampak gelagapan menjawab pertanyaan ku, tapi kemudian ia bisa menguasai diri."Ya kalau menjelang subuh mengantuk, tidur saja Mbak. Yang penting kan kualitas tidur daripada kuantitas tidur. Lama tidur tidak menjamin kualitas tidur kita bagus." Aku memberikan saran untuknya, berdasarkan apa yang pernah aku baca.Mbak Hani menganggukkan kepalanya."Bener Mbak nggak sakit? Hari Senin Hanum antar berobat ke rumah sakit, ya?" tanyaku lagi, karena aku sangat penasaran. Aku yakin kalau Mbak Hani menyembunyikan sesuatu."Benar kok, Num. Nggak usah terlalu memikirkanku. Pikirkan
"Bu, Om Ray dan keluarganya sudah datang. Kata Akung, Ibu di suruh ke depan," kata Adiva yang masuk ke ruangan."Iya, sebentar.""Wah, Ibu ternyata cantik ya?" puji Adiva."Terima kasih, sayang.""Ayo, kita keluar," kata Mbak Hani.Aku beranjak dari duduk dan berjalan keluar dari kamar."Adiva, gandeng ibumu ya?" kata Mbak Hani."Iya, Bude." Adiva pun menggandengku menuju ke tempat akad akan berlangsung. Semua mata tertuju padaku, aku jadi malu. Ternyata lumayan banyak juga keluarga Mas Ray yang datang. Penghulu memintaku untuk duduk di sebelah Mas Ray, yang hari ini tampak gagah dengan setelan jas warna gelap."Cantik," bisik Mas Ray sambil tersenyum, ketika aku sudah duduk di sampingnya. Aku hanya tersenyum. Kulihat ada Mama yang sedang tersenyum padaku.Acara pun dimulai. Ada tetangga yang bertindak sebagai pembawa acara, menjelaskan acara yang akan dilakukan hari ini, tentu saja dengan sedikit basa-basi. Kemudian acara diambil alih oleh penghulu. Dimulai dengan pembukaan, selanjut
Selesai makan siang, aku membantu Mbak Hani membereskan meja makan. Tentu saja dibantu oleh Adiva dan Nadya. Rumah sudah dalam kondisi bersih, dan persis seperti semula. Seolah-olah tadi tidak ada acara penting.Mas Hanif dan Mbak Sarah pun berpamitan pulang karena anak bungsunya sudah rewel."Hanum, Ray, Mas pulang dulu. Selamat berbahagia." Mas Hanif berpamitan padaku dan Mas Ray. Mas Hanif memelukku."Jangan cemburu ya, Ray. Hanum ini walau sudah tua kelakuannya sama kayak Adiva," seloroh Mas Hanif.Mas Ray hanya tertawa."Kalau Mbak Sarah sudah kebal ya dengan manjanya Hanum," ledek Mas Ray."Sudah sangat kebal dan nggak ada yang perlu dikhawatirkan." Mbak Sarah menjawab sambil tersenyum.Mereka pun berpamitan pada Bapak, Ibu dan Mbak Hani. Arya membawakan beberapa kantong makanan untuk Mas Hanif sekeluarga, dan memasukkan ke dalam mobil. Akhirnya Mas Hanif dan keluarga sudah pulang. "Arya, Adiva, nanti setelah asar kita pulang ya?" kataku pada anak-anak."Enggak, Bu. Kami disini
"Mas, bangun. Mandi sana." Aku membangunkan Mas Ray.Mas Ray hanya menggeliat saja."Mas, bangun," kataku sambil menggoyangkan badannya.Mas Ray pun membuka matanya. "Sudah mandi?""Sudah, sekarang gantian Mas yang mandi. Habis itu salat berjamaah."Mas Ray tersenyum kemudian beranjak dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi. Aku bersiap untuk melaksanakan salat magrib berjamaah. Sambil menunggu Mas Ray selesai mandi, aku mengenakan mukena. Azan magrib berkumandang. Mas Ray sudah keluar dari kamar dan mengenakan sarung dan pakaian rapi, bersiap untuk salat. Kami salat di ruang salat, semacam musola kecil di sebelah ruang makan.Selesai salat dan berdoa, aku pun mencium tangannya dan Mas Ray mencium keningku. "Mas, mau makan sekarang atau nanti?" tanyaku."Nanti sajalah. Masih kenyang. Tolong bikinkan kopi hitam ya?""Nanti nggak bisa tidur, Mas," ledekku."Memang sengaja enggak tidur, mau begadang semalaman. Melakukan sesuatu," jawab Mas Ray sambil tersenyum.Aku hanya tersenyum
"Sesudah ini, Mas nggak mau lagi melihatmu menangis karena masa lalu. Ingat Sayang, kamu sudah bersama Mas. Kita berjuang untuk masa depan kita dan anak-anak."Aku mengangguk. Mas Ray bercerita untuk mengalihkan kesedihanku. Tak terasa akhirnya sampai juga di rumah Mas Ray. Anak-anak sudah datang duluan. Barang-barang pun diturunkan dan dimasukkan ke kamar anak-anak. Siti dan suaminya ikut membantu membereskan barang-barang. "Mbak, biarlah nanti anak-anak yang membereskan barangnya sendiri. Yang penting sudah ada di kamarnya," kataku pada Siti."Tapi nanti mereka kecapekan, Bu.""Enggak. Mereka sudah terbiasa mengurus barangnya sendiri. Biar mereka menyusun sesuai dengan keinginan mereka."Siti mengangguk. "Sayang, ayo kita ke rumah Papa. Makan siang disana. Arya dan Adiva suruh siap-siap." Mas Ray mengingatkanku akan janji kami pada Mama.Aku meminta anak-anak untuk bersiap-siap. Kami pun berangkat ke rumah Papa. Tidak butuh waktu lama untuk sampai disana."Kirain nggak jadi kesin
Azan subuh berkumandang, aku segera beranjak dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi untuk mandi wajib. Namanya pengantin baru, setiap malam lembur terus hihi. Setelah salat subuh aku segera menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anak.Hari ini Mas Ray sudah mulai masuk kerja, kalau aku masih libur. Aku ke kamar mencari Mas Ray untuk mengajaknya sarapan. Kulihat Mas Ray ketiduran setelah mandi dan salat subuh tadi. Akhirnya aku kembali ke ruang makan, kulihat anak-anak sudah bersiap untuk sarapan."Mana Papa, Bu?" tanya Lea.Lea memang memanggilku Ibu, Arya dan Adiva memanggil Mas Ray, Papa. Jadi panggilan anak-anak kepada kami yaitu Papa dan Ibu."Papa ketiduran, kalian sarapan saja dulu, nanti biar Papa menyusul," jawabku.Anak-anak pun sarapan, aku menunggu mereka sambil mendengarkan celotehan mereka. Semoga mereka selalu akur sampai mereka dewasa dan berkeluarga nanti. Setelah anak-anak selesai, mereka pun berangkat sekolah. Aku membereskan makanan yang tersisa di meja, kem