POV. Luna"Mana kuncinya, Non? Biar saya bukain pintunya?" ucap Bu Indah.Aku tidak menjawab. Kuserahkan tas milikku, biar nanti Bu Indah sendiri, yang mengambil kunci itu.Bu Indah pun mengerti. Dia membuka tas itu, dan meraba-raba isi yang ada di dalamnya."Tidak ada, Non, kuncinya," ucapnya.Aku pun meraih tas itu, mencari kunci yang ada di dalamnya. Memang tidak ada.Kuingat dengan benar. Tadi memang ketika mau pergi, suamiku yang mengunci pintunya. Bisa jadi, kunci itu, dia yang membawanya.Akhirnya aku memilih untuk tetap duduk di kursi teras. Aku tidak bisa menghentikan tangisku. Mengingat nasib tragis pernikahanku."Sudah, Non, tidak usah menangis terus," hibur Bu Indah."Mamanya Non Luna, sudah lama, tidak datang ke mari, ya? Biasanya dulu, hampir seminggu sekali, beliau datang ke sini," ucap Bu Indah.Aku hanya mengangguk. Aku sama sekali tidak berselera untuk bercerita tentang Mama, yang mungkin saat ini memang benar-benar sibuk, mendampingi Papa.Pikiranku kacau, memikirka
Pov. BaraSemenjak aku mengetahui bahwa suaminya Luna punya selingkuhan, aku memang menjadi sering pulang ke rumah.Aku selalu bertanya kepada Ibu, tentang perkembangan kabar itu. Aku selalu bertanya, apakah rumah tangga Luna, masih baik-baik saja. Jika boleh jujur, sisi baikku kadang berharap, semoga rumah tangganya bahagia, aku pun ikut bahagia. Namun kadang sisi burukku terlintas sebuah pikiran, semoga dia segera bisa membuka matanya, melihat kebenarannya, bahwa seseorang yang telah dijadikan sebagai suami olehnya itu, tidak lebih hanyalah seorang laki-laki buaya, yang tidak pantas untuk dipertahankan. Semoga dia segera menyerah, segera pergi meninggalkan laki-laki itu. Dan aku akan datang untuk menjadi pengobat lukanya. Aku akan datang, memberikan segenap cintaku yang telah begitu lama kupertahankan.Dan sore ini, saat kebetulan aku sudah ada di rumah, aku melihat gundiknya Aksa, mendatangi rumah itu.Karena dia begitu lama tidak pulang-pulang, tetap menunggu di halaman, aku pun m
Sudah seminggu ini, tidak ada berita apa pun, tentang rumah tangga Luna. Mereka tampak adem ayem dan mesra. Aku pun bekerja seperti biasanya.Awal pekan ini, jam dua siang, aku sengaja berjalan-jalan, menuju tempat yang dulu sering kukunjungi bersama Luna. Teringat kembali, kenangan-kenangan tujuh tahun yang lalu itu.Di mana kami dulu sering melewati jalan yang ini, untuk menghindari razia polisi.Dan warung bakso itu, mengingatkan kenangan ketika kami masih berpakaian putih abu-abu.Aku dulu hampir seminggu sekali, sering mengajak Luna untuk makan di sini. Untuk bisa mengajaknya makan di sini, siang sebelumnya, aku menjadi kuli panggul hingga sore. Setelah mendapatkan upah, besoknya aku mengajak Luna untuk sekedar makan bakso di kedai ini.Tempat ini masih sama persis, seperti tujuh tahun yang lalu. Bahkan bangku yang terbuat dari kayu itu, yang dulu biasa menjadi tempat duduk kami, juga masih ada. Letaknya pun, masih sama.Hanya saja, penjual bakso itu, wajahnya sudah bertambah tu
