"Sayang, kamu bilang apa barusan, Nak? Jangan bercanda! Kenapa kamu mengizinkan wanita perusak kebahagiaanmu tinggal satu atap denganmu? Kenapa?" Bu Surti mencecar Shena dengan banyak pertanyaan, tidak percaya dengan menantunya.
"Karena aku ingin memberikan dia pelajaran, Bu." Bisik Shena, saat Bu Surti memeluk tubuhnya erat.
"Aku nggak akan diam, saat ditindas seperti ini," lanjutnya.
Bu Surti mengurai pelukannya secara perlahan, menatap nanar sang menantu dengan mata berkaca-kaca.
"Baiklah, Shena. Apapun rencanamu, ingatlah bahwa Ibu akan selalu mendukungmu sepenuh hati." Kedua telapak tangan Bu Surti membelai wajah Shena dengan penuh kasih sayang.
"Sabarlah, Sayang. Jangan khawatir, Ibu tidak akan tinggal diam melihat wanita tidak tahu malu itu berani menyakiti menantu kesayangan Ibu." Genangan air mata menyeruak di sudut mata Bu Surti, tapi wanita paruh baya itu mencoba untuk menahan sekuat tenaga agar tak meluncur jatuh.
"Vidya!" teriak Irma, wajahnya memerah karena amarah terhadap adik perempuannya itu.
"Kenapa kamu nggak punya rasa malu sedikit pun, sih?" seru Irma.
Sorot matanya menajam, penuh emosi, seolah ingin menghujam adiknya dengan pandangan yang menghunus.
"Hati kamu itu terbuat dari apa, sih, Vid? Sudah tidak punya malu jadi batu sandungan dan duri di rumah tangga bosmu sendiri, kini malah ingin tinggal satu atap dengan Mbak Shena! Otak kamu itu disimpan di mana, sih, Vid?" Suara Irma sedikit bergetar, dan kini mulai mereda. Dadanya sesak karena mencaci adik kandungnya sendiri.
"Stop! Mbak Irma berisik banget, sih! Nggak perlu berlebihan seperti ini, deh! Pakai menangis tersedu-sedu segala. Seharusnya Mbak senang karena Mas Arya mau bertanggung jawab dengan menikahi aku," ujar Vidya tegas, mulai geram mendengar celaan dan emosi yang berkecamuk dari kakak perempuannya.
"Mbak, seharusnya Mbak Irma marah sama Mas Arya karena hanya memberikan aku mahar seharga jajanan cilok aja!" lanjutnya.
Mendengar ucapan Vidya, mata Irma, Shena, dan Bu Surti terbelalak, seolah-olah tak percaya akan sikap Vidya yang tak tahu diri.
Arya hanya berdiri mematung, tak ingin ikut berdebat dengan para wanita itu.
Hati Irma terasa pilu melihat adik yang dulu manis dan penyayang, kini menjadi seseorang yang tidak ia kenali lagi.
"Irma, sudahlah. Tak ada gunanya marah pada adikmu yang keras kepala itu. Hatinya memang terbuat dari batu, tak mungkin dia akan mendengar setiap ucapan yang kau sampaikan," ujar Bu Surti, mencoba untuk menenangkan hati Irma yang penuh amarah.
"Irma, sekarang tanggung jawab atas Vidya telah beralih padaku, karena dia sudah menjadi adik maduku," kata Shena dengan ekspresi tenang.
Kini, amukan emosi yang sempat membara di matanya sirna entah ke mana.
Mendengar ucapan Shena, wajah Vidya langsung berbinar.
"Nah, kan? Semuanya sudah clear, ya?" ujar Vidya dengan penuh percaya diri.
"Sekarang kita pulang, ya, Mas. Aku udah nggak nyaman lagi kalau harus terlalu lama di tempat ini." Pintanya dengan manja, menggantungkan lengannya pada leher Arya, berusaha terlihat manis di mata sang suami.
Shena tak kuasa menahan rasa jijik yang menyesakkan hati. Ia menatap Vidya dengan pandangan tajam, lalu menggumam, "Sungguh tak tahu malu dan tahu diri! Penampilan sudah seperti gembel, tapi masih berani bertingkah murahan seperti itu!"
Shena merengkuh lengan ibu mertuanya dan segera membawanya pergi dari Balai Desa itu.
Shena dan Bu Surti langsung masuk ke dalam mobil yang dikendarai oleh Irma. Selain menjadi asisten desainer, kakak kandung Vidya itu juga selalu menjadi sopir pribadi Shena jika akan berangkat ke butik bersama.
"Ir, jalan!" perintah Shena pada asistennya itu.
Irma menganggukkan kepalanya. Janda beranak satu itu langsung melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
"Mbak Irma, tunggu, Mbak! Kenapa langsung pergi? Biar aku ikut, Mbak!" Vidya berteriak sambil berlari mengejar mobil yang dikendarai oleh kakaknya, wajahnya panik dan bingung.
