Alana masuk ke kamarnya, tubuhnya lemas. Rasa malu dan penyesalan menyelimuti hatinya. Bayangan ancaman Darren untuk melaporkannya ke polisi terus menghantuinya. Dia tidak bisa membayangkan dirinya menghabiskan sisa hidupnya di balik jeruji besi."Aku ... aku akan sangat sengsara," gumamnya, air matanya kembali mengalir deras.Alana menangis sejadi-jadinya. Dia tidak keluar untuk makan malam. Rasa putus asa dan ketakutan menggerogoti hatinya. Dia merasa sangat sendirian, kehilangan cinta Darren dan dukungan ibunya.•Keesokan paginya, Alana terbangun dengan tubuh yang panas. Dia demam. Ternyata, tangisannya semalam telah membuatnya kelelahan dan jatuh sakit."Ma ...," panggilnya dengan suara serak, berusaha bangkit dari tempat tidur.Rahayu langsung masuk ke kamarnya, wajahnya khawatir. "Nak, kamu kenapa?!""Aku ... aku tidak enak badan, Ma," jawab Alana, tubuhnya gemetar.Rahayu mengelus kening Alana. "Kamu harus istirahat. Mama akan panggil dokter."Alana hanya bisa mengangguk lemah
Mobil memasuki halaman rumah. Darren memarkirkan mobil dengan hati-hati, lalu menoleh ke arah Nadia."Sayang, sudah sampai," kata Darren. "Mau dibantu?"Nadia tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. "Tidak usah, Kak. Aku bisa sendiri."Nadia turun dari mobil, lalu dengan cekatan membopong mangga mudanya ke dalam rumah. Darren tercengang melihat istrinya yang biasanya kesulitan berjalan dengan kruk, kini dengan mudah membopong tumpukan mangga."Sayang, hati-hati," kata Darren, sedikit khawatir. "Jangan terlalu berat."Nadia hanya tersenyum. "Tidak apa-apa, Kak. Aku kuat."Nadia masuk ke dalam rumah, lalu menuju ke balkon kamarnya. Dia duduk di kursi rotan, lalu melanjutkan memakan mangga mudanya sambil menikmati pemandangan di luar.Darren mengikuti Nadia dari belakang. Dia memperhatikan istrinya yang begitu lahap memakan mangga muda. Dia merasa heran. Dia tidak mengerti apa yang terjadi pada Nadia."Sayang," kata Darren lagi. "Kamu tidak merasa aneh? Kamu biasanya sangat anti dengan
Di tengah kebahagiaan Darren dan Nadia, Alana terbaring lemah di kamarnya. Demamnya tidak kunjung turun, tubuhnya terasa panas dan lemas. Air mata mengalir deras di pipinya, membasahi bantal."Ma ...," lirih Alana, suaranya serak. "Sepertinya badanku semakin lemas."Rahayu duduk di samping tempat tidur, tangannya mengelus kening Alana yang panas. "Nak, kamu harus istirahat. Dokter sudah memberikan suntikan dan obat.""Ma, aku takut," lirih Alana, suaranya bergetar. "Aku tidak ingin sakit terus."Rahayu memeluk Alana erat. "Tidak apa-apa, Nak. Mama di sini. Mama akan selalu menjaga kamu."Semakin malam, Rahayu melihat kondisi Alana yang semakin memburuk. Demamnya tidak kunjung turun, tubuhnya semakin lemas. Dia khawatir jika penyakit Alana semakin parah."Nak, kita ke rumah sakit saja, ya," kata Rahayu. "Mama khawatir."Alana menggeleng. "Tidak usah, Ma. Aku tidak ingin ke rumah sakit.""Nak, kamu harus ke rumah sakit," kata Rahayu tegas. "Mama khawatir kamu sakit parah."Alana tidak b
Pintu ruangan terbuka, memperlihatkan Alana terbaring lemah di ranjang. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi keningnya. Rudi langsung menghampiri putrinya, tangannya mengelus lembut rambut Alana."Nak, kamu kenapa? Kenapa kamu sakit?" tanyanya suaranya bergetar.Alana mengerang lemah, matanya terpejam. "Pa ...," lirihnya, suaranya serak. Rudi mendekatkan wajahnya ke telinga Alana. "Kamu kenapa, Nak? Cerita sama Papa.""Aku ... aku sakit perut, Pa," jawab Alana, suaranya terengah-engah. "Asam lambungku kambuh."Rudi menghela napas. Dia merasa sangat khawatir dengan kondisi putrinya. Dia tidak mau peduli dengan kejahatan Alana yang sudah memporak-porandakan kebahagiaan rumah tangga Darren dan Nadia. Dia akan membela Alana meskipun putrinya salah sekalipun."Mama dan Papa di sini, Nak. Kami akan selalu menjaga kamu. Jangan khawatir, ya," kata Rahayu, sambil mengelus lembut tangan Alana.Rudi mengelus lembut rambut Alana, matanya berkaca-kaca. "Nak, sudahlah. Lupakan Darren saja. Di
