"Tidak. Ibu ... kumohon bangunlah! jangan tinggalkan Aurora." Tangis Aurora pecah dalam sebuah kamar rumah sakit, tepat di mana sang ibu dilarikan.
Ibunya yang mempunyai penyakit serangan jantung, tiba-tiba terjatuh saat mendengar perusahaannya akan bangkrut, dan mendapatkan kabar bahwa sang suami akan segera di penjara. Wanita itu segera di larikan ke rumah sakit terdekat tidak jauh dari rumahnya. Akan tetapi, sungguh naas, saat baru saja tiba, nyawanya sudah tidak dapat tertolong lagi. "Ibu bangun! jangan pergi bu! jangan tinggalkan aku. Apa yang harus aku lakukan jika tanpa ibu?" tangisnya kembali menyeruak, menggema dalam sebuah kamar rumah sakit, tepat di mana ibunya menghembuskan napas terakhir. "Nona, kuatkan dirimu. Nona harus kuat, supaya ibu anda tidak sedih melihatnya," ujar seorang wanita paruh baya yang menjadi kepala pengurus di rumahnya saat itu mencoba menenangkannya. "Tapi, Bi. Berita seperti apa yang telah ibu dapatkan, sehingga membuat penyakitnya kambuh, jelas selama ini ibu selalu terlihat baik-baik saja," ujarnya bertanya, yang saat itu seluruh badannya masih bergetar hebat. Aurora memeluk jasad ibunya dengan erat. "Saya juga tidak tahu, Nona. Setelah Nyonya menerima panggilan telepon, Nyonya langsung terlihat sangat syok, seketika tiba-tiba terjatuh ke lantai," tutur wanita paruh baya tersebut menjawab, seraya ia menjelaskan sedikit detailnya seperti apa. Sedetik kemudian, seseorang datang berlari menghampiri Aurora dengan begitu tergesa-gesa."Nona, gawat!" ujar wanita itu menghampiri dengan wajah panik. "Sekretaris Susan?" tanya Aurora kaget ketika melihat sekretaris pribadi ayahnya, yang tiba-tiba datang menghampiri. Namun seketika, Susan lebih di buat terkejut, dia tertegun mematung tak bergeming, menatap seseorang yang sudah putih pucat, dan sudah tidak bernapas lagi. "A apa yang terjadi dengan Nyonya, Nona?" tanya Susan menatap wajah Aurora semakin panik. "Ibu. Susan ... ibu telah pergi meninggalkan kita," ujarnya dengan tangisan yang kembali pecah. Dia tidak bisa menahan emosi dan kesedihannya lagi.Bagaimana tidak, dia yang selalu di manjakan oleh kedua orang tuanya terutama ibunya, harus kehilangan sosok tersebut secara mendadak. Semua terjadi secara tiba-tiba, seperti membalikan telapak tangan. Susan terdiam tidak percaya, dia begitu syok dengan apa yang saat ini tengah terjadi di hadapannya, dia semakin ragu untuk memberitahukan keadaan perusahaan ayahnya kepada Aurora. "Nona ... sebenarnya saya kesini---"Susan sejenak menghentikan ucapannya, di tatapnya wajah Aurora dengan dalam. "Ada apa Susan, apa yang sedang terjadi?" tanya Aurora semakin tidak enak hati. "Tuan, tuan ... dia--" jawab Susan dengan terbata-bata.Susan semakin tidak tega untuk memberitahu masalah yang tengah terjadi saat ini kepada Aurora, sementara di saat yang bersamaan, Aurora juga telah kehilangan ibunya, dan perusahaan ayahnya, kini di ambang kehancuran. Aurora sangat tahu dengan jelas, ada yang tidak beres dengan perusahaan milik ayahnya, karena selama ini, sekretaris ayahnya tidak pernah datang tanpa sebuah alasan yang jelas dan khusus. "Apa yang terjadi dengan perusahaan ayah?" tegas Aurora bertanya, seraya langsung berdiri menghampiri Susan yang masih mematung tak bergeming. Susan sesaat hanya bisa menarik napas panjang sangat berat. "Tuan, dia sekarang ada di kantor polisi Nona," sahutnya menjawab lemas. "A apa?" ujarnya kaget dengan ekspresi tidak percaya."I iya Nona, perusahaan