Share

KURUNGAN CINTA CEO KEJAM
KURUNGAN CINTA CEO KEJAM
Author: Ra_ca

Bab 01: Kematian

"Tidak. Ibu ... kumohon bangunlah! jangan tinggalkan Aurora." Tangis Aurora pecah dalam sebuah kamar rumah sakit, tepat di mana sang ibu dilarikan. 

Ibunya yang mempunyai penyakit serangan jantung, tiba-tiba terjatuh saat mendengar perusahaannya akan bangkrut, dan mendapatkan kabar bahwa sang suami akan segera di penjara. 

Wanita itu segera di larikan ke rumah sakit terdekat tidak jauh dari rumahnya. Akan tetapi, sungguh naas, saat baru saja tiba, nyawanya sudah tidak dapat tertolong lagi. 

"Ibu bangun! jangan pergi bu! jangan tinggalkan aku. Apa yang harus aku lakukan jika tanpa ibu?" tangisnya kembali menyeruak, menggema dalam sebuah kamar rumah sakit, tepat di mana ibunya menghembuskan napas terakhir. 

"Nona, kuatkan dirimu. Nona harus kuat, supaya ibu anda tidak sedih melihatnya," ujar seorang wanita paruh baya yang menjadi kepala pengurus di rumahnya saat itu mencoba menenangkannya. 

"Tapi, Bi. Berita seperti apa yang telah ibu dapatkan, sehingga membuat penyakitnya kambuh, jelas selama ini ibu selalu terlihat baik-baik saja," ujarnya bertanya, yang saat itu seluruh badannya masih bergetar hebat. Aurora memeluk jasad ibunya dengan erat. 

"Saya juga tidak tahu, Nona. Setelah Nyonya menerima panggilan telepon, Nyonya langsung terlihat sangat syok, seketika tiba-tiba terjatuh ke lantai," tutur wanita paruh baya tersebut menjawab, seraya ia menjelaskan sedikit detailnya seperti apa. 

Sedetik kemudian, seseorang datang berlari menghampiri Aurora dengan begitu tergesa-gesa.

"Nona, gawat!" ujar wanita itu menghampiri dengan wajah panik. 

"Sekretaris Susan?" tanya Aurora kaget ketika melihat sekretaris pribadi ayahnya, yang tiba-tiba datang menghampiri. Namun seketika, Susan lebih di buat terkejut, dia tertegun mematung tak bergeming, menatap seseorang yang sudah putih pucat, dan sudah tidak bernapas lagi. 

"A apa yang terjadi dengan Nyonya, Nona?" tanya Susan menatap wajah Aurora semakin panik. 

"Ibu. Susan ... ibu telah pergi meninggalkan kita," ujarnya dengan tangisan yang kembali pecah. Dia tidak bisa menahan emosi dan kesedihannya lagi.

Bagaimana tidak, dia yang selalu di manjakan oleh kedua orang tuanya terutama ibunya, harus kehilangan sosok tersebut secara mendadak. Semua terjadi secara tiba-tiba, seperti membalikan telapak tangan. 

Susan terdiam tidak percaya, dia begitu syok dengan apa yang saat ini tengah terjadi di hadapannya, dia semakin ragu untuk memberitahukan keadaan perusahaan ayahnya kepada Aurora. 

"Nona ... sebenarnya saya kesini---"

Susan sejenak menghentikan ucapannya, di tatapnya wajah Aurora dengan dalam. 

"Ada apa Susan, apa yang sedang terjadi?" tanya Aurora semakin tidak enak hati.  

"Tuan, tuan ... dia--" jawab Susan dengan terbata-bata.

Susan semakin tidak tega untuk memberitahu masalah yang tengah terjadi saat ini kepada Aurora, sementara di saat yang bersamaan, Aurora juga telah kehilangan ibunya, dan perusahaan ayahnya, kini di ambang kehancuran. 

Aurora sangat tahu dengan jelas, ada yang tidak beres dengan perusahaan milik ayahnya, karena selama ini, sekretaris ayahnya tidak pernah datang tanpa sebuah alasan yang jelas dan khusus. 

"Apa yang terjadi dengan perusahaan ayah?" tegas Aurora bertanya, seraya langsung berdiri menghampiri Susan yang masih mematung tak bergeming. 

Susan sesaat hanya bisa menarik napas panjang sangat berat. 

"Tuan, dia sekarang ada di kantor polisi Nona," sahutnya menjawab lemas. 

"A apa?" ujarnya kaget dengan ekspresi tidak percaya.

"I iya Nona, perusahaan tengah berada dalam masalah besar, tuan meminta saya, untuk menemui anda, Nona!" ujar Susan menjawab gelagapan, seraya menundukan kepalanya. 