"Ah, sial!" Umpat Vidya yang menghentakkan kakinya ke aspal, merasa frustasi.
Arya yang melihat istrinya bertingkah seperti itu, tak bisa menahan perasaan jengkel. Betapa malunya ia melihat Vidya, dengan rambut yang acak-acakan dengan potongan yang tidak beraturan, dan pakaian yang nampak berantakan, menjadi bahan tontonan warga yang sedang menikmati sore hari di lingkungan perumahan.
"Orang gila ... orang gila ...," ledek anak-anak yang berasal dari kampung belakang komplek, sedang bermain di lapangan bola tak jauh dari tempat Arya dan Vidya mengikat janji suci mereka di Balai Desa.
Tawa anak-anak dan tatapan warga yang terlihat sinis pada mereka terasa menusuk ke hati, mengejek keresahan yang dirasakan Vidya dan Arya.
"Ah, betapa memalukan! Kenapa aku terjerumus ke dalam jebakan rayuan murahan dari wanita jalang itu?" Arya bergumam, merutuki kebodohan dan menyesali keputusan yang telah diambilnya, terjebak dalam ketidakbahagiaan bersama wanita yang kini berubah seakan menjadi orang gila di depan matanya.
"Mas, kok kamu jalan santai banget, sih? Kejar dong mobilnya! Emangnya kamu mau pulang jalan kaki? Mana aku dikatain orang gila sama anak-anak kampung itu!" Teriak Vidya dengan panik dan kesal, wajahnya memerah karena merasa malu.
"Sial banget sih, hari ini! Niat pengen senang-senang bareng Mas Arya, perempuan tua itu malah pulang lebih cepat dari luar kota!" gerutu Vidya sembari mengepalkan telapak tangannya dengan erat, menahan amarah dan kekecewaan yang memenuhi hatinya.
"Mbak Irma juga tega banget sama adik sendiri. Masa rambut aku yang indah ini malah dipotong nggak karuan? Aku benci sama kamu, Mbak!" Isak Vidya sambil menahan tangisnya.
"Lihat saja, saat aku sudah tinggal di rumah Mbak Shena, nanti aku akan jadi nyonya, dan Mbak Irma bakalan menyesal seumur hidup karena sudah memerlakukan aku seperti ini!" Kata-kata Vidya meluap dengan penuh emosi, karena dia merasa diperlakukan tidak adil oleh kakaknya, dan ia berjanji suatu hari nanti akan mendapatkan kebahagiaan dan balas dendam atas semua luka yang ia terima.
Kemarahan dan rasa emosi yang memuncak, memacu Vidya untuk terus berjuang mempertahankan dan menuntut haknya sebagai istri siri Arya, hingga suatu saat nanti Shena akan terbuang dan Arya akan menjadikannya sebagai istri sah satu-satunya, hingga menjadi Nyonya Arya yang bergelimang harta kekayaan.
"Ir, mobilnya kamu bawa saja ke rumahmu," perintah Shena ketika telah sampai di kediamannya.
"Lho, nanti malam kalau mobilnya mau dipakai, gimana? Bukannya Sheira suka minta keluar malam-malam?" tanya Irma pada bos cantiknya itu. Sheira adalah buah hati dari pernikahan Shena dengan Arya, yang kini berusia lima tahun.
"Sheira sekarang lagi di rumah budenya," Bu Surti menyambar, "Ibu melarangnya untuk pulang sekarang karena kondisi di rumah ini sedang tidak kondusif akibat ulah dua orang yang tidak tahu malu itu!"
Irma langsung menunduk, rasanya ia sudah tak punya muka lagi akibat ulah adiknya yang sangat memalukan.