tengah berada dalam masalah besar, tuan meminta saya, untuk menemui anda, Nona!" ujar Susan menjawab gelagapan, seraya menundukan kepalanya. Berasa seperti di sambar petir di siang bolong, tubuhnya bergetar hebat, Aurora begitu terkejut dengan apa yang dia dengar.Terkulai lesu tidak berdaya, dia seperti merasakan tubuhnya telah di hantam sebuah batu besar, di tusuk-tusuk oleh pisau, dan di siram air garam. Seluruh masalah datang menghampirinya secara bersamaan, mengobrak-abrik kehidupan yang semula damai dan tenang, hingga untuk bernapas saja, rasanya begitu kesulitan. "Apa ayah baik-baik saja?" ujarnya bertanya dengan lirih dan lesu. "Tuan baik-baik saja Nona."Susan dengan kepala yang masih menunduk, tidak berani menatap wajah Aurora. "Bagaimana mungkin, akhir-akhir ini, kesehatan ayah justru kurang baik. Sebenarnya apa yang tengah terjadi Susan, kenapa semua ini begitu mendadak?" tanya Aurora bingung dan tak kuasa menahan air mata.Tidak tahu harus berbuat apa, dan harus melakukan apa. Kenyataannya, Aurora selama ini hanya putri yang di manjakan oleh kedua orang tuanya, walau ia mendalami bidang bisnis yang di turunkan ayahnya, akan tetapi selama ini dia tidak pernah terjun ke dalam sebuah konflik besar perusahaan. Ayahnya selama ini tidak ingin, kalau putri satu-satunya ikut terseret dalam perebutan kepemilikan perusahaan keluarga besarnya. "Tuan hanya memerintahkan saya, agar Nona menemui tuan!" ujar Susan dengan wajah merasa bersalah. Tubuh Aurora sudah tidak kuat menahan guncangan lagi, dia langsung ambruk dan seketika bersimbuh di lantai. "Nona. Tolong nona harus kuat!" ujar Susan menguatkan, seraya langsung memapah tubuh Aurora dari lantai ke atas kursi. Aurora menatap wajah ibunya yang sudah tidak bernapas sama sekali, sementara dokter yang berada di ruangan tersebut, hanya bisa terdiam dengan wajah yang ikut memasang ekspresi kasihan. "Nona, maafkan kami menyela, ibu nona harus segera di pindahkan, Nona. Tidak baik kalau membiarkannya seperti ini!" ujar dokter tersebut memberi saran. Aurora sesaat terdiam, dia mengangkat wajah menatap sendu dokter itu. Aurora menyeka air matanya, seraya menghembuskan napas berat. "Bibi, tolong jaga jasad ibu sebentar, aku akan menemui ayah terlebih dahulu," ujar Aurora seraya melirik wanita paruh baya tersebut meminta tolong. "Dokter, anda boleh memindahkan jasad ibu saya, saya akan membawanya setelah urusan saya selesai." Aurora mencoba bangkit dari duduknya. "Silahkan, Nona." Dokter tersebut menjawab seraya bergegas memindahkannya ke ruang mayat di bantu beberapa petugas rumah sakit. "Susan, ayo antar aku menemui ayah!" pinta Aurora kepada Susan seraya bergegas meninggalkan rumah sakit. Sekuat tenaga dia berusaha untuk tegar, jika bukan dirinya, lalu siapa yang bisa di andalkan keluarganya saat ini. ***Aurora dan Susan telah tiba di sebuah kantor polisi, di mana ayahnya tengah mendapatkan pemeriksaan dan sebuah penyelidikan yang menyeluruh. "Ayah, apa yang terjadi?" ujar Aurora bertanya, yang saat itu sudah berada di ruang penyelidikan ayahnya."Putriku, maafkan ayah," ujar ayahnya dengan ekspresi wajah penuh penyesalan. "Ini bukan waktunya ayah untuk meminta maaf, jelaskan kepada Aurora apa yang sebenarnya telah terjadi ayah?" Ayahnya seketika menyadari, mata sembab milik putrinya, seperti dia baru saja telah menangis cukup hebat. "Apa yang terjadi kepadamu Aurora?" ujar ayahnya balik bertanya kepada putrinya, seraya menatap