"Assalamualaikum, Mas Amran. Sudah sarapan belum? Pasti belum sarapan kan? Aku kirimin pizza buat kamu, Mas," ucap perempuan genit itu dengan suara yang sengaja dibuat-buat. Zilva bergidik ngeri mendengar suaranya yang mendesah-desah dan menjijikkan itu. Benar-benar nggak tahu malu. "Wa'alaikumsalam. Maaf ya, Mbak. Mas Amran sudah sarapan. Istrinya selalu menyiapkan sarapan setiap pagi. Dia itu pintar memasak dan tak pernah bosan menghidangkan masakan favorit suaminya. Jadi, mbak nggak perlu repot-repot kirimin ini itu. Lebih baik kirimkan saja ke tukang ojek yang mangkal di depan gang. InsyaAllah banyak yang mau dan nggak akan mubadzir. Kalau bisa jangan cuma satu porsi, lebih banyak lebih bagus anggap sedekah pagi," cerocos Zilva. Dia berusaha menahan emosinya dan bicara dengan volume seperti biasanya. Namun, Amran tahu jika saat ini istrinya begitu kesal dan cemburu. Dia hanya manggut-manggut sembari menahan tawanya. "Ishhh. Istri lancang. Ini kan handphone Mas Amran. Bisa-bisanya
Deswita membalikkan badan. Namun, dia cukup kaget saat mamanya sudah ada di belakang entah sejak kapan. Mimik wajah Deswita berubah seketika. Dia takut jika mamanya mendengar apa yang diucapkannya barusan. Wita tahu jika kedua orang tuanya sangat membenci kekerasan. Wita yakin jika papa dan mamanya tahu soal keinginannya merebut Amran dari Zilva, mereka pasti melarang bahkan akan memberinya ceramah berjilid-jilid. Namun, Wita terlanjur mencintai Amran dan dia tak rela melihat perempuan lain bahagia bersamanya. Wita masih tetap menganggap jika posisi Zilva seharusnya miliknya. Tak ada seorang pun yang berhak mendampingi Amran selain dirinya. Wita seambisius itu. Karakternya benar-benar mirip Lala. Hanya saja, Deswita lebih keras dan nekat saat menginginkan sesuatu. Dia juga sama saja, tak peduli halal haram yang penting bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. "Kamu ngomong apa tadi, Wit?" tanya Mayang sembari melipat tangan ke dada. Mayang tak begitu jelas mendengar ucapan anak sem
"Roby sama Pak Boim sudah urus Tarno, Mas. Mereka sudah berhasil membawa Tarno ke kantor polisi dan siap menjebloskannya ke penjara jika terbukti bersalah. Nah, sekarang perkembangannya bagaimana? Bagaimana kesaksian Tarno saat di pengadilan siang tadi?" tanya Zilva saat menghidangkan teh hangat dan roti bakar untuk suaminya di teras belakang. Amran yang masih membaca koran hari ini pun menoleh seketika. Dia menutup bacaannya lalu meletakkan kembali ke tempat asal saat Zilva duduk di sampingnya. Mereka bersisian, hanya terhalang meja rotan berwarna bulat tempat untuk meletakkan hidangan. "Alhamdulillah sudah diurus Pak Anwar, pengacara kita. Dalam sidang hari ini Tarno bilang kalau dia hanya menjalankan tugas dari bosnya, Sayang. Nah, bosnya inilah yang meminta dia untuk membakar cafe kita. Aku juga tak menyangka jika dia pelakunya," ucap Amran lirih. Laki-laki itu kembali menoleh pada Zilva lalu menyeruput teh hangatnya. "Dia siapa sih, Mas? Apa kamu mengenalnya?" tanya Zilva lagi
Bakda isya dua lelaki yang sudah ditunggu Amran akhirnya datang. Anwar dan Roby berjalan beriringan memasuki halaman rumah itu lalu mengucap salam setelah sampai di depan pintu utama. Amran yang masih menyeruput teh dengan camilan roti panggang sebagai pelengkapnya pun terdiam sejenak lalu mengambil kruk di samping sofa. Perlahan memakai dua kruk di bawah ketiaknya sebelum melangkah ke pintu. Kakinya belum normal pasca kecelakaan saat mengejar Tarno tempo hari. Meski begitu, Amran tak menyerah. Setiap ada waktu dia selalu belajar agar bisa jalan dengan normal seperti sebelumnya. Amran tak putus asa karena yakin semua akan kembali normal jika dia mau berusaha. Kekurangannya saat inipun tak terlalu mengganggu aktivitasnya. Meski ada banyak hal yang tak bisa dilakukannya sendiri, tapi Amran tetap berusaha menjadi sosok laki-laki yang tanggungjawab pada keluarga untuk mencari nafkah. Dia mengurus bisnis cafe barunya dari rumah. Sesekali datang ke cafe diantar sopir pribadinya. "Gimana
