POV. LunaJari-jemariku pun merasa gatal, ingin membuat postingan tandingan.Kuunggahlah sebuah postingan di aplikasi hijau. Setahuku, hanya itu satu-satunya aplikasi yang bisa kuatur privasinya. Kubuat, agar postinganku itu, hanya suamiku, yang bisa melihatnya. Karena jangan sampai, huru-hara rumah tanggaku dijadikan konsumsi publik.[Alhamdulillah, memiliki suami yang tampan dan rupawan. Sangat setia, tidak pernah mendua, dan sangat menyayangi istrinya. Bersyukur, Tuhan mengirimkan dia, untuk menemani hari-hariku. Sosok yang sempurna di mataku.]Tidak puas hanya membuat itu, aku pun masih mengunggah kata-kata yang lainnya.Aku pun tidak lagi mengunggah status yang berisi sindiran halus. Namun akan kubuat status yang terang-terangan mengatainya. Agar dia segera menyadari kekeliruannya. [Dijual gratis, seorang suami yang tidak setia, yang diam-diam sudah membuat bunting gu*diknya.][Suatu hari nanti, akan kubuang sampah pada tempatnya, jika aku sudah tidak tahan dengan bau busuknya.]
Pov. AksaLuna adalah istri yang selama ini selalu menguasai alam bawah sadarku. Mengisi hampir seluruh volume otakku. Kucintai dengan segenap jiwa dan ragaku.Hingga ketika dia kabur dari rumah, aku begitu mengkhawatirkannya. Sampai-sampai aku menjadikan Bunga sebagai pelampiasan kekesalanku.Kubentak-bentak, Bunga--perempuan yang baru beberapa jam menjadi istriku. Bahkan saat Bunga merayuku karena ingin meminta nafkah batin pun, aku tidak memberikannya dengan baik. Aku hanya mementingkan diriku sendiri, kemudian langsung beranjak, meninggalkannya begitu saja. Bahkan saat aku melakukannya, aku sama sekali tidak menatapnya sedikit pun. Karena yang ada dalam bayanganku, hanyalah Luna, Luna, dan Luna. Kukecewakan Bunga, dengan kekecewaan yang mendalam. Kuturunkan dia di jalan, hanya karena aku melihat kelebat mobilnya Luna. Tidak kupedulikan Bunga yang menangis histeris. Kutinggal pergi begitu saja, demi mengejar Luna.Namun apa yang kudapatkan, ternyata sangat jauh dari harapan. Istri
POV. Aksa"Benarkah? Kamu mau tidur di rumahku? Di kamarku yang sempit kemarin?" tanya dia.Aku menganggukkan kepalaku dengan mantap. Akan kutebus kesalahanku yang kemarin, dengan memberinya kebahagiaan, malam ini.Akhirnya, kami pun pulang ke rumah orangtuanya Bunga. Kupaksakan diriku untuk tidur di kamar yang tidak begitu nyaman ini.Dan akhirnya, terjadilah apa yang menjadi keinginan istri siriku itu. Bagaimanapun juga, aku adalah laki-laki normal. Tentu aku tidak bisa mengabaikan Bunga begitu saja. Apalagi, sekarang status kami adalah pasangan suami istri. Meskipun pernikahan kami, entah sah entah tidak. Sebelum subuh, aku sudah mandi junub, di kamar mandi yang sangat sederhana ini. Saat pagi masih buta, aku segera pergi meninggalkan rumah itu, untuk mengantar Bunga ke rumah sakit.Kondisi kesehatan ibunya, sudah mulai membaik."Sayang, kamu tidak perlu membayar biaya rumah sakitnya. Aku masih ada uang. Aku juga besok sudah mau berangkat bekerja," ucap Bunga.Dalam hati, aku mera
