Deswita membalikkan badan. Namun, dia cukup kaget saat mamanya sudah ada di belakang entah sejak kapan. Mimik wajah Deswita berubah seketika. Dia takut jika mamanya mendengar apa yang diucapkannya barusan. Wita tahu jika kedua orang tuanya sangat membenci kekerasan. Wita yakin jika papa dan mamanya tahu soal keinginannya merebut Amran dari Zilva, mereka pasti melarang bahkan akan memberinya ceramah berjilid-jilid. Namun, Wita terlanjur mencintai Amran dan dia tak rela melihat perempuan lain bahagia bersamanya. Wita masih tetap menganggap jika posisi Zilva seharusnya miliknya. Tak ada seorang pun yang berhak mendampingi Amran selain dirinya. Wita seambisius itu. Karakternya benar-benar mirip Lala. Hanya saja, Deswita lebih keras dan nekat saat menginginkan sesuatu. Dia juga sama saja, tak peduli halal haram yang penting bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. "Kamu ngomong apa tadi, Wit?" tanya Mayang sembari melipat tangan ke dada. Mayang tak begitu jelas mendengar ucapan anak sem
"Roby sama Pak Boim sudah urus Tarno, Mas. Mereka sudah berhasil membawa Tarno ke kantor polisi dan siap menjebloskannya ke penjara jika terbukti bersalah. Nah, sekarang perkembangannya bagaimana? Bagaimana kesaksian Tarno saat di pengadilan siang tadi?" tanya Zilva saat menghidangkan teh hangat dan roti bakar untuk suaminya di teras belakang. Amran yang masih membaca koran hari ini pun menoleh seketika. Dia menutup bacaannya lalu meletakkan kembali ke tempat asal saat Zilva duduk di sampingnya. Mereka bersisian, hanya terhalang meja rotan berwarna bulat tempat untuk meletakkan hidangan. "Alhamdulillah sudah diurus Pak Anwar, pengacara kita. Dalam sidang hari ini Tarno bilang kalau dia hanya menjalankan tugas dari bosnya, Sayang. Nah, bosnya inilah yang meminta dia untuk membakar cafe kita. Aku juga tak menyangka jika dia pelakunya," ucap Amran lirih. Laki-laki itu kembali menoleh pada Zilva lalu menyeruput teh hangatnya. "Dia siapa sih, Mas? Apa kamu mengenalnya?" tanya Zilva lagi
Bakda isya dua lelaki yang sudah ditunggu Amran akhirnya datang. Anwar dan Roby berjalan beriringan memasuki halaman rumah itu lalu mengucap salam setelah sampai di depan pintu utama. Amran yang masih menyeruput teh dengan camilan roti panggang sebagai pelengkapnya pun terdiam sejenak lalu mengambil kruk di samping sofa. Perlahan memakai dua kruk di bawah ketiaknya sebelum melangkah ke pintu. Kakinya belum normal pasca kecelakaan saat mengejar Tarno tempo hari. Meski begitu, Amran tak menyerah. Setiap ada waktu dia selalu belajar agar bisa jalan dengan normal seperti sebelumnya. Amran tak putus asa karena yakin semua akan kembali normal jika dia mau berusaha. Kekurangannya saat inipun tak terlalu mengganggu aktivitasnya. Meski ada banyak hal yang tak bisa dilakukannya sendiri, tapi Amran tetap berusaha menjadi sosok laki-laki yang tanggungjawab pada keluarga untuk mencari nafkah. Dia mengurus bisnis cafe barunya dari rumah. Sesekali datang ke cafe diantar sopir pribadinya. "Gimana
