POV. Bunga"Mas, kamu tidak kasihan, kepadaku?" bujuknya."Aku mencintaimu dengan sangat. Bahkan aku sudah mengorbankan perasaanku, demi menerima perjodohan dari orang tua kita. Aku menerimamu. Setiap hari, aku belajar mencintaimu. Dan setelah aku menjadi begitu mencintaimu, kamu mengkhianatiku. Kamu berselingkuh, di belakangku. Sakit sekali rasanya. Dan mulai satu minggu yang lalu, aku mulai belajar untuk memaafkanmu. Aku belajar mengalahkan egoku. Berharap kita bisa kembali mesra, seperti dulu lagi. Dan satu minggu ini, aku sudah berhasil melaluinya. Kita kembali lagi, seperti pengantin baru. Sikapmu begitu manis kepadaku. Namun hari ini, aku mendapati kenyataan yang begitu pahit. Ternyata benih yang kamu tanam, sekarang sedang tumbuh di rahim perempuan itu. Sakit, Mas .... Di sini, akulah orang yang paling merasa tersakiti. Dan kamu masih ingin menambah bebanku, dengan cara ingin menusuk perutmu. Padahal kakimu saja baru sembuh. Aku yang merawatmu. Aku yang membuang kotoranmu, seti
POV. LunaHingga akhirnya aku melihat bagaimana perempuan itu nekat menusukkan pisau itu, ke perutnya.Aku segera mendorong tubuh suamiku, agar menolong perempuan itu. Semua terjadi secara spontan.Mas Aksa segera meraih tubuh itu. Direbutnya, pisau yang sudah sempat tertancap pucuknya itu.Melihat bagaimana suamiku menopang tubuh perempuan itu, hatiku terasa berdenyut begitu perih.Terlihat dengan mataku, dari perut perempuan itu, sempat mengeluarkan darah. Sementara, perempuan itu sudah pingsan.Aku pun bergegas menstater mobilku. Karena memang tadi pagi aku berangkat dengan mobil suamiku."Cepetan, Mas, kita bawa ke rumah sakit," teriakku.Mas Aksa lekas membopong tubuh perempuan itu, dan dimasukkan ke dalam mobil. Ditempatkan di jok bagian tengah.Aku segera menancap gas. Bahkan aku sampai lupa, jika Ibu dari perempuan itu, masih tertinggal di rumahku.Di sepanjang jalan, air mataku terus bercucuran. Aku yang bahkan tidak pernah berbuat zina, kenapa sekarang rumah tanggaku mengala
POV. Luna"Mas, jika kamu mencintaiku, nikahi perempuan itu ...."Ada yang berdenyut begitu perih, saat aku mengucapkan itu. Dalam mata terpejam, air mataku jatuh lebih deras, berdesak-desakan.Aku tidak mau ikut menanggung dosa suamiku. Entah nanti ke depannya akan seperti apa. Aku belum memikirkan. Aku juga tidak tahu, apakah pemikiranku ini benar atau tidak.Dari tangannya yang mencengkram lenganku dengan kuat, aku bisa menilai, bahwa suamiku tidak menyukai kalimat yang kuucapkan.Tapi saat tadi suamiku menjaga tubuh perempuan itu, aku bisa menilai, jika Mas Aksa seperti mengkhawatirkan perempuan itu. Entah mana yang benar. Ucapannya, atau gestur tubuhnya. Atau aku yang justru salah menilainya.Ponselnya berdering. Suamiku segera mengambil benda pipih itu dari saku celananya. Diusapnya ke atas, logo bergambar gagang telpon itu."Hallo," sapa suamiku."Dengan Pak Aksa?" tanya seseorang yang ada di seberang. Aku bisa mendengarnya, karena memang aku berdiri tepat di sisinya."Iya. And
POV. Luna"Mereka meminta, supaya Pak Aksa, menikahi Bunga. Karena sekarang Bunga sedang mengandung benihnya Pak Aksa. Makanya, saya melarang mereka untuk ikut masuk, karena saya ingin berbicara dari hati ke hati dengan kalian berdua. Jika sampai mereka ikut masuk, yang ada nanti justru mereka akan memaksakan kehendak mereka. Nanti keputusan Mas Aksa seperti apa, biar saya sampaikan kepada mereka," ujar Pak RT."Begini, Pak. Terus terang saja, saya merasa keberatan, jika saya harus menikahi perempuan itu. Karena apa? Kami melakukannya atas dasar suka sama suka. Bukan karena aku telah memperk*sanya. Apalagi saya sudah punya istri. Tentu saja, saya tidak mau menikahinya!" Suamiku menjawab dengan tegas."Baiklah, akan saya sampaikan, di luar. Saya takutnya, jika orang-orang kerabatnya Bunga itu ikut masuk, yang ada justru nanti akan menjadi gaduh," ucap Pak RT."Suruh masuk sekalian saja tidak apa-apa. Gaduh juga biar gaduh. Biar semuanya cepat selesai!" Mas Aksa berucap dengan lantang.
