pov. Luna"Bukankah kamu yang menyuruhku untuk menikah? Kenapa sekarang justru menyalahkan?" jawab suamiku.Mendengar jawabannya, aku pun tidak bisa lagi untuk mengawal emosiku. Yang diucapkannya, memang benar adanya. Tapi entah mengapa, aku merasa tidak terima, mendengar dia melakukan pembenaran atas ucapannya.Kuambil kruk yang ada di sampingku. Kupukulkan berkali-kali ke arah tubuh suamiku. Masih kurang puas, aku bahkan masih sempat menonjok wajahnya. Aku juga mencubitnya. Dia sama sekali tidak melawan.Aku merasa tidak puas. Aku seolah hanya melawan angin. Hingga akhirnya, wajah itu kuludahi berkali-kali, hingga mulutku terasa sangat kering.Mas Aksa menatap tajam, ke arahku. Dia mungkin merasa tidak terima, dengan perlakuanku."Kamu keterlaluan!" teriaknya.Dia pun masuk ke rumah. Dibantingnya pintu dengan sangat keras. Dari langkah kaki yang terdengar, aku yakin, dia naik ke kamar atas.Aku pun segera masuk ke rumah. Kukunci pintu utama, kemudian aku masuk ke kamar tamu. Mungkin
POV. LunaJari-jemariku pun merasa gatal, ingin membuat postingan tandingan.Kuunggahlah sebuah postingan di aplikasi hijau. Setahuku, hanya itu satu-satunya aplikasi yang bisa kuatur privasinya. Kubuat, agar postinganku itu, hanya suamiku, yang bisa melihatnya. Karena jangan sampai, huru-hara rumah tanggaku dijadikan konsumsi publik.[Alhamdulillah, memiliki suami yang tampan dan rupawan. Sangat setia, tidak pernah mendua, dan sangat menyayangi istrinya. Bersyukur, Tuhan mengirimkan dia, untuk menemani hari-hariku. Sosok yang sempurna di mataku.]Tidak puas hanya membuat itu, aku pun masih mengunggah kata-kata yang lainnya.Aku pun tidak lagi mengunggah status yang berisi sindiran halus. Namun akan kubuat status yang terang-terangan mengatainya. Agar dia segera menyadari kekeliruannya. [Dijual gratis, seorang suami yang tidak setia, yang diam-diam sudah membuat bunting gu*diknya.][Suatu hari nanti, akan kubuang sampah pada tempatnya, jika aku sudah tidak tahan dengan bau busuknya.]
Pov. AksaLuna adalah istri yang selama ini selalu menguasai alam bawah sadarku. Mengisi hampir seluruh volume otakku. Kucintai dengan segenap jiwa dan ragaku.Hingga ketika dia kabur dari rumah, aku begitu mengkhawatirkannya. Sampai-sampai aku menjadikan Bunga sebagai pelampiasan kekesalanku.Kubentak-bentak, Bunga--perempuan yang baru beberapa jam menjadi istriku. Bahkan saat Bunga merayuku karena ingin meminta nafkah batin pun, aku tidak memberikannya dengan baik. Aku hanya mementingkan diriku sendiri, kemudian langsung beranjak, meninggalkannya begitu saja. Bahkan saat aku melakukannya, aku sama sekali tidak menatapnya sedikit pun. Karena yang ada dalam bayanganku, hanyalah Luna, Luna, dan Luna. Kukecewakan Bunga, dengan kekecewaan yang mendalam. Kuturunkan dia di jalan, hanya karena aku melihat kelebat mobilnya Luna. Tidak kupedulikan Bunga yang menangis histeris. Kutinggal pergi begitu saja, demi mengejar Luna.Namun apa yang kudapatkan, ternyata sangat jauh dari harapan. Istri
POV. Aksa"Benarkah? Kamu mau tidur di rumahku? Di kamarku yang sempit kemarin?" tanya dia.Aku menganggukkan kepalaku dengan mantap. Akan kutebus kesalahanku yang kemarin, dengan memberinya kebahagiaan, malam ini.Akhirnya, kami pun pulang ke rumah orangtuanya Bunga. Kupaksakan diriku untuk tidur di kamar yang tidak begitu nyaman ini.Dan akhirnya, terjadilah apa yang menjadi keinginan istri siriku itu. Bagaimanapun juga, aku adalah laki-laki normal. Tentu aku tidak bisa mengabaikan Bunga begitu saja. Apalagi, sekarang status kami adalah pasangan suami istri. Meskipun pernikahan kami, entah sah entah tidak. Sebelum subuh, aku sudah mandi junub, di kamar mandi yang sangat sederhana ini. Saat pagi masih buta, aku segera pergi meninggalkan rumah itu, untuk mengantar Bunga ke rumah sakit.Kondisi kesehatan ibunya, sudah mulai membaik."Sayang, kamu tidak perlu membayar biaya rumah sakitnya. Aku masih ada uang. Aku juga besok sudah mau berangkat bekerja," ucap Bunga.Dalam hati, aku mera