POV. Bara"Dek ...."Spontan, bibir ini bergumam lirih, memanggilnya. Panggilan sayangku kepadanya, yang sering kuucapkan sewaktu dulu.Luna pun menatapku. Dia terkejut. Mangkok yang ada di tangannya, jatuh ke lantai, menumpahkan seluruh isi yang ada di dalamnya. Bahkan sebagian kuah bakso itu, sempat tumpah di pahanya. Mungkin bisa jadi, kakinya itu kepanasan. Karena kulihat, kuah yang tumpah di lantai, terlihat mengepul mengeluarkan asapnya."Kamu ...." gumam Luna.Kami sama-sama terpaku di tempat kami berdiri."Jadi selama ini, kamu tinggal di sini? Kamu sengaja bersembunyi, selama ini?" tanya Luna."Selamat, ya? Kamu sudah sukses. Kamu sudah punya rumah impian yang sangat mewah. Kamu sudah punya usaha. Kamu sudah menjadi orang kaya. Sampai-sampai kamu harus bersusah payah untuk bersembunyi dariku. Dan ternyata, kita bertetangga. Sungguh aku tidak menyangka. Ternyata, lelaki yang pernah begitu kutunggu, justru bersembunyi di tempat yang sedekat ini. Jangan khawatir. Kamu tidak perl
"Tidak ada yang bisa menggantikannya, meskipun sekarang takdir sedang berkata lain. Tetap saja, dia masih begitu mencintai Non Luna. Jika boleh jujur, saya pun ikut merasakan sedihnya. Saya ikut merasakan tangisnya ...."Bahkan, beliau menangis. Wanita yang terlihat seperti menyayangiku ini, memperdengarkan tangisannya. Tangisan yang tidak pernah kudengar sebelumnya."Bu, mohon maaf. Seperti apa pun cerita Bu Indah tentang Mas Bara, sudah tidak ada artinya. Saya sudah menikah. Saya sudah menjadi istri orang. Saya tidak mungkin akan mengenang laki-laki lain, sementara saya masih punya suami. Saya bisa membedakan, mana yang pantas, dan mana yang tidak boleh dilakukan," jawabku.Ya, mungkin memang seharusnya seperti itu. Aku berusaha menekankan dalam pikiranku. Bahwa aku tidak boleh lagi mengenang laki-laki itu. Apa pun alasannya.Aku sudah terikat hubungan yang halal dengan Mas Aksa, suamiku. Seburuk apa pun nasib rumah tanggaku saat ini, tetaplah statusku saat ini, adalah seorang istri
POV. Luna"Jika Non Luna mau, Non Luna tidur saja di rumah kami. Biar nanti, saya suruh Bara yang keluar rumah. Dia laki-laki. Bisa tidur di mana saja. Dia bisa mencari penginapan. Atau bisa tidur di kantornya," usul Bu Indah."Tidak usah, Bu. Saya tidak mau, ada yang salah paham. Ibu tolong jangan bercerita dengan siapa pun, tentang masa lalu saya bersama Mas Bara. Saya tidak ingin, suami saya berfikiran yang tidak-tidak," jawabku.Aku tidak mungkin menumpang tidur di rumah itu, meskipun laki-laki itu tidak ada di rumahnya."Iya, Non. Saya mengerti," jawab Bu Indah."Mungkin saya akan menunggu suami saya di sini saja, Bu, semoga dia lekas pulang," jawabku."Ya sudah, saya pulang dulu. Kalau ada apa-apa, kalau butuh bantuan, jangan segan-segan ya, Non? Panggil saja, saya," jawab Bu Indah.Bu Indah pun pulang ke rumahnya. Namun tidak berselang lama, beliau sudah datang kembali. Membawakan bantal dan selimut. Juga membawakan kerudung dan kaos kaki. Dan juga obat nyamuk bakar. Dia juga m
POV. LunaAku sama sekali tidak bisa melihat wajahnya. Namun dari suaranya, bahkan aku bisa membayangkan dengan jelas, seperti apa, wajah pemilik suara itu.Aku terharu dengan jawaban itu. Namun aku harus mengendalikan diriku. Aku tidak boleh larut dengan semua kata-katanya. Ingat, aku adalah perempuan yang telah bersuami.Status kami sudah berbeda. Tidak seperti dulu lagi."Maaf, perutku sakit. Aku mau menumpang ke toilet," ucapku.Hatiku yang semula begitu beku jika teringat lelaki itu, kini mulai mencair. Aku pun berusaha berbicara dan bersikap wajar. Apalagi, kini aku sedang membutuhkan bantuannya. Aku butuh toilet di rumahnya.Bara pun berusaha membuka pintu utama. Namun gagal. Pintu itu sepertinya dikunci dari dalam."Tidak bisa masuk. Pintunya dikunci dari dalam. Padahal aku tadi sudah bilang sama Ibu, supaya tidak mengunci pintunya. Payah, memang ibuku. Giliran tidak ada orang, pintunya sering lupa mengunci, giliran diminta jangan dikunci, malah dikunci," gerutu Bara."Mas, ad
