Di sisi lain, Xavier yang tengah berada dalam mobil miliknya, dia terpikir untuk menuju rumah sakit, di mana ayahnya Aurora tengan dirawat saat ini.
"Tuan, kita akan pergi kemana?" tanya Lucas seraya sedikit melirik Xavier dari kaca spion mobil."Pergi ke rumah sakit!" jawab Xavier tenang dan datar. "Baik Tuan." Lucas menjawan dan tetap pokus dengan kemudi mobil. "Hei Lucas, menurut kamu ... apa yang akan dilakukan wanita itu?" tanya Xavier kepada Lucas mengenai Aurora. "Mungkin seperti yang anda inginkan, Tuan." Lucas bisa menebak apa yang akan terjadi, karena pada awalnya, Xavier tidak bermaksud untuk menyita rumah mereka. Tidak lain dia hanya ingin kalau Aurora memohon pertolongan kepadanya, karena wanita itu secara berani menghindari tuannya.Bagi Xavier, itu adalah sebuah penghinaan, tidak pernah ada wanita yang berani mengabaikannya dengan status dia saat ini.Wanita itu bahkan berani menjawab setiap pertanyaan darinya dengan enteng. Tanpa di suruh, wanita lain akan melemparkan dirinya dengan sukarela kepada pangkuan tuannya. "Heh ... kau berani sekali menebak apa yang aku pikirkan," ujar Xavier sedikit mencibir. "Tentu saja saya tidak berani, Tuan," sahut Lucas sedikit merasa canggung dan khawatir. "Baiklah ... kau juga tidak perlu menegang seperti itu, kau selalu tahu apa yang aku pikirkan." Xavier betkata seraya memejamkan matanya, dan menyandarkan tubuhnya di kursi mobil. "Tuan, apakah perlu saya melacak keberadaan orang itu?" ujarnya. Lucas bertanya, mengacu kepada paman Aurora yang telah melarikan diri, dan tidak di ketahui keberadaannya saat ini. "Tentu saja." Xavier berkata dengan nada suara yang terbesit dengan ide-ide liciknya. "Baik Tuan." Sesaat kemudian, ponsel Lucas berbunyi, dia melirik kearah Xavier untuk bertanya, apakah dia perlu menjawabnya atau tidak. "Angkat saja!" ujar Xavier. Lucas segera mengangguk dan menjawab panggilan telepon tersebut. "Ya, ada apa?" ujarnya bertanya. "Tuan, tuan Jordy dalam keadaan kritis, dia harus secepatnya melakukan operasi, untuk menyelamatkannya, haruskah?" Laporan penyidik itu terhenti sesaat. Lucas melirik kembali kearah Xavier, karena dia memang menyalakan load speaker ponsel miliknya. "Beritahu anaknya!" tegas Xavier dengan santai. "Apa kamu mendengarnya?" sambung Lucas memastikan pria di seberang telepon sana. "Baik, Tuan." Penyidik itu menjawab tanda mengerti.Tanpa basa-basi, Lucas langsung mengakhiri panggilan telepon tersebut. "Apa kita perlu bergegas, Tuan?" ujar Lucas kembali bertanya. "Tidak perlu, tunggu wanita itu sampai terlebih dahulu!" sahut Xavier dengan tenang."Baik tuan." Disisi lain, Aurora juga mendapatkan panggilan telepon. "Halo?" jawabnya.Aurora mengerutkan dahi sedikit panik, ketika dia mendapatkan panggilan telepon tersebut. "Nona, segera bergegas ke rumah sakit! Ayah anda kritis," ujar seseorang di seberang telepon sana. Laporan itu dari salah satu bawahan ayahnya yang menunggu di rumah sakit. Dia telah di perintahkan oleh penyidik yang di bawah naungan Xavier untuk memberitahu Aurora sesegera mungkin. "Apa?" pekiknya. Aurora begitu merasa kaget ketika mendengar berita tersebut."Baiklah, kamu tunggu, saya akan segera kesana." Aurora segera menutup panggilan telepon. Dia bergegas menuju rumah sakit di mana ayahnya berada. Sesampainya dia di rumah sakit, wanita itu langsung menghampiri salah satu dokter yang menangani ayahnya. "Dokter, apa