tajam, tanpa menjawab pertanyaan sang putri yang lebih dulu. "Ayah, katakan terlebih dahulu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Aurora kembali dengan wajah tegas. Ayahnya terdiam dan menghela napas begitu berat, dia terpaksa harus menceritakan detail masalahnya. "Ayah telah di tuduh menggelapkan sebuah dana perusahaan yang sangat besar, tapi ayah bersumpah ayah tidak melakukan hal tersebut," jawab ayahnya tegas menjelaskan. "Bagaimana mungkin ayah menghancurkan perusahaan keluarga kita, Aurora." Ayahnya lanjut menjelaskan. "Jadi menurut ayah, siapa yang telah memfitnah ayah?" ujarnya seketika bertanya dengan sangat yakin. "Hah ... ayah curiga kepada paman kamu, tapi ayah tidak bisa berbuat apa-apa, semua bukti mengarah kepada ayah," lirihnya dengan nada suara berat dan pasrah menjawab. "Bagaimana mungkin paman melakukan hal kejam seperti itu ayah?" ujar Aurora sedikit tidakk percaya. "Aurora putri ayah, dalam sebuah bisnis, tidak ada yang namanya keluarga dan teman, yang ada hanyalah, bagaimana caranya saling menjatuhkan," tuturnya"Ayah selama ini terlalu naif, bahkan mempercayakan semua kepada paman kamu, hanya saja satu bulan terakhir ini, ayah baru merasa ada yang janggal, akan tetapi ... ayah sudah terlambat," tuturnya lanjut menceritakan. "Aurora akan mencari cara untuk membuktikan, bahwa ayah tidak bersalah!" tegasnya, seraya dia menggenggam erat tangan ayahnya dengan yakin. "Putriku, orang yang menuntut ayah bukanlah orang yang bisa kita lawan, apa lagi kamu Aurora," tegasnya mengacu kepada sebuah perusahaan besar yang begitu ternama, yang saat itu tengah bekerja sama dengan perusahaannya beberapa tahun lalu. "Tapi Aurora tahu, ayah tidak akan melakukan hal itu, Aurora percaya sama ayah," ujarnya membela. "Ayah tahu. Putriku ... pergilah bersama ibumu untuk tinggalkan rumah kita, ayah tidak ingin kalian terseret dalam masalah besar ini, biarkan ayah yang bertanggung jawab," pintanya dengan nada putus asa, begitu terlihat jelas di wajahnya. "Bagaimana mungkin ayah, Aurora hanya tinggal punya ayah seorang, apa yang harus Aurora lakukan di luar sana?" ujarnya sedikit tertunduk lesu. Aurora terisak, tangisnya tidak bisa dia tahan lagi, butir-butir kristal bening yang dia tahan akhirnya menetes dari kedua bola mata sembabnya. Ibunya telah meninggal dunia, bagaimana dia bisa meninggalkan ayahnya yang tengah berada dalam kesulitan dan berada di jurang kematian. Ayahnya seketika terkejut mendengar ucapan Aurora. "Apa maksud kamu Aurora?" ujar ayahnya mendelik bertanya dengan bingung. "I ibu, ibu telah pergi meninggalkan dunia ini ayah."Aurora langsung menangis kembali sejadi-jadinya. Dia langsung memeluk tubuh ayahnya dengan sangat erat. Mendengar ucapan putrinya, seketika ia merasa kehilangan jiwanya, ia tidak percaya istri tercintanya telah meninggalkan dunia ini. "Apa? Kamu bercanda Aurora?" ucapnya memastikan apa yang ia dengar adalah salah. "Tidak ayah," sahutnya menunduk lesu, dia kembali menangis sesegukkan. "Tapi ... bahkan Aurora datang terlambat ayah, Aurora tidak bisa melihat detik-detik terakhir ibu, Aurora tidak berguna ayah." Tangisnya kembali pecah di ruangan tersebut. Sementara Ayahnya yang tidak percaya mendengar ucapan putrinya, ia terdiam menekan dadanya sendiri, ia merasakan sesak dari dalam jantungnya, bagaimana ini bisa terjadi, kenapa semua ini begitu mendadak, semua masalah menghampiri secara bersamaan. Brukk....Tubuh ayahnya tiba-tiba terjatuh dan