POV. Luna"Bu Luna, kenapa?" tanya Risa.Aku diam tidak menjawab. Aku hanya meringis. Berusaha menahan rasa sakit yang sedang kurasakan. Kenapa hanya jatuh terpeleset saja, kakiku sesakit ini?"Kamu Risa, kan? Bosmu kakinya terkilir. Yuk, kamu ikut aku, bawa dia ke dokter spesialis. Kakinya bengkak. Takutnya, jika tidak segera ditangani dokter, malah jadi fatal," ucapnya, tanpa melihat Risa. Dari mana Bara tahu, bahwa gadis itu bernama Risa? Bukankah selama ini, mereka belum pernah bertemu? Apakah diam-diam, dia itu selalu memata-matai kehidupanku? Benar-benar payah.Ibu segera membuka pintu bagian tengah. Bara mendudukkan aku di jok mobil. Jarak wajah kami saat ini, bahkan sudah sangat dekat, saat dia membungkukkan badannya untuk mendudukkan aku. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya, yang hangat. Ya Allah, ada apa, dengan hatiku?"Ibu jaga rumah saja, kami sudah bertiga. Sudah ada Risa," ucap Bara kepada Bu Indah.Ibu pun menganggukkan kepalanya."Risa, jaga Bu Luna baik-baik, ya?"
POV. Luna"Kalian pengantin baru, ya?"Aku justru terkejut, mendengar pertanyaan dokter ortopedi tersebut. Sementara, Bara terlihat salah tingkah. Tatap mata kami sempat bertemu, dalam waktu beberapa detik. Kemudian kami kompak, sama-sama saling membuang pandangan. Sementara, Risa yang berdiri di sampingku, justru mencubit lenganku."Baiklah, jika ingin dilakukan foto rontgen," jawab dokter itu.Aku pun berbaring. Foto rontgen dilakukan oleh dokter itu. Kami melihat layar monitor yang tertempel di tembok."Aman, ya? Tidak ada patah tulang atau retak. Nanti kami buatkan resep obatnya. Usahakan, istirahatkan dulu kakinya, dari pergerakan. Bila berjalan, bisa memakai kruk. Sesampainya di rumah, bisa dikompres dengan es batu, setiap tiga jam sekali," saran dokter itu."Dokter, apa tidak sebaiknya di bagian kaki yang terkilir itu, diberikan perban elastis, untuk mengurangi pembengkakan?"Lagi-lagi, Bara menawar kepada dokter itu."Ok, jika memang suaminya maunya seperti itu," ucap dokter i
POV. Luna[Bu, bagaimana keadaan Luna?] pesan dari Bara.[Baik-baik saja, jangan khawatir.] balas Bu Indah.[Bu, jangan lupa, nanti Luna dikasih makan, sama suruh minum obat,] pesan dari Bara.[Iya, jangan khawatir.] Balas Bu Indah.[Bu, pakaian Luna yang semalam, sudah saya cuci, saya jemur di belakang. Nanti kalau sudah kering, berikan, tapi jangan bilang, jika aku yang mencucinya.] pesan dari Bara.[Bara, tolonglah, kamu jangan terlalu mencintainya. Ibu takutnya nanti kamu justru akan kecewa pada akhirnya. Bagaimanapun juga, Luna sudah punya suami. Ibu takut, kamu terluka untuk yang kedua kalinya.] Balas Bu Indah.[Bukankah Ibu sendiri yang selalu bilang, bahwa aku harus memperjuangkan perasaanku, jika memang aku masih mencintai Luna?] pesan Bara.[Sudah dua tahun ini, aku berusaha melupakan. Tetap saja, aku tidak bisa. Apalagi jika melihat kelakuan suaminya, ketika dia pacaran dengan g*ndiknya, di rumah itu, pas Luna sedang pergi. Rasanya aku ikut merasakan sakitnya.] balas Bara.
