"Tidak ada yang bisa menggantikannya, meskipun sekarang takdir sedang berkata lain. Tetap saja, dia masih begitu mencintai Non Luna. Jika boleh jujur, saya pun ikut merasakan sedihnya. Saya ikut merasakan tangisnya ...."Bahkan, beliau menangis. Wanita yang terlihat seperti menyayangiku ini, memperdengarkan tangisannya. Tangisan yang tidak pernah kudengar sebelumnya."Bu, mohon maaf. Seperti apa pun cerita Bu Indah tentang Mas Bara, sudah tidak ada artinya. Saya sudah menikah. Saya sudah menjadi istri orang. Saya tidak mungkin akan mengenang laki-laki lain, sementara saya masih punya suami. Saya bisa membedakan, mana yang pantas, dan mana yang tidak boleh dilakukan," jawabku.Ya, mungkin memang seharusnya seperti itu. Aku berusaha menekankan dalam pikiranku. Bahwa aku tidak boleh lagi mengenang laki-laki itu. Apa pun alasannya.Aku sudah terikat hubungan yang halal dengan Mas Aksa, suamiku. Seburuk apa pun nasib rumah tanggaku saat ini, tetaplah statusku saat ini, adalah seorang istri
POV. Luna"Jika Non Luna mau, Non Luna tidur saja di rumah kami. Biar nanti, saya suruh Bara yang keluar rumah. Dia laki-laki. Bisa tidur di mana saja. Dia bisa mencari penginapan. Atau bisa tidur di kantornya," usul Bu Indah."Tidak usah, Bu. Saya tidak mau, ada yang salah paham. Ibu tolong jangan bercerita dengan siapa pun, tentang masa lalu saya bersama Mas Bara. Saya tidak ingin, suami saya berfikiran yang tidak-tidak," jawabku.Aku tidak mungkin menumpang tidur di rumah itu, meskipun laki-laki itu tidak ada di rumahnya."Iya, Non. Saya mengerti," jawab Bu Indah."Mungkin saya akan menunggu suami saya di sini saja, Bu, semoga dia lekas pulang," jawabku."Ya sudah, saya pulang dulu. Kalau ada apa-apa, kalau butuh bantuan, jangan segan-segan ya, Non? Panggil saja, saya," jawab Bu Indah.Bu Indah pun pulang ke rumahnya. Namun tidak berselang lama, beliau sudah datang kembali. Membawakan bantal dan selimut. Juga membawakan kerudung dan kaos kaki. Dan juga obat nyamuk bakar. Dia juga m
POV. LunaAku sama sekali tidak bisa melihat wajahnya. Namun dari suaranya, bahkan aku bisa membayangkan dengan jelas, seperti apa, wajah pemilik suara itu.Aku terharu dengan jawaban itu. Namun aku harus mengendalikan diriku. Aku tidak boleh larut dengan semua kata-katanya. Ingat, aku adalah perempuan yang telah bersuami.Status kami sudah berbeda. Tidak seperti dulu lagi."Maaf, perutku sakit. Aku mau menumpang ke toilet," ucapku.Hatiku yang semula begitu beku jika teringat lelaki itu, kini mulai mencair. Aku pun berusaha berbicara dan bersikap wajar. Apalagi, kini aku sedang membutuhkan bantuannya. Aku butuh toilet di rumahnya.Bara pun berusaha membuka pintu utama. Namun gagal. Pintu itu sepertinya dikunci dari dalam."Tidak bisa masuk. Pintunya dikunci dari dalam. Padahal aku tadi sudah bilang sama Ibu, supaya tidak mengunci pintunya. Payah, memang ibuku. Giliran tidak ada orang, pintunya sering lupa mengunci, giliran diminta jangan dikunci, malah dikunci," gerutu Bara."Mas, ad