Amran sangat terkejut saat melihat Selly dan seorang laki-laki yang tak dikenalnya bertamu malam-malam begini. Amran tak menyangka jika kakaknya yang sempat depresi bahkan nyaris bunuh diri saat ditinggalkan Emil waktu itu, ternyata kini benar-benar sudah move on. Amran cukup senang melihat sikap kakaknya yang jauh lebih baik dan bahagia setelah sadar jika jodoh tak bisa dipaksa. Selly mulai membuka hati dan menemukan cinta yang baru. Dia tak ingin mengganggu rumah tangga Emil dan Ayunda. Dia sudah mengikhlaskan semuanya bahkan kini justru berdoa agar Ayunda lekas sembuh dan bisa menjadi istri idaman suaminya. Selly tak ingin menyimpan dendam semakin lama dan dalam. Dia juga ingin bahagia dengan hidup dan cinta barunya, tanpa terus disesaki kenangan bersama Emil yang cukup menyakitkan baginya. Sejak pertemuannya dengan Ayunda di Jogja dengan segala keterbatasannya, Selly semakin mensyukuri kehidupannya selama ini. Dia sadar ada banyak cinta yang dia dapatkan meski bukan dari mantan
"Mas Emil terus disesaki rasa bersalah karena meninggalkan Mbak dan Ruri, sementara Yunda juga merasa bersalah karena tak bisa menjadi istri yang terbaik untuk Mas Emil. Dia selalu menyalahkan diri sendiri atas ketidakmampuannya mengurus suami dan buah hatinya. Yunda ingin Mas Emil kembali merasakan cinta dan dirawat dengan baik seperti dulu. Mbak nggak mau membuat Yunda selalu merasa rendah diri seperti itu. Mbak ingin dia bersemangat untuk sembuh supaya bisa merawat suami dan anaknya dengan baik, Va. Dia berhak bahagia dengan orang-orang yang dia cintai dan mencintainya. Begitu pula dengan Mbak yang akan mencari kebahagiaan sendiri tanpa harus merecoki kehidupan mereka," ucap Selly panjang lebar dengan mata berkaca. Dia menghela napas panjang lalu menatap lekat Zilva yang masih berusaha menenangkannya. "Sudah yuk ah. Malah nangis di sini. Kopinya keburu dingin, lagipula sudah malam, Va. Mas Bima juga harus antar Mbak pulang," sambung Selly kemudian, sementara Zilva mengangguk pela
"Kenapa? Bagus kan?" tanya Amran masih dengan senyum yang sama. Zilva menghela napas panjang sembari mengambil isi kado itu dengan dua jarinya. "Ini apa, Mas? Kamu itu ada-ada saja sih," ucap Zilva dengan wajah memerah. "Nggak apa-apa dong, Sayang. Wajar suami ngasih kado itu. Biar makin cantik dan seksi," balas Amran lagi sembari menaik turunkan kedua alisnya. "Terlalu seksi itu. Malu pakainya." "Lingerie bagus ini, Sayang. Cocok buat kamu. Mau dicoba sekarang?" Zilva menoleh sesaat lalu membuang pandangan. "Nggak, Mas. Kaya pengantin baru aja pakai begituan. Badanku sudah agak berisi sekarang. Nggak kaya dulu lagi." "Bagus dong. Namanya juga masih ngasih ASI. Wajar kalau berisi dan makin montok. Nanti kalau Rafqa sudah lepas ASI baru boleh fokus merampingkan badan. Kalaupun tetap seperti ini, aku juga nggak masalah. Justru makin berisi makin seru," ucap Amran lagi. Dia mengusap puncak kepala Zilva yang masih duduk di tepi ranjang dengan dua lingerie berwarna merah dan hitam di
Mobil yang dikendarai Zilva terhenti tepat di samping tiang listrik. Untung dia bisa mengerem mobilnya dengan cepat dan tepat. Kalau tidak, pasti bagian depan sudah rusak karena benturan. Debar di ada Zilva masih begitu terasa. Dia benar-benar shock saat mendengar dentuman keras di bagian belakang mobilnya. Amran yang duduk di samping kemudi memeluknerat keranjang Rafka agar tak selalu terguncang. Dia juga masih gemetar saking kagetnya. Beruntung Rafka masih terlelap seperti sedia kala. Sepertinya suara keras tadi tak terlalu membuatnya terkejut. "Kamu nggak kenapa-kenapa kan, Sayang?" tanya Amran setelah lebih tenang. Zilva masih bergeming di tempat sembari menetralkan gemuruh dalam dadanya. Setelah terdiam beberapa saat, kaca jendela mobilnya diketuk dari luar. Seorang perempuan tengah baya dengan hijab hitamnya menatap Zilva penuh kecemasan dan ketakutan. Sepertinya dia yang menabrak mobil Amran dari belakang. "Ada apa, Bu?" tanya Zilva saat membuka kaca jendela. Zilva membuka