yang terjadi kepada ayah saya?" ujarnya bertanya. Aurora dengan wajah khawatir, tanpa sadar menarik lengan dokter tersebut sedikit kuat penuh tenaga. "Maap, Nona." Dokter itu segera menarik tangannya yang di genggam erat oleh Aurora. "Ayah anda harus segera melakukan operasi, Nona." Dokter tersebut menjawan dengan tenang. "Kalau begitu, tunggu apa lagi, lakukan sekarang dokter!" tegas Aurora. "Silahkan anda urus terlebih dahulu administrasinya!" ujar dokter tersebut dengan nada suara dingin.Dokter itu segera berbalik pergi, meninggalkan tempat tersebut tanpa ragu. "Bibi, dari mana saya dapat uang sebanyak itu, setidaknya saya harus ada lima ratus juta, Bi," keluh Aurora semakin di buat kebingungan. Belum lagi, untuk perawatan selama masa pemulihan, itu juga kalau operasinya berjalan lancar, jika tidak.Semua pikiran Aurora kosong, operasi bypass jantung bukanlah hal yang main-main, apa lagi seluruh biaya. Dengan keadaan perusahaan yang hampir hancur, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat. Tidak berselang lama, tiba-tiba, sesosok pria yang dia kenali mendekat ke arahnya, berjalan santai dengan gaya agung itu. "Ada apa dengan kamu Nona?" ujar Xavier yang menghampiri bertanya. Aurora tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa. Setelah terdiam cukup lama, dia terpaksa memberanikan diri menjawab pertanyaan Xavier."Tuan ayah saya," ujarnya seraya dia menangis.Aurora tidak bisa melanjutkan ucapannya. Xavier sedikit menyeringai dengan bibirnya yang tipis itu, di sertai ekspresi wajahnya yang dingin. "Apakah tidak ada yang mau membantu kamu?" ujar Xavier menyindir. Sedangkan pria itu sudah tahu, jika keluarga lain dari keluarga Aurora tidak akan ada yang mau menolongnya, bagaimanapun dia telah melakukan penyelidikan, terhadap keluarga Jordy, ayahnya Aurora. Aurora menjawab dengan sendu."Tidak ada, Tuan," jawabnya seraya wajah itu tertunduk lesu. "Hah ... merepotkan sekali. Ikut denganku!" ucap Xavier melangkah pergi dari tempat tersebut, dia mencari tempat yang sepi, seraya tak lepas di ikuti oleh asisten pribadinya. Aurora menatap Susan dan bibi Lani bingung, dengan ragu dia mengikuti kemana arah Xavier berjalan. "Nona?" ucap Susan khawatir, dia tahu rumor Xavier orang yang seperti apa. "Tidak apa-apa, Susan, jangan khawatir." Aurora berusaha menenangkan Susan. Wanita itu segera bergegas menyusul Xavier."Tuan, anda mau kemana?" tanya Aurora yang melihat bahwa mereka semakin jauh dari lantai di mana ayahnya berada. "Masuk ke mobil!" tegas Xavier menjawab. Lucas segera membukakan pintu mobil itu, mempersilahkan Aurora masuk ke dalam. Meski sedikit ragu.Aurora memberanikan diri masuk, dan duduk di ujung kursi mobil, dia menggenggam erat tangannya sendiri, ketika melihat Xavier duduk tepat di sampingnya, bahkan asisten pribadi itu sudah mengerti, dia dengan sengaja menunggu di luar mobil. Aurora yang hanya terdiam tanpa bicara sepatah kata pun, membuat Xavier mulai jengkel akan diri wanita tersebut. "Bicaralah! Apa kau bisu?" ujar Xavier kesal. "Itu, bisakah ... bisakah, Tuan membantu saya?" tanya Aurora dengan ragu dan terbata-bata. "Apa yang perlu aku bantu?" jawab Xavier dingin."Saya butuh biaya untuk operasi bypass jantung ayah saya,Tuan," ujar Aurora di penuhi rasa ketakutan. "Heh ... perusahaan ayah kamu saja telah bangkrut, bahkan sebentar lagi kalian akan kehilangan rumah kalian, untuk