Sudah hampir satu bulan Arbi tak pernah terdengar kabarnya. Rania terakhir bertemu dengannya saat memberikan sop Ayam kampung itu. Ia jadi merenung, jangan-jangan setelah itu Arbi jadi menghindarinya karena takut. Ucapan papa dan Rian jadi terbantahkan, mengenai kakak iparnya yang menyukainya. “Kalo kak Arbi bener-bener menghindar gimana caranya aku minta cerai dari mas Alfi?” Rania mengelus perutnya yang sudah semakin besar. Dua bulan lagi ia akan melahirkan. Kalau bisa sebelum ia melahirkan, percerainnya dengan Alfi minimal sudah di proses. Selama satu bulan ini Rania terus merenung. Alfi yang tak pernah berubah dan selalu jadi suami dan ayah yang baik tak pernah membuatnya terharu seperti dulu. Rasa kesalnya semakin hari semakin besar, apalagi setiap mengingat barang-barang yang ia temukan ternyata tak pernah diberikan padanya. “Apa aku tanyain aja kak Arbi kemana? Apa gak terkesan... loh, itu ‘kan tujuannya?” Rania memberanikan diri menelpon Arbi. Tapi telponnya tak kunjung
Rania tengah menyiram bunga, ditemani Agil yang sedang akur dan bermain dengan Satria. Pesannya pada Arbi tidak mendapatkan balasan juga. Agil mengeluh sakit kepala dan ingin pulang saja. Di minta tidur di kamar Satria ia menolak. Bunyi mobil yang Rania kenal baik berhenti. Ia tak sabar menunggu si pemilik mobil itu. “Papa!” Agil berlari memeluk Arbi. “Aku pusing.” “Iya, kita ke klinik ya sekarang.” Agil mengangguk. Arbi menatap Rania dengan pandangan biasanya. Rania sedikit terkejut melihat badan iparnya menjadi kurus. “Ran, apa kabar?” Bukannya menjawab Rania malah sibuk berpikir sehingga ia tak mendengar pertanyaan itu. Satria menghampiri Rania, “Mama, itu om Arbi nanya mama.” “Eh, oh iya. Kenapa, kak?” “Kamu apa kabar?” “Aku? Baik, kak. Kakak habis sakit?” Arbi melirik Agil yang juga menatap papanya, “Iya, kemarin agak kurang enak badan.” “Oh pantes Agil jadi jarang main kesini, mbak Sani juga gak rutin bikin story. Ternyata kakak kurang sehat ya kemarin-
Selepas makan, Rania memberikan pudding dan buah potong untuk Satria dan Agil yang ternyata sedang saling meminjamkan mainan mereka. Rania senang Satria bisa menerima kondisi Agil yang berbeda. Tidak lama Agil minum obat ia langsung tidur. Satria yang hari ini tidak sempat tidur siang juga ikut tidur. Arbi harus menyelesaikan sedikit pekerjaannya. Ia meminjam laptop Alfi. Rania yang selesai membereskan dapur duduk disamping Arbi membuatnya tidak fokus bekerja. Wangi parfum Rania mengganggu konsentrasinya. “Kok, laptopnya di tutup, kak? Udah selesai pekerjaannya?” Arbi mengangguk ragu, “Barusan cuma cek aja kok.” bohongnya. “Oh gitu.” Rania sibuk memainkan ponselnya untuk mengecek harga-harga baju dan barang untuk bayi. “Ran?” Rania menoleh, “Kenapa, kak?” “Kamu yakin cara tadi bisa bikin Alfi mau lepasin kamu?” Rania mengangguk. “Tapi itu... beresiko tinggi. Kakak takut terjadi apa-apa sama kamu.” “Hm?” “Maksud kakak, kamu lagi hamil besar. Apa gak sebaiknya kamu
Rania merenung di ranjang Satria setelah membacakan dongeng. Kejadian kemarahan mbak Sani tadi membuatnya sangat merasa bersalah. Ia lupa dengan keberadaan istri iparnya itu, sehingga tindakan tadi sangatlah gegabah.Drrrrt~From : Mas AlfiSayang, aku gak pulang malam ini karena besok harus belanja. Kamu baik-baik ya sama Satria. Jangan lupa kunci semua pintu. Love you.Rania membuang nafas pelan. Setidaknya malam ini ia tidak perlu bersembunyi ketika menangisi penyesalannya. Ia juga tidak perlu mencari alasan untuk menghindari godaan Alfi di ranjang.Ia bangkit dari ranjang untuk mengunci semua pintu. Namun saat menutup pintu kamar Satria, tiba-tiba saja ia ingin membuka Instagram. Ada story Roland. Ia melihat itu dan mendapati teman suaminya itu hanya mengupdate tentang pekerjaan seperti biasa.“Mereka gak mungkin nginep. Tapi kalo nginep juga gak masalah, aku udah kebal.”Rania menuruni tangga dan mengecek semua pintu dan jendela. Tidak lupa ia nyalakan semua listrik, kebia