"Mbak Shena, Bu Surti, aku minta maaf atas kesalahan yang telah Vidya lakukan, a--"
***
"Mbak Shena, Bu Surti, aku minta maaf atas kesalahan yang telah Vidya lakukan, a--""Sudahlah, Ir, kamu nggak salah. Jangan pernah meminta maaf atas kesalahan yang nggak pernah kamu lakukan," ujarku memotong ucapan Irma, dengan nada yang tegas dan penuh empati, sebelum asistenku itu selesai berbicara.Irma tampak semakin menunduk, tatapannya getir, terlihat air mata mulai menggenang di kelopak matanya yang menyiratkan kepedihan yang mendalam. Dia terus berjuang menahan tangis."Ir, aku tahu, sebelum aku merasakan kejadian seperti ini, kamu sudah mengalaminya lebih dulu. Jangan khawatir, aku nggak akan berbuat jahat terhadap adikmu." Ucapku sambil menatap Irma dalam-dalam, berusaha merasakan apa yang dirasakannya."Aku hanya ingin memberikan dia pelajaran saja, supaya dia sadar jika mengambil milik orang lain itu tidak akan selamanya bahagia," sambungku, dengan harapan ucapanku bisa menenangkan hati dan pikiran Irma yang bergolak."Nanti kunci mobilku ini kamu titipkan saja pada Bi Ira
"Kamu bisa istirahat di kamar yang itu!" Jari telunjuk Shena mengarah pada satu kamar yang membuat adik madunya itu nampak terkejut.Vidya membelalak, ia terperangah tatkala Shena menunjuk sebuah kamar yang terletak di area belakang rumah.Sebuah kamar kecil yang Vidya tahu itu adalah kamar Bi Sumi --- asisten rumah tangga di kediaman ini. Ruangan itu selalu dipakai Bi Sumi, jika dia menginap.Shena tersenyum melihat Vidya yang tercengang, netranya menatap nanar pada adik madu yang selalu kurang ajar. "Maksud Mbak Shena apa menunjuk-nujuk kamar Bi Sumi?" tanya Vidya. Nada bicaranya sedikit naik, seperti tidak terima.Tertawa samar, Shena bersedekap dada. "Nggak usah pura-pura bodoh, Vidya. Aku tahu kamu paham maksduku.""Jadi Mbak Shena nyuruh aku tidur di kamar pembantu? Ck, apa-apaan, aku nggak mau!" Vidya menyentak kesal.Arya pun jadi ikut tidak terima. Dari sekian banyaknya ruangan, kenapa Shena memilih kamar pem
"Rambut Vidya yang dulu sangat indah, sekarang malah berantakan tak beraturan, membuatku tak lagi memiliki hasrat padanya.""Aargh!" Aku mengacak rambutku dengan kasar, ketika melihat Vidya yang sudah terlelap dalam tidurnya di kamar Bi Sumi yang sesak ini.Kenapa perasaanku jadi terganggu saat melihat rambut pendek Vidya yang terpotong sembarangan?Ah, ini semua adalah kesalahanku yang terburu-buru mengajak Vidya bercinta di rumah ini. Siapa sangka, Shena pulang dari luar kota lebih awal dan malah memergoki kami berdua."Vid, geser, Mas juga ngantuk, mau tidur!" Aku menggoyangkan tubuh Vidya yang matanya sudah terpejam."Ck! Mas Arya ganggu aja, sih. Aku ngantuk banget, Mas ...." Vidya meracau dengan mata yang masih tertutup rapat.Dulu, saat Vidya masih menjadi selingkuhanku, aku begitu menikmati ketika melihat wajahnya tertidur dengan lelap. Tapi sekarang, kecantikannya sudah luntur.Kalau saja dia tidak mengandung anakku, sudah pasti aku tak ingin menikahinya. Begitu dalam penyesa
"Mbak Shena, aku lapar! Mana makanan untukku dan Mas Arya?" Vidya melirik kakak madunya yang hendak berdiri menyimpan piring ke dapur."Masak sendiri, dong. Aku ini bukan babu kamu!" jawab Shena dengan senyum sinis yang terukir di bibirnya, mengejek Vidya yang raut wajahnya nampak masam.Wanita cantik berusia tiga puluh lima tahun tersebut segera ke dapur, dan meletakkan piring kotor itu di wastafel.Hatinya sedikit bergetar karena emosi, tapi dia menepis perasaan itu."Mas, jangan lupa pagi ini kita harus bertemu dengan klien. Cepat bersiap, atau mereka akan membatalkan kerjasama dengan kita!" Shena mengingatkan suaminya dengan nada tegas. Dia seolah ingin menyindir sang madu yang hanya seorang karyawan biasa, di butik cabang miliknya.Arya mengekor di belakang istri pertamanya dengan patuh, mengabaikan istri kedua yang masih mematung di ruang makan."Mas Arya, kamu mau ke mana? Aku ikut ...," rengek Vidya pada sang suami. Kemudian, wanita itu malah bergelayut manja di lengan Arya, b