apa aku membantu kamu." Nada bicara Xavier jelas sangat merendahkannya. Tapi, memang kenyataannya seperti itu. "Saya berjanji akan membayarnya nanti, Tuan, saya akan mencari pekerjaan dan berusaha melunasi semuanya," ujarnya seraya dia mendekat kearah Xavier dan berjongkok seperti memohon belas kasihan. Xavier menatap wajah Aurora dengan tajam, pria itu mengeluarkan sebungkus rokok, mengambil satu batang dan menyalakannya. Tanpa menjawab, Xavier hanya menghisap dan menghembuskan asap rokok ke udara bekali-kali dengan santai. "Tuan, tolong bantu ayah saya. Saya mohon,Tuan. Saya tidak punya siapa-siapa lagi selain dia," ujar Aurora memelas seraya meneteskan air mata. "Hah ... berapa tahun kau baru bisa melunasinya? Aku orang yang tidak suka menunggu terlalu lama." Xavier berbicara dengan nada tegas. "Saya ... saya tidak bisa berjanji, Tuan, tetapi saya akan berusaha sekuat tenaga saya," ujarnya."Saya akan melakukan apa pun untuk melunasinya, asalkan tuan dapat membantu saya," sambung Aurora dengan yakin. Aurora tidak tahu pria seperti apa yang tengah di hadapinya, bahkan tanpa sadar Aurora mulai masuk ke dalam perangkap pria tersebut. Ucapan yang telah di tunggu-tunggu oleh Xavier, akhirnya keluar juga dari mulut Aurora. Xavier menyeringai dengan licik. "Siapa nama kamu?" ujar Xavier bertanya. "Aurora, Aurora, Tuan," jawabnya. "Nama yang lumayan bagus," sahut Xavier, seraya dia memegang ujung dagu gadis tersebut, dan mengangkatkan kearah wajahnya. Xavier menatapnya dengan sorot mata tajam. "Tuan, apa yang anda lakukan?" Aurora dengan refleks segera melepaskan tangan Xavier dari ujung dagu miliknya. "Bukankah kau akan melakukan apa saja, asal aku membantu kamu?" ujar Xavier berdalih dengan tegas. Aurora sontak kaget mendengar perkataan tersebut, dia merasa ada yang tidak benar dengan ucapan itu."Maksud, Tuan?" "Aku bisa melunasi semua biaya rumah sakit ayah kamu, asal--"Xavier menghentikan ucapannya, menatap dalam dan lekat wajah Aurora yang polos. "Kau harus tinggal di rumahku dan menjadi pelayan pribadiku!" Tegasnya menyeringai. "Pelayan? Pelayan seperti apa yang anda maksudkan, Tuan?" ujarnya bertanya. Aurora mengerutkan dahi penuh curiga. sementara Xavier hanya tersenyum sinis nada merendahkan dirinya. "Turuti semua ucapanku, setiap kata yang keluar dari mulutku, adalah sebuah perintah untuk kamu!" tegas Xavier. "Kau akan menandatangani kontrak petnikahan setelah tiba di kediamanku, kalau kau berani membantah, kau tahu konsekuensinya!" tegas Xavier kepada Aurora. "Apa kau paham?" sambungnya. Wanita itu sejenak terdiam. Dia berpikir keras, haruskah dia menerima tawaran tidak masuk akal tersebut. Namun dia tidak memiliki cara lain lagi."Selama anda bisa membantu saya dan ayah saya. Saya akan melakukannya." Aurora menjawab dengan yakin. "Nona, ingat! Kau tidak berada dalam hal untuk bernegosiasi denganku, ketika kau mengharapkan sesuatu, maka kau harus siap kehilangan sesuatu!" tegas Xavier. 