POV. AksaPenyesalan memang selalu datang terlambat. Seandainya saja, aku bisa memutar waktu. Bisa mengulang kembali hari itu. Hari di mana aku berzina dengan bekas pacarku. Tentu, aku tidak akan melakukannya.Besarnya penyesalan ini, sungguh tiada terkira.Hingga akhirnya Bunga hamil, mengandung benihku. Hal yang sama sekali tidak kuinginkan.Sejak Bunga memberitahu perihal kehamilannya, hidupku menjadi sangat kacau.Semua orang menekanku, agar aku mau menikahi perempuan itu. Demikian juga dengan Luna, istriku.Apalagi Bunga masih menyimpan kartu asku. Dia mengancam, akan menyebarkan video itu. Hal itulah yang membuat istriku semakin mendesakku, agar aku segera mengambil keputusan.Aku tahu, istriku terpaksa memaksaku untuk menikahi Bunga, karena dia tidak ingin nama baik ayahnya tercemar, terseret-seret dalam pusaran berita, jika sampai video itu tersebar ke jagat maya.Aku sadar. Semua adalah salahku. Akulah penyebab kekacauan itu. Gara-gara kesalahanku yang hanya satu kali kulakuk
POV. AksaAkan kuberi dia nafkah, seikhlasnya Luna. Aku tidak peduli, jika nantinya akan dianggap menjadi suami yang tidak adil. Toh pernikahan itu, bukan aku yang menginginkannya. Aku melakukannya, karena terpaksa. Aku terpaksa, agar video itu tidak tersebar. Agar papanya Luna, tidak ikut mendapat malu.Ponsel seseorang yang mengaku sebagai kerabatnya Bunga, terdengar berdering."Halo, iya, Mbak, ini kami masih ada di rumah calon suaminya Bunga. Ada apa, Mbak?" ucap orang itu.Orang itu terdiam beberapa detik lamanya. Mungkin dia sedang mendengarkan suara orang yang ada di seberang sana."Oh, jangan khawatir. Semua beres. Pacarnya Bunga, mau bertanggung jawab. Dia bersedia menikahi Bunga. Istrinya juga sudah menyetujui. Mbak jangan khawatir. Keadaan Bunga, bagaimana? Aman, kan, kandungannya, tidak ada masalah?" ucap orang itu lagi.Kembali, dia terdiam."Ok, Mbak, kami akan segera ke sana. Tunggu sebentar lagi."Telpon pun ditutup. Ponsel dimasukkan kembali, ke dalam saku celananya.
