[Pak Daniel sudah ditemukan, Mas. Sekarang dia ada di kantor polisi. Mas Amran mau ke sini?] Amran membaca pesan yang masuk ke aplikasi hijaunya. Pesan dari Robby, asistennya itu membuat Amran cukup terkejut. Pasalnya, dia tak menyangka jika akhirnya dalang pembakaran cafenya waktu itu benar-benar tertangkap. Daniel yang sempat kabur ke luar negeri itu, ternyata bisa dilacak keberadaannya. Tak sia-sia Amran meminta pengacara dan Boim yang juga anggota kepolisian untuk menuntaskan kasus itu. [Oke, By. Saya akan ke sana sama Pak Burhan. Kamu ikuti saja prosesnya sekalian ajak Pak Anwar untuk mengurus semuanya] Amran mengirimkan balasan. Amran masih makan siang dengan tumis kangkung dan nila goreng saat ini. Dia pun buru-buru menghabiskan makanannya lalu meneguk segelas air putih yang sudah disiapkan Zilva. Wanita itu masih menikmati ceker pedesnya saat Amran beranjak dari kursi lalu cuci tangan di wastafel. "Buru-buru amat mau kemana sih, Mas?" tanya Zilva sembari meneguk es jerukn
Setelah menunaikan shalat Dzuhur, Zilva bermain dengan anak lelakinya di kamar. Suasana di rumah itu cukup sepi karena Bi Lasmi istirahat di kamarnya, sementara Pak Joko pergi ke toko kue. Zilva minta dibelikan bolu, buka dan brownies coklat kesukaan Arumi. Saat masih mengajak Rafka bernyanyi, terdengar bel rumahnya berbunyi. Zilva buru-buru menggendong Rafka lalu melangkah keluar kamar. Dia memang tak ingin membangunkan Bi Lasmi karena tahu wanita itu sudah cukup lelah mengurus rumah. Zilva dan Amran memang membebaskan asisten rumah tangganya itu untuk istirahat kapanpun dia mau.Sebelum membuka pintu utama, kebiasaan Zilva mengintip tamu dari gorden jendela. Kedua alisnya mengerut. Zilva masih bergeming sembari menatap lekat tamu di depan gerbang rumahnya. Seorang laki-laki dengan masker hitam dan jaket levisnya berdiri di sana. Dia kembali menekan bel saat tak ada sosok penghuni rumah yang keluar. "Siapa dia? Kurirkah? Tapi Mas Amran nggak bilang kalau ada paket yang akan datang.
[Va, lima menitan lagi aku sampai. Kamu di rumah kan? Jangan molor! Jangan sibuk siapin ini itu juga. Aku nggak lama di sana soalnya masih mau ke rumah temen-temen Mas Radit. Ohya, maaf aku nggak bawa apa-apa buat Rafka. Kadonya ketinggalan di mobil sepupu. Dia sudah balik ke Semarang. Lain kali aku bawakan mainan baru buat keponakan tampanku itu ya!] Pesan dari Arumi kembali dibaca Zilva untuk kedua kalinya. Zilva tercekat lalu buru-buru menggendong Rafka. Dia kembali menatap paket yang konon berasal dari Arumi itu. Jika Arumi sendiri bilang nggak bisa bawa apa-apa, lantas paket itu dari siapa? Dia nggak mungkin berdusta kan? Berbagai pertanyaan kembali lalu lalang di benak Zilva. Saat ini dia mundur beberapa langkah lalu mengetuk kamar asisten rumah tangganya. Bi Lasmi keluar kama dengan wajah kusut dan rambut acak-acakan. Wanita itu tampak begitu lelah dan mengantuk, tapi saat ini Zilva terpaksa membangunkannya. Zilva benar-benar takut dengan isi paket itu. Dia khawatir jika isi
"Jangan dibuka, Va!" ucap Arumi saat Zilva kembali mendekati paket misterius itu. "Takut meledak," sambung Arumi lagi setelah Zilva menoleh ke arahnya. "Bawa ke kantor polisi saja apa gimana, Mbak?" Pak Joko yang sedari tadi diam dan memperhatikan akhirnya angkat bicara. Zilva dan Arumi saling tatap."Mas Amran kemnaa, Va? Tanya suamimu dulu. Barangkali Mas Amran yang pesan," ucap Arumi kemudian. "Nggak, Mi. Kurirnya bilang paket dari kami kok. Mas Amran juga nggak bilang apa-apa sebelum pergi." "Kalau gitu telepon aja dulu. Bilang kalau ada paket misterius di rumah. Tanya sekalian mau dilaporin ke RT atau dibawa ke kantor polisi. Aku beneran takut kalau isinya barang aneh yang bisa membuat kita celaka, Va," pungkas Arumi. Zilva menghela napas panjang lalu mengangguk pelan. Tak membuang waktu, Zilva segera menelpon Amran yang masih di kantor polisi untuk bertemu dengan dalang pembakar cafenya. "Assalamualaikum, Mas. Masih di kantor polisi atau mampir ke cafe, Mas?" tanya Zilva m