[Pak Daniel sudah ditemukan, Mas. Sekarang dia ada di kantor polisi. Mas Amran mau ke sini?] Amran membaca pesan yang masuk ke aplikasi hijaunya. Pesan dari Robby, asistennya itu membuat Amran cukup terkejut. Pasalnya, dia tak menyangka jika akhirnya dalang pembakaran cafenya waktu itu benar-benar tertangkap. Daniel yang sempat kabur ke luar negeri itu, ternyata bisa dilacak keberadaannya. Tak sia-sia Amran meminta pengacara dan Boim yang juga anggota kepolisian untuk menuntaskan kasus itu. [Oke, By. Saya akan ke sana sama Pak Burhan. Kamu ikuti saja prosesnya sekalian ajak Pak Anwar untuk mengurus semuanya] Amran mengirimkan balasan. Amran masih makan siang dengan tumis kangkung dan nila goreng saat ini. Dia pun buru-buru menghabiskan makanannya lalu meneguk segelas air putih yang sudah disiapkan Zilva. Wanita itu masih menikmati ceker pedesnya saat Amran beranjak dari kursi lalu cuci tangan di wastafel. "Buru-buru amat mau kemana sih, Mas?" tanya Zilva sembari meneguk es jerukn
"Assalamualaikum, Jeng Ratna. Gimana kabarnya?" Ratna, mamanya Amran menerima panggilan telepon. "Wa'alaikumsalam, Jeng Mayang. Alhamdulillah kabar saya dan keluarga baik. Kabar Jeng May sama Wita bagaimana?" balas Ratna dengan senyum tipis. Ternyata yang menelepon saat ini adalah Mayang, mamanya Deswita. Wanita paruh baya itupun gegas mencuci tangan di wastafel. Suara Mayang terdengar cukup keras saat loud speaker di handphone Ratna diaktifkan. "Alhamdulillah kami juga baik, Jeng. Kebetulan Wita sama suaminya baru pulang dari Singapure. Mereka bawa oleh-oleh lumayan banyak, sudah dibagi-bagi ke tetangga. Tadi pagi kami ke rumah Jeng Ratna, sayangnya nggak ada di rumah. Memangnya Jeng Ratna sekeluarga ke mana?" tanya Mayang perlahan. "Oh iya, Jeng. Sejak kemarin kami memang pergi hajatan ke rumah saudara. InsyaAllah sore nanti pulang, sengaja menginap semalam di sini. Wita baru pulang honeymoon ya, Jeng?" balas Ratna lagi. "Benar, Jeng. Mereka baru pulang honeymoon di Singapure.
"Tamu yang kamu tunggu datang tuh, Mas," ucap Arumi saat melihat Lana dan Dikta datang dari pintu utama. Berliana adalah perempuan yang disukai Radit sejak dulu, namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia justru menikah dengan Dikta, cinta pertamanya saat di sekolah putih abu-abu dulu. "Apa kamu bilang?" tanya Radit yang tak terlalu mendengar ucapan istrinya. Radit sempat melamun beberapa saat, jadi tak fokus dengan pembicaraan Arumi. "Tamu yang kamu tunggu sudah datang. Lihatlah, biar hatimu senang," ucap Arumi lagi dengan menahan sesak di dada. Radit cukup kaget saat melihat Lana datang bersama suaminya, lebih kaget lagi saat mendengar ucapan sang istri perihal masa lalunya. Dia memang sempat cerita soal Lana sekilas, tapi tak menyangka jika Arumi mengenali wajah perempuan itu. Tanpa Radit tahu jika Arumi sempat melihat Lana di album foto mertuanya bahkan ada foto perempuan itu di dompet suaminya. "Kamu tahu darimana kalau dia Lana?" tanya Radit gugup. Dia menatap Arumi beber