POV. Aksa"Mas, bisakah kamu jangan pergi?" tanya Luna."Untuk apa, aku di sini. Toh kamu bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Kamu tidak butuh aku."Aku segera naik ke mobil. Melajukan dengan cepat, setelah sebelumnya aku sempat membanting pintu mobilku.Tempat pertama yang kutuju, adalah rumah orangtuanya Bunga. Bunga dan ibunya, menyambutku dengan hangat.Sesampainya di sana, aku segera disuguhkan teh manis. Bunga merebus air, untuk keperluan mandiku. Setelah aku selesai mandi, Bunga pun ternyata sudah menyiapkan pakaian gantiku.Pelayanannya terhadapku, tidak kalah dengan pelayanan yang diberikan oleh Luna, istriku."Ponsel kamu, tadi aku telpon kok, nggak aktif?" tanya Bunga."Ponselku remuk. Dibanting oleh istriku," jawabku."Sabar, Sayang, ya? Mungkin istrimu sedang badmood," jawab Bunga.Mulianya hati istri mudaku ini. Dia tidak lantas menjelek-jelekkan Luna, di saat aku mengadu tentang kelakuan arogannya.Malam ini, aku kembali tidur dengan Bunga. Aku merasa semakin nyam
POV. LunaKubanting benda pipih itu dengan begitu keras ke lantai. Hingga ponsel seharga belasan juta yang dibeli dengan gaji sebulan itu, pecah, remuk redam, dan puing-puingnya berserakan di lantai.Dan setelah itu, kami pun terlibat pertengkaran. Mas Aksa pergi dengan membawa koper, entah ke mana.Esoknya, dia tidak pulang. Pastinya, dia tinggal bersama gundiknya, entah ada di mana.Pagi hingga sore hari, aku bisa menyibukkan diriku dengan berbagai aktivitas di butikku. Aku sibuk dengan laporan keuangan, aku sibuk menghitung uang, aku sibuk memeriksa kualitas jahitan. Aku juga sibuk melobi dan menjaring pelanggan. Pagi hingga sore hari, kubuat diriku tak punya waktu untuk sekedar meratapi nasib rumah tanggaku.Jika aku lelah atau mengantuk karena kurang tidur, siangnya, aku akan tidur, di butik. Namun jika senja sudah menyapa. Jika aku sudah kembali lagi ke rumahnya Mas Aksa. Saat tak ada lagi teman yang mengajak tertawa. Tak urung, pikiranku pun kembali terkungkung, memikirkan nas
POV. LunaGundik itu, bahkan terlihat memakai rok tipis di atas lutut, yang memperlihatkan separuh pahanya. Sementara, suamiku hanya memakai celana pendek. Aku hafal dengan celana yang dipakai oleh suamiku itu. Karena, celana itu, kadang aku yang mencucinya, aku yang menjemurnya, aku yang menggosoknya. Dan sekarang, celana itu dipakai untuk berbuat maksiat bersama gun*iknya. Benar, memang telah menikah. Namun aku juga tidak yakin, apakah pernikahan mereka sah atau tidak. Akhirnya, aku lebih memilih untuk mematikan ponselku, daripada nanti jari tanganku gatal, dan berkomentar yang tidak-tidak. Kulempar ponsel itu, ke pojok tempat tidur yang kini tidak ada penghuninya itu.Diam-diam, aku kesepian. Aku merasa hampa, suamiku tidak ada. Entah bagaimana nanti aku akan mengambil keputusan tentang rumah tanggaku. Otakku sepertinya sedang buntu, untuk memikirkan semua itu. Sepertinya, tidak ada jalan keluar yang sempurna. Semua pilihan yang ada, mengandung resiko yang tidak ringan. Aku pun
POV. LunaDengan tangan gemetar, aku segera membuka layar ponselku. Kucari nomor kontak dengan nama Bu Indah. Hanya dia orang yang bisa kuminta pertolongan, saat ini. Tetangga lain, mungkin mereka sudah tertidur, di jam seperti ini. Berkali-kali aku mencoba menelpon Bu Indah, tetap saja gagal. Apa mungkin ponselnya tidak aktif? Nomer ponselnya Pak Bagus, atau Bara, aku tidak punya. Selama ini, aku tidak pernah punya kepentingan kepada mereka, jadi aku tidak tahu nomor ponselnya.Mencoba kucari nomer Pak Bagus di sebuah WA grub RT. Ketemu. Ada, nomer Pak Bagus. Aku pun mencoba menelponnya. Tersambung dan diangkat. Alhamdulillah. Semoga Allah memberiku pertolongan lewat tangan-tangan orang itu. "Pak, tolong, rumah saya, ada orang yang masuk."Aku berucap dengan suara yang bergetar. Tanganku gemetar, memegang ponsel yang ada. "Ini siapa?" tanya Pak Bagus. Mungkin saja Pak Bagus juga tidak menyimpan nomor ponselku, jadi beliau tidak tahu, dengan siapa beliau sedang berbicara. "Lu