tersungkur ke lantai, ia seketika tidak sadarkan diri. "Ayah, apa yang terjadi pada ayah, ayah bangun! ayah!" panik Aurora, dia langsung berlari ke luar dari ruangan tersebut, dan berteriak keras. "Tolong, siapa pun tolong ayah saya, saya mohon," teriaknya memanggil para petugas seraya bercucuran air mata dengan wajah begitu panik. Susan yang mendengar, dan juga beberapa petugas penyelidik, segera berlari menghampiri, dan bergesas masuk ke ruangan penyelidikan. "Pak, bangun! Pak?" ucap salah satu petugas menepuk-nepuk pipi ayah Aurora. "Apa yang terjadi kepada ayah saya? tolong selamatkan dia!" ujar Aurora seraya mencengkram dengan erat lengan petugas tersebut. "Tenanglah Nona! lebih baik kita membawanya ke rumah sakit terlebih dahulu!" sahut petugas itu menjawab.Aurora dan petugas penyelidik, membawa ayahnya ke rumah sakit terdekat.Mereka akhirnya sampai di sebuah rumah sakit di mana ibunya Aurora berada. Ayahnya langsung mendapat penanganan dari dokter. "Tolong semua menunggu di luar!" ucap salah satu dokter yang akan menangani ayahnya. "Tolong lakukan yang terbaik dokter." Ucap Aurora memohon. "Tentu saja Nona." Sahut dokter tersebut dan menutup pintu ruangan perawatan. ...........................................................................................................................Aurora menunggu dengan cemas, ia mondar mandir tidak bisa menenangkan dirinya. "Nona, apa yang harus kita lakukan?" ucap sekretaris Susan yang menemaninya bertanya. "Aku tidak tahu, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang." Ia memeluk Susan dengan erat dan penuh ketakutan. Susan mengelus kepala Aurora dengan lembut, berusaha untuk menenangkannya. "Tuan pasti baik-baik saja Nona." Ujar Susan
Beberapa saat kemudian, mobil untuk menjemput jenajah ibunya tiba di rumah sakit. "Nona, mobil sudah sampai, apa kita akan pergi sekarang untuk membawa Nyonya?" ujar Bibi pengurus rumah menghampiri Aurora dan Susan. "Apa tempat untuk pemakaman ibu sudah disiapkan?" tanya Aurora kepada Bibi pengurus rumah. "Tentu Nona, semua telah siap dan tinggal menunggu Nona." "Baiklah, ayo!" Aurora bergegas meninggalkan rumah sakit untuk segera melakukan pemakaman, karena hari juga sudah mulai sore. Sesampainya di rumah, mereka segera berganti pakaian dengan warna hitam, semua anggota keluarganya tidak ada yang hadir, pemakaman hanya dihadiri oleh orang-orang terdekatnya dan para pegawainya saja, beberapa karyawan ayahnya juga hadir untuk mengantar kepergian istri dari atasan mereka. ...........................................................................................................................Keadaan Aurora terlihat begitu lemah dan menyedihkan,
Di sisi lain, Xavier yang tengah berada dalam mobil miliknya, dia terpikir untuk menuju rumah sakit, di mana ayahnya Aurora tengan dirawat saat ini."Tuan, kita akan pergi kemana?" tanya Lucas seraya sedikit melirik Xavier dari kaca spion mobil."Pergi ke rumah sakit!" jawab Xavier tenang dan datar. "Baik Tuan." Lucas menjawan dan tetap pokus dengan kemudi mobil. "Hei Lucas, menurut kamu ... apa yang akan dilakukan wanita itu?" tanya Xavier kepada Lucas mengenai Aurora. "Mungkin seperti yang anda inginkan, Tuan." Lucas bisa menebak apa yang akan terjadi, karena pada awalnya, Xavier tidak bermaksud untuk menyita rumah mereka. Tidak lain dia hanya ingin kalau Aurora memohon pertolongan kepadanya, karena wanita itu secara berani menghindari tuannya.Bagi Xavier, itu adalah sebuah penghinaan, tidak pernah ada wanita yang berani mengabaikannya dengan status dia saat ini.Wanita itu bahkan berani menjawab setiap pertanyaan darinya dengan enteng. Tanpa di suruh, wanita lain akan melempark