'Tunggu! Apa yang dia maksud adalah termasuk diriku sendiri?' pikirnyaAurora sedikit bertanya-tanya dalam hatinya, dia tertunduk dan terdiam berpikir keras. Melihat ekspresi Aurora yang ragu, Xavier mulai kehilangan kesabaran lagi. "Kalau kau tidak setuju, kau boleh keluar dari mobil ini, dan tunggu kematian ayahmu." Xavier berkata dengan santai. "Ingat! Kau tidak berhak untuk negosiasi denganku!" sambungnya tegas. "Keluar!" titahnya.Tidak ada jalan lain lagi, Aurora hanya bisa mengalah, mengikuti aturan main yang di buat Xavier untuknya. "Saya bersedia." Aurora menjawab tegas. Seringai Xavier, kini berubah penuh makna kemenangan "Tunggulah di sini denganku!" ujarnya tegas kepada Aurora"Ba baik, Tuan," sahut Aurora dengan bingung dan gagap. "Lucas, urus semuanya dengan baik!" tegas dia kepada asisten pribadinya, seraya sedikit menurunkan kaca mobil. "Baik, Tuan." Lucas menjawab dengan sigap.Lucas yang sebagai asisten pribadinya, ia meninggalkan tempat parkir mobil milik Tuannya, bergegas masuk kelantai rumah sakit, dimana ayah Aurora akan melakukan operasi. Ia segera mengurus mengenai segala hal pembayaran untuk perawatan ayah Aurora. "Tuan, Nona Aurora?" ujar Susan bertanya kepada Lucas, yang saat itu menghampiri mereka. "Dia sedang berbicara dengan tuan Xavier, tidak perlu khawatir!" Sahut Lucas penuh peringatan. Ia bahkan langsung pergi untuk menemui dokter, agar segera melakukan operasi kepada ayah Aurora. "Dok, lakukan yang terbaik, ini perintah tuan Xavier!" Tegas Lucas dengan nada serius. "Baik Tuan, kami akan berusaha." Sahut dokter tersebut. "Kalian boleh kembali, tuan Xavier telah mengutus anak buahnya untuk berjaga disini." Tegas Lucas kepada kepala penyidik kasus Ayahnya Aurora. "Masalah ini, biar nanti Tuan Xavier yang mengurusnya setelah keadaan Tuan Jordy stabil!" Semua mengerti bahwa ucapan Lucas itu, mengandung peringatan dan perintah mutlak dari s
Aurora yang merasa sangat lelah dengan apa yang telah terjadi kepadanya, ia memutuskan untuk membersihkan dirinya terlebih dulu, namun betapa terkejutnya, setelah ia selesai mandi dan akan berganti pakaian, ia mengerutkan dahinya bingung, melihat isi lemari, yang ada hanya tersedia beberapa pakaian tidur sexi, bahkan sangat menggoda. "Apa-apaan semua baju tidur ini? Apa aku harus memakai baju sexi seperti ini?" Ucap Aurora yang tertegun bingung, ia bingung memilih baju tidur mana yang akan ia kenakan. "Aku harus membawa baju aku yang lain dari rumah." Tegasnya seraya menghela napas dalam. Ia memberanikan diri untuk bertanya kepada Lucas. Ia berjalan keluar dari kamarnya, dan segera bergegas menghampiri arah kamar tidur Lucas. Tok...tok...tok. "Tuan, apa anda sudah tidur?" tanya Aurora setelah mengetuk pintu kamar Lucas. Mendengar sebuah ketukan pintu, Lucas bergegas bangkit dari tempat duduknya dan segera membukakan pintu kamar, "Apa ada yang bisa saya bantu nona?" "Itu, Tuan, a
Kehidupan indah yang ia jalani selama ini, kebanggaan terhadap dirinya sendiri harus musnah begitu saja, ia meratapi nasibnya sendiri dalam keheningan malam yang sunyi sepi. Di sebuah kamar yang sangat luas, sebuah kediaman megah bak istana kerajaan, tanpa seseorang yang ia sayangi, tanpa keluarga terkasihnya, semua telah sirna begitu saja dari hidupnya. Setelah ia selesai membaca semua aturan yang terdapat dalam isi kontrak tersebut. Inilah sebuah awal kehidupan, dimana penderitaannya akan dimulai, akan ia jalani dengan menundukkan kepala, tanpa penenang, tanpa penyemangat sang ibu yang selama ini menemaninya, ia hanya bisa pasrah dengan jalan hidup yang ditakdirkan tuhan kepadanya. Ditengah malam yang panjang dalam tangisnya, ia membuka sebuah jendela kamar, menatap langit yang dipenuhi oleh bintang, ia menatap betapa indahnya malam saat ini, seolah-olah tengah menertawakan dirinya yang tengah rapuh. "Langit malam yang sangat indah, ditemani bintang yang berkelip,
