"Mas Emil terus disesaki rasa bersalah karena meninggalkan Mbak dan Ruri, sementara Yunda juga merasa bersalah karena tak bisa menjadi istri yang terbaik untuk Mas Emil. Dia selalu menyalahkan diri sendiri atas ketidakmampuannya mengurus suami dan buah hatinya. Yunda ingin Mas Emil kembali merasakan cinta dan dirawat dengan baik seperti dulu. Mbak nggak mau membuat Yunda selalu merasa rendah diri seperti itu. Mbak ingin dia bersemangat untuk sembuh supaya bisa merawat suami dan anaknya dengan baik, Va. Dia berhak bahagia dengan orang-orang yang dia cintai dan mencintainya. Begitu pula dengan Mbak yang akan mencari kebahagiaan sendiri tanpa harus merecoki kehidupan mereka," ucap Selly panjang lebar dengan mata berkaca. Dia menghela napas panjang lalu menatap lekat Zilva yang masih berusaha menenangkannya. "Sudah yuk ah. Malah nangis di sini. Kopinya keburu dingin, lagipula sudah malam, Va. Mas Bima juga harus antar Mbak pulang," sambung Selly kemudian, sementara Zilva mengangguk pela
"Kenapa? Bagus kan?" tanya Amran masih dengan senyum yang sama. Zilva menghela napas panjang sembari mengambil isi kado itu dengan dua jarinya. "Ini apa, Mas? Kamu itu ada-ada saja sih," ucap Zilva dengan wajah memerah. "Nggak apa-apa dong, Sayang. Wajar suami ngasih kado itu. Biar makin cantik dan seksi," balas Amran lagi sembari menaik turunkan kedua alisnya. "Terlalu seksi itu. Malu pakainya." "Lingerie bagus ini, Sayang. Cocok buat kamu. Mau dicoba sekarang?" Zilva menoleh sesaat lalu membuang pandangan. "Nggak, Mas. Kaya pengantin baru aja pakai begituan. Badanku sudah agak berisi sekarang. Nggak kaya dulu lagi." "Bagus dong. Namanya juga masih ngasih ASI. Wajar kalau berisi dan makin montok. Nanti kalau Rafqa sudah lepas ASI baru boleh fokus merampingkan badan. Kalaupun tetap seperti ini, aku juga nggak masalah. Justru makin berisi makin seru," ucap Amran lagi. Dia mengusap puncak kepala Zilva yang masih duduk di tepi ranjang dengan dua lingerie berwarna merah dan hitam di
Mobil yang dikendarai Zilva terhenti tepat di samping tiang listrik. Untung dia bisa mengerem mobilnya dengan cepat dan tepat. Kalau tidak, pasti bagian depan sudah rusak karena benturan. Debar di ada Zilva masih begitu terasa. Dia benar-benar shock saat mendengar dentuman keras di bagian belakang mobilnya. Amran yang duduk di samping kemudi memeluknerat keranjang Rafka agar tak selalu terguncang. Dia juga masih gemetar saking kagetnya. Beruntung Rafka masih terlelap seperti sedia kala. Sepertinya suara keras tadi tak terlalu membuatnya terkejut. "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Sayang?" tanya Amran setelah lebih tenang. Zilva masih bergeming di tempat sembari menetralkan gemuruh dalam dadanya. Setelah terdiam beberapa saat, kaca jendela mobilnya diketuk dari luar. Seorang perempuan tengah baya dengan hijab hitamnya menatap Zilva penuh kecemasan dan ketakutan. Sepertinya dia yang menabrak mobil Amran dari belakang. "Ada apa, Bu?" tanya Zilva saat membuka kaca jendela. Zilva membuka
[Pak Daniel sudah ditemukan, Mas. Sekarang dia ada di kantor polisi. Mas Amran mau ke sini?] Amran membaca pesan yang masuk ke aplikasi hijaunya. Pesan dari Robby, asistennya itu membuat Amran cukup terkejut. Pasalnya, dia tak menyangka jika akhirnya dalang pembakaran cafenya waktu itu benar-benar tertangkap. Daniel yang sempat kabur ke luar negeri itu, ternyata bisa dilacak keberadaannya. Tak sia-sia Amran meminta pengacara dan Boim yang juga anggota kepolisian untuk menuntaskan kasus itu. [Oke, By. Saya akan ke sana sama Pak Burhan. Kamu ikuti saja prosesnya sekalian ajak Pak Anwar untuk mengurus semuanya] Amran mengirimkan balasan. Amran masih makan siang dengan tumis kangkung dan nila goreng saat ini. Dia pun buru-buru menghabiskan makanannya lalu meneguk segelas air putih yang sudah disiapkan Zilva. Wanita itu masih menikmati ceker pedesnya saat Amran beranjak dari kursi lalu cuci tangan di wastafel. "Buru-buru amat mau kemana sih, Mas?" tanya Zilva sembari meneguk es jerukn
Setelah menunaikan shalat Dzuhur, Zilva bermain dengan anak lelakinya di kamar. Suasana di rumah itu cukup sepi karena Bi Lasmi istirahat di kamarnya, sementara Pak Joko pergi ke toko kue. Zilva minta dibelikan bolu, buka dan brownies coklat kesukaan Arumi. Saat masih mengajak Rafka bernyanyi, terdengar bel rumahnya berbunyi. Zilva buru-buru menggendong Rafka lalu melangkah keluar kamar. Dia memang tak ingin membangunkan Bi Lasmi karena tahu wanita itu sudah cukup lelah mengurus rumah. Zilva dan Amran memang membebaskan asisten rumah tangganya itu untuk istirahat kapanpun dia mau.Sebelum membuka pintu utama, kebiasaan Zilva mengintip tamu dari gorden jendela. Kedua alisnya mengerut. Zilva masih bergeming sembari menatap lekat tamu di depan gerbang rumahnya. Seorang laki-laki dengan masker hitam dan jaket levisnya berdiri di sana. Dia kembali menekan bel saat tak ada sosok penghuni rumah yang keluar. "Siapa dia? Kurirkah? Tapi Mas Amran nggak bilang kalau ada paket yang akan datang.