Lucas yang sebagai asisten pribadinya, ia meninggalkan tempat parkir mobil milik Tuannya, bergegas masuk kelantai rumah sakit, dimana ayah Aurora akan melakukan operasi. Ia segera mengurus mengenai segala hal pembayaran untuk perawatan ayah Aurora. "Tuan, Nona Aurora?" ujar Susan bertanya kepada Lucas, yang saat itu menghampiri mereka. "Dia sedang berbicara dengan tuan Xavier, tidak perlu khawatir!" Sahut Lucas penuh peringatan. Ia bahkan langsung pergi untuk menemui dokter, agar segera melakukan operasi kepada ayah Aurora. "Dok, lakukan yang terbaik, ini perintah tuan Xavier!" Tegas Lucas dengan nada serius. "Baik Tuan, kami akan berusaha." Sahut dokter tersebut. "Kalian boleh kembali, tuan Xavier telah mengutus anak buahnya untuk berjaga disini." Tegas Lucas kepada kepala penyidik kasus Ayahnya Aurora. "Masalah ini, biar nanti Tuan Xavier yang mengurusnya setelah keadaan Tuan Jordy stabil!" Semua mengerti bahwa ucapan Lucas itu, mengandung peringatan dan perintah mutlak dari s
Aurora yang merasa sangat lelah dengan apa yang telah terjadi kepadanya, ia memutuskan untuk membersihkan dirinya terlebih dulu, namun betapa terkejutnya, setelah ia selesai mandi dan akan berganti pakaian, ia mengerutkan dahinya bingung, melihat isi lemari, yang ada hanya tersedia beberapa pakaian tidur sexi, bahkan sangat menggoda. "Apa-apaan semua baju tidur ini? Apa aku harus memakai baju sexi seperti ini?" Ucap Aurora yang tertegun bingung, ia bingung memilih baju tidur mana yang akan ia kenakan. "Aku harus membawa baju aku yang lain dari rumah." Tegasnya seraya menghela napas dalam. Ia memberanikan diri untuk bertanya kepada Lucas. Ia berjalan keluar dari kamarnya, dan segera bergegas menghampiri arah kamar tidur Lucas. Tok...tok...tok. "Tuan, apa anda sudah tidur?" tanya Aurora setelah mengetuk pintu kamar Lucas. Mendengar sebuah ketukan pintu, Lucas bergegas bangkit dari tempat duduknya dan segera membukakan pintu kamar, "Apa ada yang bisa saya bantu nona?" "Itu, Tuan, a
Kehidupan indah yang ia jalani selama ini, kebanggaan terhadap dirinya sendiri harus musnah begitu saja, ia meratapi nasibnya sendiri dalam keheningan malam yang sunyi sepi. Di sebuah kamar yang sangat luas, sebuah kediaman megah bak istana kerajaan, tanpa seseorang yang ia sayangi, tanpa keluarga terkasihnya, semua telah sirna begitu saja dari hidupnya. Setelah ia selesai membaca semua aturan yang terdapat dalam isi kontrak tersebut. Inilah sebuah awal kehidupan, dimana penderitaannya akan dimulai, akan ia jalani dengan menundukkan kepala, tanpa penenang, tanpa penyemangat sang ibu yang selama ini menemaninya, ia hanya bisa pasrah dengan jalan hidup yang ditakdirkan tuhan kepadanya. Ditengah malam yang panjang dalam tangisnya, ia membuka sebuah jendela kamar, menatap langit yang dipenuhi oleh bintang, ia menatap betapa indahnya malam saat ini, seolah-olah tengah menertawakan dirinya yang tengah rapuh. "Langit malam yang sangat indah, ditemani bintang yang berkelip,