Xavier telah berada ditempat makan terlebih dahulu, ia terdiam dengan sedikit geram, menunggu kehadiran Aurora yang belum memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. "Dasar lelet!" ujar Xavier menggertakkan giginya. "Saya akan memanggilnya, Tuan." Sahut Lucas yang melihat Xavier sudah menunjukkan ekspresi geramnya. "Tidak perlu!" tegas Xavier"Hah?" Lucas berkerut sedikit bingung. "Maaf, Tuan. Saya terlambat." Ujar Aurora yang sedikit berjalan lebih cepat kearah Xavier. Pria itu hanya menatapnya dengan tajam, dengan ekspresi wajah yang bermusuhan. "Lakukan tugasmu dengan benar!" ujar Xavier menunjuk piring makannya. "Baik, Tuan." Aurora segera memindahkan makanan ke piringnya Xavier, Setelah selesai menyajikan makanannya, tanpa bergerak lagi, ia hanya berdiam diri disamping kursi Xavier tanpa berbicara sepatah katapun. "Apa kau akan terus berdiri seperti patung?" tanya Xavier langsung meletakan sendok makannya dan melirik kearah Aurora ber
Malam hari, pukul 09.00. Aurora memegangi perutnya yang saat ini tengah keroncongan, ia hanya sempat sarapan pagi ketika bersama Xavier saja. Tok! Tok! Tok!"Iya, sebentar!" Aurora segera bangun dari kasurnya, ia melangkahkan kaki untuk membuka pintu kamarnya. "Pak, apa ada yang harus saya kerjakan lagi?" tanya Aurora kepada pak Nan. Pak Nan yang sebagai kepala pengurus rumah di kediaman Xavier, memang bertugas untuk membagikan apapun yang harus dikerjakan oleh Aurora, dan beberapa pelayan dikediaman tersebut. "Nona, sebentar lagi tuan muda sampai, pergilah untuk menyambut kepulangan tuan muda!" ujar pak Nan mengingatkan. "Baik pak." Mendengar sebuah kata, nama Xavier, bulu kuduknya bergidik, rasa takut itu kembali menghampirinya. Aurora segera bergegas mengikuti langkah kaki pak Nan, dari belakang. "Tuan, selamat malam," ujar Aurora dan pak Nan dengan sopan. "Ya." Xavier menjawab dengan ekspresi datar di wajahnya, seraya ia memberikan tas kerjanya kepada Aurora. "Ikuti aku
Tanpa diduga, perutnya yang sudah sangat keroncongan akhirnya mengeluarkan bunyi, Xavier sontak langsung menoleh kearah dirinya. "Apa wanita ini belum makan malam?" ujarnya dalam hati seraya menatap Aurora dengan tajam. "Dasar perut tidak tahu diri, bisakah tidak berbunyi disaat seperti ini?" ia mengutuk perutnya sendiri dalam hati. "Apa kau belum makan malam?" "Ya, Tuan." jawabnya tanpa ragu.Bodoh amat, intinya aku sudah tidak kuat lagi, aku sangat lapar sekali."Kenapa?" tanya Xavier bangung. "Anda belum kembali, Tuan." sahut Aurora menjawab dengan tegas. "Oh. Kalau begitu, pergilah makan malam, suara perutmu mengganggu telingaku." jawab Xavier dengan ketus. "Apa anda sudah makan malam, Tuan?" tanya Aurora spontan. "Ya, tadi di kantor, pergilah!" sahut Xavier seraya memasang wajah dingin. "Baik, Tuan. kalau begitu saya permisi." Aurora segera melangkah pergi dari kamar Xavier dengan hati yang sangat kesal. "Dasar keterlaluan,