Arumi dan Radit pamit pulang. Mereka ingin mengantar beberapa undangan untuk teman-teman Radit saat kuliah. Ada tiga tempat yang harus mereka kunjungi saat ini, termasuk rumah Ratna, mamanya Amran. Arumi sengaja tak menitipkan undangannya pada Zilva karena sekalian ingin temu kangen dengan wanita itu. Cukup lama mereka tak bertemu dan Arumi merasa penting untuk silaturahmi ke sana, sekalian bertemu Selly dan Prilly yang saat ini akan menginap di rumah mamanya. "Kamu kenapa, Mas?" tanya Arumi saat mereka sudah berada di mobil. Tanpa kata, Radit hanya menoleh lalu tersenyum tipis. Dia kembali menatap layar beberapa saat sebelum meletakkan kembali handphonenya di samping dashboard. Arumi menarik sabuk pengaman lalu menguncinya saat calon suaminya itu mulai menyalakan mobilnya. Arumi sempat membuka kaca jendela lalu melambaikan tangannya pada Zilva yang masih berdiri di samping gerbang. "Hati-hati ya! Jangan lupa titip salam buat mama," ucap Zilva sebelum mobil benar-benar meninggal
Suasana di rumah Ratna, mamanya Amran cukup ramai. Keluarga Prilly dan Selly berkumpul di sana. Mereka sedang membahas tentang Bima yang akan datang minggu depan untuk melamar Selly. Bima akan datang melamar Selly bersama dua anak kembarnya yang kini tinggal bersama mama mereka. Bima sengaja mengajak Yuki dan Yuka agar lebih dekat dengan calon ibu sambung mereka dan keluarganya. Sekalian memperkenalkan Ruri sebagai saudara tirinya. Usia Ruri menjelang tujuh tahun, sementara usia Yuki dan Yuka menginjak sebelas tahun. Mereka bertiga tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan pintar. Bima dan Selly yakin jika ketiga puteri mereka akan saling menyayangi dan mengasihi satu sama lain. Meski sudah berpisah dengan Amelia, istri pertamanya, tapi Bima masih sering mengunjunginya karena tak ingin membuat Yuki dan Yuka kehilangan sosok ayah kandung mereka. Hubungan dua keluarga itu terjalin cukup akrab. Mereka berusaha melupakan dan mengikhlaskan kenangan pahit di masa lalu dan membuka lembara
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya Ratna sedikit gugup. Dia kembali memperhatikan perempuan di depannya yang masih mengusap-usap perutnya itu. "Iya, Tante. Saya mau minta tolong sama Tante. Maaf kalau sudah mengganggu aktivitas Tante sore ini. Perkenalkan, saya Fammy," ucap perempuan itu setelah tamunya melewati teras rumahnya. Keduanya berhenti di teras lalu saling memperkenalkan diri. "Saya Ratna," balas wanita lebih dari setengah abad itu dengan senyum tipisnya. Meski Ratna tak tahu siapa sebenarnya perempuan itu, tapi dia berusaha untuk tetap ramah pada tamunya. "Iya, Tante. Salam kenal. Kita bicara di dalam saja ya?" pinta Fammy kemudian. Dia tahu jika saat ini Ratna cukup terkejut dan bertanya-tanya siapa dirinya. "Ohiya, silakan masuk, Mbak." Ratna sedikit gugup lalu meminta Fammy untuk duduk di salah satu sofa di ruang tamunya. "Apa Mbak Prilly di sini juga, Tante?" tanya Fammy dengan senyum tipisnya. Senyum yang terasa berbeda menurut Ratna. Dia juga terheran mengapa
"Pril, apa benar yang dikatakan mama?" Selly ikut menimpali. Kakak sulung Prilly ikut curiga apakah perempuan bernama Fammy itu benar-benar selingkuhan Romy, adik iparnya. Prilly kembali tercekat. Rumah tangganya dengan Romy memang masih diuji orang ketiga. Namun, berkali-kali Romy bilang jika Fammy bukan orang penting di hidupnya. Mereka hanya berteman di kantor dan nggak dan hubungan lebih dari itu. Hanya saja, Fammy terus mendekat bahkan kini dia bilang jika Romy adalah ayah biologis dari janin yang ada dalam kandungannya. Tak terima dengan tuduhan Fammy, Romy berjanji akan memberikan bukti jika semua yang diucapkan perempuan itu hanyalah dusta. Prilly bimbang dan tak tahu harus percaya pada siapa. Di tengah krisis kepercayaannya pada sang suami, di saat itu juga Fammy datang dengan beberapa fotonya bersama Romy. Foto yang menurut Prilly terlalu dekat dan intim sampai membuatnya sakit hati. "Aku akan buktikan kalau dia bukan siapa-siapa, Sayang. Percayalah." Ucapan Romy saat itu