"Sayang, kamu bilang apa barusan, Nak? Jangan bercanda! Kenapa kamu mengizinkan wanita perusak kebahagiaanmu tinggal satu atap denganmu? Kenapa?" Bu Surti mencecar Shena dengan banyak pertanyaan, tidak percaya dengan menantunya.
"Karena aku ingin memberikan dia pelajaran, Bu." Bisik Shena, saat Bu Surti memeluk tubuhnya erat.
"Aku nggak akan diam, saat ditindas seperti ini," lanjutnya.
Bu Surti mengurai pelukannya secara perlahan, menatap nanar sang menantu dengan mata berkaca-kaca.
"Baiklah, Shena. Apapun rencanamu, ingatlah bahwa Ibu akan selalu mendukungmu sepenuh hati." Kedua telapak tangan Bu Surti membelai wajah Shena dengan penuh kasih sayang.
"Sabarlah, Sayang. Jangan khawatir, Ibu tidak akan tinggal diam melihat wanita tidak tahu malu itu berani menyakiti menantu kesayangan Ibu." Genangan air mata menyeruak di sudut mata Bu Surti, tapi wanita paruh baya itu mencoba untuk menahan sekuat tenaga agar tak meluncur jatuh.
"Vidya!" teriak Irma, wajahnya memerah karena amarah terhadap adik perempuannya itu.
"Kenapa kamu nggak punya rasa malu sedikit pun, sih?" seru Irma.
Sorot matanya menajam, penuh emosi, seolah ingin menghujam adiknya dengan pandangan yang menghunus.
"Hati kamu itu terbuat dari apa, sih, Vid? Sudah tidak punya malu jadi batu sandungan dan duri di rumah tangga bosmu sendiri, kini malah ingin tinggal satu atap dengan Mbak Shena! Otak kamu itu disimpan di mana, sih, Vid?" Suara Irma sedikit bergetar, dan kini mulai mereda. Dadanya sesak karena mencaci adik kandungnya sendiri.
"Stop! Mbak Irma berisik banget, sih! Nggak perlu berlebihan seperti ini, deh! Pakai menangis tersedu-sedu segala. Seharusnya Mbak senang karena Mas Arya mau bertanggung jawab dengan menikahi aku," ujar Vidya tegas, mulai geram mendengar celaan dan emosi yang berkecamuk dari kakak perempuannya.
"Mbak, seharusnya Mbak Irma marah sama Mas Arya karena hanya memberikan aku mahar seharga jajanan cilok aja!" lanjutnya.
Mendengar ucapan Vidya, mata Irma, Shena, dan Bu Surti terbelalak, seolah-olah tak percaya akan sikap Vidya yang tak tahu diri.
Arya hanya berdiri mematung, tak ingin ikut berdebat dengan para wanita itu.
Hati Irma terasa pilu melihat adik yang dulu manis dan penyayang, kini menjadi seseorang yang tidak ia kenali lagi.
"Irma, sudahlah. Tak ada gunanya marah pada adikmu yang keras kepala itu. Hatinya memang terbuat dari batu, tak mungkin dia akan mendengar setiap ucapan yang kau sampaikan," ujar Bu Surti, mencoba untuk menenangkan hati Irma yang penuh amarah.
"Irma, sekarang tanggung jawab atas Vidya telah beralih padaku, karena dia sudah menjadi adik maduku," kata Shena dengan ekspresi tenang.
Kini, amukan emosi yang sempat membara di matanya sirna entah ke mana.
Mendengar ucapan Shena, wajah Vidya langsung berbinar.
"Nah, kan? Semuanya sudah clear, ya?" ujar Vidya dengan penuh percaya diri.
"Sekarang kita pulang, ya, Mas. Aku udah nggak nyaman lagi kalau harus terlalu lama di tempat ini." Pintanya dengan manja, menggantungkan lengannya pada leher Arya, berusaha terlihat manis di mata sang suami.
Shena tak kuasa menahan rasa jijik yang menyesakkan hati. Ia menatap Vidya dengan pandangan tajam, lalu menggumam, "Sungguh tak tahu malu dan tahu diri! Penampilan sudah seperti gembel, tapi masih berani bertingkah murahan seperti itu!"
Shena merengkuh lengan ibu mertuanya dan segera membawanya pergi dari Balai Desa itu.
