Alana melangkah masuk ke dalam mobilnya, menghentakkan pintu dengan kasar. Air mata kembali menetes membasahi pipinya. Dia kecewa dengan sikap Brata. Dia merasa tidak adil diperlakukan seperti itu."Dasar kakek tua!" maki Alana, matanya memancarkan amarah. "Kau hanya membela Darren, kau tidak peduli padaku!"Sopir melajukan mobilnya meninggalkan kawasan kediaman Brata . Pikirannya kacau. Hatinya mendidih karena amarah. Dia ingin melampiaskan kekesalannya.Tiba-tiba, mobilnya berhenti di depan sebuah toko kue favoritnya. Ya, sopir keluarga yang sudah bekerja semenjak dirinya masih kecil itu tahu bahwa jika suasana hatinya sedang bersedih, maka toko kue adalah tempat favorit untuk melampiaskan amarah. Alana langsung masuk ke dalam toko setelah mengucapkan terima kasih kepada sopir, matanya tertuju pada berbagai kue lezat yang dipajang di etalase."Aku butuh sesuatu yang manis," gumam Alana, lalu mengambil beberapa kue dan memasukkannya ke dalam keranjang.Matanya kemudian te
Mentari sore mulai meredup, menandakan waktu pulang bagi para pekerja. Darren, dengan setelan jas rapi dan wajah lelah, melangkah masuk ke dalam rumahnya."Nadia?" panggilnya, suaranya sedikit serak karena kelelahan. Namun, tidak ada jawaban.Darren mengerutkan kening, heran. Biasanya, Nadia selalu menyambutnya dengan senyuman hangat dan segelas teh hangat. Namun, sore ini, rumah terasa sunyi senyap."Nadia?" panggilnya lagi, kali ini suaranya sedikit lebih keras.Tetap saja, tidak ada jawaban. Darren mulai merasa tidak tenang."Ke mana Nadia?" gumamnya, sambil berjalan mengitari rumah.Dia memeriksa setiap ruangan, tetapi tidak menemukan Nadia. "Nadia, di mana kamu?" panggilnya lagi.Dia berjalan ke luar rumah, memeriksa sekeliling halaman. Namun, tetap saja, tidak ada tanda-tanda keberadaan Nadia."Nadia, tolong jawab aku!" teriak Darren, suaranya bercampur dengan rasa cemas yang semakin menggerogoti hatinya.Biasanya istrinya selalu menghabiskan waktu
Darren terus duduk di samping ranjang Nadia, menunggu dengan perasaan cemas. Tiba-tiba, Nadia menggerakkan kelopak matanya. "Kak ...?" gumamnya, suaranya lemah.Darren langsung bangkit dari duduknya, matanya berkaca-kaca. "Nadia, kamu sudah sadar?" tanyanya, suaranya bergetar.Nadia mengangguk lemah, "Aku haus," gumamnya.Darren langsung mengambil segelas air yang ada di meja samping ranjang, lalu membantu Nadia untuk minum."Bagaimana keadaanmu, Nad?" tanya Darren, dengan penuh perhatian."Aku masih sangat lemas dan pusing berkunang-kunang," jawab Nadia."Tenang, Nad. Kamu sudah di rumah sakit. Dokter juga sudah memeriksa kamu," kata Darren, sambil mengelus rambut Nadia dengan lembut.Nadia mengangguk lemah, "Terima kasih, Kak," gumamnya.Darren terus duduk di samping ranjang Nadia, menunggu kembali dokter datang untuk memeriksa Nadia. Dia berharap, semoga saja, istrinya segera pulih dan kembali sehat seperti sedia kala.Darren sengaja tidak memencet to
Keesokan harinya, dokter datang untuk menemui Darren dan Nadia."Hasil cek darah dan cek laboratorium tentang kandungan kue sudah keluar," kata dokter."Bagaimana hasilnya, Dokter?" tanya Darren, dengan rasa penasaran."Terdapat obat pencahar di kue tersebut," jawab dokter. "Dan kandungan obatnya sudah menyebar ke seluruh darah pasien. Tapi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena kami sudah memberi obat penawarnya, Pak. Dari observasi, kondisi pasien juga semakin membaik. Itu artinya, obatnya sudah berhasil menangkal efek dari pencaharnya.""Obat pencahar?!" tanya Darren."Ya, obat pencahar," jawab dokter. "Dan kandungan obatnya cukup tinggi.""Dokter, apakah obat pencahar itu berbahaya?" tanya Nadia, dengan rasa khawatir."Obat pencahar memang aman jika dikonsumsi sesuai dosis," jawab dokter. "Namun, jika diberikan dalam dosis tinggi seperti yang ada di kue tersebut, bisa membuat iritasi pada lambung dan usus. Awalnya Anda pasti diare berat, lalu lemas dan dehidr
