Alana mengusap air matanya yang membasahi pipi. Wajahnya memerah menahan amarah. Beberapa saat lalu Papanya pulang, dia tidak jadi meeting dengan klien dan menyerahkan kepada asisten pribadinya. Putrinya lebih penting, Rudi takut mental anak kesayangannya itu hancur."Papa, aku yakin yang menyebarkan video itu adalah Darren," kata Alana, suaranya bergetar. "Hanya dia yang ada di kamar hotel saat itu."Rudi mengerutkan kening. "Tapi, kenapa dia melakukan itu? Kenapa dia menyebarkan video itu?""Aku tidak tahu, Pa. Kayaknya memang sengaja ingin balik menyerang kita," jelas Alana.Rahayu yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka, mengusap pundak Alana dengan lembut."Tenang, Sayang," kata Rahayu, suaranya lembut. "Kita akan mengurus semuanya.""Mama, aku yakin Darren yang mencuri kamera tersembunyi itu. Kalau tidak ... maka akan lebih banyak potongan video yang tersebar. Kita harus mengambil kembali kamera itu, Ma!" pekiknya dengan suara terbata-bata.Rudi dan Rahayu saling be
Alana melangkah masuk ke dalam mobilnya, menghentakkan pintu dengan kasar. Air mata kembali menetes membasahi pipinya. Dia kecewa dengan sikap Brata. Dia merasa tidak adil diperlakukan seperti itu."Dasar kakek tua!" maki Alana, matanya memancarkan amarah. "Kau hanya membela Darren, kau tidak peduli padaku!"Sopir melajukan mobilnya meninggalkan kawasan kediaman Brata . Pikirannya kacau. Hatinya mendidih karena amarah. Dia ingin melampiaskan kekesalannya.Tiba-tiba, mobilnya berhenti di depan sebuah toko kue favoritnya. Ya, sopir keluarga yang sudah bekerja semenjak dirinya masih kecil itu tahu bahwa jika suasana hatinya sedang bersedih, maka toko kue adalah tempat favorit untuk melampiaskan amarah. Alana langsung masuk ke dalam toko setelah mengucapkan terima kasih kepada sopir, matanya tertuju pada berbagai kue lezat yang dipajang di etalase."Aku butuh sesuatu yang manis," gumam Alana, lalu mengambil beberapa kue dan memasukkannya ke dalam keranjang.Matanya kemudian te
Mentari sore mulai meredup, menandakan waktu pulang bagi para pekerja. Darren, dengan setelan jas rapi dan wajah lelah, melangkah masuk ke dalam rumahnya."Nadia?" panggilnya, suaranya sedikit serak karena kelelahan. Namun, tidak ada jawaban.Darren mengerutkan kening, heran. Biasanya, Nadia selalu menyambutnya dengan senyuman hangat dan segelas teh hangat. Namun, sore ini, rumah terasa sunyi senyap."Nadia?" panggilnya lagi, kali ini suaranya sedikit lebih keras.Tetap saja, tidak ada jawaban. Darren mulai merasa tidak tenang."Ke mana Nadia?" gumamnya, sambil berjalan mengitari rumah.Dia memeriksa setiap ruangan, tetapi tidak menemukan Nadia. "Nadia, di mana kamu?" panggilnya lagi.Dia berjalan ke luar rumah, memeriksa sekeliling halaman. Namun, tetap saja, tidak ada tanda-tanda keberadaan Nadia."Nadia, tolong jawab aku!" teriak Darren, suaranya bercampur dengan rasa cemas yang semakin menggerogoti hatinya.Biasanya istrinya selalu menghabiskan waktu
Darren terus duduk di samping ranjang Nadia, menunggu dengan perasaan cemas. Tiba-tiba, Nadia menggerakkan kelopak matanya. "Kak ...?" gumamnya, suaranya lemah.Darren langsung bangkit dari duduknya, matanya berkaca-kaca. "Nadia, kamu sudah sadar?" tanyanya, suaranya bergetar.Nadia mengangguk lemah, "Aku haus," gumamnya.Darren langsung mengambil segelas air yang ada di meja samping ranjang, lalu membantu Nadia untuk minum."Bagaimana keadaanmu, Nad?" tanya Darren, dengan penuh perhatian."Aku masih sangat lemas dan pusing berkunang-kunang," jawab Nadia."Tenang, Nad. Kamu sudah di rumah sakit. Dokter juga sudah memeriksa kamu," kata Darren, sambil mengelus rambut Nadia dengan lembut.Nadia mengangguk lemah, "Terima kasih, Kak," gumamnya.Darren terus duduk di samping ranjang Nadia, menunggu kembali dokter datang untuk memeriksa Nadia. Dia berharap, semoga saja, istrinya segera pulih dan kembali sehat seperti sedia kala.Darren sengaja tidak memencet to