Xavier telah berada ditempat makan terlebih dahulu, ia terdiam dengan sedikit geram, menunggu kehadiran Aurora yang belum memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. "Dasar lelet!" ujar Xavier menggertakkan giginya. "Saya akan memanggilnya, Tuan." Sahut Lucas yang melihat Xavier sudah menunjukkan ekspresi geramnya. "Tidak perlu!" tegas Xavier"Hah?" Lucas berkerut sedikit bingung. "Maaf, Tuan. Saya terlambat." Ujar Aurora yang sedikit berjalan lebih cepat kearah Xavier. Pria itu hanya menatapnya dengan tajam, dengan ekspresi wajah yang bermusuhan. "Lakukan tugasmu dengan benar!" ujar Xavier menunjuk piring makannya. "Baik, Tuan." Aurora segera memindahkan makanan ke piringnya Xavier, Setelah selesai menyajikan makanannya, tanpa bergerak lagi, ia hanya berdiam diri disamping kursi Xavier tanpa berbicara sepatah katapun. "Apa kau akan terus berdiri seperti patung?" tanya Xavier langsung meletakan sendok makannya dan melirik kearah Aurora ber
Malam hari, pukul 09.00. Aurora memegangi perutnya yang saat ini tengah keroncongan, ia hanya sempat sarapan pagi ketika bersama Xavier saja. Tok! Tok! Tok!"Iya, sebentar!" Aurora segera bangun dari kasurnya, ia melangkahkan kaki untuk membuka pintu kamarnya. "Pak, apa ada yang harus saya kerjakan lagi?" tanya Aurora kepada pak Nan. Pak Nan yang sebagai kepala pengurus rumah di kediaman Xavier, memang bertugas untuk membagikan apapun yang harus dikerjakan oleh Aurora, dan beberapa pelayan dikediaman tersebut. "Nona, sebentar lagi tuan muda sampai, pergilah untuk menyambut kepulangan tuan muda!" ujar pak Nan mengingatkan. "Baik pak." Mendengar sebuah kata, nama Xavier, bulu kuduknya bergidik, rasa takut itu kembali menghampirinya. Aurora segera bergegas mengikuti langkah kaki pak Nan, dari belakang. "Tuan, selamat malam," ujar Aurora dan pak Nan dengan sopan. "Ya." Xavier menjawab dengan ekspresi datar di wajahnya, seraya ia memberikan tas kerjanya kepada Aurora. "Ikuti aku
Aurora menarik napas panjangnya yang dalam dan berat. Dia menggelengkan kepalanya seraya merubah ekspresi yang semula datat. Raut wajah Aurora kini berubah ramah kembali, dengan senyuman tipis yang menghiasi ujung bibirnya. "Nona Lusi, apakah pria seperti Xavier ... bisa menjadi milik anda seorang?" ujar Aurora bertanya dengan santai. Lusi mengerutkan dahinya, jelas dia tahu dengan pasti. Pria seperti Xavier yang selalu menjadi incaran para wanita, tidak akan cukup dengan satu wanita. Namum rasa ingin menguasai itu tidak bisa dia kendalikan. Xavier hanya boleh menjadi miliknya seorang. Aurora menyunggingkan kembali senyum tipisnya. "Sepertinya anda sadar akan hal itu. Kalau begitu jangan terlalu rakus, Nona." Aurora kembali mengingatkan. "Dasar jalang gila, berani sekali kau mengatakan aku rakus. Kau tidak tahu seberapa istimewa hubungan kami," ujarnya seraya mendelikkan bola matanya. "Ouw, lalu apakah Nona Lusi tahu seberapa istimewa hubungan kami?" jawab Aurora dengan melempark
Aurora sejenak terdiam, dia menarik napas panjang dan kembali menghembuskannya berat. Dia setidaknya memang berhutang budi kepada Xavier, tapi bukan berarti dia bisa di tindas begitu saja oleh orang lain, bahkan tidak dia kenali. "Nona, ketika anda memanggilnya dengan sebutan namanya, apakah itu tandanya oramg lain tidak boleh memanggilnya seperti itu?" tanya Aurora masih dengan ekspresi, dan nada bicaranya yang tenang. Semua orang yang melihat, dan tengah memperhatikan kejadian saat ini, mereka semua tercengang heran, tak menyangka. "Siapa wanita yang baru saja ke luar dari ruangan presdir itu?" tanya seorang karyawan di ujung sana, yang sedari awal sudah memperhatikan kejadiannya seperti apa. "Entahlah, tadi saya melihat. Asisten pribadi Luxas, bahkan menjemputnya hingga lobi," jawab seorang karyawan di sampingnya. "Benarkah? Itu artinya, status wanita cantik itu bukan orang biasa. Atau mungkin dia adalah wanita baru presdir?" salah satu karyawan lain menimpali perbincangan dua