Shena dan Bu Surti langsung masuk ke dalam mobil yang dikendarai oleh Irma. Selain menjadi asisten desainer, kakak kandung Vidya itu juga selalu menjadi sopir pribadi Shena jika akan berangkat ke butik bersama.
"Ir, jalan!" perintah Shena pada asistennya itu.
Irma menganggukkan kepalanya. Janda beranak satu itu langsung melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
"Mbak Irma, tunggu, Mbak! Kenapa langsung pergi? Biar aku ikut, Mbak!" Vidya berteriak sambil berlari mengejar mobil yang dikendarai oleh kakaknya, wajahnya panik dan bingung.
"Ah, sial!" Umpat Vidya yang menghentakkan kakinya ke aspal, merasa frustasi.
Arya yang melihat istrinya bertingkah seperti itu, tak bisa menahan perasaan jengkel. Betapa malunya ia melihat Vidya, dengan rambut yang acak-acakan dengan potongan yang tidak beraturan, dan pakaian yang nampak berantakan, menjadi bahan tontonan warga yang sedang menikmati sore hari di lingkungan perumahan.
"Orang gila ... orang gila ...," ledek anak-anak yang berasal dari kampung belakang komplek, sedang bermain di lapangan bola tak jauh dari tempat Arya dan Vidya mengikat janji suci mereka di Balai Desa.
Tawa anak-anak dan tatapan warga yang terlihat sinis pada mereka terasa menusuk ke hati, mengejek keresahan yang dirasakan Vidya dan Arya.
"Ah, betapa memalukan! Kenapa aku terjerumus ke dalam jebakan rayuan murahan dari wanita jalang itu?" Arya bergumam, merutuki kebodohan dan menyesali keputusan yang telah diambilnya, terjebak dalam ketidakbahagiaan bersama wanita yang kini berubah seakan menjadi orang gila di depan matanya.
"Mas, kok kamu jalan santai banget, sih? Kejar dong mobilnya! Emangnya kamu mau pulang jalan kaki? Mana aku dikatain orang gila sama anak-anak kampung itu!" Teriak Vidya dengan panik dan kesal, wajahnya memerah karena merasa malu.
"Sial banget sih, hari ini! Niat pengen senang-senang bareng Mas Arya, perempuan tua itu malah pulang lebih cepat dari luar kota!" gerutu Vidya sembari mengepalkan telapak tangannya dengan erat, menahan amarah dan kekecewaan yang memenuhi hatinya.
"Mbak Irma juga tega banget sama adik sendiri. Masa rambut aku yang indah ini malah dipotong nggak karuan? Aku benci sama kamu, Mbak!" Isak Vidya sambil menahan tangisnya.
"Lihat saja, saat aku sudah tinggal di rumah Mbak Shena, nanti aku akan jadi nyonya, dan Mbak Irma bakalan menyesal seumur hidup karena sudah memerlakukan aku seperti ini!" Kata-kata Vidya meluap dengan penuh emosi, karena dia merasa diperlakukan tidak adil oleh kakaknya, dan ia berjanji suatu hari nanti akan mendapatkan kebahagiaan dan balas dendam atas semua luka yang ia terima.
Kemarahan dan rasa emosi yang memuncak, memacu Vidya untuk terus berjuang mempertahankan dan menuntut haknya sebagai istri siri Arya, hingga suatu saat nanti Shena akan terbuang dan Arya akan menjadikannya sebagai istri sah satu-satunya, hingga menjadi Nyonya Arya yang bergelimang harta kekayaan.
"Ir, mobilnya kamu bawa saja ke rumahmu," perintah Shena ketika telah sampai di kediamannya.
"Lho, nanti malam kalau mobilnya mau dipakai, gimana? Bukannya Sheira suka minta keluar malam-malam?" tanya Irma pada bos cantiknya itu. Sheira adalah buah hati dari pernikahan Shena dengan Arya, yang kini berusia lima tahun.
"Sheira sekarang lagi di rumah budenya," Bu Surti menyambar, "Ibu melarangnya untuk pulang sekarang karena kondisi di rumah ini sedang tidak kondusif akibat ulah dua orang yang tidak tahu malu itu!"
Irma langsung menunduk, rasanya ia sudah tak punya muka lagi akibat ulah adiknya yang sangat memalukan.