POV. LunaTadi memang aku berharap, agar suamiku cepat pulang. Tapi saat ini aku justru berharap semoga dia jangan pulang dulu. Dan ternyata, sekarang dia sudah ada di rumah.Aku berharap dia jangan pulang dulu. Bukannya aku ingin berselingkuh, atau ingin menghabiskan waktu bersama mantan kekasihku. Hanya saja, aku tidak siap, jika nantinya Mas Aksa bertanya tentang banyak hal."Mas, suamiku sudah ada di rumah. Bagaimana, ini?" tanyaku kepada Bara."Bilang saja, apa adanya."Aku membulatkan mataku, mendengar jawabannya yang tidak masuk akal."Nanti dia marah, dan berfikir yang tidak-tidak," jawabku."Ya kamu cari alasan, lah. Kamu kan cewek. Biasanya, cewek itu, lebih pandai dalam hal berbicara. Cepat pulang, sebelum suami kamu curiga," ucapnya sambil berjalan masuk ke teras rumahnya."Aku takut," jawabku."Perlu aku antar?" tanya dia.Aku semakin dibuat terkejut dengan jawaban yang meluncur dari laki-laki yang kini terlihat lebih tampan tersebut."Pulanglah, bicara saja apa adanya. K
POV. Aksa"Aku sudah tidak peduli. Kamu mau menikahi dia, kamu mau menceraikan dia. Bukan urusanku. Justru sekarang juga, aku yang akan meminta cerai. Ceraikan aku sekarang juga! Aku tidak mau lagi bersuamikan laki-laki yang kelakuannya bahkan melebihi kelakuan binatang!"Lagi-lagi, Luna berbicara dengan sangat lantang. Perempuan itu. Sudah kuperlakukan dengan baik, tetap saja bersikap angkuh. Lama-lama, aku pun kesal juga. Apalagi, semenjak dia mengetahui perselingkuhanku dengan Bunga, akhir-akhir ini, dia entah sudah berapa kali mengataiku sebagai binatang. Aku juga heran. Dia yang notebenya sebagai bisnis woman, sebagai seorang putri pejabat, namun mulutnya tidak bisa terkontrol. Tingkahnya juga cenderung arogan. "Luna! Kamu dengar tidak. Nyalakan airnya sekarang juga. Kamu jadi perempuan terlalu angkuh. Selalu ingin menjadi yang paling dominan, di setiap keadaan. Laki-laki mana pun, tidak akan tahan, hidup bersama dengan perempuan sepertimu. Kamu itu sudah berani kurang ajar.
POV. AksaBunga pun tampak berbinar. Kemudian dengan manjanya, dia meminta gendong. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Luna. Dengan senang hati, aku pun menggendongnya hingga ke kamar atas. Sayangnya, saat di kamar mandi, Bunga justru menggodaku. Hingga akhirnya, aku pun tidak kuasa untuk menolaknya. Dan terjadilah semuanya. Suara musik yang mengalun dengan merdu, membuat kami lupa. Saat aku bersama Bunga sedang sibuk memadu cinta, tiba-tiba aku dikejutkan dengan air shower yang tiba-tiba mati, tidak mengalir lagi. Dalam sekilat pandangan mata, aku melihat Luna sudah menggenggam sabun cair dalam botol. Di semprotkannya, sabun cair itu ke wajahku, hingga mengenai mataku. Aku pun tidak bisa melihat dengan jelas. Mataku terasa perih. Dan sepertinya, hal yang sama juga terjadi kepada Bunga.Kami yang memang sedang berbaring di lantai kamar mandi, dalam posisi yang tidak siap pun, kalah telak, dengan seorang yang diberikan oleh Luna. Luna juga menyemprotkan sabun cair itu ke