POV. LunaTadi memang aku berharap, agar suamiku cepat pulang. Tapi saat ini aku justru berharap semoga dia jangan pulang dulu. Dan ternyata, sekarang dia sudah ada di rumah.Aku berharap dia jangan pulang dulu. Bukannya aku ingin berselingkuh, atau ingin menghabiskan waktu bersama mantan kekasihku. Hanya saja, aku tidak siap, jika nantinya Mas Aksa bertanya tentang banyak hal."Mas, suamiku sudah ada di rumah. Bagaimana, ini?" tanyaku kepada Bara."Bilang saja, apa adanya."Aku membulatkan mataku, mendengar jawabannya yang tidak masuk akal."Nanti dia marah, dan berfikir yang tidak-tidak," jawabku."Ya kamu cari alasan, lah. Kamu kan cewek. Biasanya, cewek itu, lebih pandai dalam hal berbicara. Cepat pulang, sebelum suami kamu curiga," ucapnya sambil berjalan masuk ke teras rumahnya."Aku takut," jawabku."Perlu aku antar?" tanya dia.Aku semakin dibuat terkejut dengan jawaban yang meluncur dari laki-laki yang kini terlihat lebih tampan tersebut."Pulanglah, bicara saja apa adanya. K
POV. LunaRasanya aku baru tidur sebentar saja, namun adzan subuh sudah terdengar seperti begitu dekat di telinga.Dalam mata terpejam, aku berusaha meraba sisi sebelahku. Namun tak kudapati tubuh suamiku. Kubuka kelopak mataku, yang sebenarnya masih terasa berat.Kucari suamiku di segala penjuru rumah ini, namun tidak ada. Mungkinkah, dia sudah pergi lagi, sepagi ini?Hatiku merasakan sakit, mendapati kenyataan bahwa Mas Aksa sepertinya sudah mulai mengabaikan aku.Aku pun memilih masuk ke kamar mandi, untuk membersihkan diri. Kemudian berganti pakaian, dan menunaikan kewajiban subuh. Kulanjutkan dengan membaca kalam ilahi. Berharap, ketenangan hati akan menghampiri.Aku berharap, dengan lebih mendekatkan diri kepada sang pemilik hidup, semoga saja, hatiku bisa lebih mudah tertata. Semoga saja aku bisa benar-benar bisa menerima, jika nantinya memang pernikahan ke dua Mas Aksa, benar-benar terlaksana. Semoga saja aku bisa menerima dengan lapang dada. Semoga saja rasa cintaku kepada su
POV. Luna"Mas, masih pagi, loh," ucapku."Iya, kan kemarin aku jam makan siang sudah pulang. Makanya, hari ini aku mau berangkat pagi. Kemungkinan, nanti sore aku bakalan lembur sampai malam. Tidak apa-apa, ya?" jawabnya.Mas Aksa membuka pintu mobilnya. Namun belum juga dia masuk ke mobil, dia kembali lagi masuk ke rumah. Mungkin ada yang tertinggal."Sayang, ambilkan bubur ayam di meja makan tadi. Mau aku makan di kantor, nanti," pintanya.Aku menaruh sapu di dekat pintu. Lekas masuk ke ruang makan, dan mengambil bubur ayam itu, untuk suamiku."Maaf, ya? Aku berangkat dulu," ucapnya lagi.Mobil pun melaju, meninggalkan halaman rumah.Kulihat, di depan rumah Bu Indah, mobil milik Bara pun, sudah tidak terlihat. Mungkin dia juga sudah pergi. Aman. Aku ingin mengembalikan bantal dan selimut itu, mumpung laki-laki itu sedang tidak ada di rumah.Aku pun lekas mengambil selimut dan bantal itu. Kubawa ke rumah Bu Indah. Kuketuk pintu dengan pelan. Tidak ada orang. Namun ada aroma masakan.