POV. AksaSesampainya di rumah sakit, mereka langsung menelpon seseorang yang kuduga sebagai ibunya Bunga. Mungkin, saat kami tadi ke rumah sakit, ibunya Bunga segera menyusul ke rumah sakit, dan menelpon kerabatnya, supaya menyatroni rumahku."Mari, Mas, itu calon Ibu mertuanya Mas Aksa sudah menunggu di sana," ucap salah satu di antara mereka. Entah namanya siapa.Dia berjalan, menuju seorang perempuan paruh baya, yang tadi sempat datang ke rumahku bersama Bunga.Dia bilang, calon ibu mertuaku. Percaya diri sekali. Bahkan aku tidak akan pernah menganggap, jika dia adalah ibu mertuaku. Jangan harap."Aduh, sudah kuduga. Calon menantuku yang tampan rupawan, pasti akan datang. Ayo silahkan masuk. Tengoklah calon istrimu yang cantik itu," ucapnya.Perempuan setengah tua itu tersenyum. Dia mengulurkan tangannya ke arahku. Namun aku sama sekali tidak menyambutnya. Kubiarkan tangannya mengambang di udara. Luna juga terlihat membuang pandangannya, saat berpapasan dengan perempuan itu."Ya s
POV. LunaHati wanita mana, yang bisa benar-benar rela, jika suaminya ingin menikah lagi? Seperti apa pun aku mencoba untuk kuat dan tegar, tetap hatiku merasakan lukanya.Apalagi ketika kami terpaksa harus pergi ke rumah sakit itu. Hatiku terasa begitu pilu, membayangkan suamiku yang akan menemui calon maduku.Hingga sampailah kami di ruangan sempit, dengan bau obat yang menyengat itu.Di ruangan itu, ibunya Bunga berusaha untuk menekan suamiku. Dia ingin, agar suamiku cepat-cepat menikahi anak perempuannya, sebelum perutnya semakin membesar. Lucu sekali.Hingga meluncurlah kalimat panjang yang sangat menyinggung perasaanku. Semenjak aku berdiri di sini, terhitung sebanyak dua kali, dia mengataiku mandul.Aku pun terpancing emosi. Kuanggap, perkataannya sudah tidak bisa ditolerir lagi. Mulutnya sudah lepas, hingga di luar batas.Belum juga dia mengatupkan bibirnya dari kata "mandul" itu, aku sudah mendorong tubuhnya.Kudorong tubuh yang sebenarnya sudah agak ringkih itu. Aku tidak pe
POV. Aksa"Aku sudah tidak peduli. Kamu mau menikahi dia, kamu mau menceraikan dia. Bukan urusanku. Justru sekarang juga, aku yang akan meminta cerai. Ceraikan aku sekarang juga! Aku tidak mau lagi bersuamikan laki-laki yang kelakuannya bahkan melebihi kelakuan binatang!"Lagi-lagi, Luna berbicara dengan sangat lantang. Perempuan itu. Sudah kuperlakukan dengan baik, tetap saja bersikap angkuh. Lama-lama, aku pun kesal juga. Apalagi, semenjak dia mengetahui perselingkuhanku dengan Bunga, akhir-akhir ini, dia entah sudah berapa kali mengataiku sebagai binatang. Aku juga heran. Dia yang notebenya sebagai bisnis woman, sebagai seorang putri pejabat, namun mulutnya tidak bisa terkontrol. Tingkahnya juga cenderung arogan. "Luna! Kamu dengar tidak. Nyalakan airnya sekarang juga. Kamu jadi perempuan terlalu angkuh. Selalu ingin menjadi yang paling dominan, di setiap keadaan. Laki-laki mana pun, tidak akan tahan, hidup bersama dengan perempuan sepertimu. Kamu itu sudah berani kurang ajar.
POV. AksaBunga pun tampak berbinar. Kemudian dengan manjanya, dia meminta gendong. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Luna. Dengan senang hati, aku pun menggendongnya hingga ke kamar atas. Sayangnya, saat di kamar mandi, Bunga justru menggodaku. Hingga akhirnya, aku pun tidak kuasa untuk menolaknya. Dan terjadilah semuanya. Suara musik yang mengalun dengan merdu, membuat kami lupa. Saat aku bersama Bunga sedang sibuk memadu cinta, tiba-tiba aku dikejutkan dengan air shower yang tiba-tiba mati, tidak mengalir lagi. Dalam sekilat pandangan mata, aku melihat Luna sudah menggenggam sabun cair dalam botol. Di semprotkannya, sabun cair itu ke wajahku, hingga mengenai mataku. Aku pun tidak bisa melihat dengan jelas. Mataku terasa perih. Dan sepertinya, hal yang sama juga terjadi kepada Bunga.Kami yang memang sedang berbaring di lantai kamar mandi, dalam posisi yang tidak siap pun, kalah telak, dengan seorang yang diberikan oleh Luna. Luna juga menyemprotkan sabun cair itu ke