POV. LunaSatu di antara mereka, bahkan sudah menarik celana panjangku. Namun tidak berhasil. Karena celana ini terlalu kuat dan tebal. "Ayo, bilang! Di mana, uang dan perhiasanmu?!"Satu laki-laki itu, mencengkeram kedua pipiku. Sementara, yang satunya lagi, memegang tubuhku. Aku sama sekali tidak berdaya, melawan mereka. Aku hanya bisa berdoa dalam hati. Dan tiba-tiba saja, ada suara tembakan di halaman rumahku. Suasana mendadak gaduh. Derap langkah kaki seperti orang yang berlari, terdengar semakin mendekat. Beberapa pria berseragam coklat, terlihat masuk ke kamarku. Mereka menodongkan senjata laras pendek, ke arah dua penjahat itu. Namun, naasnya, dua penjahat itu justru menyandera aku.Leherku dipasang pisau. Tubuhku semakin gemetar, tidak bisa kukendalikan. Mungkinkah, umurku hanya akan sampai di sini say? Dan tiba-tiba saja, aku dibuat lebih terkejut lagi. Suara tembakan, terdengar persis di samping telingaku. Pisau yang dipegang oleh laki-laki itu, jatuh tepat di pang
POV. Aksa"Aku sudah tidak peduli. Kamu mau menikahi dia, kamu mau menceraikan dia. Bukan urusanku. Justru sekarang juga, aku yang akan meminta cerai. Ceraikan aku sekarang juga! Aku tidak mau lagi bersuamikan laki-laki yang kelakuannya bahkan melebihi kelakuan binatang!"Lagi-lagi, Luna berbicara dengan sangat lantang. Perempuan itu. Sudah kuperlakukan dengan baik, tetap saja bersikap angkuh. Lama-lama, aku pun kesal juga. Apalagi, semenjak dia mengetahui perselingkuhanku dengan Bunga, akhir-akhir ini, dia entah sudah berapa kali mengataiku sebagai binatang. Aku juga heran. Dia yang notebenya sebagai bisnis woman, sebagai seorang putri pejabat, namun mulutnya tidak bisa terkontrol. Tingkahnya juga cenderung arogan. "Luna! Kamu dengar tidak. Nyalakan airnya sekarang juga. Kamu jadi perempuan terlalu angkuh. Selalu ingin menjadi yang paling dominan, di setiap keadaan. Laki-laki mana pun, tidak akan tahan, hidup bersama dengan perempuan sepertimu. Kamu itu sudah berani kurang ajar.
POV. AksaBunga pun tampak berbinar. Kemudian dengan manjanya, dia meminta gendong. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Luna. Dengan senang hati, aku pun menggendongnya hingga ke kamar atas. Sayangnya, saat di kamar mandi, Bunga justru menggodaku. Hingga akhirnya, aku pun tidak kuasa untuk menolaknya. Dan terjadilah semuanya. Suara musik yang mengalun dengan merdu, membuat kami lupa. Saat aku bersama Bunga sedang sibuk memadu cinta, tiba-tiba aku dikejutkan dengan air shower yang tiba-tiba mati, tidak mengalir lagi. Dalam sekilat pandangan mata, aku melihat Luna sudah menggenggam sabun cair dalam botol. Di semprotkannya, sabun cair itu ke wajahku, hingga mengenai mataku. Aku pun tidak bisa melihat dengan jelas. Mataku terasa perih. Dan sepertinya, hal yang sama juga terjadi kepada Bunga.Kami yang memang sedang berbaring di lantai kamar mandi, dalam posisi yang tidak siap pun, kalah telak, dengan seorang yang diberikan oleh Luna. Luna juga menyemprotkan sabun cair itu ke