POV. Aksa"Mas, bisakah kamu jangan pergi?" tanya Luna."Untuk apa, aku di sini. Toh kamu bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Kamu tidak butuh aku."Aku segera naik ke mobil. Melajukan dengan cepat, setelah sebelumnya aku sempat membanting pintu mobilku.Tempat pertama yang kutuju, adalah rumah orangtuanya Bunga. Bunga dan ibunya, menyambutku dengan hangat.Sesampainya di sana, aku segera disuguhkan teh manis. Bunga merebus air, untuk keperluan mandiku. Setelah aku selesai mandi, Bunga pun ternyata sudah menyiapkan pakaian gantiku.Pelayanannya terhadapku, tidak kalah dengan pelayanan yang diberikan oleh Luna, istriku."Ponsel kamu, tadi aku telpon kok, nggak aktif?" tanya Bunga."Ponselku remuk. Dibanting oleh istriku," jawabku."Sabar, Sayang, ya? Mungkin istrimu sedang badmood," jawab Bunga.Mulianya hati istri mudaku ini. Dia tidak lantas menjelek-jelekkan Luna, di saat aku mengadu tentang kelakuan arogannya.Malam ini, aku kembali tidur dengan Bunga. Aku merasa semakin nyam
POV. LunaKubanting benda pipih itu dengan begitu keras ke lantai. Hingga ponsel seharga belasan juta yang dibeli dengan gaji sebulan itu, pecah, remuk redam, dan puing-puingnya berserakan di lantai.Dan setelah itu, kami pun terlibat pertengkaran. Mas Aksa pergi dengan membawa koper, entah ke mana.Esoknya, dia tidak pulang. Pastinya, dia tinggal bersama gundiknya, entah ada di mana.Pagi hingga sore hari, aku bisa menyibukkan diriku dengan berbagai aktivitas di butikku. Aku sibuk dengan laporan keuangan, aku sibuk menghitung uang, aku sibuk memeriksa kualitas jahitan. Aku juga sibuk melobi dan menjaring pelanggan. Pagi hingga sore hari, kubuat diriku tak punya waktu untuk sekedar meratapi nasib rumah tanggaku.Jika aku lelah atau mengantuk karena kurang tidur, siangnya, aku akan tidur, di butik. Namun jika senja sudah menyapa. Jika aku sudah kembali lagi ke rumahnya Mas Aksa. Saat tak ada lagi teman yang mengajak tertawa. Tak urung, pikiranku pun kembali terkungkung, memikirkan nas
POV. LunaGundik itu, bahkan terlihat memakai rok tipis di atas lutut, yang memperlihatkan separuh pahanya. Sementara, suamiku hanya memakai celana pendek. Aku hafal dengan celana yang dipakai oleh suamiku itu. Karena, celana itu, kadang aku yang mencucinya, aku yang menjemurnya, aku yang menggosoknya. Dan sekarang, celana itu dipakai untuk berbuat maksiat bersama gun*iknya. Benar, memang telah menikah. Namun aku juga tidak yakin, apakah pernikahan mereka sah atau tidak. Akhirnya, aku lebih memilih untuk mematikan ponselku, daripada nanti jari tanganku gatal, dan berkomentar yang tidak-tidak. Kulempar ponsel itu, ke pojok tempat tidur yang kini tidak ada penghuninya itu.Diam-diam, aku kesepian. Aku merasa hampa, suamiku tidak ada. Entah bagaimana nanti aku akan mengambil keputusan tentang rumah tanggaku. Otakku sepertinya sedang buntu, untuk memikirkan semua itu. Sepertinya, tidak ada jalan keluar yang sempurna. Semua pilihan yang ada, mengandung resiko yang tidak ringan. Aku pun
POV. LunaDengan tangan gemetar, aku segera membuka layar ponselku. Kucari nomor kontak dengan nama Bu Indah. Hanya dia orang yang bisa kuminta pertolongan, saat ini. Tetangga lain, mungkin mereka sudah tertidur, di jam seperti ini. Berkali-kali aku mencoba menelpon Bu Indah, tetap saja gagal. Apa mungkin ponselnya tidak aktif? Nomer ponselnya Pak Bagus, atau Bara, aku tidak punya. Selama ini, aku tidak pernah punya kepentingan kepada mereka, jadi aku tidak tahu nomor ponselnya.Mencoba kucari nomer Pak Bagus di sebuah WA grub RT. Ketemu. Ada, nomer Pak Bagus. Aku pun mencoba menelponnya. Tersambung dan diangkat. Alhamdulillah. Semoga Allah memberiku pertolongan lewat tangan-tangan orang itu. "Pak, tolong, rumah saya, ada orang yang masuk."Aku berucap dengan suara yang bergetar. Tanganku gemetar, memegang ponsel yang ada. "Ini siapa?" tanya Pak Bagus. Mungkin saja Pak Bagus juga tidak menyimpan nomor ponselku, jadi beliau tidak tahu, dengan siapa beliau sedang berbicara. "Lu