POV. Aksa"Aku nggak bisa tidur. Rasanya aku pingiiiinnn ... banget tidur di rumah kamu. Mungkinkah ini yang dinamakan ngidam?"Bunga berbicara lirih, sambil takut-takut. Kasihan sekali, dia. "Ini bukan keinginanku. Ini keinginan anak kamu. Dia pingin tidur di rumah papanya. Kalau aku sih, sudah terbiasa hidup miskin. Meskipun diajak tinggal dikolong jembatan, asal bersamamu, aku rela ...."Bunga mengusap-usap perutnya. "Kalau besok saja, bagaimana? Biar Luna, aku ungsikan dulu ke rumah orang tuaku,"Aku berusaha beralasan. Terus terang, aku merasa ragu, jika ingin membawa Bunga ke rumahku, sementara di situ ada Luna. Aku takut, Bunga yang sedang hamil, dijadikan bulan-bulanan oleh Luna. Jangan sampai, nanti calon bayiku yang menjadi korban. "Tapi anak kita maunya sekarang. Aku nggak bakalan bisa tidur, jika tidak diajak ke sana," rengek Bunga dengan sangat manja. Akhirnya, aku pun mengalah. Membawa Bunga ke rumahku. Untunglah, Luna sudah tidur. Aku bisa masuk ke dalam rumah denga
POV. AksaPagi ini juga, Luna langsung bilang kepada orang tuaku, bahwa dia ingin pulang saja ke rumahnya. Jika sudah Luna yang berbicara, maka Mama Papa pun akan menyetujuinya.Akhirnya, aku bisa juga lepas dari pengawasan Papa.Sepulang dari rumah orangtuaku, aku langsung menghampiri Bunga ke rumahnya."Aksa, muka kamu kenapa? Kok lebam?"Bunga menatap wajahku dengan tatapan heran."Dihajar Papa," jawabku. Bunga menatapku dengan tatapan kasihan. Kemudian dia masuk ke dalam. Tidak berselang lama, dia sudah keluar dengan mangok yang berisi air hangat, dan sapu tangan. Dikompresnya wajahku dengan air hangat itu. "Pasti istrimu mengadu yang tidak-tidak, kepada orang tuamu. Aku bahkan heran. Apa istimewanya Luna, hingga orangtuamu lebih membelanya, daripada terhadap anaknya sendiri."Bunga berbicara dengan nada yang nelangsa. "Luna sudah meminta cerai."Aku berbicara sambil menahan perih di wajahku."Bagus, dong. Ceraikan saja secepatnya! Toh kamu sudah punya aku. Punya calon anak jug
POV. Luna"Siapa juga, yang mau nyium handuk kamu? Aku juga ogah, yang ada ntar aku langsung pingsan. Keringat kamu, baunya nggak ketulungan. Udah gitu, kepedean, lagi."Aku berbicara sambil mencebikkan bibirku."Cewek memang paling pinter, kalau disuruh ngeles. Kirain kamu cuma pinter nangis doang. Ternyata pinter ngeles juga. Bilangnya pingsan, kalau nyium bau keringat aku. Padahal pas pinjem selimut punya aku aja, dicium-cium, dihirup-hirup sampai matanya merem-merem. Kamu pikir, aku tidak tahu? Aku bahkan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Masih mau ngeles juga?"Aku malu, mendengar semua kalimat yang dia ucapkan. Benarkah dia melihatnya. "Tuh, kan, pipi kamu merona. Itu artinya, iya."Kenapa pagi ini, dia mendadak genit? Benar-benar, kepribadiannya memang sulit untuk ditebak. Kadang dia bersikap cuek, kadang bersikap serius, kadang malah genitnya nggak ketulungan, seperti pagi ini. "Gimana, boleh ya, aku ngelukis wajah kamu? Sebenarnya, bakat melukis itu, sudah ada sejak