Amran sangat terkejut saat melihat Selly dan seorang laki-laki yang tak dikenalnya bertamu malam-malam begini. Amran tak menyangka jika kakaknya yang sempat depresi bahkan nyaris bunuh diri saat ditinggalkan Emil waktu itu, ternyata kini benar-benar sudah move on. Amran cukup senang melihat sikap kakaknya yang jauh lebih baik dan bahagia setelah sadar jika jodoh tak bisa dipaksa. Selly mulai membuka hati dan menemukan cinta yang baru. Dia tak ingin mengganggu rumah tangga Emil dan Ayunda. Dia sudah mengikhlaskan semuanya bahkan kini justru berdoa agar Ayunda lekas sembuh dan bisa menjadi istri idaman suaminya. Selly tak ingin menyimpan dendam semakin lama dan dalam. Dia juga ingin bahagia dengan hidup dan cinta barunya, tanpa terus disesaki kenangan bersama Emil yang cukup menyakitkan baginya. Sejak pertemuannya dengan Ayunda di Jogja dengan segala keterbatasannya, Selly semakin mensyukuri kehidupannya selama ini. Dia sadar ada banyak cinta yang dia dapatkan meski bukan dari mantan
"Mas Emil terus disesaki rasa bersalah karena meninggalkan Mbak dan Ruri, sementara Yunda juga merasa bersalah karena tak bisa menjadi istri yang terbaik untuk Mas Emil. Dia selalu menyalahkan diri sendiri atas ketidakmampuannya mengurus suami dan buah hatinya. Yunda ingin Mas Emil kembali merasakan cinta dan dirawat dengan baik seperti dulu. Mbak nggak mau membuat Yunda selalu merasa rendah diri seperti itu. Mbak ingin dia bersemangat untuk sembuh supaya bisa merawat suami dan anaknya dengan baik, Va. Dia berhak bahagia dengan orang-orang yang dia cintai dan mencintainya. Begitu pula dengan Mbak yang akan mencari kebahagiaan sendiri tanpa harus merecoki kehidupan mereka," ucap Selly panjang lebar dengan mata berkaca. Dia menghela napas panjang lalu menatap lekat Zilva yang masih berusaha menenangkannya. "Sudah yuk ah. Malah nangis di sini. Kopinya keburu dingin, lagipula sudah malam, Va. Mas Bima juga harus antar Mbak pulang," sambung Selly kemudian, sementara Zilva mengangguk pela
"Kenapa? Bagus kan?" tanya Amran masih dengan senyum yang sama. Zilva menghela napas panjang sembari mengambil isi kado itu dengan dua jarinya. "Ini apa, Mas? Kamu itu ada-ada saja sih," ucap Zilva dengan wajah memerah. "Nggak apa-apa dong, Sayang. Wajar suami ngasih kado itu. Biar makin cantik dan seksi," balas Amran lagi sembari menaik turunkan kedua alisnya. "Terlalu seksi itu. Malu pakainya." "Lingerie bagus ini, Sayang. Cocok buat kamu. Mau dicoba sekarang?" Zilva menoleh sesaat lalu membuang pandangan. "Nggak, Mas. Kaya pengantin baru aja pakai begituan. Badanku sudah agak berisi sekarang. Nggak kaya dulu lagi." "Bagus dong. Namanya juga masih ngasih ASI. Wajar kalau berisi dan makin montok. Nanti kalau Rafqa sudah lepas ASI baru boleh fokus merampingkan badan. Kalaupun tetap seperti ini, aku juga nggak masalah. Justru makin berisi makin seru," ucap Amran lagi. Dia mengusap puncak kepala Zilva yang masih duduk di tepi ranjang dengan dua lingerie berwarna merah dan hitam di
Mobil yang dikendarai Zilva terhenti tepat di samping tiang listrik. Untung dia bisa mengerem mobilnya dengan cepat dan tepat. Kalau tidak, pasti bagian depan sudah rusak karena benturan. Debar di ada Zilva masih begitu terasa. Dia benar-benar shock saat mendengar dentuman keras di bagian belakang mobilnya. Amran yang duduk di samping kemudi memeluknerat keranjang Rafka agar tak selalu terguncang. Dia juga masih gemetar saking kagetnya. Beruntung Rafka masih terlelap seperti sedia kala. Sepertinya suara keras tadi tak terlalu membuatnya terkejut. "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Sayang?" tanya Amran setelah lebih tenang. Zilva masih bergeming di tempat sembari menetralkan gemuruh dalam dadanya. Setelah terdiam beberapa saat, kaca jendela mobilnya diketuk dari luar. Seorang perempuan tengah baya dengan hijab hitamnya menatap Zilva penuh kecemasan dan ketakutan. Sepertinya dia yang menabrak mobil Amran dari belakang. "Ada apa, Bu?" tanya Zilva saat membuka kaca jendela. Zilva membuka