Sinar matahari pagi menerobos celah gorden, menyapa Nadia yang masih terbaring lemah di ranjang. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi keningnya. Perutnya yang baru berumur satu bulan terasa seperti gunung berapi yang siap meletus. Sejak semalam, Nadia terus muntah-muntah hebat setelah pulang dari dokter. "Kak ... aku ... aku mual ...." Nadia meringkuk di ranjang, suaranya lemah. Darren yang baru saja selesai menyiapkan sarapan untuk istrinya, segera menghampiri Nadia. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Sayang, apa yang kamu rasakan?" "Aku mual dan pusing ...." Nadia terisak, "Aku ... aku tidak kuat ...." Darren mengelus lembut rambut Nadia, "Tenang, sayang, aku di sini. Sebentar lagi sarapan siap. Makanlah sedikit, ya?" "Aku ... aku tidak bisa makan ...." Nadia menggeleng lemah, "Aku .... aku hanya ingin muntah." Darren langsung menggendong Nadia dan membawanya ke kamar mandi. Dia membantu Nadia membersihkan mulutnya dan mengusap air mata yang mengalir di pipi Nadia. "Saya
Darren membuka aplikasi pesan makanan online, dia membeli beberapa menu favorit istrinya. Daripada harus memikirkan ayam cemani yang membuatnya pusing, karena mustahil ayam itu diubah menjadi putih.Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya pesanan makanannya telah sampai. Darren kembali mengetuk pintu kamar, beruntung kali ini tidak lama kemudian Nadia keluar sambil menenteng satu kantong plastik berisi kulit mangga. "Kamu baru makan mangga, Nad?" Darren menatap penuh selidik, sementara istrinya hanya mengangguk tanpa rasa bersalah sama sekali. "Perutmu masih kosong, kenapa langsung diisi mangga? Ini mangga muda lagi, gimana kalau perih?""Nggak perih, kok, Kak. Aman-aman saja perutku, setelah ini aku mau minum susu biar nggak iritasi lambung." Nadia berjalan melenggang meninggalkan Darren yang masih berdiri mematung di depan kamar, menatap nanar punggung istrinya yang semakin menjauh. "Aneh-aneh saja dia," gumamnya, lantas mengikuti langkah istrinya yang kini menuju dapur. Nadia
Kediaman Rudi.Alana baru saja pulang ke rumah setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, dia langsung diantarkan naik ke kamar oleh mamanya, diminta untuk beristirahat sejenak sambil menunggu makan siang. "Tapi aku nggak bisa tidur, Ma," keluh Alana."Buat merem aja, Nak. Sebentar lagi makan siang, nanti kamu minum obat setelahnya. Mungkin setelah itu baru terasa ngantuk," sahut Rahayu, kini mendudukkan dirinya di samping Alana sambil mengelus lembut rambut putrinya. "Mama minta tolong untuk saat ini jangan dekati Darren lagi, kita beri mereka waktu. Takutnya kalau kita terlalu kentara gencar mencari masalah, Darren semakin kesal dan terus-menerus menyerang kamu. Ini mumpung videonya belum tersebar lagi, sambil nunggu Mama dapat ide buat dapetin kameranya."Alana mengurutkan kening mendengar penjelasan panjang mamanya. "Kita nggak jadi masuk ke rumahnya Darren?""Nggak!" Rahayu langsung menggeleng. "Rencana itu sangat beresiko, Nak. Di sana tersebar CCTV, kamu ingat s
Darren baru saja selesai menjalankan meeting, pria itu menemui Jacob di ruangannya yang masih mengecek beberapa dokumen."Bagaimana menurutmu? Apa aku bongkar saja? Alana sudah sangat keterlaluan, dia bahkan membuat Nadia masuk rumah sakit. Kalau dibiarkan terus, bisa-bisa dia semakin nekat nanti," kata Darren, mencoba meminta saran kepada asisten pribadinya. "Bagaimana dengan video itu, Pak? Kenapa Anda tidak menyebarkannya lagi?" Darren menggeleng. "Tidak. Aku berencana akan menunjukkan videonya kepada Kakek, lagian sebentar lagi akan ada pertemuan besar di keluarga Kakek. Nanti juga akan hadir keluar dari Alana, aku akan membongkar semuanya di sana. Jadi, semua orang akan langsung tahu dan Kakek sendiri yang akan memutuskan hukuman untuk keluarga Om Rudi."Dia sebenarnya lelah sekali dan ingin segera mengakhiri semuanya, tetapi dia tahu semuanya tidak bisa berjalan instan. Ada banyak jalan yang harus ditempuh."Kapan acaranya, Pak?" tanya Jacob, penasaran."Dua minggu lagi. Kamu
