POV. Aksa"Benarkah? Kamu mau tidur di rumahku? Di kamarku yang sempit kemarin?" tanya dia.Aku menganggukkan kepalaku dengan mantap. Akan kutebus kesalahanku yang kemarin, dengan memberinya kebahagiaan, malam ini.Akhirnya, kami pun pulang ke rumah orangtuanya Bunga. Kupaksakan diriku untuk tidur di kamar yang tidak begitu nyaman ini.Dan akhirnya, terjadilah apa yang menjadi keinginan istri siriku itu. Bagaimanapun juga, aku adalah laki-laki normal. Tentu aku tidak bisa mengabaikan Bunga begitu saja. Apalagi, sekarang status kami adalah pasangan suami istri. Meskipun pernikahan kami, entah sah entah tidak. Sebelum subuh, aku sudah mandi junub, di kamar mandi yang sangat sederhana ini. Saat pagi masih buta, aku segera pergi meninggalkan rumah itu, untuk mengantar Bunga ke rumah sakit.Kondisi kesehatan ibunya, sudah mulai membaik."Sayang, kamu tidak perlu membayar biaya rumah sakitnya. Aku masih ada uang. Aku juga besok sudah mau berangkat bekerja," ucap Bunga.Dalam hati, aku mera
POV. Aksa"Mas, bisakah kamu jangan pergi?" tanya Luna."Untuk apa, aku di sini. Toh kamu bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Kamu tidak butuh aku."Aku segera naik ke mobil. Melajukan dengan cepat, setelah sebelumnya aku sempat membanting pintu mobilku.Tempat pertama yang kutuju, adalah rumah orangtuanya Bunga. Bunga dan ibunya, menyambutku dengan hangat.Sesampainya di sana, aku segera disuguhkan teh manis. Bunga merebus air, untuk keperluan mandiku. Setelah aku selesai mandi, Bunga pun ternyata sudah menyiapkan pakaian gantiku.Pelayanannya terhadapku, tidak kalah dengan pelayanan yang diberikan oleh Luna, istriku."Ponsel kamu, tadi aku telpon kok, nggak aktif?" tanya Bunga."Ponselku remuk. Dibanting oleh istriku," jawabku."Sabar, Sayang, ya? Mungkin istrimu sedang badmood," jawab Bunga.Mulianya hati istri mudaku ini. Dia tidak lantas menjelek-jelekkan Luna, di saat aku mengadu tentang kelakuan arogannya.Malam ini, aku kembali tidur dengan Bunga. Aku merasa semakin nyam
POV. LunaKubanting benda pipih itu dengan begitu keras ke lantai. Hingga ponsel seharga belasan juta yang dibeli dengan gaji sebulan itu, pecah, remuk redam, dan puing-puingnya berserakan di lantai.Dan setelah itu, kami pun terlibat pertengkaran. Mas Aksa pergi dengan membawa koper, entah ke mana.Esoknya, dia tidak pulang. Pastinya, dia tinggal bersama gundiknya, entah ada di mana.Pagi hingga sore hari, aku bisa menyibukkan diriku dengan berbagai aktivitas di butikku. Aku sibuk dengan laporan keuangan, aku sibuk menghitung uang, aku sibuk memeriksa kualitas jahitan. Aku juga sibuk melobi dan menjaring pelanggan. Pagi hingga sore hari, kubuat diriku tak punya waktu untuk sekedar meratapi nasib rumah tanggaku.Jika aku lelah atau mengantuk karena kurang tidur, siangnya, aku akan tidur, di butik. Namun jika senja sudah menyapa. Jika aku sudah kembali lagi ke rumahnya Mas Aksa. Saat tak ada lagi teman yang mengajak tertawa. Tak urung, pikiranku pun kembali terkungkung, memikirkan nas
POV. LunaGundik itu, bahkan terlihat memakai rok tipis di atas lutut, yang memperlihatkan separuh pahanya. Sementara, suamiku hanya memakai celana pendek. Aku hafal dengan celana yang dipakai oleh suamiku itu. Karena, celana itu, kadang aku yang mencucinya, aku yang menjemurnya, aku yang menggosoknya. Dan sekarang, celana itu dipakai untuk berbuat maksiat bersama gun*iknya. Benar, memang telah menikah. Namun aku juga tidak yakin, apakah pernikahan mereka sah atau tidak. Akhirnya, aku lebih memilih untuk mematikan ponselku, daripada nanti jari tanganku gatal, dan berkomentar yang tidak-tidak. Kulempar ponsel itu, ke pojok tempat tidur yang kini tidak ada penghuninya itu.Diam-diam, aku kesepian. Aku merasa hampa, suamiku tidak ada. Entah bagaimana nanti aku akan mengambil keputusan tentang rumah tanggaku. Otakku sepertinya sedang buntu, untuk memikirkan semua itu. Sepertinya, tidak ada jalan keluar yang sempurna. Semua pilihan yang ada, mengandung resiko yang tidak ringan. Aku pun