POV. Luna"Maaf juga, jika kemarin-kemarin, aku sempat membuat status yang bukan-bukan. Tapi status yang kuunggah, sudah aku atur privasinya, sehingga tidak ada orang yang melihatnya. Maaf juga, jika beberapa hari yang lalu, aku sempat meludahimu."Sebisa mungkin, aku berbicara dengan sopan. Aku ingin, saat perceraian nanti, aku sudah meminta maaf kepadanya."Sudahlah, jangan ngomong hal-hal yang nggak penting. Aku ke sini cuma mau ngomong, kalau nasi gorengnya nggak jadi. Aku mau bubur ayam saja. Kamu tolong ke depan, cari bubur ayam. Cepetan, jangan pakai lama."Aku merasa kesal dengannya. Seenaknya saja, dia mengganti perintah, saat perintah yang pertama sudah hampir kuselesaikan. "Matanya jangan melotot seperti itu. Baru juga meminta maaf, sudah mau membuat dosa. Atau kamu mau? Nanti jika sudah jadi janda, aku informasikan kepada semua orang, jika kamu itu perempuan arogan yang sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga, dan bahkan pernah meludahiku? Biar kamu jadi janda seum
POV. LunaItu minuman siapa? Perasaan, aku tidak pernah meminum minuman seperti itu. Di kulkas memang menyimpannya, tapi lebih sering kugunakan untuk menjamu temannya Mas Aksa, jika ada yang datang ke sini. Suamiku pun, jarang sekali menyentuh minuman seperti itu. Apakah Mas Aksa, semalam sempat pulang? Tapi dia tidur di mana? Dari mana juga, dia bisa masuk? Apakah dia memiliki kunci cadangan?Aku memutar langkahku, menuju ke ruang tamu. Kusingkap dengan lebar, gorden jendela yang tadinya masih tertutup.Benar saja, aku melihat mobil suamiku. Tapi orangnya, ada di mana? Apakah tidur di mobil? Lantas botol minuman itu? Kulangkahkan kakiku, menuju kamar tamu. Kuputar kenop pintunya. Terkunci dari dalam. Itu artinya, memang suamiku pulang, dan memilih tidur terpisah dariku. Sudahlah, biar saja.Aku sedang mulai untuk tidak peduli dengan semua hal tentang dia. Aku akan fokus dengan kebahagiaanku. Semoga saja, Mama dan Papa bisa segera pulang. Dan semoga saja mereka tidak kaget, jika nan
Pov. LunaEntah benar, entah salah. Bahkan aku sudah tidak bisa membedakan lagi. Saat aku sedang merasa begitu rapuh, aku justru berbagi cerita dengan mantan kekasihku itu. Bahkan aku juga bercerita tentang rencana perceraianku. Mungkin memang aku salah. Aku keliru. Sebagai seorang istri yang baik, seharusnya jika sedang ada masalah, dia akan mengadu kepada Tuhannya. Dia akan lebih mendekatkan diri kepada agamanya. Bukan malah seperti aku. Berduaan di luar rumah malam-malam, membuka aib rumah tanggaku, berkeluh kesah kepada mantan pacarku. "Kamu yakin, akan bercerai?" tanya Bara."Aku tidak sanggup berbagi. Kemarin-kemarin, kukira aku akan kuat. Tapi baru beberapa hari menjalani, aku rasanya sudah mau gila. Aku lebih baik menjauhi mudharat, daripada mengejar manfaat. Aku tidak sanggup ...."Bara tercenung sejenak, mendengar kalimat yang kuucapkan. Entah apa yang dia pikirkan. Kadang laki-laki itu, memang terlihat misterius."Dik, masuklah ke rumahmu. Tubuhmu punya hak, untuk dijaga
POV. Bara[Samawa till jannah. Dekap eratlah yang ada di hadapanmu. Lupakan yang sudah meninggalkanmu.]Aku tahu. Aku paham, maksud dari komentar itu. Nadin ingin, agar Luna belajar mencintai Aksa yang telah menjadi suaminya, dan melupakan aku yang telah meninggalkannya.Nasehat itu tidak salah. Jika saat ini hatiku merasa tercubit, itu karena mungkin saja aku sedang sensitif. Komentar Nadin, hanya ditanggapi Luna dengan emotikon tersenyum.Kulihat unggahan-unggahannya dari yang paling atas. Semua hanya tentang butiknya. Tentang produk-produk yang dijualnya. Dia sama sekali tidak mengunggah masalahnya di dunia maya.Namun ada akunnya Nadin yang menandainya.[Keep strong. Wonder woman akan selalu kuat. Sobatku yang cantik dan baik.]Unggahan itu disertai dengan fotonya Nadin dan Luna, yang sepertinya sedang duduk di sudut kafe. Postingan itu baru saja diunggah beberapa jam yang lalu. Itu artinya, mereka masih berinteraksi hingga saat ini. Kulihat ada lingkaran kecil berwarna hijau m