Suasana begitu meriah saat keluarga Amran sampai ke gedung tempat pernikahan Arumi dan Radit digelar. Sepasang pengantin sudah duduk di pelaminan. Arumi tampak cantik dan anggun dengan kebaya berwarna biru mudanya. Radit pun terlihat lebih tampan dan menawan dengan warna jas yang sama."Zilva!" Arumi melambaikan tangan pada Zilva yang baru memasuki gedung. Zilva tersenyum sembari memberikan kode agar sahabatnya itu bisa menjaga sikap karena banyak tamu yang datang. "Mas, aku ke sana sebentar ya?" ucap Zilva saat ingin menghampiri Arumi di pelaminan. "Iya, Sayang. Aku tunggu di sini sama mama. Mbak Selly juga mau ikut itu," balas Amran sembari menunjuk kakaknya yang melangkah paling belakang. "Iya, Mas. Mbak Selly juga mau ngucapin selamat." Zilva tersenyum tipis. "Kenapa nggak sekalian nanti aja pas mau pulang?""Kelamaan, Mas. Arumi sudah lihat tadi, lagipula cuma salaman aja, nanti ke sini lagi," bisik Zilva dibalas dengan anggukan suaminya. Zilva pun menggandeng Rafka lalu men
Robby, tangan kanan Amran itu tiba-tiba datang tanpa mengirimkan pesan terlebih dahulu. Sepertinya ada kabar penting yang dia bawa, makanya buru-buru datang meski dia juga tahu kalau Amran dan keluarganya ada acara saat ini. "Maaf mengganggu, Mas. Ada berita penting yang harus saya sampaikan secepatnya," ucap Robby sembari mengikuti langkah bosnya ke teras rumah. Amran duduk di salah satu kursi teras lalu disusul oleh Robby yang menduduki kursi lain. "Soal apa? Kecelakaan Prilly?" tebak Amran seketika. Namun, Robby menggeleng pelan membuat Amran mengernyit. "Kalau bukan itu, lantas soal apa?" tanyanya penasaran karena tebakan yang diyakininya benar justru salah besar. "Soal lelaki berjaket kulit yang selama ini meneror keluarga bos." Robby mengangguk pelan berusaha meyakinkan saat Amran menatapnya lekat. "Kenapa dia? Sudah tertangkap?" Kali ini Robby menggeleng. "Lantas? Lincah sekali dia, bisa-bisanya kamu dan anak buahmu tak mampu menangkapnya setelah sekian lama berusaha mel
Zilva merahasiakan permasalahan Arumi dengan calon suaminya dari Amran. Dia ingin menjaga perasaan sahabatnya, meskipun Amran sedikit tahu tentang kisah percintaan Arumi saat ini. Kisah cinta yang datang dari sebuah perjodohan, sementara Radit belum selesai dengan masa lalunya. "Cantik," puji Amran saat melihat istrinya keluar dari kamar dengan gamis abu-abunya. Rafka dan Amran pun memakai kemeja dengan warna yang sama. "Bukannya dari dulu memang cantik, Mas? Lupa?" Zilva sedikit mencibir saat digoda suaminya. "Nggak lupa dong. Lagipula kalau nggak cantik, mana mungkin jadi istri seorang Amran." "Oo ... jadi, kriteria menjadi istri Amran itu hanya cantik saja?" Zilva melirik malas. "Cantik wajahnya memang banyak, tapi yang cantik wajah dan hatinya itu nggak akan banyak." Amran menarik pelan dagu istrinya lalu mencium kening dan bibirnya."Kalian sudah siap?" Tiba-tiba mama Amran muncul dari ruang tamu. Sepertinya dia baru saja datang bersama Selly dan Ruri. "Astaghfirullah!" pek
"Om Galih ya, Mas?" tanya Zilva setelah Amran mengakhiri panggilan. Laki-laki itu pun mengangguk lalu meletakkan kembali benda pipih kecil berwarna hitam itu ke meja. "Om Galih bilang kalau Lala akan segera bebas sekitar enam bulan lagi." Zilva manggut-manggut. "Lala masih berharap kalau kamu bakal jenguk dia?" tebak Zilva yang tahu apa inti pembicaraan itu. Zilva paham bagaimana keinginan Lala, tapi dia juga mengerti bagaimana keputusan suaminya yang tak ingin berhubungan dengan mantan istrinya itu lagi. "Biar sajalah, Sayang. Makin ribet kalau nanti berurusan dengan dia lagi. Kita nggak tahu apakah tiga tahun penahanannya itu membuatnya benar-benar jera atau justru menimbulkan dendam semakin dalam." "Jenguk saja sekali, Mas. Nggak ada salahnya kan?" bujuk Zilva lagi. Namun, Amran justru hanya membalas dengan hembusan napas kasar lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kamu lupa bagaimana sepak terjangnya selama ini? Dia nyaris memisahkan kita dan membuat kita selalu ribut, Saya