Xavier melangkahkan kakinya, mencoba meninggalkan tempat tersebut, dimana yang saat itu ia berdiri mematung dan tak bersua, samar-samar mendengarkan keluh kesahnya aurora dari balik pintu kamarnya, yang menjadi sebuah penghalang keduanya. Ia segera pergi, meninggalkan tempatnya ia berdiri, ia sangat sadar betul, bahwa semua masalah itu bukanlah kesalahan aurora, seorang wanita cantik yang bermata biru indah tersebut, seperti namanya aurora, ia memang memiliki paras indah yang luar biasa, seperti sebuah keajaiban alam, layaknya cahaya aurora dikutub utara. Sadar saat itu Ia berada dimana, takut-takut ada yang melihatnya tengah menguping dibalik pintu kamar tidur milik wanita tersebut, ia memutuskan untuk segera kembali keruangan kerja pribadinya, duduk disebuah kursi dengan tegap, seraya menghela napas dalam, dinyalakannya sebuah roko miliknya, ia sedikit menghela napas jemaah dan seraya berfikir dengan sangat keras. "Apakah aku terlalu berle
Pagi hari pukul 07.00Ketika Xavier telah bangun dari tidurnya, ia segera turun menuju kelantai 1, ia tiba-tiba terdiam diujung pintu masuk, ketika ia mendapati aurora terlihat tengah sibuk memasak dan menyiapkan sarapan pagi untuknya, sementara ia tahu, bahwa semalam perasaan wanita itu tidak baik-baik saja, tapi sekarang, wajahnya menunjukan seolah-olah tidak terjadi apa-apa kepadanya.Setelah selesai membuat sarapan, ia segera pergi menuju halaman belakang, kesebuah taman dimana disana halaman itu sangat luas dan megah, namun tidak ada tanaman bunga satupun yang terdapat disana, hanya rumput kaki yang hijau, sebuah taman yang luas namun sepi tanpa terdapat sebuah keindahan.Karna itu ia memutuskan untuk menanam beberapa jenis bunga, sehingga bisa mengobati sedikit rasa kerinduannya terhadap rumahnya, dan ia bisa mengenang kenangan bersama ibunya ketika masih hidup, karna memang mereka berdua selalu menghiasi taman dikediamannya dengan berbagai jenis bun
Aurora menarik napas panjangnya yang dalam dan berat. Dia menggelengkan kepalanya seraya merubah ekspresi yang semula datat. Raut wajah Aurora kini berubah ramah kembali, dengan senyuman tipis yang menghiasi ujung bibirnya. "Nona Lusi, apakah pria seperti Xavier ... bisa menjadi milik anda seorang?" ujar Aurora bertanya dengan santai. Lusi mengerutkan dahinya, jelas dia tahu dengan pasti. Pria seperti Xavier yang selalu menjadi incaran para wanita, tidak akan cukup dengan satu wanita. Namum rasa ingin menguasai itu tidak bisa dia kendalikan. Xavier hanya boleh menjadi miliknya seorang. Aurora menyunggingkan kembali senyum tipisnya. "Sepertinya anda sadar akan hal itu. Kalau begitu jangan terlalu rakus, Nona." Aurora kembali mengingatkan. "Dasar jalang gila, berani sekali kau mengatakan aku rakus. Kau tidak tahu seberapa istimewa hubungan kami," ujarnya seraya mendelikkan bola matanya. "Ouw, lalu apakah Nona Lusi tahu seberapa istimewa hubungan kami?" jawab Aurora dengan melempark
Aurora sejenak terdiam, dia menarik napas panjang dan kembali menghembuskannya berat. Dia setidaknya memang berhutang budi kepada Xavier, tapi bukan berarti dia bisa di tindas begitu saja oleh orang lain, bahkan tidak dia kenali. "Nona, ketika anda memanggilnya dengan sebutan namanya, apakah itu tandanya oramg lain tidak boleh memanggilnya seperti itu?" tanya Aurora masih dengan ekspresi, dan nada bicaranya yang tenang. Semua orang yang melihat, dan tengah memperhatikan kejadian saat ini, mereka semua tercengang heran, tak menyangka. "Siapa wanita yang baru saja ke luar dari ruangan presdir itu?" tanya seorang karyawan di ujung sana, yang sedari awal sudah memperhatikan kejadiannya seperti apa. "Entahlah, tadi saya melihat. Asisten pribadi Luxas, bahkan menjemputnya hingga lobi," jawab seorang karyawan di sampingnya. "Benarkah? Itu artinya, status wanita cantik itu bukan orang biasa. Atau mungkin dia adalah wanita baru presdir?" salah satu karyawan lain menimpali perbincangan dua
