Sudah seminggu ini, tidak ada berita apa pun, tentang rumah tangga Luna. Mereka tampak adem ayem dan mesra. Aku pun bekerja seperti biasanya.Awal pekan ini, jam dua siang, aku sengaja berjalan-jalan, menuju tempat yang dulu sering kukunjungi bersama Luna. Teringat kembali, kenangan-kenangan tujuh tahun yang lalu itu.Di mana kami dulu sering melewati jalan yang ini, untuk menghindari razia polisi.Dan warung bakso itu, mengingatkan kenangan ketika kami masih berpakaian putih abu-abu.Aku dulu hampir seminggu sekali, sering mengajak Luna untuk makan di sini. Untuk bisa mengajaknya makan di sini, siang sebelumnya, aku menjadi kuli panggul hingga sore. Setelah mendapatkan upah, besoknya aku mengajak Luna untuk sekedar makan bakso di kedai ini.Tempat ini masih sama persis, seperti tujuh tahun yang lalu. Bahkan bangku yang terbuat dari kayu itu, yang dulu biasa menjadi tempat duduk kami, juga masih ada. Letaknya pun, masih sama.Hanya saja, penjual bakso itu, wajahnya sudah bertambah tu
POV. Bara"Dek ...."Spontan, bibir ini bergumam lirih, memanggilnya. Panggilan sayangku kepadanya, yang sering kuucapkan sewaktu dulu.Luna pun menatapku. Dia terkejut. Mangkok yang ada di tangannya, jatuh ke lantai, menumpahkan seluruh isi yang ada di dalamnya. Bahkan sebagian kuah bakso itu, sempat tumpah di pahanya. Mungkin bisa jadi, kakinya itu kepanasan. Karena kulihat, kuah yang tumpah di lantai, terlihat mengepul mengeluarkan asapnya."Kamu ...." gumam Luna.Kami sama-sama terpaku di tempat kami berdiri."Jadi selama ini, kamu tinggal di sini? Kamu sengaja bersembunyi, selama ini?" tanya Luna."Selamat, ya? Kamu sudah sukses. Kamu sudah punya rumah impian yang sangat mewah. Kamu sudah punya usaha. Kamu sudah menjadi orang kaya. Sampai-sampai kamu harus bersusah payah untuk bersembunyi dariku. Dan ternyata, kita bertetangga. Sungguh aku tidak menyangka. Ternyata, lelaki yang pernah begitu kutunggu, justru bersembunyi di tempat yang sedekat ini. Jangan khawatir. Kamu tidak perl
"Tidak ada yang bisa menggantikannya, meskipun sekarang takdir sedang berkata lain. Tetap saja, dia masih begitu mencintai Non Luna. Jika boleh jujur, saya pun ikut merasakan sedihnya. Saya ikut merasakan tangisnya ...."Bahkan, beliau menangis. Wanita yang terlihat seperti menyayangiku ini, memperdengarkan tangisannya. Tangisan yang tidak pernah kudengar sebelumnya."Bu, mohon maaf. Seperti apa pun cerita Bu Indah tentang Mas Bara, sudah tidak ada artinya. Saya sudah menikah. Saya sudah menjadi istri orang. Saya tidak mungkin akan mengenang laki-laki lain, sementara saya masih punya suami. Saya bisa membedakan, mana yang pantas, dan mana yang tidak boleh dilakukan," jawabku.Ya, mungkin memang seharusnya seperti itu. Aku berusaha menekankan dalam pikiranku. Bahwa aku tidak boleh lagi mengenang laki-laki itu. Apa pun alasannya.Aku sudah terikat hubungan yang halal dengan Mas Aksa, suamiku. Seburuk apa pun nasib rumah tanggaku saat ini, tetaplah statusku saat ini, adalah seorang istri
POV. Luna"Jika Non Luna mau, Non Luna tidur saja di rumah kami. Biar nanti, saya suruh Bara yang keluar rumah. Dia laki-laki. Bisa tidur di mana saja. Dia bisa mencari penginapan. Atau bisa tidur di kantornya," usul Bu Indah."Tidak usah, Bu. Saya tidak mau, ada yang salah paham. Ibu tolong jangan bercerita dengan siapa pun, tentang masa lalu saya bersama Mas Bara. Saya tidak ingin, suami saya berfikiran yang tidak-tidak," jawabku.Aku tidak mungkin menumpang tidur di rumah itu, meskipun laki-laki itu tidak ada di rumahnya."Iya, Non. Saya mengerti," jawab Bu Indah."Mungkin saya akan menunggu suami saya di sini saja, Bu, semoga dia lekas pulang," jawabku."Ya sudah, saya pulang dulu. Kalau ada apa-apa, kalau butuh bantuan, jangan segan-segan ya, Non? Panggil saja, saya," jawab Bu Indah.Bu Indah pun pulang ke rumahnya. Namun tidak berselang lama, beliau sudah datang kembali. Membawakan bantal dan selimut. Juga membawakan kerudung dan kaos kaki. Dan juga obat nyamuk bakar. Dia juga m