Xavier terdiam menatap wajah Aurora bingung, sebenarnya apa yang telah terjadi, kenapa dia melupakan banyak hal, tentang cerita dan kisah lalu kehidupan dirinya."Baiklah. Aku masih ada pekerjaan. Kamu bisa menungguku di sini terlebih dahulu," ujar Xavier setelah selesai makan siang, buatan Aurora. "Apa tidak apa-apa, jika aku menunggu di sini?" tanya Aurora sedikit ragu. "Memangnya kenapa?" tanya balik Xavier seraya sedikit mengerutkan dahinya. "T-tidak apa-apa," jawab Aurora sedikit canggung."Baiklah, lakukan apapun yang kau mau, tunggu aku selesai bekerja!" tegas Xavier seraya bangkit dari tempat duduknya. Dia berdiri merapihkan jas dan dahinya, berlalu pergi meninggalkan ruangan kantornya, diikuti oleh Luxas dari belakang. Sementara Aurora yang sedikit bosan, dia memutuskan untuk membaca buku yang ada di ruangan kerja Xavier. ***Lusi yang sudah sedari pagi menunggu balasan dari Xavier, namun tidak juga kunjung datang, dia memutuskan untuk menemui Xavier kembali di kantorny
Aurora sedikit tercengang, ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang saat ini Xavier pikirkan. Bukankah pernikahan ini hanya sebuah kontrak semata, dia juga semula yang menegaskan jangan pernah muncul di halayak ramai. Lalu apa yang saat ini pria itu pikirkan. 'Menyuruhku mengantar makan siang ke kantor? yang benar saja' pikirnya bingung. 'Sudahlah. Pria itu memang tuannya, raja segala keputusan. Terserah dia ingin apa' Seraya menunggu sup itu matang dengan benar, Aurora sedikit larut dalam pikirannya sendiri. "Kamu mendengarku tidak?" tanya Xavier, karena sepertinya Aurora tidak mendengarkan dengan baik. "Ah ... saya mendengarnya. Sebentar saya tengah mencicipi masakannya terlebih dahulu." Ujarnya beralasan. "Baiklah, minta pak Nan untuk mengantar. berpakaian yang bagus!" walau ucapannya tegas, namun nada bicaranya saat ini sedikit lebih lembut. "Saya mengerti, saya tutup teleponnya, ya?" Walau dengan p
"Hoam ...." Aurora yang masih menguap merasakan ngantuk, seketika ia menutup mulutnya. Ketika ia sadari Xavier tengah duduk di sampingnya, menatap dirinya dengan tajam. "Kenapa kamu ada di sini?" spontan Aurora bertanya, dengan keadaannya yang masih sedikit linglung. "Ini tempat tidurku." Jawab Xavier dingin.Aurora memperhatikan sekelilingnya, benar saja, ruangan ini adalah kamar pribadi Xavier. Kenapa dia bisa berbaring di atas ranjang pria ini. Matanya terbelalak, ketika dia mengingat hal apa saja yang terjadi malam tadi. Aurora melirik Xavier dengan ujung matanya, dia ingin bertanya mengenai ucapan yang selalu Xavier gumamkan, ketika pria itu berada dalam keadaan mabuk."Sudahlah, tidak perlu di pikirkan." Ujarnya dalam hati. "Kenapa, apa ada yang ingin kamu tanyakan?" tanya Xavier menelisik ke dalam matanya. "T-tidak," sahutnya gelagapan. Mendengar jawaban Aurora, Xavier hanya mengerutk