"Assalamualaikum. Bagaimana kabarmu, Ran?" Suara dari seberang mengingatkan Amran dengan seseorang yang begitu dia kenal. Amran mengernyit. Dia tak tahu mengapa tiba-tiba laki-laki itu meneleponnya dengan nomor baru. "Wa'alaikumsalam, Pa. Alhamdulillah kabar baik. Papa sama mama gimana?" tanya Amran pada Galih, orang tua Lala yang tak lain mantan istri keduanya. "Alhamdulillah kami baik, Ran." Amran mengucap Hamdallah saat mendengar berita baik itu. "Sudah lama tak kasih kabar, papa hanya mau bilang kalau nomor yang lama hilang. Ini nomor baru papa." "Iya, Pa. Nanti Amran simpan nomornya. Maaf belum bisa jenguk papa dan mama. Akhir-akhir ini cukup banyak masalah dan Amran harus menyelesaikannya satu persatu." Amran menghela napas panjang. Sejak perceraiannya dengan Lala beberapa bulan silam, Amran memang hanya dua atau tiga kali menjenguk mertuanya. Itupun karena mama mertuanya sakit. Setelahnya, dia tak pernah ke sana lagi karena memang banyak masalah yang menimpa keluarganya.
"Fika, sini sama Tante." Zilva menyambut Fika dengan hangat. Gadis cantik itu dititipkan pada Zilva dan Amran selama Prilly masih di klinik. Romi yang bekerja sebagai karyawan swasta tak mungkin bisa menjaga Fika 24 jam. Dia harus bekerja dan menjenguk istrinya. Oleh karena itulah, pilihan terakhir dan terbaik memang menitipkan Fika pada Zilva karena dia yang selalu di rumah. "Tante, maaf kalau Fika ganggu Tante Zilva ya," ucap Fika dengan polosnya. "Nggak ganggu, Sayang. Tante justru senang Fika di sini. Adik Rafka ada yang nemenin main. Iya kan?" Zilva jongkok, mensejajari Fika yang berdiri di depannya. Dia pun tersenyum lalu mengusap puncak kepala Fika yang menatapnya dengan berbinar. "Iya, Tante. Fika mau ajak adik Rafka main," balas Fika sembari berlari kecil ke arah Rafka yang bermain bola di ruang tengah. Zilva dan Amran saling tatap lalu sama-sama tersenyum. Amran merangkul istrinya saat melangkah beriringan mendekati Rafka dan Fika. Mereka membicarakan tentang keadaan Pr
"Gimana keadaan Prilly, Ma?" tanya Amran saat mamanya menjemput di depan pintu utama klinik Amal Sehat. "Alhamdulillah Prilly membaik, Ran. Dia cuma agak trauma saja." Amran menatap mamanya lekat."Trauma gimana, Ma?" lirih Amran sembari melangkah ke kamar inap Prilly. "Dia bilang beberapa kali tak sengaja lihat ada yang mengikutinya. Sebelum ke pasar tadi dia juga sudah lihat laki-laki yang menabraknya itu, tapi Prilly mencoba berbaik sangka. Ternyata, firasatnya memang benar kalau laki-laki itu ingin mencelakainya." Ratna menjelaskan semuanya pada Amran. "Jadi, Prilly memang sengaja ditabrak?" tanya Amran lagi saat berhenti di depan kamar inap Prilly. Ratna pun mengangguk. "Dia kabur setelah melihat Prilly tergeletak di trotoar." "Kurang ajar," gumam Amran begitu geram. Jemari-jemarinya mengepal. Dia tak akan tinggal diam melihat adiknya diperlakukan semena-mena seperti itu. "Sudahlah, Ran. Yang penting sekarang kesembuhan Prilly dulu. Soal pelakunya kita urus belakangan." "N