"Mbak Shena, Bu Surti, aku minta maaf atas kesalahan yang telah Vidya lakukan, a--"
***
"Mbak Shena, Bu Surti, aku minta maaf atas kesalahan yang telah Vidya lakukan, a--""Sudahlah, Ir, kamu nggak salah. Jangan pernah meminta maaf atas kesalahan yang nggak pernah kamu lakukan," ujarku memotong ucapan Irma, dengan nada yang tegas dan penuh empati, sebelum asistenku itu selesai berbicara.Irma tampak semakin menunduk, tatapannya getir, terlihat air mata mulai menggenang di kelopak matanya yang menyiratkan kepedihan yang mendalam. Dia terus berjuang menahan tangis."Ir, aku tahu, sebelum aku merasakan kejadian seperti ini, kamu sudah mengalaminya lebih dulu. Jangan khawatir, aku nggak akan berbuat jahat terhadap adikmu." Ucapku sambil menatap Irma dalam-dalam, berusaha merasakan apa yang dirasakannya."Aku hanya ingin memberikan dia pelajaran saja, supaya dia sadar jika mengambil milik orang lain itu tidak akan selamanya bahagia," sambungku, dengan harapan ucapanku bisa menenangkan hati dan pikiran Irma yang bergolak."Nanti kunci mobilku ini kamu titipkan saja pada Bi Ira
"Kamu bisa istirahat di kamar yang itu!" Jari telunjuk Shena mengarah pada satu kamar yang membuat adik madunya itu nampak terkejut.Vidya membelalak, ia terperangah tatkala Shena menunjuk sebuah kamar yang terletak di area belakang rumah.Sebuah kamar kecil yang Vidya tahu itu adalah kamar Bi Sumi --- asisten rumah tangga di kediaman ini. Ruangan itu selalu dipakai Bi Sumi, jika dia menginap.Shena tersenyum melihat Vidya yang tercengang, netranya menatap nanar pada adik madu yang selalu kurang ajar. "Maksud Mbak Shena apa menunjuk-nujuk kamar Bi Sumi?" tanya Vidya. Nada bicaranya sedikit naik, seperti tidak terima.Tertawa samar, Shena bersedekap dada. "Nggak usah pura-pura bodoh, Vidya. Aku tahu kamu paham maksduku.""Jadi Mbak Shena nyuruh aku tidur di kamar pembantu? Ck, apa-apaan, aku nggak mau!" Vidya menyentak kesal.Arya pun jadi ikut tidak terima. Dari sekian banyaknya ruangan, kenapa Shena memilih kamar pem
Hati Shena terasa bergemuruh ketika telinganya mendengar suara derit ranjang di dalam kamar tidurnya.Wanita itu baru saja kembali dari luar kota setelah melakukan pertemuan dengan beberapa desainer ternama, untuk mengikuti pameran dan peragaan busana tradisional di kota tersebut dalam rangka memeriahkan acara kemerdekaan.Shena berjalan secepat mungkin, memastikan bunyi suara itu. Kedua bola mata Shena membelalak dengan sempurna, ketika melihat sang suami dengan lancangnya berani menggunakan ranjang miliknya untuk berbagi keringat dan melakukan penyatuan bersama wanita lain."Menjijikan! Teganya kamu ngelakuin ini sama aku, Mas!" batin Shena bergemuruh menahan amarah. Kedua pelupuk matanya mulai berembun.Arya memang teledor. Pria tinggi berkulit sawo matang tersebut selalu lupa untuk menutup pintu jika nafsunya ingin segera disalurkan.Dengan sekuat tenaga wanita cantik berambut panjang itu meredam emosinya sendiri. Dengan tangan yang gemetar, wanita berusia tiga puluh lima tahun it
"Shena, tolong maafkan kami. Hentikan hukuman ini, dan izinkanlah aku menikahi Vidya," pinta Arya yang menangkupkan kedua telapak tangannya, dengan wajah penuh penyesalan.Shena tersenyum sinis, sambil menatap tajam ke netra sang suami."Mas Arya, apa kamu pikir sejak tadi aku sedang menghukum kekasih gelapmu?" tanya Shena dengan nada penuh cemoohan.Arya menoleh, menatap Irma yang masih terengah-engah karena emosi yang terus bergelora di dalam hatinya.Sejatinya, Irma ingin memberikan hukuman yang lebih pedih lagi pada Vidya. Namun, ingatan akan pesan almarhum kedua orang tua mereka muncul kembali, untuk melindungi adik satu-satunya itu. Dilanda rasa penyesalan, kekecewaan, dan kemarahan, Irma merasa seolah telah gagal menjalankan amanat yang diberikan kedua orang tua mereka.Ia menatap Vidya dan Arya dengan penuh kebencian, menahan tangis yang hendak pecah melampaui embun yang menggelayuti wajahnya."Mas Arya, aku memang menghormatimu karena kau adalah suami dari bosku --- Mbak Sena