Darren langsung datang ke perusahaan Alana setelah petugas dari toko kue tersebut pulang diantarkan oleh Jacob, dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi, khawatir sepupunya itu kembali merencanakan sesuatu yang jahat kepada Nadia.Udara di ruangan kerja Alana terasa dingin, seakan membeku oleh aura kemarahan yang terpancar dari sosok Darren yang berdiri di ambang pintu. Tatapannya tajam, menusuk, seolah ingin menembus kedalaman jiwa Alana. Raut wajahnya yang biasanya ramah dan hangat kini berubah menjadi tegas, penuh amarah yang terpendam."Alana," sapa Darren dengan suara dingin, tak ramah seperti biasanya.Alana tersentak, kaget melihat kedatangan Darren yang tak terduga. Senyum yang baru saja mengembang di bibirnya langsung memudar, digantikan oleh raut wajah terkejut dan sedikit gugup."Darren, ada apa kamu datang ke sini?" tanyanya, berusaha bersikap tenang meski jantungnya berdebar kencang.Darren melangkah masuk, mendekat ke meja kerja Alana. Tatapannya masih tajam, tak berke
Darren melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, jalan raya yang biasanya ramai terasa sepi di matanya. Pandangannya kosong, menatap lurus ke depan, seolah-olah tidak melihat apa pun yang ada di sekitarnya."Sialan!" umpatnya, suaranya bergetar karena amarah. "Kenapa dia harus melakukan itu?""Apa dia tidak tahu bahwa aku sudah menikahi Nadia? Apa dia tidak tahu bahwa aku bahagia dengan Nadia?" gumamnya, suaranya penuh kekecewaan."Aku tidak mengerti," lanjutnya, suaranya terdengar putus asa. "Kenapa dia harus menghancurkan hidupku dan Nadia?"Darren menggeram, mencengkeram kemudi dengan kuat. "Aku tidak akan membiarkan dia lolos," gumamnya, suaranya penuh tekad. Aku akan berbalik menghancurkan hidupnya. Aku tidak akan membiarkan dia menghancurkan hidupku dan Nadia," Darren menghela napas panjang, mencoba menenangkan amarahnya. Namun, seolah-olah amarah itu semakin membara di dalam dirinya."Aku tidak akan pernah memaafkannya!"Darren menggeram lagi, mencengke
Alana masuk ke kamarnya, tubuhnya lemas. Rasa malu dan penyesalan menyelimuti hatinya. Bayangan ancaman Darren untuk melaporkannya ke polisi terus menghantuinya. Dia tidak bisa membayangkan dirinya menghabiskan sisa hidupnya di balik jeruji besi."Aku ... aku akan sangat sengsara," gumamnya, air matanya kembali mengalir deras.Alana menangis sejadi-jadinya. Dia tidak keluar untuk makan malam. Rasa putus asa dan ketakutan menggerogoti hatinya. Dia merasa sangat sendirian, kehilangan cinta Darren dan dukungan ibunya.•Keesokan paginya, Alana terbangun dengan tubuh yang panas. Dia demam. Ternyata, tangisannya semalam telah membuatnya kelelahan dan jatuh sakit."Ma ...," panggilnya dengan suara serak, berusaha bangkit dari tempat tidur.Rahayu langsung masuk ke kamarnya, wajahnya khawatir. "Nak, kamu kenapa?!""Aku ... aku tidak enak badan, Ma," jawab Alana, tubuhnya gemetar.Rahayu mengelus kening Alana. "Kamu harus istirahat. Mama akan panggil dokter."Alana hanya bisa mengangguk lemah
Mobil memasuki halaman rumah. Darren memarkirkan mobil dengan hati-hati, lalu menoleh ke arah Nadia."Sayang, sudah sampai," kata Darren. "Mau dibantu?"Nadia tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. "Tidak usah, Kak. Aku bisa sendiri."Nadia turun dari mobil, lalu dengan cekatan membopong mangga mudanya ke dalam rumah. Darren tercengang melihat istrinya yang biasanya kesulitan berjalan dengan kruk, kini dengan mudah membopong tumpukan mangga."Sayang, hati-hati," kata Darren, sedikit khawatir. "Jangan terlalu berat."Nadia hanya tersenyum. "Tidak apa-apa, Kak. Aku kuat."Nadia masuk ke dalam rumah, lalu menuju ke balkon kamarnya. Dia duduk di kursi rotan, lalu melanjutkan memakan mangga mudanya sambil menikmati pemandangan di luar.Darren mengikuti Nadia dari belakang. Dia memperhatikan istrinya yang begitu lahap memakan mangga muda. Dia merasa heran. Dia tidak mengerti apa yang terjadi pada Nadia."Sayang," kata Darren lagi. "Kamu tidak merasa aneh? Kamu biasanya sangat anti dengan
Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya
Malam itu, udara dingin menusuk tulang. Darren dan Nadia berjalan beriringan menuju kediaman Rudi, om Darren yang terkenal kejam. Nadia melangkah dengan hati-hati, tulang pahanya masih terasa nyeri setelah operasi pelepasan pen."Kamu yakin mau ke sini?" tanya Darren, sedikit ragu."Iya, sekadar berbela sungkawa sebentar."Sesampainya di depan rumah Rudi, mereka mendengar suara teriakan yang nyaring. Suara itu berasal dari dalam rumah, terdengar seperti jeritan orang kesakitan. Nadia mengernyit, jantungnya berdebar kencang."Itu suara Om Rudi," bisik Darren.Mereka mengintip dari balik jendela. Di dalam, Rudi tampak seperti orang gila, berteriak-teriak histeris. "Mama ... Ma! Kembalilah padaku, Ma. Aku mohon jangan tinggalkan Papa ...!" teriaknya histeris, memeluk foto mendiang istrinya.Nadia merasa iba melihat Rudi yang terpuruk. "Kasian, dia kayak orang kehilangan akal," gumamnya.Darren hanya diam, matanya menatap Rudi dengan dingin. "Karma," gumamnya pelan, "Karma atas semua keja
Beberapa jam berlalu. Nadia terbangun dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat bius. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada Darren yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lesu. Nadia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di perutnya membuatnya kembali terbaring."Kak ...," lirih Nadia, suaranya serak dan bergetar.Darren langsung mendekat, memegang tangan Nadia dengan lembut. "Sayang, kamu udah bangun? Kamu masih sakit?"Nadia menggeleng lemah. "Sudah nggak terlalu."Darren tidak menjawab, hanya mengelus lembut rambut istrinya. Membuat Nadia berpikir macam-macam, tak biasanya suaminya murung."Kak, apa semua baik-baik saja? Ada masalah, sampai kamu murung begitu?" tanya Nadia, sambil tangannya perlahan menekan perut meredam rasa nyeri.Darren menarik napas dalam-dalam. "Iya, Sayang. Maaf membuatmu khawatir.""Ada apa?"Darren sebenarnya belum ingin cerita, tetapi Nadia sudah terlanjur curiga. "Kakek meninggal be
Darren melangkah gontai memasuki ruangan rumah sakit tempat Nadia dirawat. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, setelah melakukan tindakan brutal terhadap Rahayu. Sayangnya, saat ia melihat wajah Nadia yang pucat dan terbaring lemah, rasa bersalah kembali menyergapnya."Sayang," lirih Darren, tangannya meraih tangan Nadia yang dingin. "Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah Tante Rahayu mengirimkan pesan itu, sehingga membuat pikiranmu terganggu."Namun, sebelum Darren bisa melanjutkan kata-katanya, bodyguard-nya, datang menghampiri. Wajahnya tampak muram, matanya berkaca-kaca."Tuan, ada kabar buruk," ucap Ryan, suaranya bergetar menahan tangis. "I-ini menyangkut Tuan Besar.""Apa?" tanya Darren, jantungnya berdebar kencang."Tuan Besar telah meninggal dunia, Dokter mengabarkan dua puluh menit yang lalu, dan saat ini jenazahnya masih ada di ICU karena menunggu Tuan," ucap Ryan, suaranya tercekat.Darren terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Ia tak
