"Hoam ...."
Aurora yang masih menguap merasakan ngantuk, seketika ia menutup mulutnya. Ketika ia sadari Xavier tengah duduk di sampingnya, menatap dirinya dengan tajam."Kenapa kamu ada di sini?" spontan Aurora bertanya, dengan keadaannya yang masih sedikit linglung."Ini tempat tidurku." Jawab Xavier dingin.Aurora memperhatikan sekelilingnya, benar saja, ruangan ini adalah kamar pribadi Xavier. Kenapa dia bisa berbaring di atas ranjang pria ini.Matanya terbelalak, ketika dia mengingat hal apa saja yang terjadi malam tadi.Aurora melirik Xavier dengan ujung matanya, dia ingin bertanya mengenai ucapan yang selalu Xavier gumamkan, ketika pria itu berada dalam keadaan mabuk."Sudahlah, tidak perlu di pikirkan." Ujarnya dalam hati."Kenapa, apa ada yang ingin kamu tanyakan?" tanya Xavier menelisik ke dalam matanya."T-tidak," sahutnya gelagapan.Mendengar jawaban Aurora, Xavier hanya mengerutkAurora sedikit tercengang, ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang saat ini Xavier pikirkan. Bukankah pernikahan ini hanya sebuah kontrak semata, dia juga semula yang menegaskan jangan pernah muncul di halayak ramai. Lalu apa yang saat ini pria itu pikirkan. 'Menyuruhku mengantar makan siang ke kantor? yang benar saja' pikirnya bingung. 'Sudahlah. Pria itu memang tuannya, raja segala keputusan. Terserah dia ingin apa' Seraya menunggu sup itu matang dengan benar, Aurora sedikit larut dalam pikirannya sendiri. "Kamu mendengarku tidak?" tanya Xavier, karena sepertinya Aurora tidak mendengarkan dengan baik. "Ah ... saya mendengarnya. Sebentar saya tengah mencicipi masakannya terlebih dahulu." Ujarnya beralasan. "Baiklah, minta pak Nan untuk mengantar. berpakaian yang bagus!" walau ucapannya tegas, namun nada bicaranya saat ini sedikit lebih lembut. "Saya mengerti, saya tutup teleponnya, ya?" Walau dengan p
Xavier terdiam menatap wajah Aurora bingung, sebenarnya apa yang telah terjadi, kenapa dia melupakan banyak hal, tentang cerita dan kisah lalu kehidupan dirinya."Baiklah. Aku masih ada pekerjaan. Kamu bisa menungguku di sini terlebih dahulu," ujar Xavier setelah selesai makan siang, buatan Aurora. "Apa tidak apa-apa, jika aku menunggu di sini?" tanya Aurora sedikit ragu. "Memangnya kenapa?" tanya balik Xavier seraya sedikit mengerutkan dahinya. "T-tidak apa-apa," jawab Aurora sedikit canggung."Baiklah, lakukan apapun yang kau mau, tunggu aku selesai bekerja!" tegas Xavier seraya bangkit dari tempat duduknya. Dia berdiri merapihkan jas dan dahinya, berlalu pergi meninggalkan ruangan kantornya, diikuti oleh Luxas dari belakang. Sementara Aurora yang sedikit bosan, dia memutuskan untuk membaca buku yang ada di ruangan kerja Xavier. ***Lusi yang sudah sedari pagi menunggu balasan dari Xavier, namun tidak juga kunjung datang, dia memutuskan untuk menemui Xavier kembali di kantorny
Aurora sejenak terdiam, dia menarik napas panjang dan kembali menghembuskannya berat. Dia setidaknya memang berhutang budi kepada Xavier, tapi bukan berarti dia bisa di tindas begitu saja oleh orang lain, bahkan tidak dia kenali. "Nona, ketika anda memanggilnya dengan sebutan namanya, apakah itu tandanya oramg lain tidak boleh memanggilnya seperti itu?" tanya Aurora masih dengan ekspresi, dan nada bicaranya yang tenang. Semua orang yang melihat, dan tengah memperhatikan kejadian saat ini, mereka semua tercengang heran, tak menyangka. "Siapa wanita yang baru saja ke luar dari ruangan presdir itu?" tanya seorang karyawan di ujung sana, yang sedari awal sudah memperhatikan kejadiannya seperti apa. "Entahlah, tadi saya melihat. Asisten pribadi Luxas, bahkan menjemputnya hingga lobi," jawab seorang karyawan di sampingnya. "Benarkah? Itu artinya, status wanita cantik itu bukan orang biasa. Atau mungkin dia adalah wanita baru presdir?" salah satu karyawan lain menimpali perbincangan dua
Aurora menarik napas panjangnya yang dalam dan berat. Dia menggelengkan kepalanya seraya merubah ekspresi yang semula datat. Raut wajah Aurora kini berubah ramah kembali, dengan senyuman tipis yang menghiasi ujung bibirnya. "Nona Lusi, apakah pria seperti Xavier ... bisa menjadi milik anda seorang?" ujar Aurora bertanya dengan santai. Lusi mengerutkan dahinya, jelas dia tahu dengan pasti. Pria seperti Xavier yang selalu menjadi incaran para wanita, tidak akan cukup dengan satu wanita. Namum rasa ingin menguasai itu tidak bisa dia kendalikan. Xavier hanya boleh menjadi miliknya seorang. Aurora menyunggingkan kembali senyum tipisnya. "Sepertinya anda sadar akan hal itu. Kalau begitu jangan terlalu rakus, Nona." Aurora kembali mengingatkan. "Dasar jalang gila, berani sekali kau mengatakan aku rakus. Kau tidak tahu seberapa istimewa hubungan kami," ujarnya seraya mendelikkan bola matanya. "Ouw, lalu apakah Nona Lusi tahu seberapa istimewa hubungan kami?" jawab Aurora dengan melempark
