Di sisi lain, Xavier yang tengah berada dalam mobil miliknya, dia terpikir untuk menuju rumah sakit, di mana ayahnya Aurora tengan dirawat saat ini."Tuan, kita akan pergi kemana?" tanya Lucas seraya sedikit melirik Xavier dari kaca spion mobil."Pergi ke rumah sakit!" jawab Xavier tenang dan datar. "Baik Tuan." Lucas menjawan dan tetap pokus dengan kemudi mobil. "Hei Lucas, menurut kamu ... apa yang akan dilakukan wanita itu?" tanya Xavier kepada Lucas mengenai Aurora. "Mungkin seperti yang anda inginkan, Tuan." Lucas bisa menebak apa yang akan terjadi, karena pada awalnya, Xavier tidak bermaksud untuk menyita rumah mereka. Tidak lain dia hanya ingin kalau Aurora memohon pertolongan kepadanya, karena wanita itu secara berani menghindari tuannya.Bagi Xavier, itu adalah sebuah penghinaan, tidak pernah ada wanita yang berani mengabaikannya dengan status dia saat ini.Wanita itu bahkan berani menjawab setiap pertanyaan darinya dengan enteng. Tanpa di suruh, wanita lain akan melempark
Lucas yang sebagai asisten pribadinya, ia meninggalkan tempat parkir mobil milik Tuannya, bergegas masuk kelantai rumah sakit, dimana ayah Aurora akan melakukan operasi. Ia segera mengurus mengenai segala hal pembayaran untuk perawatan ayah Aurora. "Tuan, Nona Aurora?" ujar Susan bertanya kepada Lucas, yang saat itu menghampiri mereka. "Dia sedang berbicara dengan tuan Xavier, tidak perlu khawatir!" Sahut Lucas penuh peringatan. Ia bahkan langsung pergi untuk menemui dokter, agar segera melakukan operasi kepada ayah Aurora. "Dok, lakukan yang terbaik, ini perintah tuan Xavier!" Tegas Lucas dengan nada serius. "Baik Tuan, kami akan berusaha." Sahut dokter tersebut. "Kalian boleh kembali, tuan Xavier telah mengutus anak buahnya untuk berjaga disini." Tegas Lucas kepada kepala penyidik kasus Ayahnya Aurora. "Masalah ini, biar nanti Tuan Xavier yang mengurusnya setelah keadaan Tuan Jordy stabil!" Semua mengerti bahwa ucapan Lucas itu, mengandung peringatan dan perintah mutlak dari s
Aurora yang merasa sangat lelah dengan apa yang telah terjadi kepadanya, ia memutuskan untuk membersihkan dirinya terlebih dulu, namun betapa terkejutnya, setelah ia selesai mandi dan akan berganti pakaian, ia mengerutkan dahinya bingung, melihat isi lemari, yang ada hanya tersedia beberapa pakaian tidur sexi, bahkan sangat menggoda. "Apa-apaan semua baju tidur ini? Apa aku harus memakai baju sexi seperti ini?" Ucap Aurora yang tertegun bingung, ia bingung memilih baju tidur mana yang akan ia kenakan. "Aku harus membawa baju aku yang lain dari rumah." Tegasnya seraya menghela napas dalam. Ia memberanikan diri untuk bertanya kepada Lucas. Ia berjalan keluar dari kamarnya, dan segera bergegas menghampiri arah kamar tidur Lucas. Tok...tok...tok. "Tuan, apa anda sudah tidur?" tanya Aurora setelah mengetuk pintu kamar Lucas. Mendengar sebuah ketukan pintu, Lucas bergegas bangkit dari tempat duduknya dan segera membukakan pintu kamar, "Apa ada yang bisa saya bantu nona?" "Itu, Tuan, a
Kehidupan indah yang ia jalani selama ini, kebanggaan terhadap dirinya sendiri harus musnah begitu saja, ia meratapi nasibnya sendiri dalam keheningan malam yang sunyi sepi. Di sebuah kamar yang sangat luas, sebuah kediaman megah bak istana kerajaan, tanpa seseorang yang ia sayangi, tanpa keluarga terkasihnya, semua telah sirna begitu saja dari hidupnya. Setelah ia selesai membaca semua aturan yang terdapat dalam isi kontrak tersebut. Inilah sebuah awal kehidupan, dimana penderitaannya akan dimulai, akan ia jalani dengan menundukkan kepala, tanpa penenang, tanpa penyemangat sang ibu yang selama ini menemaninya, ia hanya bisa pasrah dengan jalan hidup yang ditakdirkan tuhan kepadanya. Ditengah malam yang panjang dalam tangisnya, ia membuka sebuah jendela kamar, menatap langit yang dipenuhi oleh bintang, ia menatap betapa indahnya malam saat ini, seolah-olah tengah menertawakan dirinya yang tengah rapuh. "Langit malam yang sangat indah, ditemani bintang yang berkelip,
