POV. LunaHingga akhirnya aku melihat bagaimana perempuan itu nekat menusukkan pisau itu, ke perutnya.Aku segera mendorong tubuh suamiku, agar menolong perempuan itu. Semua terjadi secara spontan.Mas Aksa segera meraih tubuh itu. Direbutnya, pisau yang sudah sempat tertancap pucuknya itu.Melihat bagaimana suamiku menopang tubuh perempuan itu, hatiku terasa berdenyut begitu perih.Terlihat dengan mataku, dari perut perempuan itu, sempat mengeluarkan darah. Sementara, perempuan itu sudah pingsan.Aku pun bergegas menstater mobilku. Karena memang tadi pagi aku berangkat dengan mobil suamiku."Cepetan, Mas, kita bawa ke rumah sakit," teriakku.Mas Aksa lekas membopong tubuh perempuan itu, dan dimasukkan ke dalam mobil. Ditempatkan di jok bagian tengah.Aku segera menancap gas. Bahkan aku sampai lupa, jika Ibu dari perempuan itu, masih tertinggal di rumahku.Di sepanjang jalan, air mataku terus bercucuran. Aku yang bahkan tidak pernah berbuat zina, kenapa sekarang rumah tanggaku mengala
POV. Luna"Mas, jika kamu mencintaiku, nikahi perempuan itu ...."Ada yang berdenyut begitu perih, saat aku mengucapkan itu. Dalam mata terpejam, air mataku jatuh lebih deras, berdesak-desakan.Aku tidak mau ikut menanggung dosa suamiku. Entah nanti ke depannya akan seperti apa. Aku belum memikirkan. Aku juga tidak tahu, apakah pemikiranku ini benar atau tidak.Dari tangannya yang mencengkram lenganku dengan kuat, aku bisa menilai, bahwa suamiku tidak menyukai kalimat yang kuucapkan.Tapi saat tadi suamiku menjaga tubuh perempuan itu, aku bisa menilai, jika Mas Aksa seperti mengkhawatirkan perempuan itu. Entah mana yang benar. Ucapannya, atau gestur tubuhnya. Atau aku yang justru salah menilainya.Ponselnya berdering. Suamiku segera mengambil benda pipih itu dari saku celananya. Diusapnya ke atas, logo bergambar gagang telpon itu."Hallo," sapa suamiku."Dengan Pak Aksa?" tanya seseorang yang ada di seberang. Aku bisa mendengarnya, karena memang aku berdiri tepat di sisinya."Iya. And
POV. Luna"Mereka meminta, supaya Pak Aksa, menikahi Bunga. Karena sekarang Bunga sedang mengandung benihnya Pak Aksa. Makanya, saya melarang mereka untuk ikut masuk, karena saya ingin berbicara dari hati ke hati dengan kalian berdua. Jika sampai mereka ikut masuk, yang ada nanti justru mereka akan memaksakan kehendak mereka. Nanti keputusan Mas Aksa seperti apa, biar saya sampaikan kepada mereka," ujar Pak RT."Begini, Pak. Terus terang saja, saya merasa keberatan, jika saya harus menikahi perempuan itu. Karena apa? Kami melakukannya atas dasar suka sama suka. Bukan karena aku telah memperk*sanya. Apalagi saya sudah punya istri. Tentu saja, saya tidak mau menikahinya!" Suamiku menjawab dengan tegas."Baiklah, akan saya sampaikan, di luar. Saya takutnya, jika orang-orang kerabatnya Bunga itu ikut masuk, yang ada justru nanti akan menjadi gaduh," ucap Pak RT."Suruh masuk sekalian saja tidak apa-apa. Gaduh juga biar gaduh. Biar semuanya cepat selesai!" Mas Aksa berucap dengan lantang.
POV. AksaPenyesalan memang selalu datang terlambat. Seandainya saja, aku bisa memutar waktu. Bisa mengulang kembali hari itu. Hari di mana aku berzina dengan bekas pacarku. Tentu, aku tidak akan melakukannya.Besarnya penyesalan ini, sungguh tiada terkira.Hingga akhirnya Bunga hamil, mengandung benihku. Hal yang sama sekali tidak kuinginkan.Sejak Bunga memberitahu perihal kehamilannya, hidupku menjadi sangat kacau.Semua orang menekanku, agar aku mau menikahi perempuan itu. Demikian juga dengan Luna, istriku.Apalagi Bunga masih menyimpan kartu asku. Dia mengancam, akan menyebarkan video itu. Hal itulah yang membuat istriku semakin mendesakku, agar aku segera mengambil keputusan.Aku tahu, istriku terpaksa memaksaku untuk menikahi Bunga, karena dia tidak ingin nama baik ayahnya tercemar, terseret-seret dalam pusaran berita, jika sampai video itu tersebar ke jagat maya.Aku sadar. Semua adalah salahku. Akulah penyebab kekacauan itu. Gara-gara kesalahanku yang hanya satu kali kulakuk
POV. AksaAkan kuberi dia nafkah, seikhlasnya Luna. Aku tidak peduli, jika nantinya akan dianggap menjadi suami yang tidak adil. Toh pernikahan itu, bukan aku yang menginginkannya. Aku melakukannya, karena terpaksa. Aku terpaksa, agar video itu tidak tersebar. Agar papanya Luna, tidak ikut mendapat malu.Ponsel seseorang yang mengaku sebagai kerabatnya Bunga, terdengar berdering."Halo, iya, Mbak, ini kami masih ada di rumah calon suaminya Bunga. Ada apa, Mbak?" ucap orang itu.Orang itu terdiam beberapa detik lamanya. Mungkin dia sedang mendengarkan suara orang yang ada di seberang sana."Oh, jangan khawatir. Semua beres. Pacarnya Bunga, mau bertanggung jawab. Dia bersedia menikahi Bunga. Istrinya juga sudah menyetujui. Mbak jangan khawatir. Keadaan Bunga, bagaimana? Aman, kan, kandungannya, tidak ada masalah?" ucap orang itu lagi.Kembali, dia terdiam."Ok, Mbak, kami akan segera ke sana. Tunggu sebentar lagi."Telpon pun ditutup. Ponsel dimasukkan kembali, ke dalam saku celananya.