Berasa seperti di sambar petir di siang bolong, tubuhnya bergetar hebat, Aurora begitu terkejut dengan apa yang dia dengar.

Terkulai lesu tidak berdaya, dia seperti merasakan tubuhnya telah di hantam sebuah batu besar, di tusuk-tusuk oleh pisau, dan di siram air garam. 

Seluruh masalah datang menghampirinya secara bersamaan, mengobrak-abrik kehidupan yang semula damai dan tenang, hingga untuk bernapas saja, rasanya begitu kesulitan. 

"Apa ayah baik-baik saja?" ujarnya bertanya dengan lirih dan lesu. 

"Tuan baik-baik saja Nona."

Susan dengan kepala yang masih menunduk, tidak berani menatap wajah Aurora. 

"Bagaimana mungkin, akhir-akhir ini, kesehatan ayah justru kurang baik. Sebenarnya apa yang tengah terjadi Susan, kenapa semua ini begitu mendadak?" tanya Aurora bingung dan tak kuasa menahan air mata.

Tidak tahu harus berbuat apa, dan harus melakukan apa. Kenyataannya, Aurora selama ini hanya putri yang di manjakan oleh kedua orang tuanya, walau ia mendalami bidang bisnis yang di turunkan ayahnya, akan tetapi selama ini dia tidak pernah terjun ke dalam sebuah konflik besar perusahaan. 

Ayahnya selama ini tidak ingin, kalau putri satu-satunya ikut terseret dalam perebutan kepemilikan perusahaan keluarga besarnya. 

"Tuan hanya memerintahkan saya, agar Nona menemui tuan!" ujar Susan dengan wajah merasa bersalah. 

Tubuh Aurora sudah tidak kuat menahan guncangan lagi, dia langsung ambruk dan seketika bersimbuh di lantai. 

"Nona. Tolong nona harus kuat!" ujar Susan menguatkan, seraya langsung memapah tubuh Aurora dari lantai ke atas kursi. 

Aurora menatap wajah ibunya yang sudah tidak bernapas sama sekali, sementara dokter yang berada di ruangan tersebut, hanya bisa terdiam dengan wajah yang ikut memasang ekspresi kasihan. 

"Nona, maafkan kami menyela, ibu nona harus segera di pindahkan, Nona. Tidak baik kalau membiarkannya seperti ini!" ujar dokter tersebut memberi saran.  

Aurora sesaat terdiam, dia mengangkat wajah menatap sendu dokter itu. Aurora menyeka air matanya, seraya menghembuskan napas berat. 

"Bibi, tolong jaga jasad ibu sebentar, aku akan menemui ayah terlebih dahulu," ujar Aurora seraya melirik wanita paruh baya tersebut meminta tolong. 

"Dokter, anda boleh memindahkan jasad ibu saya, saya akan membawanya setelah urusan saya selesai." Aurora mencoba bangkit dari duduknya. 

"Silahkan, Nona." Dokter tersebut menjawab seraya bergegas memindahkannya ke ruang mayat di bantu beberapa petugas rumah sakit. 

"Susan, ayo antar aku menemui ayah!" pinta Aurora kepada Susan seraya bergegas meninggalkan rumah sakit. Sekuat tenaga dia berusaha untuk tegar, jika bukan dirinya, lalu siapa yang bisa di andalkan keluarganya saat ini. 

***

Aurora dan Susan telah tiba di sebuah kantor polisi, di mana ayahnya tengah mendapatkan pemeriksaan dan sebuah penyelidikan yang menyeluruh. 

"Ayah, apa yang terjadi?" ujar Aurora bertanya, yang saat itu sudah berada di ruang penyelidikan ayahnya.

"Putriku, maafkan ayah," ujar ayahnya dengan ekspresi wajah penuh penyesalan. 

"Ini bukan waktunya ayah untuk meminta maaf, jelaskan kepada Aurora apa yang sebenarnya telah terjadi ayah?" 

Ayahnya seketika menyadari, mata sembab milik putrinya, seperti dia baru saja telah menangis cukup hebat. 

"Apa yang terjadi kepadamu Aurora?" ujar ayahnya balik bertanya kepada putrinya, seraya menatap tajam, tanpa menjawab pertanyaan sang putri yang lebih dulu. 

"Ayah, katakan terlebih dahulu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Aurora kembali dengan wajah tegas. 

Ayahnya terdiam dan menghela napas begitu berat, dia terpaksa harus menceritakan detail masalahnya. 

"Ayah telah di tuduh menggelapkan sebuah dana perusahaan yang sangat besar, tapi ayah bersumpah ayah tidak melakukan hal tersebut," jawab ayahnya tegas menjelaskan. 

"Bagaimana mungkin ayah menghancurkan perusahaan keluarga kita, Aurora." Ayahnya lanjut menjelaskan. 