Mentari sore mulai meredup, menorehkan warna jingga keemasan di langit Jakarta. Cahaya redup itu menerobos jendela kaca kantor Darren, menerangi meja kerja Jacob yang masih sibuk dengan tumpukan dokumen. Keringat tipis menetes di pelipisnya, seiring dengan detak jantungnya yang berdebar kencang."Selesai, Pak," ucap Jacob, meletakkan berkas tebal di atas meja Darren. "Surat untuk membeli saham di perusahaan Pak Rudi sudah siap."Darren mengangkat wajahnya, matanya tajam dan penuh tekad. Ia meraih berkas itu, menelusuri setiap halaman dengan seksama. Senyum tipis mengembang di bibirnya, menampakkan deretan gigi putih yang sedikit menonjol."Bagus, Jacob. Kamu memang asisten terbaik yang pernah kumiliki," puji Darren, suaranya terdengar dingin namun penuh makna. "Sekarang, kita tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan serangan."Jacob mengangguk, mencoba menyembunyikan kekhawatiran yang mulai merayap di hatinya. Ia tahu, perjuangan ini tidak akan mudah. Sunggu
Cahaya temaram lampu meja makan menerangi wajah Alana yang kini sudah terlihat lebih segar. Warna merah muda kembali merona di pipinya, menandakan bahwa kesehatannya sudah mulai pulih. Ia menikmati sepiring nasi goreng yang disiapkan oleh maid."Nak, makanlah yang banyak. Kamu harus cepat sehat," kata Rahayu, suaranya terdengar lembut, tetapi penuh dengan kepuasan.Alana mengangguk, menelan sesuap nasi goreng dengan lahap. Ia tersenyum sinis, membayangkan Nadia yang sedang berjuang untuk menyelamatkan butiknya."Ma, aku senang sekali. Wilda sudah menjalankan tugas pertamanya dengan sangat baik," ucap Alana, suaranya berbisik penuh kemenangan.Rahayu terbahak-bahak, menatap Alana dengan penuh kekaguman. "Bagus sekali, Nak. Wilda memang anak yang pintar dan pekerja keras. Dia tidak akan mengecewakan kita.""Ma, aku yakin butik Nadia akan segera bangkrut. Dia pasti akan kehilangan semua pelanggannya," kata Alana, suaranya penuh kepuasan.Rahayu tertawa sinis, "Ten
Mentari pagi menyinari butik dengan hangat. Darren duduk di sofa empuk di sudut ruang manager, menunggu Nadia yang sedang melayani tamu pertama yang membawa rejeki ke butik ini. Ia mengamati Nadia dari layar laptop, di sana terputar rekaman CCTV. Netranya menatap dengan penuh kekaguman, menikmati kecantikan dan kelembutan istrinya dalam menjamu tamu."Istriku memang bisa diandalkan," gumamnya.Tidak lama kemudian, Nadia sudah masuk ke ruangan manager. Mendudukkan diri di sofa panjang nan empuk, sebelah suaminya."Syukurlah, Kak. Aku sebenernya takut kalau tamu kemarin kasih rating buruk dan mempengaruhi butik kita, tapi sepertinya itu hanya kekhawatiranku saja. Aku sangat senang ada tamu yang langsung datang saat kita baru buka butik, Kak," kata Nadia, sambil menyandarkan kruknya pada meja.Darren mengulas senyum. "Sudah aku bilang, Nad. Saat ada aku, jangan khawatirkan apa pun."Nadia terkekeh, sudah sedikit bisa melupakan kegundahannya kemarin."Kita cek bareng aja, ya, CCTV-ny
Wilda melangkah keluar dari ruang manager, kakinya terasa lemas. Tatapan Darren yang tajam masih terbayang di benaknya, menyeramkan. Ia merasa terjebak dalam permainan yang berbahaya, dan takut akan konsekuensinya.Sesaat kemudian, ponselnya bergetar. Pesan teks dari Alana muncul di layar.[Wilda, kamu harus menjebak Nadia. Rekam dia saat dia sedang melakukan kesalahan. Aku akan memberikanmu uang tambahan jika kamu berhasil. Ingat, kamu harus melakukan ini.]Jari-jari Wilda gemetar, membaca pesan itu. Ia merasa tertekan, diperangkap dalam situasi yang sulit. Ia tidak ingin terlibat lebih jauh, tapi takut akan konsekuensi jika menolak."Apa yang harus kulakukan?" gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar.Ia melihat ke arah ruangan manager, di mana Darren dan Nadia masih berada. Ia tahu, Darren tidak akan segan-segan untuk melaporkan dirinya ke polisi jika mengetahui kebenarannya."Aku tidak bisa melakukan ini," batinnya, merasa tertekan. "Aku tidak ingin masuk pe