POV. Luna"Ini, Non, tasnya memang tertinggal di kamar tamu. Maaf, saya agak lama. Ternyata di kamar tamu, ada tumpahan bakso, saya harus membersihkan terlebih dahulu. Mana baksonya kecil-kecil, menggelinding ke mana-mana," ucap Bu Indah, sambil tertawa kecil."Mohon maaf, Bu. Itu semalam saya yang memecahkan mangkoknya. Habisnya saya syok. Ternyata laki-laki yang dulu sering kuceritakan kepada Bu Indah, tidak lain adalah laki-laki yang sering diceritakan oleh Bu Indah sebagai majikannya," jawabku."Maaf, jujur, saya juga dulu tidak tahu, jika Luna yang pernah diceritakan oleh Bara, itu adalah Non Luna. Saya sering melihat fotonya. Tapi kayaknya, berbeda. Saya tahunya baru satu tahun yang lalu, kalau Lunanya Bara, ya Non Luna. Tapi Bara melarang Ibu untuk bercerita kepada siapa pun. Lagian Bara juga jarang ada di rumah," ucap Bu Indah."Sekali lagi, saya minta maaf, Bu. Sudah memecahkan mangkoknya," ucapku.Bu Indah tersenyum. Memberikan tas itu kepadaku.Kuterima tas itu, dan kuraba
Pov. AksaMelihat Luna yang menc*kik Ibunya Bunga dengan begitu kejam, dan melihat Bunga yang menjerit histeris karena ketakutan, sebenarnya aku merasa iba, dengan dua perempuan itu.Bagaimanapun juga, aku ikut andil dalam kejadian yang terjadi saat ini. Aku juga bersalah.Namun aku juga tidak berani untuk menyalahkan Luna. Aku tahu, bagaimana rasa sakit hatinya.Apalagi jika sampai Luna mengira bahwa aku lebih membela Bunga dan keluarganya. Bisa-bisa justru akulah yang mendapat giliran untuk dicekiknya.Akhirnya aku lebih memilih cara halus, untuk menaklukkan istriku. Kupeluk dia. Agar hatinya menjadi lebih tenang. Dan benar saja, setelah itu, dia pun menjadi bersikap normal.Dalam perjalanan pulang, aku senantiasa ingat dengan ibunya Bunga, yang hingga kepulanganku, bahkan wajahnya masih tampak pucat itu.Aku takut, jika terjadi sesuatu kepadanya. Bagaimana jika nanti Luna justru harus dimintai pertanggungjawaban. Bagaimana jika nanti, masalahnya justru semakin panjang.Akhirnya, ak
POV. Aksa"Maaf, ya?" ucapku kepada perempuan yang sedang berbaring itu.Dia mengangguk. Senyumnya tersungging indah. Namun senyum itu berbarengan dengan air matanya. Sungguh, aku merasa tidak tega.Kenapa semuanya menjadi seperti ini. Di saat aku ingin memperbaiki rumah tanggaku, Bunga justru hamil karena benihku.Di sini bukan hanya Luna yang terluka. Bunga pun sama terlukanya. Betapa tidak adilnya aku. Aku telah menyia-nyiakan wanita yang sedang mengandung benihku."Maaf, aku pulang dulu," ucapku, sambil beranjak dari tempat dudukku.Bunga mengangguk sambil tersenyum."Terimakasih, sudah menjengukku. Aku sangat bahagia. Meskipun dengan perhatian kecil, aku sudah merasa sangat bahagia sekali."Lagi-lagi, ucapan Bunga mampu mengetuk hatiku. Itulah bedanya Bunga dengan Luna. Bunga cenderung lebih bisa menghargaiku.Aku merasa dianggap, aku merasa dihargai.Aku menyempatkan diriku untuk menatap wajah yang sebenarnya memang cantik itu. Kemudian aku lekas memutar tubuhku, berjalan ke ara
POV. AksaYa Allah, jadi dari tadi siang, kunci ini terbawa olehku? Aku pun lekas masuk ke dalam, menyalakan semua lampunya.Aku segera keluar lagi, ingin mencari istriku. Mungkin di rumah orang tuaku. Namun baru saja aku sampai di teras, aku sudah menemukan istriku yang sedang tertidur di kursi teras. Leganya. Aku pun segera mengajaknya ke dalam. Untungnya, dia tidak bertanya tentang banyak hal. Jadi aku tidak perlu susah-susah mengarang cerita.Kami pun tertidur, hingga pagi menjelang.Sebelum adzan subuh, aku sudah bangun, dan langsung ke masjid. Sebentar lagi, aku akan memiliki dua istri. Itu artinya, aku harus semakin tekun melakukan ibadah wajib.Di jalan depan, ternyata tetanggaku yang tidak pernah muncul ke permukaan itu, juga sedang berjalan menuju ke masjid.Kami pun melangkah kaki dengan cepat, tanpa banyak berbicara.Setelah selesai berjamaah, kami mampir di tempat penjual bubur ayam. Aku makan di tempat. Begitu juga, dia. Aku membungkus dua. Begitu juga, dia. Dan tanpa ku
POV. AksaTapi dari mana, aku akan mendapatkan uang untuk biaya pernikahan? Aku tidak mungkin meminta kepada Luna. Dia tentu tidak mau memberikan uang itu."Baiklah, nanti aku akan mengabarimu, jika semuanya sudah beres," jawabku.Kuiyakan saja permintaannya. Daripada nanti dia kecewa dan sakit hati, dan akhirnya mengancam ingin menyebarkan video itu. Entah nanti bagaimana caranya, untuk mendapatkan uang. Akan kupikirkan nanti."Terimakasih. Aku tahu, kamu memang yang terbaik buat aku. Aku merasa sangat beruntung, bisa bertemu kembali denganmu. Aku tahu, kamu adalah laki-laki yang baik. Laki-laki yang bertanggung jawab. Aku tidak pernah menyesal, telah mempersembahkan kehormatanku kepadamu. Lihatlah, aku sekarang sedang mengandung anakmu. Buah cinta kita."Bunga kembali mengusap perutnya dengan wajah yang terlihat sumringah. Dia melambaikan tangannya. Memberikan isyarat, agar aku mendekat ke arahnya.Aku pun mendekat. Tanganku diraihnya. Kembali, dia membawa telapak tanganku untuk dit