Darren melangkah tegap menuju kantornya, meninggalkan kekacauan di Atmajaya. Ia tak peduli dengan perusahaan yang kini terancam bangkrut, tak peduli dengan kekhawatiran staf-staf Atmajaya tadi, dan tak peduli dengan nasib Rudi. Ia memasuki ruangannya, sebuah ruangan mewah dengan pemandangan kota dari jendela besar. Namun, kemewahan itu tak lagi berarti apa-apa baginya. Ia duduk di kursi empuk, membuka laptop, dan mulai mengetik.Darren mengirim email kepada para investor Atmajaya, memerintahkan mereka untuk segera menarik investasi dari perusahaan milik omnya. Ia tahu, dengan kekuasaannya, para investor pasti lebih berpihak padanya.[Saya harap Anda semua sudah membaca berita terkini tentang Atmajaya. Saya sarankan Anda untuk segera menarik investasi Anda dari perusahaan ini. Atmajaya sudah tidak layak untuk Anda investasikan.] tulis Darren dalam emailnya.Ia menekan tombol "kirim" dengan penuh amarah. Ia tahu, dengan email itu, ia telah menghancurkan Atmajaya. Namun, ia tak
Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Napasnya teratur, tubuhnya lemas setelah perawat menyuntikkan obat penenang. Air mata yang sebelumnya membasahi pipinya kini telah kering, meninggalkan jejak samar di kulit pucatnya. Marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Janin yang baru berusia dua bulan terpaksa diluruhkan, mimpi untuk menjadi seorang ibu harus ditunda.Darren duduk di kursi samping ranjang, matanya tertuju pada wajah Nadia yang tenang dalam tidurnya. Hatinya pedih melihat istrinya terbaring lemah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan Nadia, berharap sentuhannya bisa sedikit meringankan beban yang sedang ditanggung istrinya. "Maaf, Sayang. Aku gak bisa ngelakuin apa-apa," bisik Darren lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. "Aku janji, kita bakal punya anak lagi."Darren terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat untuk menemani Brata, sang kakek, yang dirawat di ICU karena infek
Dokter itu meletakkan selembar kertas dan pulpen di hadapan Darren. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, matanya menerawang ke arah pintu ruang operasi tempat Nadia terbaring."Ini, Pak Darren. Formulir persetujuan untuk tindakan medis. Saya sudah jelaskan risikonya, dan saya harap Anda bisa memahami keputusan ini." Dokter itu berkata dengan nada lembut, tetapi suaranya terasa berat di telinga Darren.Darren menatap formulir itu dengan tatapan kosong. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya.Risiko tinggi.Kondisi kritis.Keputusan sulit. Ia mencoba mencari kekuatan di dalam diri, mencoba mencari jalan keluar dari dilemma yang menjeratnya."Dokter, apakah ... apakah tidak ada cara lain?" tanya Darren, suaranya terasa serak dan patah.Dokter menggeleng pelan. "Maaf, Pak Darren. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil saat ini. Jika kita tidak bertindak segera, kondisi Ibu Nadia akan semakin memburuk. Dan ris
Darren masih terpaku di depan pintu ruang operasi, matanya menerawang ke dalam ruangan. Kekhawatirannya belum juga mereda. Nadia, istrinya, masih belum sadar dari pengaruh obat bius. Operasi pelepasan pen berjalan lancar, tapi kondisi Nadia justru memburuk setelahnya. Tekanan darahnya terus meningkat, dan keadaan kandungannya juga melemah.Tiba-tiba, seorang perawat berlari menghampirinya. Wajahnya tampak panik. "Maaf, Pak Darren. Ada kabar buruk. Kakek Brata kritis."Darren tersentak. "Apa maksudnya? Kakek Brata kenapa?""Infeksi paru-parunya semakin parah, Pak. Batuknya semakin keras dan sulit bernapas. Saat ini, Kakek Brata kejang-kejang." Perawat itu mengusap keringat di dahinya. Darren langsung berdiri tegak. "Dimana Kakek sekarang?""Di ruang ICU, Pak." Perawat itu menunjuk arah. "Saya harus kembali ke sana. Maaf, Pak."Darren terdiam sejenak. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Nadia masih belum sadar, dan sekarang Kakeknya kritis. Ia merasaka