"Tidak. Ibu ... kumohon bangunlah! jangan tinggalkan Aurora." Tangis Aurora pecah dalam sebuah kamar rumah sakit, tepat di mana sang ibu dilarikan. Ibunya yang mempunyai penyakit serangan jantung, tiba-tiba terjatuh saat mendengar perusahaannya akan bangkrut, dan mendapatkan kabar bahwa sang suami akan segera di penjara. Wanita itu segera di larikan ke rumah sakit terdekat tidak jauh dari rumahnya. Akan tetapi, sungguh naas, saat baru saja tiba, nyawanya sudah tidak dapat tertolong lagi. "Ibu bangun! jangan pergi bu! jangan tinggalkan aku. Apa yang harus aku lakukan jika tanpa ibu?" tangisnya kembali menyeruak, menggema dalam sebuah kamar rumah sakit, tepat di mana ibunya menghembuskan napas terakhir. "Nona, kuatkan dirimu. Nona harus kuat, supaya ibu anda tidak sedih melihatnya," ujar seorang wanita paruh baya yang menjadi kepala pengurus di rumahnya saat itu mencoba menenangkannya. "Tapi, Bi. Berita seperti apa yang telah ibu dapatkan, sehingga membuat penyakitnya kambuh, jelas
Aurora dan petugas penyelidik, membawa ayahnya ke rumah sakit terdekat.Mereka akhirnya sampai di sebuah rumah sakit di mana ibunya Aurora berada. Ayahnya langsung mendapat penanganan dari dokter. "Tolong semua menunggu di luar!" ucap salah satu dokter yang akan menangani ayahnya. "Tolong lakukan yang terbaik dokter." Ucap Aurora memohon. "Tentu saja Nona." Sahut dokter tersebut dan menutup pintu ruangan perawatan. ...........................................................................................................................Aurora menunggu dengan cemas, ia mondar mandir tidak bisa menenangkan dirinya. "Nona, apa yang harus kita lakukan?" ucap sekretaris Susan yang menemaninya bertanya. "Aku tidak tahu, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang." Ia memeluk Susan dengan erat dan penuh ketakutan. Susan mengelus kepala Aurora dengan lembut, berusaha untuk menenangkannya. "Tuan pasti baik-baik saja Nona." Ujar Susan
Beberapa saat kemudian, mobil untuk menjemput jenajah ibunya tiba di rumah sakit. "Nona, mobil sudah sampai, apa kita akan pergi sekarang untuk membawa Nyonya?" ujar Bibi pengurus rumah menghampiri Aurora dan Susan. "Apa tempat untuk pemakaman ibu sudah disiapkan?" tanya Aurora kepada Bibi pengurus rumah. "Tentu Nona, semua telah siap dan tinggal menunggu Nona." "Baiklah, ayo!" Aurora bergegas meninggalkan rumah sakit untuk segera melakukan pemakaman, karena hari juga sudah mulai sore. Sesampainya di rumah, mereka segera berganti pakaian dengan warna hitam, semua anggota keluarganya tidak ada yang hadir, pemakaman hanya dihadiri oleh orang-orang terdekatnya dan para pegawainya saja, beberapa karyawan ayahnya juga hadir untuk mengantar kepergian istri dari atasan mereka. ...........................................................................................................................Keadaan Aurora terlihat begitu lemah dan menyedihkan,
Di sisi lain, Xavier yang tengah berada dalam mobil miliknya, dia terpikir untuk menuju rumah sakit, di mana ayahnya Aurora tengan dirawat saat ini."Tuan, kita akan pergi kemana?" tanya Lucas seraya sedikit melirik Xavier dari kaca spion mobil."Pergi ke rumah sakit!" jawab Xavier tenang dan datar. "Baik Tuan." Lucas menjawan dan tetap pokus dengan kemudi mobil. "Hei Lucas, menurut kamu ... apa yang akan dilakukan wanita itu?" tanya Xavier kepada Lucas mengenai Aurora. "Mungkin seperti yang anda inginkan, Tuan." Lucas bisa menebak apa yang akan terjadi, karena pada awalnya, Xavier tidak bermaksud untuk menyita rumah mereka. Tidak lain dia hanya ingin kalau Aurora memohon pertolongan kepadanya, karena wanita itu secara berani menghindari tuannya.Bagi Xavier, itu adalah sebuah penghinaan, tidak pernah ada wanita yang berani mengabaikannya dengan status dia saat ini.Wanita itu bahkan berani menjawab setiap pertanyaan darinya dengan enteng. Tanpa di suruh, wanita lain akan melempark