POV. Aksa"Aku nggak bisa tidur. Rasanya aku pingiiiinnn ... banget tidur di rumah kamu. Mungkinkah ini yang dinamakan ngidam?"Bunga berbicara lirih, sambil takut-takut. Kasihan sekali, dia. "Ini bukan keinginanku. Ini keinginan anak kamu. Dia pingin tidur di rumah papanya. Kalau aku sih, sudah terbiasa hidup miskin. Meskipun diajak tinggal dikolong jembatan, asal bersamamu, aku rela ...."Bunga mengusap-usap perutnya. "Kalau besok saja, bagaimana? Biar Luna, aku ungsikan dulu ke rumah orang tuaku,"Aku berusaha beralasan. Terus terang, aku merasa ragu, jika ingin membawa Bunga ke rumahku, sementara di situ ada Luna. Aku takut, Bunga yang sedang hamil, dijadikan bulan-bulanan oleh Luna. Jangan sampai, nanti calon bayiku yang menjadi korban. "Tapi anak kita maunya sekarang. Aku nggak bakalan bisa tidur, jika tidak diajak ke sana," rengek Bunga dengan sangat manja. Akhirnya, aku pun mengalah. Membawa Bunga ke rumahku. Untunglah, Luna sudah tidur. Aku bisa masuk ke dalam rumah denga
POV. AksaPagi ini juga, Luna langsung bilang kepada orang tuaku, bahwa dia ingin pulang saja ke rumahnya. Jika sudah Luna yang berbicara, maka Mama Papa pun akan menyetujuinya.Akhirnya, aku bisa juga lepas dari pengawasan Papa.Sepulang dari rumah orangtuaku, aku langsung menghampiri Bunga ke rumahnya."Aksa, muka kamu kenapa? Kok lebam?"Bunga menatap wajahku dengan tatapan heran."Dihajar Papa," jawabku. Bunga menatapku dengan tatapan kasihan. Kemudian dia masuk ke dalam. Tidak berselang lama, dia sudah keluar dengan mangok yang berisi air hangat, dan sapu tangan. Dikompresnya wajahku dengan air hangat itu. "Pasti istrimu mengadu yang tidak-tidak, kepada orang tuamu. Aku bahkan heran. Apa istimewanya Luna, hingga orangtuamu lebih membelanya, daripada terhadap anaknya sendiri."Bunga berbicara dengan nada yang nelangsa. "Luna sudah meminta cerai."Aku berbicara sambil menahan perih di wajahku."Bagus, dong. Ceraikan saja secepatnya! Toh kamu sudah punya aku. Punya calon anak jug
POV. Luna"Siapa juga, yang mau nyium handuk kamu? Aku juga ogah, yang ada ntar aku langsung pingsan. Keringat kamu, baunya nggak ketulungan. Udah gitu, kepedean, lagi."Aku berbicara sambil mencebikkan bibirku."Cewek memang paling pinter, kalau disuruh ngeles. Kirain kamu cuma pinter nangis doang. Ternyata pinter ngeles juga. Bilangnya pingsan, kalau nyium bau keringat aku. Padahal pas pinjem selimut punya aku aja, dicium-cium, dihirup-hirup sampai matanya merem-merem. Kamu pikir, aku tidak tahu? Aku bahkan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Masih mau ngeles juga?"Aku malu, mendengar semua kalimat yang dia ucapkan. Benarkah dia melihatnya. "Tuh, kan, pipi kamu merona. Itu artinya, iya."Kenapa pagi ini, dia mendadak genit? Benar-benar, kepribadiannya memang sulit untuk ditebak. Kadang dia bersikap cuek, kadang bersikap serius, kadang malah genitnya nggak ketulungan, seperti pagi ini. "Gimana, boleh ya, aku ngelukis wajah kamu? Sebenarnya, bakat melukis itu, sudah ada sejak
POV. Luna"Maaf juga, jika kemarin-kemarin, aku sempat membuat status yang bukan-bukan. Tapi status yang kuunggah, sudah aku atur privasinya, sehingga tidak ada orang yang melihatnya. Maaf juga, jika beberapa hari yang lalu, aku sempat meludahimu."Sebisa mungkin, aku berbicara dengan sopan. Aku ingin, saat perceraian nanti, aku sudah meminta maaf kepadanya."Sudahlah, jangan ngomong hal-hal yang nggak penting. Aku ke sini cuma mau ngomong, kalau nasi gorengnya nggak jadi. Aku mau bubur ayam saja. Kamu tolong ke depan, cari bubur ayam. Cepetan, jangan pakai lama."Aku merasa kesal dengannya. Seenaknya saja, dia mengganti perintah, saat perintah yang pertama sudah hampir kuselesaikan. "Matanya jangan melotot seperti itu. Baru juga meminta maaf, sudah mau membuat dosa. Atau kamu mau? Nanti jika sudah jadi janda, aku informasikan kepada semua orang, jika kamu itu perempuan arogan yang sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga, dan bahkan pernah meludahiku? Biar kamu jadi janda seum