Xavier terdiam menatap wajah Aurora bingung, sebenarnya apa yang telah terjadi, kenapa dia melupakan banyak hal, tentang cerita dan kisah lalu kehidupan dirinya."Baiklah. Aku masih ada pekerjaan. Kamu bisa menungguku di sini terlebih dahulu," ujar Xavier setelah selesai makan siang, buatan Aurora. "Apa tidak apa-apa, jika aku menunggu di sini?" tanya Aurora sedikit ragu. "Memangnya kenapa?" tanya balik Xavier seraya sedikit mengerutkan dahinya. "T-tidak apa-apa," jawab Aurora sedikit canggung."Baiklah, lakukan apapun yang kau mau, tunggu aku selesai bekerja!" tegas Xavier seraya bangkit dari tempat duduknya. Dia berdiri merapihkan jas dan dahinya, berlalu pergi meninggalkan ruangan kantornya, diikuti oleh Luxas dari belakang. Sementara Aurora yang sedikit bosan, dia memutuskan untuk membaca buku yang ada di ruangan kerja Xavier. ***Lusi yang sudah sedari pagi menunggu balasan dari Xavier, namun tidak juga kunjung datang, dia memutuskan untuk menemui Xavier kembali di kantorny
Aurora sedikit tercengang, ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang saat ini Xavier pikirkan. Bukankah pernikahan ini hanya sebuah kontrak semata, dia juga semula yang menegaskan jangan pernah muncul di halayak ramai. Lalu apa yang saat ini pria itu pikirkan. 'Menyuruhku mengantar makan siang ke kantor? yang benar saja' pikirnya bingung. 'Sudahlah. Pria itu memang tuannya, raja segala keputusan. Terserah dia ingin apa' Seraya menunggu sup itu matang dengan benar, Aurora sedikit larut dalam pikirannya sendiri. "Kamu mendengarku tidak?" tanya Xavier, karena sepertinya Aurora tidak mendengarkan dengan baik. "Ah ... saya mendengarnya. Sebentar saya tengah mencicipi masakannya terlebih dahulu." Ujarnya beralasan. "Baiklah, minta pak Nan untuk mengantar. berpakaian yang bagus!" walau ucapannya tegas, namun nada bicaranya saat ini sedikit lebih lembut. "Saya mengerti, saya tutup teleponnya, ya?" Walau dengan p
"Hoam ...." Aurora yang masih menguap merasakan ngantuk, seketika ia menutup mulutnya. Ketika ia sadari Xavier tengah duduk di sampingnya, menatap dirinya dengan tajam. "Kenapa kamu ada di sini?" spontan Aurora bertanya, dengan keadaannya yang masih sedikit linglung. "Ini tempat tidurku." Jawab Xavier dingin.Aurora memperhatikan sekelilingnya, benar saja, ruangan ini adalah kamar pribadi Xavier. Kenapa dia bisa berbaring di atas ranjang pria ini. Matanya terbelalak, ketika dia mengingat hal apa saja yang terjadi malam tadi. Aurora melirik Xavier dengan ujung matanya, dia ingin bertanya mengenai ucapan yang selalu Xavier gumamkan, ketika pria itu berada dalam keadaan mabuk."Sudahlah, tidak perlu di pikirkan." Ujarnya dalam hati. "Kenapa, apa ada yang ingin kamu tanyakan?" tanya Xavier menelisik ke dalam matanya. "T-tidak," sahutnya gelagapan. Mendengar jawaban Aurora, Xavier hanya mengerutk