POV. AksaSesampainya di rumah sakit, mereka langsung menelpon seseorang yang kuduga sebagai ibunya Bunga. Mungkin, saat kami tadi ke rumah sakit, ibunya Bunga segera menyusul ke rumah sakit, dan menelpon kerabatnya, supaya menyatroni rumahku."Mari, Mas, itu calon Ibu mertuanya Mas Aksa sudah menunggu di sana," ucap salah satu di antara mereka. Entah namanya siapa.Dia berjalan, menuju seorang perempuan paruh baya, yang tadi sempat datang ke rumahku bersama Bunga.Dia bilang, calon ibu mertuaku. Percaya diri sekali. Bahkan aku tidak akan pernah menganggap, jika dia adalah ibu mertuaku. Jangan harap."Aduh, sudah kuduga. Calon menantuku yang tampan rupawan, pasti akan datang. Ayo silahkan masuk. Tengoklah calon istrimu yang cantik itu," ucapnya.Perempuan setengah tua itu tersenyum. Dia mengulurkan tangannya ke arahku. Namun aku sama sekali tidak menyambutnya. Kubiarkan tangannya mengambang di udara. Luna juga terlihat membuang pandangannya, saat berpapasan dengan perempuan itu."Ya s
POV. LunaHati wanita mana, yang bisa benar-benar rela, jika suaminya ingin menikah lagi? Seperti apa pun aku mencoba untuk kuat dan tegar, tetap hatiku merasakan lukanya.Apalagi ketika kami terpaksa harus pergi ke rumah sakit itu. Hatiku terasa begitu pilu, membayangkan suamiku yang akan menemui calon maduku.Hingga sampailah kami di ruangan sempit, dengan bau obat yang menyengat itu.Di ruangan itu, ibunya Bunga berusaha untuk menekan suamiku. Dia ingin, agar suamiku cepat-cepat menikahi anak perempuannya, sebelum perutnya semakin membesar. Lucu sekali.Hingga meluncurlah kalimat panjang yang sangat menyinggung perasaanku. Semenjak aku berdiri di sini, terhitung sebanyak dua kali, dia mengataiku mandul.Aku pun terpancing emosi. Kuanggap, perkataannya sudah tidak bisa ditolerir lagi. Mulutnya sudah lepas, hingga di luar batas.Belum juga dia mengatupkan bibirnya dari kata "mandul" itu, aku sudah mendorong tubuhnya.Kudorong tubuh yang sebenarnya sudah agak ringkih itu. Aku tidak pe
POV. Luna"Ibu, jangan membebani mereka. Aku ikhlas, dengan keputusan mereka. Yang penting, Aksa mau menikahiku. Sekecil apa pun nafkah yang nantinya akan mereka berikan, aku rela. Aku juga nantinya akan tetap bekerja, agar tidak membebani mereka. Ibu jangan khawatir. Luna, aku minta maaf. Gara-gara kehamilanku, kamu harus berbagi suami. Aku minta maaf. Sebenarnya, semua ini juga bukan keinginanku. Tapi mau bagaimana lagi? Anak ini sudah terlanjur ada. Suatu hari nanti, dia pasti akan bertanya tentang ayahnya. Jika disuruh menggugurkan, aku juga tidak sanggup. Aku takut dosa ...."Sikap Bunga terlihat begitu manis. Aku tahu, dia sedang ingin meraih simpati suamiku. Dia bilang takut dosa, jika menggugurkan bayinya yang baru berumur satu bulan itu. Sementara, saat membuat anak itu, dia tidak ingat dengan dosa. Benar-benar ratu drama. Bahkan dia juga berbasa-basi, mengucapkan permintaan maaf kepadaku. Aku tahu, dia sedang ingin menunjukkan kepada suamiku, bahwa dia adalah perempuan yang