POV. LunaItu minuman siapa? Perasaan, aku tidak pernah meminum minuman seperti itu. Di kulkas memang menyimpannya, tapi lebih sering kugunakan untuk menjamu temannya Mas Aksa, jika ada yang datang ke sini. Suamiku pun, jarang sekali menyentuh minuman seperti itu. Apakah Mas Aksa, semalam sempat pulang? Tapi dia tidur di mana? Dari mana juga, dia bisa masuk? Apakah dia memiliki kunci cadangan?Aku memutar langkahku, menuju ke ruang tamu. Kusingkap dengan lebar, gorden jendela yang tadinya masih tertutup.Benar saja, aku melihat mobil suamiku. Tapi orangnya, ada di mana? Apakah tidur di mobil? Lantas botol minuman itu? Kulangkahkan kakiku, menuju kamar tamu. Kuputar kenop pintunya. Terkunci dari dalam. Itu artinya, memang suamiku pulang, dan memilih tidur terpisah dariku. Sudahlah, biar saja.Aku sedang mulai untuk tidak peduli dengan semua hal tentang dia. Aku akan fokus dengan kebahagiaanku. Semoga saja, Mama dan Papa bisa segera pulang. Dan semoga saja mereka tidak kaget, jika nan
Pov. LunaEntah benar, entah salah. Bahkan aku sudah tidak bisa membedakan lagi. Saat aku sedang merasa begitu rapuh, aku justru berbagi cerita dengan mantan kekasihku itu. Bahkan aku juga bercerita tentang rencana perceraianku. Mungkin memang aku salah. Aku keliru. Sebagai seorang istri yang baik, seharusnya jika sedang ada masalah, dia akan mengadu kepada Tuhannya. Dia akan lebih mendekatkan diri kepada agamanya. Bukan malah seperti aku. Berduaan di luar rumah malam-malam, membuka aib rumah tanggaku, berkeluh kesah kepada mantan pacarku. "Kamu yakin, akan bercerai?" tanya Bara."Aku tidak sanggup berbagi. Kemarin-kemarin, kukira aku akan kuat. Tapi baru beberapa hari menjalani, aku rasanya sudah mau gila. Aku lebih baik menjauhi mudharat, daripada mengejar manfaat. Aku tidak sanggup ...."Bara tercenung sejenak, mendengar kalimat yang kuucapkan. Entah apa yang dia pikirkan. Kadang laki-laki itu, memang terlihat misterius."Dik, masuklah ke rumahmu. Tubuhmu punya hak, untuk dijaga
POV. Bara[Samawa till jannah. Dekap eratlah yang ada di hadapanmu. Lupakan yang sudah meninggalkanmu.]Aku tahu. Aku paham, maksud dari komentar itu. Nadin ingin, agar Luna belajar mencintai Aksa yang telah menjadi suaminya, dan melupakan aku yang telah meninggalkannya.Nasehat itu tidak salah. Jika saat ini hatiku merasa tercubit, itu karena mungkin saja aku sedang sensitif. Komentar Nadin, hanya ditanggapi Luna dengan emotikon tersenyum.Kulihat unggahan-unggahannya dari yang paling atas. Semua hanya tentang butiknya. Tentang produk-produk yang dijualnya. Dia sama sekali tidak mengunggah masalahnya di dunia maya.Namun ada akunnya Nadin yang menandainya.[Keep strong. Wonder woman akan selalu kuat. Sobatku yang cantik dan baik.]Unggahan itu disertai dengan fotonya Nadin dan Luna, yang sepertinya sedang duduk di sudut kafe. Postingan itu baru saja diunggah beberapa jam yang lalu. Itu artinya, mereka masih berinteraksi hingga saat ini. Kulihat ada lingkaran kecil berwarna hijau m