POV. LunaDengan tangan gemetar, aku segera membuka layar ponselku. Kucari nomor kontak dengan nama Bu Indah. Hanya dia orang yang bisa kuminta pertolongan, saat ini. Tetangga lain, mungkin mereka sudah tertidur, di jam seperti ini. Berkali-kali aku mencoba menelpon Bu Indah, tetap saja gagal. Apa mungkin ponselnya tidak aktif? Nomer ponselnya Pak Bagus, atau Bara, aku tidak punya. Selama ini, aku tidak pernah punya kepentingan kepada mereka, jadi aku tidak tahu nomor ponselnya.Mencoba kucari nomer Pak Bagus di sebuah WA grub RT. Ketemu. Ada, nomer Pak Bagus. Aku pun mencoba menelponnya. Tersambung dan diangkat. Alhamdulillah. Semoga Allah memberiku pertolongan lewat tangan-tangan orang itu. "Pak, tolong, rumah saya, ada orang yang masuk."Aku berucap dengan suara yang bergetar. Tanganku gemetar, memegang ponsel yang ada. "Ini siapa?" tanya Pak Bagus. Mungkin saja Pak Bagus juga tidak menyimpan nomor ponselku, jadi beliau tidak tahu, dengan siapa beliau sedang berbicara. "Lu
POV. LunaSatu di antara mereka, bahkan sudah menarik celana panjangku. Namun tidak berhasil. Karena celana ini terlalu kuat dan tebal. "Ayo, bilang! Di mana, uang dan perhiasanmu?!"Satu laki-laki itu, mencengkeram kedua pipiku. Sementara, yang satunya lagi, memegang tubuhku. Aku sama sekali tidak berdaya, melawan mereka. Aku hanya bisa berdoa dalam hati. Dan tiba-tiba saja, ada suara tembakan di halaman rumahku. Suasana mendadak gaduh. Derap langkah kaki seperti orang yang berlari, terdengar semakin mendekat. Beberapa pria berseragam coklat, terlihat masuk ke kamarku. Mereka menodongkan senjata laras pendek, ke arah dua penjahat itu. Namun, naasnya, dua penjahat itu justru menyandera aku.Leherku dipasang pisau. Tubuhku semakin gemetar, tidak bisa kukendalikan. Mungkinkah, umurku hanya akan sampai di sini say? Dan tiba-tiba saja, aku dibuat lebih terkejut lagi. Suara tembakan, terdengar persis di samping telingaku. Pisau yang dipegang oleh laki-laki itu, jatuh tepat di pang
Pov. AksaMalam ini, saat aku bersama Bunga sedang memulai memadu kasih, tiba-tiba ponselnya Bunga berdering. Kami biarkan saja, hingga deringnya mati sendiri. Namun baru saja deringnya mati, tiba-tiba langsung berdering lagi. Begitu seterusnya. Hingga akhirnya aku menyuruh Bunga untuk melihat ponselnya. "Siapa?" tanyaku. "Tidak tahu," jawab Bunga."Lihat, coba,"Aku mengulurkan tanganku. Bunga pun memberikan ponselnya. Ponsel pun berdering kembali. Nomer ini, aku hafal. Ini nomer ponselnya Papa. Kenapa Papa menelpon Bunga? Dari mana dia tahu, nomernya Bunga? Selang beberapa detik, Papa sudah mengirimkan sebuah pesan.[Tolong beritahu Aksa, untuk pulang ke rumahnya sekarang juga, jika kalian masih ingin bekerja di perusahaan yang sekarang menjadi tempat kalian bekerja.][Atau perselingkuhan kalian, akan saya laporkan kepada pihak perusahaan, biar kalian dipecat bersama-sama.] Dari mana juga Papa tahu, jika saat ini, aku sedang bersama Bunga? Apakah Luna sudah mengadukan pernikaha
POV. AksaSatu tangan kiri Mama, memegang tangannya Papa. Sementara, satu tangan kanannya, mengusap-usap punggungnya Papa. Aku hanya berani berdiri di pintu utama. Kulihat, Luna pun duduk berhadapan dengan Mama, didampingi oleh Bu Indah. "Mohon maaf, Non Luna, saya mau pamit dulu. Sebentar lagi, suami saya pulang, di rumah tidak ada orang," pamit Bu Indah.Mungkin Bu Indah sengaja pulang, karena merasa tidak enak dengan keributan yang sedang terjadi. Dari tempatku berdiri, aku melihat dua polisi baru saja keluar dari dalam. Mereka membawa pisau yang terbungkus plastik.Sebenarnya, apa yang baru saja terjadi di rumah ini?Orang-orang yang ada di luar pun, sudah mulai pulang ke rumahnya masing-masing. Para polisi itu, berpamitan kepada kami."Kami permisi dulu. Ibu Luna, besok harap datang ke kantor polisi. Masalah kekeluargaan kalian, harap bisa diselesaikan secara kekeluargaan, ya, Pak?" ucap polisi itu kepada Papa."Iya, Pak. Terimakasih, untuk semua bantuannya. Kami tidak tahu, a