Sinar matahari pagi menerobos celah gorden, menyapa Nadia yang masih terbaring lemah di ranjang. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi keningnya. Perutnya yang baru berumur satu bulan terasa seperti gunung berapi yang siap meletus. Sejak semalam, Nadia terus muntah-muntah hebat setelah pulang dari dokter. "Kak ... aku ... aku mual ...." Nadia meringkuk di ranjang, suaranya lemah. Darren yang baru saja selesai menyiapkan sarapan untuk istrinya, segera menghampiri Nadia. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Sayang, apa yang kamu rasakan?" "Aku mual dan pusing ...." Nadia terisak, "Aku ... aku tidak kuat ...." Darren mengelus lembut rambut Nadia, "Tenang, sayang, aku di sini. Sebentar lagi sarapan siap. Makanlah sedikit, ya?" "Aku ... aku tidak bisa makan ...." Nadia menggeleng lemah, "Aku .... aku hanya ingin muntah." Darren langsung menggendong Nadia dan membawanya ke kamar mandi. Dia membantu Nadia membersihkan mulutnya dan mengusap air mata yang mengalir di pipi Nadia. "Saya
Darren membuka aplikasi pesan makanan online, dia membeli beberapa menu favorit istrinya. Daripada harus memikirkan ayam cemani yang membuatnya pusing, karena mustahil ayam itu diubah menjadi putih.Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya pesanan makanannya telah sampai. Darren kembali mengetuk pintu kamar, beruntung kali ini tidak lama kemudian Nadia keluar sambil menenteng satu kantong plastik berisi kulit mangga. "Kamu baru makan mangga, Nad?" Darren menatap penuh selidik, sementara istrinya hanya mengangguk tanpa rasa bersalah sama sekali. "Perutmu masih kosong, kenapa langsung diisi mangga? Ini mangga muda lagi, gimana kalau perih?""Nggak perih, kok, Kak. Aman-aman saja perutku, setelah ini aku mau minum susu biar nggak iritasi lambung." Nadia berjalan melenggang meninggalkan Darren yang masih berdiri mematung di depan kamar, menatap nanar punggung istrinya yang semakin menjauh. "Aneh-aneh saja dia," gumamnya, lantas mengikuti langkah istrinya yang kini menuju dapur. Nadia
Kediaman Rudi.Alana baru saja pulang ke rumah setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, dia langsung diantarkan naik ke kamar oleh mamanya, diminta untuk beristirahat sejenak sambil menunggu makan siang. "Tapi aku nggak bisa tidur, Ma," keluh Alana."Buat merem aja, Nak. Sebentar lagi makan siang, nanti kamu minum obat setelahnya. Mungkin setelah itu baru terasa ngantuk," sahut Rahayu, kini mendudukkan dirinya di samping Alana sambil mengelus lembut rambut putrinya. "Mama minta tolong untuk saat ini jangan dekati Darren lagi, kita beri mereka waktu. Takutnya kalau kita terlalu kentara gencar mencari masalah, Darren semakin kesal dan terus-menerus menyerang kamu. Ini mumpung videonya belum tersebar lagi, sambil nunggu Mama dapat ide buat dapetin kameranya."Alana mengurutkan kening mendengar penjelasan panjang mamanya. "Kita nggak jadi masuk ke rumahnya Darren?""Nggak!" Rahayu langsung menggeleng. "Rencana itu sangat beresiko, Nak. Di sana tersebar CCTV, kamu ingat s
Darren baru saja selesai menjalankan meeting, pria itu menemui Jacob di ruangannya yang masih mengecek beberapa dokumen."Bagaimana menurutmu? Apa aku bongkar saja? Alana sudah sangat keterlaluan, dia bahkan membuat Nadia masuk rumah sakit. Kalau dibiarkan terus, bisa-bisa dia semakin nekat nanti," kata Darren, mencoba meminta saran kepada asisten pribadinya. "Bagaimana dengan video itu, Pak? Kenapa Anda tidak menyebarkannya lagi?" Darren menggeleng. "Tidak. Aku berencana akan menunjukkan videonya kepada Kakek, lagian sebentar lagi akan ada pertemuan besar di keluarga Kakek. Nanti juga akan hadir keluar dari Alana, aku akan membongkar semuanya di sana. Jadi, semua orang akan langsung tahu dan Kakek sendiri yang akan memutuskan hukuman untuk keluarga Om Rudi."Dia sebenarnya lelah sekali dan ingin segera mengakhiri semuanya, tetapi dia tahu semuanya tidak bisa berjalan instan. Ada banyak jalan yang harus ditempuh."Kapan acaranya, Pak?" tanya Jacob, penasaran."Dua minggu lagi. Kamu