Perut Shena terasa tergelitik, mendengar perkataan suaminya yang terkesan tak tahu malu. Malah meminta uang mahar untuk menikahi madunya. Wanita itu menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan suami dan madunya, mereka sama-sama tidak tahu malu di matanya."Cih, yang benar saja? Gaya selangit, pakai selingkuh segala, giliran mahar pinjam ke istri, memalukan sekali," timpal Shena, geli dengan tingkah suaminya itu.Arya meringis, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Mau bagaimana lagi, saat ini di dompetnya kosong dan tidak ada uang cash sama sekali. Uangnya sudah habis, membayar belanjaan Vidya yang banyak maunya."Ayolah, Sayang. Pinjam dulu untuk mahar. Aku bakal ganti dengan jumlah yang lebih besar. Bantu aku, ya?" pinta Arya. Ia memohon pada istrinya dengan wajah tanpa dosa.Jangan tanyakan, bagaimana perasaan Shena saat ini. Sedih, kesal, sekaligus jijik secara bersamaan. "Nggak usah diganti. Anggap saja sumbanganku untuk wanita sundal itu!" kesal Shena, mengambil dompet da
"Kamu bisa istirahat di kamar yang itu!" Jari telunjuk Shena mengarah pada satu kamar yang membuat adik madunya itu nampak terkejut.Vidya membelalak, ia terperangah tatkala Shena menunjuk sebuah kamar yang terletak di area belakang rumah.Sebuah kamar kecil yang Vidya tahu itu adalah kamar Bi Sumi --- asisten rumah tangga di kediaman ini. Ruangan itu selalu dipakai Bi Sumi, jika dia menginap.Shena tersenyum melihat Vidya yang tercengang, netranya menatap nanar pada adik madu yang selalu kurang ajar. "Maksud Mbak Shena apa menunjuk-nujuk kamar Bi Sumi?" tanya Vidya. Nada bicaranya sedikit naik, seperti tidak terima.Tertawa samar, Shena bersedekap dada. "Nggak usah pura-pura bodoh, Vidya. Aku tahu kamu paham maksduku.""Jadi Mbak Shena nyuruh aku tidur di kamar pembantu? Ck, apa-apaan, aku nggak mau!" Vidya menyentak kesal.Arya pun jadi ikut tidak terima. Dari sekian banyaknya ruangan, kenapa Shena memilih kamar pem
"Mbak Shena, Bu Surti, aku minta maaf atas kesalahan yang telah Vidya lakukan, a--""Sudahlah, Ir, kamu nggak salah. Jangan pernah meminta maaf atas kesalahan yang nggak pernah kamu lakukan," ujarku memotong ucapan Irma, dengan nada yang tegas dan penuh empati, sebelum asistenku itu selesai berbicara.Irma tampak semakin menunduk, tatapannya getir, terlihat air mata mulai menggenang di kelopak matanya yang menyiratkan kepedihan yang mendalam. Dia terus berjuang menahan tangis."Ir, aku tahu, sebelum aku merasakan kejadian seperti ini, kamu sudah mengalaminya lebih dulu. Jangan khawatir, aku nggak akan berbuat jahat terhadap adikmu." Ucapku sambil menatap Irma dalam-dalam, berusaha merasakan apa yang dirasakannya."Aku hanya ingin memberikan dia pelajaran saja, supaya dia sadar jika mengambil milik orang lain itu tidak akan selamanya bahagia," sambungku, dengan harapan ucapanku bisa menenangkan hati dan pikiran Irma yang bergolak."Nanti kunci mobilku ini kamu titipkan saja pada Bi Ira