POV. Aksa"Aku nggak bisa tidur. Rasanya aku pingiiiinnn ... banget tidur di rumah kamu. Mungkinkah ini yang dinamakan ngidam?"Bunga berbicara lirih, sambil takut-takut. Kasihan sekali, dia. "Ini bukan keinginanku. Ini keinginan anak kamu. Dia pingin tidur di rumah papanya. Kalau aku sih, sudah terbiasa hidup miskin. Meskipun diajak tinggal dikolong jembatan, asal bersamamu, aku rela ...."Bunga mengusap-usap perutnya. "Kalau besok saja, bagaimana? Biar Luna, aku ungsikan dulu ke rumah orang tuaku,"Aku berusaha beralasan. Terus terang, aku merasa ragu, jika ingin membawa Bunga ke rumahku, sementara di situ ada Luna. Aku takut, Bunga yang sedang hamil, dijadikan bulan-bulanan oleh Luna. Jangan sampai, nanti calon bayiku yang menjadi korban. "Tapi anak kita maunya sekarang. Aku nggak bakalan bisa tidur, jika tidak diajak ke sana," rengek Bunga dengan sangat manja. Akhirnya, aku pun mengalah. Membawa Bunga ke rumahku. Untunglah, Luna sudah tidur. Aku bisa masuk ke dalam rumah denga
POV. AksaPagi ini juga, Luna langsung bilang kepada orang tuaku, bahwa dia ingin pulang saja ke rumahnya. Jika sudah Luna yang berbicara, maka Mama Papa pun akan menyetujuinya.Akhirnya, aku bisa juga lepas dari pengawasan Papa.Sepulang dari rumah orangtuaku, aku langsung menghampiri Bunga ke rumahnya."Aksa, muka kamu kenapa? Kok lebam?"Bunga menatap wajahku dengan tatapan heran."Dihajar Papa," jawabku. Bunga menatapku dengan tatapan kasihan. Kemudian dia masuk ke dalam. Tidak berselang lama, dia sudah keluar dengan mangok yang berisi air hangat, dan sapu tangan. Dikompresnya wajahku dengan air hangat itu. "Pasti istrimu mengadu yang tidak-tidak, kepada orang tuamu. Aku bahkan heran. Apa istimewanya Luna, hingga orangtuamu lebih membelanya, daripada terhadap anaknya sendiri."Bunga berbicara dengan nada yang nelangsa. "Luna sudah meminta cerai."Aku berbicara sambil menahan perih di wajahku."Bagus, dong. Ceraikan saja secepatnya! Toh kamu sudah punya aku. Punya calon anak jug
POV. Luna"Siapa juga, yang mau nyium handuk kamu? Aku juga ogah, yang ada ntar aku langsung pingsan. Keringat kamu, baunya nggak ketulungan. Udah gitu, kepedean, lagi."Aku berbicara sambil mencebikkan bibirku."Cewek memang paling pinter, kalau disuruh ngeles. Kirain kamu cuma pinter nangis doang. Ternyata pinter ngeles juga. Bilangnya pingsan, kalau nyium bau keringat aku. Padahal pas pinjem selimut punya aku aja, dicium-cium, dihirup-hirup sampai matanya merem-merem. Kamu pikir, aku tidak tahu? Aku bahkan melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Masih mau ngeles juga?"Aku malu, mendengar semua kalimat yang dia ucapkan. Benarkah dia melihatnya. "Tuh, kan, pipi kamu merona. Itu artinya, iya."Kenapa pagi ini, dia mendadak genit? Benar-benar, kepribadiannya memang sulit untuk ditebak. Kadang dia bersikap cuek, kadang bersikap serius, kadang malah genitnya nggak ketulungan, seperti pagi ini. "Gimana, boleh ya, aku ngelukis wajah kamu? Sebenarnya, bakat melukis itu, sudah ada sejak
POV. Luna"Maaf juga, jika kemarin-kemarin, aku sempat membuat status yang bukan-bukan. Tapi status yang kuunggah, sudah aku atur privasinya, sehingga tidak ada orang yang melihatnya. Maaf juga, jika beberapa hari yang lalu, aku sempat meludahimu."Sebisa mungkin, aku berbicara dengan sopan. Aku ingin, saat perceraian nanti, aku sudah meminta maaf kepadanya."Sudahlah, jangan ngomong hal-hal yang nggak penting. Aku ke sini cuma mau ngomong, kalau nasi gorengnya nggak jadi. Aku mau bubur ayam saja. Kamu tolong ke depan, cari bubur ayam. Cepetan, jangan pakai lama."Aku merasa kesal dengannya. Seenaknya saja, dia mengganti perintah, saat perintah yang pertama sudah hampir kuselesaikan. "Matanya jangan melotot seperti itu. Baru juga meminta maaf, sudah mau membuat dosa. Atau kamu mau? Nanti jika sudah jadi janda, aku informasikan kepada semua orang, jika kamu itu perempuan arogan yang sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga, dan bahkan pernah meludahiku? Biar kamu jadi janda seum