Alfi memeluk Rania yang sedang mengaduk sayur Bayam pesanan Satria, “Aku kangen kamu, sayang.” Rania berhenti mengaduk. Ia menahan nafasnya ketika membayangkan apa yang suaminya lakukan dengan selingkuhannya semalam. Ia membalikkan badan, “Semalem kamu nginep dimana, mas?” Alfi mengerlingkan matanya ke kiri, mencari jawaban dari pertanyaan yang ia tak kira sebelumnya, “Ya... di mess resto lah. Seperti biasa.” “Seperti biasa.” decih Rania. “Kenapa emangnya, sayang? Kamu kangen ya sama ku?” goda Alfi. Ia merapikan anak rambut Rania yang keluar dari ikat rambut. “Mas, aku tahu malem kamu dimana.” Alfi diam. Hanya matanya yang melirik sana-sini melihat situasi, “Sayang, ini masih pagi.” “Terus?” “Aku juga baru pulang.” “Aku mau—” “Ma, aku laper.” Satria tiba-tiba masuk ke dapur. Rania melirik Satria. Ia hampir lupa sedang membuat sayur Bayam. Ia segera mematikan kompor dan membawa mangkuk kecil untuk Satria. Alfi jujur sedikit takut, karena sepertinya Rania sudah t
Alfi menatap mata Rania yang merah menahan tangis, “Sayang, gak ada orang ketiga itu. Kamu salah paham. Aku jarang pulang bukan karena punya selingkuhan, aku kerja. Kamu tahu itu. Dari sebelum ada Satria aku sering lembur dan gak pulang. Kamu tahu jelas pekerjaan aku seperti apa. Aku—” “Orang ketiga itu dari pihak aku, mas.” Alfi diam sejenak, “Maksud kamu?” Seketika, seluruh tubuh Rania membeku. Ia meminta maaf dalam hati pada dirinya sendiri, untuk mengorbankan harga dirinya demi menjaga harga diri Alfi, suaminya. “Sayang, apa maksud kamu?” Rania masih belum bisa menerima takdirnya, bahwa lelaki yang ada dihadapannya, suaminya, ayah dari anaknya ternyata adalah seorang homoseksual. Takdir itu ratusan kali ia tepis, tapi tak pernah mengubah apapun. Semakin hari justru suaminya sendiri yang menunjukkan itu, memberi tahunya secara tidak langsung bahwa ia memang memiliki hubungan spesial dengan Roland. “Sayang, jawab.” Rania mundur satu langkah. Jawaban yang akan ia berika
Keluar darah bercampur cairan kental dari bagian bawah tubuh Rania. Ia pingsan karena tidak kuat menahan sakit disekujur tubuhnya. “Sayang?” Alfi menepuk kedua pipi istrinya yang tak berdaya dilantai. Dengan cepat Alfi merogoh ponselnya. Ia menangis ketika hendak mencari orang yang tepat untuk dimintai bantuan. Alfi kembali menepuk-nepuk pipi Rania, “Sayang, kamu gak papa ‘kan? Aku minta maaf, aku mohon maafin aku. Aku khilaf. Sayang?” Alfi memeluk tubuh Rania sambil menangis. Tak pernah ia semenyesal ini saat menghadapi masalah. Ia sudah keterlaluan karena membuat istrinya babak belur dan kini pingsan. “Aku harus bawa Rania ke rumah sakit. Aku gak mau terjadi apa-apa sama dia.” Dengan cepat Alfi menghubungi ambulance rumah sakit terdekat. Ia benar-benar takut kehilangan istrinya. Begitu sampai rumah sakit, Rania langsung diberi tindakan. Ia dibawa ke ruang Ponek atau IGD ruang bersalin. Semua dokter dan pe
Rania menatap kosong ke arah jendela sedari dipindahkan ke ruang rawat inap. Proses lahiran caesar berlangsung dramatis dan memakan waktu lebih lama dari lahiran caesar biasa. “Sayang, kalo kamu gak makan kamu gak akan punya tenaga.” Tak ada jawaban. Dari semua ucapan Alfi, Rania tak pernah menjawabnya. Alfi menyimpan wadah makan di nakas dan membungkuk untuk merapikan rambut Rania, tapi istrinya itu menghindarkan tubuhnya. “Pergiiiiii!” teriak Rania kencang. “Sayang?” Perawat yang berjaga masuk ke dalam ruangan, “Ada yang bisa saya bantu?” Alfi menggeleng, “Gak ada sus, istri saya cuma—” “Bawa dia pergi dari sini, sus!” “Ba--” “Sus, saya bisa menangani istri saya dengan baik.” Alfi sengaja menyelak ucapan suster. “Tapi, pak, lebih baik bapak tunggu diluar dulu, menunggu kondisi bu Rania lebih stabil.” Alfi melirik Rania, “Baik, sus.” Ia menghampiri Ra