"Sayang, kamu bilang apa barusan, Nak? Jangan bercanda! Kenapa kamu mengizinkan wanita perusak kebahagiaanmu tinggal satu atap denganmu? Kenapa?" Bu Surti mencecar Shena dengan banyak pertanyaan, tidak percaya dengan menantunya."Karena aku ingin memberikan dia pelajaran, Bu." Bisik Shena, saat Bu Surti memeluk tubuhnya erat."Aku nggak akan diam, saat ditindas seperti ini," lanjutnya.Bu Surti mengurai pelukannya secara perlahan, menatap nanar sang menantu dengan mata berkaca-kaca."Baiklah, Shena. Apapun rencanamu, ingatlah bahwa Ibu akan selalu mendukungmu sepenuh hati." Kedua telapak tangan Bu Surti membelai wajah Shena dengan penuh kasih sayang."Sabarlah, Sayang. Jangan khawatir, Ibu tidak akan tinggal diam melihat wanita tidak tahu malu itu berani menyakiti menantu kesayangan Ibu." Genangan air mata menyeruak di sudut mata Bu Surti, tapi wanita paruh baya itu mencoba untuk menahan sekuat tenaga agar tak meluncur jatuh."Vidya!" teriak Irma, wajahnya memerah karena amarah terhad
Perut Shena terasa tergelitik, mendengar perkataan suaminya yang terkesan tak tahu malu. Malah meminta uang mahar untuk menikahi madunya. Wanita itu menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan suami dan madunya, mereka sama-sama tidak tahu malu di matanya."Cih, yang benar saja? Gaya selangit, pakai selingkuh segala, giliran mahar pinjam ke istri, memalukan sekali," timpal Shena, geli dengan tingkah suaminya itu.Arya meringis, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Mau bagaimana lagi, saat ini di dompetnya kosong dan tidak ada uang cash sama sekali. Uangnya sudah habis, membayar belanjaan Vidya yang banyak maunya."Ayolah, Sayang. Pinjam dulu untuk mahar. Aku bakal ganti dengan jumlah yang lebih besar. Bantu aku, ya?" pinta Arya. Ia memohon pada istrinya dengan wajah tanpa dosa.Jangan tanyakan, bagaimana perasaan Shena saat ini. Sedih, kesal, sekaligus jijik secara bersamaan. "Nggak usah diganti. Anggap saja sumbanganku untuk wanita sundal itu!" kesal Shena, mengambil dompet da
"Shena, tolong maafkan kami. Hentikan hukuman ini, dan izinkanlah aku menikahi Vidya," pinta Arya yang menangkupkan kedua telapak tangannya, dengan wajah penuh penyesalan.Shena tersenyum sinis, sambil menatap tajam ke netra sang suami."Mas Arya, apa kamu pikir sejak tadi aku sedang menghukum kekasih gelapmu?" tanya Shena dengan nada penuh cemoohan.Arya menoleh, menatap Irma yang masih terengah-engah karena emosi yang terus bergelora di dalam hatinya.Sejatinya, Irma ingin memberikan hukuman yang lebih pedih lagi pada Vidya. Namun, ingatan akan pesan almarhum kedua orang tua mereka muncul kembali, untuk melindungi adik satu-satunya itu. Dilanda rasa penyesalan, kekecewaan, dan kemarahan, Irma merasa seolah telah gagal menjalankan amanat yang diberikan kedua orang tua mereka.Ia menatap Vidya dan Arya dengan penuh kebencian, menahan tangis yang hendak pecah melampaui embun yang menggelayuti wajahnya."Mas Arya, aku memang menghormatimu karena kau adalah suami dari bosku --- Mbak Sena
Hati Shena terasa bergemuruh ketika telinganya mendengar suara derit ranjang di dalam kamar tidurnya.Wanita itu baru saja kembali dari luar kota setelah melakukan pertemuan dengan beberapa desainer ternama, untuk mengikuti pameran dan peragaan busana tradisional di kota tersebut dalam rangka memeriahkan acara kemerdekaan.Shena berjalan secepat mungkin, memastikan bunyi suara itu. Kedua bola mata Shena membelalak dengan sempurna, ketika melihat sang suami dengan lancangnya berani menggunakan ranjang miliknya untuk berbagi keringat dan melakukan penyatuan bersama wanita lain."Menjijikan! Teganya kamu ngelakuin ini sama aku, Mas!" batin Shena bergemuruh menahan amarah. Kedua pelupuk matanya mulai berembun.Arya memang teledor. Pria tinggi berkulit sawo matang tersebut selalu lupa untuk menutup pintu jika nafsunya ingin segera disalurkan.Dengan sekuat tenaga wanita cantik berambut panjang itu meredam emosinya sendiri. Dengan tangan yang gemetar, wanita berusia tiga puluh lima tahun it