"Jadi menurut ayah, siapa yang telah memfitnah ayah?" ujarnya seketika bertanya dengan sangat yakin. 

"Hah ... ayah curiga kepada paman kamu, tapi ayah tidak bisa berbuat apa-apa, semua bukti mengarah kepada ayah," lirihnya dengan nada suara berat dan pasrah menjawab. 

"Bagaimana mungkin paman melakukan hal kejam seperti itu ayah?" ujar Aurora sedikit tidakk percaya. 

"Aurora putri ayah, dalam sebuah bisnis, tidak ada yang namanya keluarga dan teman, yang ada hanyalah, bagaimana caranya saling menjatuhkan," tuturnya

"Ayah selama ini terlalu naif, bahkan mempercayakan semua kepada paman kamu, hanya saja satu bulan terakhir ini, ayah baru merasa ada yang janggal, akan tetapi ... ayah sudah terlambat," tuturnya lanjut menceritakan. 

"Aurora akan mencari cara untuk membuktikan, bahwa ayah tidak bersalah!" tegasnya, seraya dia menggenggam erat tangan ayahnya dengan yakin. 

"Putriku, orang yang menuntut ayah bukanlah orang yang bisa kita lawan, apa lagi kamu Aurora," tegasnya mengacu kepada sebuah perusahaan besar yang begitu ternama, yang saat itu tengah bekerja sama dengan perusahaannya beberapa tahun lalu. 

"Tapi Aurora tahu, ayah tidak akan melakukan hal itu, Aurora percaya sama ayah," ujarnya membela. 

"Ayah tahu. Putriku ... pergilah bersama ibumu untuk tinggalkan rumah kita, ayah tidak ingin kalian terseret dalam masalah besar ini, biarkan ayah yang bertanggung jawab," pintanya dengan nada putus asa, begitu terlihat jelas di wajahnya. 

"Bagaimana mungkin ayah, Aurora hanya tinggal punya ayah seorang, apa yang harus Aurora lakukan di luar sana?" ujarnya sedikit tertunduk lesu. 

Aurora terisak, tangisnya tidak bisa dia tahan lagi, butir-butir kristal bening yang dia tahan akhirnya menetes dari kedua bola mata sembabnya. Ibunya telah meninggal dunia, bagaimana dia bisa meninggalkan ayahnya yang tengah berada dalam kesulitan dan berada di jurang kematian. 

Ayahnya seketika terkejut mendengar ucapan Aurora. 

"Apa maksud kamu Aurora?" ujar ayahnya mendelik bertanya dengan bingung. 

"I ibu, ibu telah pergi meninggalkan dunia ini ayah."

Aurora langsung menangis kembali sejadi-jadinya. Dia langsung memeluk tubuh ayahnya dengan sangat erat. 

Mendengar ucapan putrinya, seketika ia merasa kehilangan jiwanya, ia tidak percaya istri tercintanya telah meninggalkan dunia ini. 

"Apa? Kamu bercanda Aurora?" ucapnya memastikan apa yang ia dengar adalah salah. 

"Tidak ayah," sahutnya menunduk lesu, dia kembali menangis sesegukkan. 

"Tapi ... bahkan Aurora datang terlambat ayah, Aurora tidak bisa melihat detik-detik terakhir ibu, Aurora tidak berguna ayah." Tangisnya kembali pecah di ruangan tersebut. 

Sementara Ayahnya yang tidak percaya mendengar ucapan putrinya, ia terdiam menekan dadanya sendiri, ia merasakan sesak dari dalam jantungnya, bagaimana ini bisa terjadi, kenapa semua ini begitu mendadak, semua masalah menghampiri secara bersamaan. 

Brukk....

Tubuh ayahnya tiba-tiba terjatuh dan tersungkur ke lantai, ia seketika tidak sadarkan diri. 

"Ayah, apa yang terjadi pada ayah, ayah bangun! ayah!" panik Aurora, dia langsung berlari ke luar dari ruangan tersebut, dan berteriak keras. 

"Tolong, siapa pun tolong ayah saya, saya mohon," teriaknya memanggil para petugas seraya bercucuran air mata dengan wajah begitu panik. 

Susan yang mendengar, dan juga beberapa petugas penyelidik, segera berlari menghampiri, dan bergesas masuk ke ruangan penyelidikan. 

"Pak, bangun! Pak?" ucap salah satu petugas menepuk-nepuk pipi ayah Aurora. 

"Apa yang terjadi kepada ayah saya? tolong selamatkan dia!" ujar Aurora seraya mencengkram dengan erat lengan petugas tersebut. 

"Tenanglah Nona! lebih baik kita membawanya ke rumah sakit terlebih dahulu!" sahut petugas itu menjawab.

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
menarik sih ceritanya.. mau follow akun sosmed nya dong kalo boleh?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status