Suara cicitan burung di pagi hari, rasa dahaga di tenggorokannya, membuat Xavier tersadar. Mau tidak mau, walau kepalanya sungguh terasa berat, dia memaksakan diri untuk bergerak. "Uh ... ini kamarku?" Xavier memeriksa sekitarnya. ia melirik jam di atas nakas. "Sudah siang." Gumamnya.Dia mencoba beranjak dari atas ranjangnya, disibakan selimbutnya ke sebelah dirinya. Namun betapa terjetunya, ketika dia melihat Aurora yang tengah tertidur di samping ranjangnya.Wanita itu terlelap dalam keadaan duduk di kursi, dan separuh bagian atas tubuhnya terlengkup di atas ranjang samping Xavier"Apakah wanita ini, semalaman tidur dalam posisi seperti ini?" ujar Xavier menatap dalam wanita tersebut. Matanya melihat, dan memastikan baju yang saat ini dia kenakan, tentunya sudah berbeda dengan pakaiannya semalam, batinnya bertanya-tanya, sejak kapan wanita jahat ini perhatian terhadap dirinya. Xavier hanya terdiam dengan posisi tubuhn
Merasa sedikit canggung dan penuh tanya dengan kalimat terakhir yang di ucapkan oleh Xavier, Nico yang saat ini tengah terbaring di kursi, tepat di sampingnya Xavier. Ia mencoba bangkit seraya memijat dahi dan juga kepalanya. Seolah-olah ia merasakan pusing yang sangat hebat. Pandangannya berpura-pura seperti terlihat kabur. "Uh ... kepalaku sakit sekali." Nico menyandarkan tubuhnya diatas sofa, memijat ujung pundaknya seraya menyipitkan sebelah mata. Memandang kedepan, berpura-pura memastikan siapa yang saat ini berada di ruangan tersebut."Pak Nan, apakah itu kamu?" ujarnya bertanya seperti orang linglung. "Ya, ini saya. Tuan muda Nico ini pereda mabuk, silahkan!" sahut pak Nan menjawab, seraya menyodorkan minuman perdeda mabuk. "Dasar tukang akting." ujar Pak Nan, di dalam hatinya. Tanpa merubah ekspresinya sedikitpun. Nico yang sudah mengenal sikap dan sifat Pak Nan, ia hanya tersenyum licik di ujung bibirnya, seraya menerima minuman yang di berikan lelaki
Aurora yang merasa sudah merasa baikan akan kondisi dirinya, ia menyadari bahwa waktu sudah sangat larut, bahkan sebentar lagi akan menjelang pagi, namun Xavier belum juga kembali, tidak mungkin terjadi sesuatu bukan."Kemana pria itu, kenapa belum juga kembali?" gumamnya seraya ia memandangi jendela, melihat dan menunggu kedatangan mobil milik Xavier. Seharian beristirahat, membuat matanya terjaga dikala malam hari. Tanpa sadar ia mulai terbiasa, menunggu kepulangan pria itu dan menyambutnya. Aurora berjalan keluar dari kamarnya, ia melangkah menyusuri anak tangga."Nona, kenapa anda belum tidur?" Pak Nan yang juga masih menunggu kepulangan Xavier, ia merasa sedikit cemas, berkali-kali ia mondar-mandir dari lantai atas ke lantai bawah, begitupun sebaliknya. Pak Nan telah menghubungi Lucas, namun Xavier mengatakan bahwa ia ada urusan pribadi, dan tidak ingin dibuntuti siapapun. "Emm... itu. Pak, apakah tuan belum kembali?" tanya Aurora memberanikan diri
Xavier dengan raut wajah yang muram, ia kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaannya. Berkali-kali ia memijat dahinya, ia masih tidak habis pikir, apakah dirinya semenakutkan itu, apakah ia begitu jelek, hingga wanita itu tidak pernah menunjukan ekspresi kagum sedikitpun. "Temani aku minum malam ini!" Xavier berbicara di telepon kepada sahabatnya dengan nada dingin dan kesal. "Hei, kenapa lagi dengan nada bicara kamu itu?" sahut Nico sedikit bingung menatap ponsel miliknya. Tanpa menghiraukan pertanyaan sahabatnya, Xavier langsung memutus panggilan teleponnya, Nico hanya bisa berdecik sedikit kesal. "Cih, orang gila itu, selalu saja menghancurkan rencana siang dan malamku yang indah." Nico yang bermaksud untuk pergi berkencan, ia terpaksa harus membatalkan rencananya sendiri, dan menemani sahabatnya, yang saat ini seperti tengah kesal dengan kehidupan pribadinya. Tok! Tok! Tok! "Masuk!" Xavier menat