Suara cicitan burung di pagi hari, rasa dahaga di tenggorokannya, membuat Xavier tersadar. Mau tidak mau, walau kepalanya sungguh terasa berat, dia memaksakan diri untuk bergerak. "Uh ... ini kamarku?" Xavier memeriksa sekitarnya. ia melirik jam di atas nakas. "Sudah siang." Gumamnya.Dia mencoba beranjak dari atas ranjangnya, disibakan selimbutnya ke sebelah dirinya. Namun betapa terjetunya, ketika dia melihat Aurora yang tengah tertidur di samping ranjangnya.Wanita itu terlelap dalam keadaan duduk di kursi, dan separuh bagian atas tubuhnya terlengkup di atas ranjang samping Xavier"Apakah wanita ini, semalaman tidur dalam posisi seperti ini?" ujar Xavier menatap dalam wanita tersebut. Matanya melihat, dan memastikan baju yang saat ini dia kenakan, tentunya sudah berbeda dengan pakaiannya semalam, batinnya bertanya-tanya, sejak kapan wanita jahat ini perhatian terhadap dirinya. Xavier hanya terdiam dengan posisi tubuhn
Merasa sedikit canggung dan penuh tanya dengan kalimat terakhir yang di ucapkan oleh Xavier, Nico yang saat ini tengah terbaring di kursi, tepat di sampingnya Xavier. Ia mencoba bangkit seraya memijat dahi dan juga kepalanya. Seolah-olah ia merasakan pusing yang sangat hebat. Pandangannya berpura-pura seperti terlihat kabur. "Uh ... kepalaku sakit sekali." Nico menyandarkan tubuhnya diatas sofa, memijat ujung pundaknya seraya menyipitkan sebelah mata. Memandang kedepan, berpura-pura memastikan siapa yang saat ini berada di ruangan tersebut."Pak Nan, apakah itu kamu?" ujarnya bertanya seperti orang linglung. "Ya, ini saya. Tuan muda Nico ini pereda mabuk, silahkan!" sahut pak Nan menjawab, seraya menyodorkan minuman perdeda mabuk. "Dasar tukang akting." ujar Pak Nan, di dalam hatinya. Tanpa merubah ekspresinya sedikitpun. Nico yang sudah mengenal sikap dan sifat Pak Nan, ia hanya tersenyum licik di ujung bibirnya, seraya menerima minuman yang di berikan lelaki
Aurora yang merasa sudah merasa baikan akan kondisi dirinya, ia menyadari bahwa waktu sudah sangat larut, bahkan sebentar lagi akan menjelang pagi, namun Xavier belum juga kembali, tidak mungkin terjadi sesuatu bukan."Kemana pria itu, kenapa belum juga kembali?" gumamnya seraya ia memandangi jendela, melihat dan menunggu kedatangan mobil milik Xavier. Seharian beristirahat, membuat matanya terjaga dikala malam hari. Tanpa sadar ia mulai terbiasa, menunggu kepulangan pria itu dan menyambutnya. Aurora berjalan keluar dari kamarnya, ia melangkah menyusuri anak tangga."Nona, kenapa anda belum tidur?" Pak Nan yang juga masih menunggu kepulangan Xavier, ia merasa sedikit cemas, berkali-kali ia mondar-mandir dari lantai atas ke lantai bawah, begitupun sebaliknya. Pak Nan telah menghubungi Lucas, namun Xavier mengatakan bahwa ia ada urusan pribadi, dan tidak ingin dibuntuti siapapun. "Emm... itu. Pak, apakah tuan belum kembali?" tanya Aurora memberanikan diri
Xavier dengan raut wajah yang muram, ia kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaannya. Berkali-kali ia memijat dahinya, ia masih tidak habis pikir, apakah dirinya semenakutkan itu, apakah ia begitu jelek, hingga wanita itu tidak pernah menunjukan ekspresi kagum sedikitpun. "Temani aku minum malam ini!" Xavier berbicara di telepon kepada sahabatnya dengan nada dingin dan kesal. "Hei, kenapa lagi dengan nada bicara kamu itu?" sahut Nico sedikit bingung menatap ponsel miliknya. Tanpa menghiraukan pertanyaan sahabatnya, Xavier langsung memutus panggilan teleponnya, Nico hanya bisa berdecik sedikit kesal. "Cih, orang gila itu, selalu saja menghancurkan rencana siang dan malamku yang indah." Nico yang bermaksud untuk pergi berkencan, ia terpaksa harus membatalkan rencananya sendiri, dan menemani sahabatnya, yang saat ini seperti tengah kesal dengan kehidupan pribadinya. Tok! Tok! Tok! "Masuk!" Xavier menat