POV. Luna"Baraaaaa! Cepat tolongin ...!Bu Indah berteriak dengan sangat keras. Beliau segera menghampiriku. Diangkatnya tubuhku. Namun ternyata kaki kananku terasa sangat sakit. Bahkan sekedar digerakkan pun terasa sangat sakit.Aku tetap dalam posisi duduk. Aku tidak mampu untuk berdiri.Dari arah kiri, Bara datang. Dia sudah memakai celana panjang. Namun belum memakai baju. Baju yang hendak dipakainya, masih dibawa oleh tangan kanannya. Dan dengan segera, dia memasukkan kepalanya ke dalam baju itu, dan menarik baju itu ke bawah."Kenapa, Bu?" tanya Bara sambil melihatku.Matanya menyiratkan kekhawatiran. Dia mendekatiku. Mengulurkan tangannya, hendak meraih tubuhku. Namun tiba-tiba saja, dia urung melakukannya.Dia mundur ke belakang, beberapa langkah."Maaf ...." ucapnya sendu.Dia terlihat berbeda dari Bara yang semalam sempat menggodaku, yang bertanya apakah aku ingin tidur bersamanya di teras rumahnya. Dia berbeda dengan Bara yang semalam sempat menggodaku, yang katanya, jika
POV. Luna"Bu Luna, kenapa?" tanya Risa.Aku diam tidak menjawab. Aku hanya meringis. Berusaha menahan rasa sakit yang sedang kurasakan. Kenapa hanya jatuh terpeleset saja, kakiku sesakit ini?"Kamu Risa, kan? Bosmu kakinya terkilir. Yuk, kamu ikut aku, bawa dia ke dokter spesialis. Kakinya bengkak. Takutnya, jika tidak segera ditangani dokter, malah jadi fatal," ucapnya, tanpa melihat Risa. Dari mana Bara tahu, bahwa gadis itu bernama Risa? Bukankah selama ini, mereka belum pernah bertemu? Apakah diam-diam, dia itu selalu memata-matai kehidupanku? Benar-benar payah.Ibu segera membuka pintu bagian tengah. Bara mendudukkan aku di jok mobil. Jarak wajah kami saat ini, bahkan sudah sangat dekat, saat dia membungkukkan badannya untuk mendudukkan aku. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya, yang hangat. Ya Allah, ada apa, dengan hatiku?"Ibu jaga rumah saja, kami sudah bertiga. Sudah ada Risa," ucap Bara kepada Bu Indah.Ibu pun menganggukkan kepalanya."Risa, jaga Bu Luna baik-baik, ya?"
POV. Aksa"Aku sudah tidak peduli. Kamu mau menikahi dia, kamu mau menceraikan dia. Bukan urusanku. Justru sekarang juga, aku yang akan meminta cerai. Ceraikan aku sekarang juga! Aku tidak mau lagi bersuamikan laki-laki yang kelakuannya bahkan melebihi kelakuan binatang!"Lagi-lagi, Luna berbicara dengan sangat lantang. Perempuan itu. Sudah kuperlakukan dengan baik, tetap saja bersikap angkuh. Lama-lama, aku pun kesal juga. Apalagi, semenjak dia mengetahui perselingkuhanku dengan Bunga, akhir-akhir ini, dia entah sudah berapa kali mengataiku sebagai binatang. Aku juga heran. Dia yang notebenya sebagai bisnis woman, sebagai seorang putri pejabat, namun mulutnya tidak bisa terkontrol. Tingkahnya juga cenderung arogan. "Luna! Kamu dengar tidak. Nyalakan airnya sekarang juga. Kamu jadi perempuan terlalu angkuh. Selalu ingin menjadi yang paling dominan, di setiap keadaan. Laki-laki mana pun, tidak akan tahan, hidup bersama dengan perempuan sepertimu. Kamu itu sudah berani kurang ajar.
POV. AksaBunga pun tampak berbinar. Kemudian dengan manjanya, dia meminta gendong. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Luna. Dengan senang hati, aku pun menggendongnya hingga ke kamar atas. Sayangnya, saat di kamar mandi, Bunga justru menggodaku. Hingga akhirnya, aku pun tidak kuasa untuk menolaknya. Dan terjadilah semuanya. Suara musik yang mengalun dengan merdu, membuat kami lupa. Saat aku bersama Bunga sedang sibuk memadu cinta, tiba-tiba aku dikejutkan dengan air shower yang tiba-tiba mati, tidak mengalir lagi. Dalam sekilat pandangan mata, aku melihat Luna sudah menggenggam sabun cair dalam botol. Di semprotkannya, sabun cair itu ke wajahku, hingga mengenai mataku. Aku pun tidak bisa melihat dengan jelas. Mataku terasa perih. Dan sepertinya, hal yang sama juga terjadi kepada Bunga.Kami yang memang sedang berbaring di lantai kamar mandi, dalam posisi yang tidak siap pun, kalah telak, dengan seorang yang diberikan oleh Luna. Luna juga menyemprotkan sabun cair itu ke