POV. LunaItu minuman siapa? Perasaan, aku tidak pernah meminum minuman seperti itu. Di kulkas memang menyimpannya, tapi lebih sering kugunakan untuk menjamu temannya Mas Aksa, jika ada yang datang ke sini. Suamiku pun, jarang sekali menyentuh minuman seperti itu. Apakah Mas Aksa, semalam sempat pulang? Tapi dia tidur di mana? Dari mana juga, dia bisa masuk? Apakah dia memiliki kunci cadangan?Aku memutar langkahku, menuju ke ruang tamu. Kusingkap dengan lebar, gorden jendela yang tadinya masih tertutup.Benar saja, aku melihat mobil suamiku. Tapi orangnya, ada di mana? Apakah tidur di mobil? Lantas botol minuman itu? Kulangkahkan kakiku, menuju kamar tamu. Kuputar kenop pintunya. Terkunci dari dalam. Itu artinya, memang suamiku pulang, dan memilih tidur terpisah dariku. Sudahlah, biar saja.Aku sedang mulai untuk tidak peduli dengan semua hal tentang dia. Aku akan fokus dengan kebahagiaanku. Semoga saja, Mama dan Papa bisa segera pulang. Dan semoga saja mereka tidak kaget, jika nan
Pov. LunaEntah benar, entah salah. Bahkan aku sudah tidak bisa membedakan lagi. Saat aku sedang merasa begitu rapuh, aku justru berbagi cerita dengan mantan kekasihku itu. Bahkan aku juga bercerita tentang rencana perceraianku. Mungkin memang aku salah. Aku keliru. Sebagai seorang istri yang baik, seharusnya jika sedang ada masalah, dia akan mengadu kepada Tuhannya. Dia akan lebih mendekatkan diri kepada agamanya. Bukan malah seperti aku. Berduaan di luar rumah malam-malam, membuka aib rumah tanggaku, berkeluh kesah kepada mantan pacarku. "Kamu yakin, akan bercerai?" tanya Bara."Aku tidak sanggup berbagi. Kemarin-kemarin, kukira aku akan kuat. Tapi baru beberapa hari menjalani, aku rasanya sudah mau gila. Aku lebih baik menjauhi mudharat, daripada mengejar manfaat. Aku tidak sanggup ...."Bara tercenung sejenak, mendengar kalimat yang kuucapkan. Entah apa yang dia pikirkan. Kadang laki-laki itu, memang terlihat misterius."Dik, masuklah ke rumahmu. Tubuhmu punya hak, untuk dijaga
POV. Bara[Samawa till jannah. Dekap eratlah yang ada di hadapanmu. Lupakan yang sudah meninggalkanmu.]Aku tahu. Aku paham, maksud dari komentar itu. Nadin ingin, agar Luna belajar mencintai Aksa yang telah menjadi suaminya, dan melupakan aku yang telah meninggalkannya.Nasehat itu tidak salah. Jika saat ini hatiku merasa tercubit, itu karena mungkin saja aku sedang sensitif. Komentar Nadin, hanya ditanggapi Luna dengan emotikon tersenyum.Kulihat unggahan-unggahannya dari yang paling atas. Semua hanya tentang butiknya. Tentang produk-produk yang dijualnya. Dia sama sekali tidak mengunggah masalahnya di dunia maya.Namun ada akunnya Nadin yang menandainya.[Keep strong. Wonder woman akan selalu kuat. Sobatku yang cantik dan baik.]Unggahan itu disertai dengan fotonya Nadin dan Luna, yang sepertinya sedang duduk di sudut kafe. Postingan itu baru saja diunggah beberapa jam yang lalu. Itu artinya, mereka masih berinteraksi hingga saat ini. Kulihat ada lingkaran kecil berwarna hijau m