Keesokan harinya, dokter datang untuk menemui Darren dan Nadia."Hasil cek darah dan cek laboratorium tentang kandungan kue sudah keluar," kata dokter."Bagaimana hasilnya, Dokter?" tanya Darren, dengan rasa penasaran."Terdapat obat pencahar di kue tersebut," jawab dokter. "Dan kandungan obatnya sudah menyebar ke seluruh darah pasien. Tapi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena kami sudah memberi obat penawarnya, Pak. Dari observasi, kondisi pasien juga semakin membaik. Itu artinya, obatnya sudah berhasil menangkal efek dari pencaharnya.""Obat pencahar?!" tanya Darren."Ya, obat pencahar," jawab dokter. "Dan kandungan obatnya cukup tinggi.""Dokter, apakah obat pencahar itu berbahaya?" tanya Nadia, dengan rasa khawatir."Obat pencahar memang aman jika dikonsumsi sesuai dosis," jawab dokter. "Namun, jika diberikan dalam dosis tinggi seperti yang ada di kue tersebut, bisa membuat iritasi pada lambung dan usus. Awalnya Anda pasti diare berat, lalu lemas dan dehidr
Darren langsung datang ke perusahaan Alana setelah petugas dari toko kue tersebut pulang diantarkan oleh Jacob, dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi, khawatir sepupunya itu kembali merencanakan sesuatu yang jahat kepada Nadia.Udara di ruangan kerja Alana terasa dingin, seakan membeku oleh aura kemarahan yang terpancar dari sosok Darren yang berdiri di ambang pintu. Tatapannya tajam, menusuk, seolah ingin menembus kedalaman jiwa Alana. Raut wajahnya yang biasanya ramah dan hangat kini berubah menjadi tegas, penuh amarah yang terpendam."Alana," sapa Darren dengan suara dingin, tak ramah seperti biasanya.Alana tersentak, kaget melihat kedatangan Darren yang tak terduga. Senyum yang baru saja mengembang di bibirnya langsung memudar, digantikan oleh raut wajah terkejut dan sedikit gugup."Darren, ada apa kamu datang ke sini?" tanyanya, berusaha bersikap tenang meski jantungnya berdebar kencang.Darren melangkah masuk, mendekat ke meja kerja Alana. Tatapannya masih tajam, tak berke
Darren melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, jalan raya yang biasanya ramai terasa sepi di matanya. Pandangannya kosong, menatap lurus ke depan, seolah-olah tidak melihat apa pun yang ada di sekitarnya."Sialan!" umpatnya, suaranya bergetar karena amarah. "Kenapa dia harus melakukan itu?""Apa dia tidak tahu bahwa aku sudah menikahi Nadia? Apa dia tidak tahu bahwa aku bahagia dengan Nadia?" gumamnya, suaranya penuh kekecewaan."Aku tidak mengerti," lanjutnya, suaranya terdengar putus asa. "Kenapa dia harus menghancurkan hidupku dan Nadia?"Darren menggeram, mencengkeram kemudi dengan kuat. "Aku tidak akan membiarkan dia lolos," gumamnya, suaranya penuh tekad. Aku akan berbalik menghancurkan hidupnya. Aku tidak akan membiarkan dia menghancurkan hidupku dan Nadia," Darren menghela napas panjang, mencoba menenangkan amarahnya. Namun, seolah-olah amarah itu semakin membara di dalam dirinya."Aku tidak akan pernah memaafkannya!"Darren menggeram lagi, mencengke
Alana masuk ke kamarnya, tubuhnya lemas. Rasa malu dan penyesalan menyelimuti hatinya. Bayangan ancaman Darren untuk melaporkannya ke polisi terus menghantuinya. Dia tidak bisa membayangkan dirinya menghabiskan sisa hidupnya di balik jeruji besi."Aku ... aku akan sangat sengsara," gumamnya, air matanya kembali mengalir deras.Alana menangis sejadi-jadinya. Dia tidak keluar untuk makan malam. Rasa putus asa dan ketakutan menggerogoti hatinya. Dia merasa sangat sendirian, kehilangan cinta Darren dan dukungan ibunya.•Keesokan paginya, Alana terbangun dengan tubuh yang panas. Dia demam. Ternyata, tangisannya semalam telah membuatnya kelelahan dan jatuh sakit."Ma ...," panggilnya dengan suara serak, berusaha bangkit dari tempat tidur.Rahayu langsung masuk ke kamarnya, wajahnya khawatir. "Nak, kamu kenapa?!""Aku ... aku tidak enak badan, Ma," jawab Alana, tubuhnya gemetar.Rahayu mengelus kening Alana. "Kamu harus istirahat. Mama akan panggil dokter."Alana hanya bisa mengangguk lemah