POV. LunaAku sama sekali tidak bisa melihat wajahnya. Namun dari suaranya, bahkan aku bisa membayangkan dengan jelas, seperti apa, wajah pemilik suara itu.Aku terharu dengan jawaban itu. Namun aku harus mengendalikan diriku. Aku tidak boleh larut dengan semua kata-katanya. Ingat, aku adalah perempuan yang telah bersuami.Status kami sudah berbeda. Tidak seperti dulu lagi."Maaf, perutku sakit. Aku mau menumpang ke toilet," ucapku.Hatiku yang semula begitu beku jika teringat lelaki itu, kini mulai mencair. Aku pun berusaha berbicara dan bersikap wajar. Apalagi, kini aku sedang membutuhkan bantuannya. Aku butuh toilet di rumahnya.Bara pun berusaha membuka pintu utama. Namun gagal. Pintu itu sepertinya dikunci dari dalam."Tidak bisa masuk. Pintunya dikunci dari dalam. Padahal aku tadi sudah bilang sama Ibu, supaya tidak mengunci pintunya. Payah, memang ibuku. Giliran tidak ada orang, pintunya sering lupa mengunci, giliran diminta jangan dikunci, malah dikunci," gerutu Bara."Mas, ad
POV. LunaTadi memang aku berharap, agar suamiku cepat pulang. Tapi saat ini aku justru berharap semoga dia jangan pulang dulu. Dan ternyata, sekarang dia sudah ada di rumah.Aku berharap dia jangan pulang dulu. Bukannya aku ingin berselingkuh, atau ingin menghabiskan waktu bersama mantan kekasihku. Hanya saja, aku tidak siap, jika nantinya Mas Aksa bertanya tentang banyak hal."Mas, suamiku sudah ada di rumah. Bagaimana, ini?" tanyaku kepada Bara."Bilang saja, apa adanya."Aku membulatkan mataku, mendengar jawabannya yang tidak masuk akal."Nanti dia marah, dan berfikir yang tidak-tidak," jawabku."Ya kamu cari alasan, lah. Kamu kan cewek. Biasanya, cewek itu, lebih pandai dalam hal berbicara. Cepat pulang, sebelum suami kamu curiga," ucapnya sambil berjalan masuk ke teras rumahnya."Aku takut," jawabku."Perlu aku antar?" tanya dia.Aku semakin dibuat terkejut dengan jawaban yang meluncur dari laki-laki yang kini terlihat lebih tampan tersebut."Pulanglah, bicara saja apa adanya. K
POV. LunaRasanya aku baru tidur sebentar saja, namun adzan subuh sudah terdengar seperti begitu dekat di telinga.Dalam mata terpejam, aku berusaha meraba sisi sebelahku. Namun tak kudapati tubuh suamiku. Kubuka kelopak mataku, yang sebenarnya masih terasa berat.Kucari suamiku di segala penjuru rumah ini, namun tidak ada. Mungkinkah, dia sudah pergi lagi, sepagi ini?Hatiku merasakan sakit, mendapati kenyataan bahwa Mas Aksa sepertinya sudah mulai mengabaikan aku.Aku pun memilih masuk ke kamar mandi, untuk membersihkan diri. Kemudian berganti pakaian, dan menunaikan kewajiban subuh. Kulanjutkan dengan membaca kalam ilahi. Berharap, ketenangan hati akan menghampiri.Aku berharap, dengan lebih mendekatkan diri kepada sang pemilik hidup, semoga saja, hatiku bisa lebih mudah tertata. Semoga saja aku bisa benar-benar bisa menerima, jika nantinya memang pernikahan ke dua Mas Aksa, benar-benar terlaksana. Semoga saja aku bisa menerima dengan lapang dada. Semoga saja rasa cintaku kepada su
POV. Luna"Mas, masih pagi, loh," ucapku."Iya, kan kemarin aku jam makan siang sudah pulang. Makanya, hari ini aku mau berangkat pagi. Kemungkinan, nanti sore aku bakalan lembur sampai malam. Tidak apa-apa, ya?" jawabnya.Mas Aksa membuka pintu mobilnya. Namun belum juga dia masuk ke mobil, dia kembali lagi masuk ke rumah. Mungkin ada yang tertinggal."Sayang, ambilkan bubur ayam di meja makan tadi. Mau aku makan di kantor, nanti," pintanya.Aku menaruh sapu di dekat pintu. Lekas masuk ke ruang makan, dan mengambil bubur ayam itu, untuk suamiku."Maaf, ya? Aku berangkat dulu," ucapnya lagi.Mobil pun melaju, meninggalkan halaman rumah.Kulihat, di depan rumah Bu Indah, mobil milik Bara pun, sudah tidak terlihat. Mungkin dia juga sudah pergi. Aman. Aku ingin mengembalikan bantal dan selimut itu, mumpung laki-laki itu sedang tidak ada di rumah.Aku pun lekas mengambil selimut dan bantal itu. Kubawa ke rumah Bu Indah. Kuketuk pintu dengan pelan. Tidak ada orang. Namun ada aroma masakan.