POV. Aksa"Aku nggak bisa tidur. Rasanya aku pingiiiinnn ... banget tidur di rumah kamu. Mungkinkah ini yang dinamakan ngidam?"Bunga berbicara lirih, sambil takut-takut. Kasihan sekali, dia. "Ini bukan keinginanku. Ini keinginan anak kamu. Dia pingin tidur di rumah papanya. Kalau aku sih, sudah terbiasa hidup miskin. Meskipun diajak tinggal dikolong jembatan, asal bersamamu, aku rela ...."Bunga mengusap-usap perutnya. "Kalau besok saja, bagaimana? Biar Luna, aku ungsikan dulu ke rumah orang tuaku,"Aku berusaha beralasan. Terus terang, aku merasa ragu, jika ingin membawa Bunga ke rumahku, sementara di situ ada Luna. Aku takut, Bunga yang sedang hamil, dijadikan bulan-bulanan oleh Luna. Jangan sampai, nanti calon bayiku yang menjadi korban. "Tapi anak kita maunya sekarang. Aku nggak bakalan bisa tidur, jika tidak diajak ke sana," rengek Bunga dengan sangat manja. Akhirnya, aku pun mengalah. Membawa Bunga ke rumahku. Untunglah, Luna sudah tidur. Aku bisa masuk ke dalam rumah denga
POV. AksaPagi ini juga, Luna langsung bilang kepada orang tuaku, bahwa dia ingin pulang saja ke rumahnya. Jika sudah Luna yang berbicara, maka Mama Papa pun akan menyetujuinya.Akhirnya, aku bisa juga lepas dari pengawasan Papa.Sepulang dari rumah orangtuaku, aku langsung menghampiri Bunga ke rumahnya."Aksa, muka kamu kenapa? Kok lebam?"Bunga menatap wajahku dengan tatapan heran."Dihajar Papa," jawabku. Bunga menatapku dengan tatapan kasihan. Kemudian dia masuk ke dalam. Tidak berselang lama, dia sudah keluar dengan mangok yang berisi air hangat, dan sapu tangan. Dikompresnya wajahku dengan air hangat itu. "Pasti istrimu mengadu yang tidak-tidak, kepada orang tuamu. Aku bahkan heran. Apa istimewanya Luna, hingga orangtuamu lebih membelanya, daripada terhadap anaknya sendiri."Bunga berbicara dengan nada yang nelangsa. "Luna sudah meminta cerai."Aku berbicara sambil menahan perih di wajahku."Bagus, dong. Ceraikan saja secepatnya! Toh kamu sudah punya aku. Punya calon anak jug
POV. Luna"Siapa juga, yang mau nyium handuk kamu? Aku juga ogah, yang ada ntar aku langsung pingsan. Keringat kamu, baunya nggak ketulungan. Udah gitu, kepedean, lagi."Aku berbicara sambil mencebikkan bibirku."Cewek memang paling pinter, kalau disuruh ngeles. Kirain kamu cuma pinter nangis doang. Ternyata pinter ngeles juga. Bilangnya pingsan, kalau nyium bau keringat aku. Padahal pas pinjem selimut punya aku aja, dicium-cium, dihirup-hirup sampai matanya merem-merem. Kamu pikir, aku tidak tahu? Aku bahkan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Masih mau ngeles juga?"Aku malu, mendengar semua kalimat yang dia ucapkan. Benarkah dia melihatnya. "Tuh, kan, pipi kamu merona. Itu artinya, iya."Kenapa pagi ini, dia mendadak genit? Benar-benar, kepribadiannya memang sulit untuk ditebak. Kadang dia bersikap cuek, kadang bersikap serius, kadang malah genitnya nggak ketulungan, seperti pagi ini. "Gimana, boleh ya, aku ngelukis wajah kamu? Sebenarnya, bakat melukis itu, sudah ada sejak