Xavier telah berada ditempat makan terlebih dahulu, ia terdiam dengan sedikit geram, menunggu kehadiran Aurora yang belum memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. "Dasar lelet!" ujar Xavier menggertakkan giginya. "Saya akan memanggilnya, Tuan." Sahut Lucas yang melihat Xavier sudah menunjukkan ekspresi geramnya. "Tidak perlu!" tegas Xavier"Hah?" Lucas berkerut sedikit bingung. "Maaf, Tuan. Saya terlambat." Ujar Aurora yang sedikit berjalan lebih cepat kearah Xavier. Pria itu hanya menatapnya dengan tajam, dengan ekspresi wajah yang bermusuhan. "Lakukan tugasmu dengan benar!" ujar Xavier menunjuk piring makannya. "Baik, Tuan." Aurora segera memindahkan makanan ke piringnya Xavier, Setelah selesai menyajikan makanannya, tanpa bergerak lagi, ia hanya berdiam diri disamping kursi Xavier tanpa berbicara sepatah katapun. "Apa kau akan terus berdiri seperti patung?" tanya Xavier langsung meletakan sendok makannya dan melirik kearah Aurora ber
Malam hari, pukul 09.00. Aurora memegangi perutnya yang saat ini tengah keroncongan, ia hanya sempat sarapan pagi ketika bersama Xavier saja. Tok! Tok! Tok!"Iya, sebentar!" Aurora segera bangun dari kasurnya, ia melangkahkan kaki untuk membuka pintu kamarnya. "Pak, apa ada yang harus saya kerjakan lagi?" tanya Aurora kepada pak Nan. Pak Nan yang sebagai kepala pengurus rumah di kediaman Xavier, memang bertugas untuk membagikan apapun yang harus dikerjakan oleh Aurora, dan beberapa pelayan dikediaman tersebut. "Nona, sebentar lagi tuan muda sampai, pergilah untuk menyambut kepulangan tuan muda!" ujar pak Nan mengingatkan. "Baik pak." Mendengar sebuah kata, nama Xavier, bulu kuduknya bergidik, rasa takut itu kembali menghampirinya. Aurora segera bergegas mengikuti langkah kaki pak Nan, dari belakang. "Tuan, selamat malam," ujar Aurora dan pak Nan dengan sopan. "Ya." Xavier menjawab dengan ekspresi datar di wajahnya, seraya ia memberikan tas kerjanya kepada Aurora. "Ikuti aku
Tanpa diduga, perutnya yang sudah sangat keroncongan akhirnya mengeluarkan bunyi, Xavier sontak langsung menoleh kearah dirinya. "Apa wanita ini belum makan malam?" ujarnya dalam hati seraya menatap Aurora dengan tajam. "Dasar perut tidak tahu diri, bisakah tidak berbunyi disaat seperti ini?" ia mengutuk perutnya sendiri dalam hati. "Apa kau belum makan malam?" "Ya, Tuan." jawabnya tanpa ragu.Bodoh amat, intinya aku sudah tidak kuat lagi, aku sangat lapar sekali."Kenapa?" tanya Xavier bangung. "Anda belum kembali, Tuan." sahut Aurora menjawab dengan tegas. "Oh. Kalau begitu, pergilah makan malam, suara perutmu mengganggu telingaku." jawab Xavier dengan ketus. "Apa anda sudah makan malam, Tuan?" tanya Aurora spontan. "Ya, tadi di kantor, pergilah!" sahut Xavier seraya memasang wajah dingin. "Baik, Tuan. kalau begitu saya permisi." Aurora segera melangkah pergi dari kamar Xavier dengan hati yang sangat kesal. "Dasar keterlaluan,
Xavier melangkahkan kakinya, mencoba meninggalkan tempat tersebut, dimana yang saat itu ia berdiri mematung dan tak bersua, samar-samar mendengarkan keluh kesahnya aurora dari balik pintu kamarnya, yang menjadi sebuah penghalang keduanya. Ia segera pergi, meninggalkan tempatnya ia berdiri, ia sangat sadar betul, bahwa semua masalah itu bukanlah kesalahan aurora, seorang wanita cantik yang bermata biru indah tersebut, seperti namanya aurora, ia memang memiliki paras indah yang luar biasa, seperti sebuah keajaiban alam, layaknya cahaya aurora dikutub utara. Sadar saat itu Ia berada dimana, takut-takut ada yang melihatnya tengah menguping dibalik pintu kamar tidur milik wanita tersebut, ia memutuskan untuk segera kembali keruangan kerja pribadinya, duduk disebuah kursi dengan tegap, seraya menghela napas dalam, dinyalakannya sebuah roko miliknya, ia sedikit menghela napas jemaah dan seraya berfikir dengan sangat keras. "Apakah aku terlalu berle