[Va, lima menitan lagi aku sampai. Kamu di rumah kan? Jangan molor! Jangan sibuk siapin ini itu juga. Aku nggak lama di sana soalnya masih mau ke rumah temen-temen Mas Radit. Ohya, maaf aku nggak bawa apa-apa buat Rafka. Kadonya ketinggalan di mobil sepupu. Dia sudah balik ke Semarang. Lain kali aku bawakan mainan baru buat keponakan tampanku itu ya!] Pesan dari Arumi kembali dibaca Zilva untuk kedua kalinya. Zilva tercekat lalu buru-buru menggendong Rafka. Dia kembali menatap paket yang konon berasal dari Arumi itu. Jika Arumi sendiri bilang nggak bisa bawa apa-apa, lantas paket itu dari siapa? Dia nggak mungkin berdusta kan? Berbagai pertanyaan kembali lalu lalang di benak Zilva. Saat ini dia mundur beberapa langkah lalu mengetuk kamar asisten rumah tangganya. Bi Lasmi keluar kama dengan wajah kusut dan rambut acak-acakan. Wanita itu tampak begitu lelah dan mengantuk, tapi saat ini Zilva terpaksa membangunkannya. Zilva benar-benar takut dengan isi paket itu. Dia khawatir jika isi
"Jangan dibuka, Va!" ucap Arumi saat Zilva kembali mendekati paket misterius itu. "Takut meledak," sambung Arumi lagi setelah Zilva menoleh ke arahnya. "Bawa ke kantor polisi saja apa gimana, Mbak?" Pak Joko yang sedari tadi diam dan memperhatikan akhirnya angkat bicara. Zilva dan Arumi saling tatap."Mas Amran kemnaa, Va? Tanya suamimu dulu. Barangkali Mas Amran yang pesan," ucap Arumi kemudian. "Nggak, Mi. Kurirnya bilang paket dari kami kok. Mas Amran juga nggak bilang apa-apa sebelum pergi." "Kalau gitu telepon aja dulu. Bilang kalau ada paket misterius di rumah. Tanya sekalian mau dilaporin ke RT atau dibawa ke kantor polisi. Aku beneran takut kalau isinya barang aneh yang bisa membuat kita celaka, Va," pungkas Arumi. Zilva menghela napas panjang lalu mengangguk pelan. Tak membuang waktu, Zilva segera menelpon Amran yang masih di kantor polisi untuk bertemu dengan dalang pembakar cafenya. "Assalamualaikum, Mas. Masih di kantor polisi atau mampir ke cafe, Mas?" tanya Zilva m
Arumi dan Radit pamit pulang. Mereka ingin mengantar beberapa undangan untuk teman-teman Radit saat kuliah. Ada tiga tempat yang harus mereka kunjungi saat ini, termasuk rumah Ratna, mamanya Amran. Arumi sengaja tak menitipkan undangannya pada Zilva karena sekalian ingin temu kangen dengan wanita itu. Cukup lama mereka tak bertemu dan Arumi merasa penting untuk silaturahmi ke sana, sekalian bertemu Selly dan Prilly yang saat ini akan menginap di rumah mamanya. "Kamu kenapa, Mas?" tanya Arumi saat mereka sudah berada di mobil. Tanpa kata, Radit hanya menoleh lalu tersenyum tipis. Dia kembali menatap layar beberapa saat sebelum meletakkan kembali handphonenya di samping dashboard. Arumi menarik sabuk pengaman lalu menguncinya saat calon suaminya itu mulai menyalakan mobilnya. Arumi sempat membuka kaca jendela lalu melambaikan tangannya pada Zilva yang masih berdiri di samping gerbang. "Hati-hati ya! Jangan lupa titip salam buat mama," ucap Zilva sebelum mobil benar-benar meninggal