POV. Luna"Maaf juga, jika kemarin-kemarin, aku sempat membuat status yang bukan-bukan. Tapi status yang kuunggah, sudah aku atur privasinya, sehingga tidak ada orang yang melihatnya. Maaf juga, jika beberapa hari yang lalu, aku sempat meludahimu."Sebisa mungkin, aku berbicara dengan sopan. Aku ingin, saat perceraian nanti, aku sudah meminta maaf kepadanya."Sudahlah, jangan ngomong hal-hal yang nggak penting. Aku ke sini cuma mau ngomong, kalau nasi gorengnya nggak jadi. Aku mau bubur ayam saja. Kamu tolong ke depan, cari bubur ayam. Cepetan, jangan pakai lama."Aku merasa kesal dengannya. Seenaknya saja, dia mengganti perintah, saat perintah yang pertama sudah hampir kuselesaikan. "Matanya jangan melotot seperti itu. Baru juga meminta maaf, sudah mau membuat dosa. Atau kamu mau? Nanti jika sudah jadi janda, aku informasikan kepada semua orang, jika kamu itu perempuan arogan yang sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga, dan bahkan pernah meludahiku? Biar kamu jadi janda seum
POV. LunaItu minuman siapa? Perasaan, aku tidak pernah meminum minuman seperti itu. Di kulkas memang menyimpannya, tapi lebih sering kugunakan untuk menjamu temannya Mas Aksa, jika ada yang datang ke sini. Suamiku pun, jarang sekali menyentuh minuman seperti itu. Apakah Mas Aksa, semalam sempat pulang? Tapi dia tidur di mana? Dari mana juga, dia bisa masuk? Apakah dia memiliki kunci cadangan?Aku memutar langkahku, menuju ke ruang tamu. Kusingkap dengan lebar, gorden jendela yang tadinya masih tertutup.Benar saja, aku melihat mobil suamiku. Tapi orangnya, ada di mana? Apakah tidur di mobil? Lantas botol minuman itu? Kulangkahkan kakiku, menuju kamar tamu. Kuputar kenop pintunya. Terkunci dari dalam. Itu artinya, memang suamiku pulang, dan memilih tidur terpisah dariku. Sudahlah, biar saja.Aku sedang mulai untuk tidak peduli dengan semua hal tentang dia. Aku akan fokus dengan kebahagiaanku. Semoga saja, Mama dan Papa bisa segera pulang. Dan semoga saja mereka tidak kaget, jika nan
Pov. LunaEntah benar, entah salah. Bahkan aku sudah tidak bisa membedakan lagi. Saat aku sedang merasa begitu rapuh, aku justru berbagi cerita dengan mantan kekasihku itu. Bahkan aku juga bercerita tentang rencana perceraianku. Mungkin memang aku salah. Aku keliru. Sebagai seorang istri yang baik, seharusnya jika sedang ada masalah, dia akan mengadu kepada Tuhannya. Dia akan lebih mendekatkan diri kepada agamanya. Bukan malah seperti aku. Berduaan di luar rumah malam-malam, membuka aib rumah tanggaku, berkeluh kesah kepada mantan pacarku. "Kamu yakin, akan bercerai?" tanya Bara."Aku tidak sanggup berbagi. Kemarin-kemarin, kukira aku akan kuat. Tapi baru beberapa hari menjalani, aku rasanya sudah mau gila. Aku lebih baik menjauhi mudharat, daripada mengejar manfaat. Aku tidak sanggup ...."Bara tercenung sejenak, mendengar kalimat yang kuucapkan. Entah apa yang dia pikirkan. Kadang laki-laki itu, memang terlihat misterius."Dik, masuklah ke rumahmu. Tubuhmu punya hak, untuk dijaga
POV. Bara[Samawa till jannah. Dekap eratlah yang ada di hadapanmu. Lupakan yang sudah meninggalkanmu.]Aku tahu. Aku paham, maksud dari komentar itu. Nadin ingin, agar Luna belajar mencintai Aksa yang telah menjadi suaminya, dan melupakan aku yang telah meninggalkannya.Nasehat itu tidak salah. Jika saat ini hatiku merasa tercubit, itu karena mungkin saja aku sedang sensitif. Komentar Nadin, hanya ditanggapi Luna dengan emotikon tersenyum.Kulihat unggahan-unggahannya dari yang paling atas. Semua hanya tentang butiknya. Tentang produk-produk yang dijualnya. Dia sama sekali tidak mengunggah masalahnya di dunia maya.Namun ada akunnya Nadin yang menandainya.[Keep strong. Wonder woman akan selalu kuat. Sobatku yang cantik dan baik.]Unggahan itu disertai dengan fotonya Nadin dan Luna, yang sepertinya sedang duduk di sudut kafe. Postingan itu baru saja diunggah beberapa jam yang lalu. Itu artinya, mereka masih berinteraksi hingga saat ini. Kulihat ada lingkaran kecil berwarna hijau m