Betapa sialnya nasibku di tahun ini. Ramalan si kakek tua itu rupanya meleset. Dia bilang tahun ini aku akan menjadi istri dari pria kaya raya. Faktanya? Ternyata semua butik itu adalah milik si Shena –-- wanita seumuran kakakku yang masih rela menjadi istri tua untuk dipoligami.Sungguh aneh, kenapa takdirku bisa begini? Sejak Mas Arya dan Mbak Shena pergi mengurus butik, aku merasa bingung bagaimana mengisi waktuku.Dengan langkah gontai, aku memutuskan untuk menyalakan televisi dan menonton siaran favorit di ruang keluarga. Toh, hidup sebagai nyonya di rumah ini lumayan menyenangkan. Tidak perlu bekerja, cukup minta uang pada suami jika ingin berbelanja. Namun, sebelum aku sempat terlarut dalam acara gosip kesukaanku, tiba-tiba kudengar teriakan melengking dari luar. Sungguh mengganggu ketenangan!"Vidyaaaa!" seru wanita tua itu dari ruang tamu. Ah, betapa menyesakkannya suara teriakan si nenek itu menyeruak, menghantam telingaku."Heh, wanita
"Nenek ...! Sheira kangen banget sama Nenek," seru gadis kecil berusia lima tahun itu, bersemangat melompat ke arah Bu Surti yang baru saja membuka pintu ruang tamu.Matanya yang bening bersinar penuh dengan keceriaan khas anak-anak, seolah menemukan harta karun yang selama ini hilang."Aduh, cucu kesayangan Nenek ini tinggal di rumah Budhe kayanya tambah gemuk, ya? Sampai gembil, nih pipinya," goda Bu Surti. Wanita paruh baya itu menjawil pipi Sheira dengan gemas dan penuh kasih sayang."Tenang aja, kalau Sheira di rumah Budhe, pasti Budhe bikinin kamu kue terus setiap hari, ya, Sayang?" ujar Ana --- kakak kandung Arya. Wanita itu mengusap lembut pucuk rambut keponakannya dengan penuh kehangatan.Gadis cilik itu tersenyum bahagia dan mengangguk, lalu melangkah masuk ke rumah yang sudah dua minggu ditinggalnya untuk liburan ke rumah sang Budhe.Langkahnya makin ringan, seolah menemukan kembali kebahagiaan."Ana, mana adikmu?" Tanya Bu Surti dengan pandangan tajam, menyapu sekeliling h
"Mas, mereka benar-benar tega banget sama aku. Padahal kan aku udah capek-capek masak untuk mereka, tapi keluarga kamu seolah belum bisa menerima aku sepenuhnya ...," rengek Vidya dengan mata berkaca-kaca, memeluk lengan kekar Arya dengan erat.'Lihat saja, dramaku pasti berhasil membuat Mas Arya membelaku di hadapan kalian semua!' Vidya bermonolog dalam hatinya.Shena yang menyaksikan adegan menjijikan itu, tak bisa menahan rasa jengkel.Ia menghela napas kesal, memutar bola matanya dengan malas, dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Meskipun merasa ilfeel dengan penampilan Vidya yang berantakan, Arya merasa kasihan pada istri mudanya yang terus-menerus diperlakukan rendah oleh kakak dan adik perempuannya sendiri."Vid, sebelum kita makan siang, coba kamu mandi dulu biar segar. Setelah itu, ikut bergabung bersama kami, ya?" Ucap Arya dengan lembut.Vidya masih tetap bergelayut manja, ingin terlihat mesra di hadapan kel
Arya masih duduk mematung, pandangan kosongnya menyapu meja makan yang telah tersaji menu masakan istri mudanya."Sayang, aku udah selesai mandi, tap--" ucapan Vidya terhenti ketika matanya menyadari bahwa hanya suaminya yang ada di ruang makan itu."Mas, mana mereka? Keluarga kamu nggak jadi makan siang?" Tanya Vidya dengan lirih, seraya menatap hidangan yang tersentuh sebatas mencicip dan dibiarkan begitu saja.Rasa kesal dan penuh kecewa terpancar dari wajahnya."Makanan aku nggak enak, ya?" Vidya meneguk ludah dengan susah payah, menahan tangis yang menguras tenaga. Punggung tangannya menyeka sudut mata yang basah.'Sialan! Udah dipaksa buat masak banyak, ternyata cuma buat dicicipin doang!' Vidya mengumpat dalam hatinya.Arya tersenyum tipis dan menggenggam erat telapak tangan istri mudanya itu."Enak, Sayang, jangan berpikir seperti itu. Buktinya, mereka mau makan masakanmu. Cuma, mereka nggak habiskan karena ingin
Shena menyilangkan kedua tangannya di dada, sorot matanya tajam menatap Arya dengan lekat. "Oh, jadi itu alasan kamu ngikutin aku? Karena kamu cemburu, Mas?""Bukan cuma itu!" Arya membalas dengan cepat, "aku juga tahu kamu ada di perusahaan Pak Bondan seharian penuh kemarin. Sampai malam. Kamu pikir aku nggak punya hak untuk curiga?"Shena menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya meskipun jelas terlihat ia merasa tersinggung. "Jadi ini masalahnya? Kamu ngikutin aku karena kamu berpikir aku selingkuh dengan Pak Bondan?"Arya terdiam, merasa sulit untuk membantah secara langsung. "Aku cuma mau tahu apa yang sebenarnya terjadi, Sayang. Aku nggak bisa berhenti memikirkan itu."Shena mendekat, jaraknya hanya beberapa langkah dari Arya. "Mas Arya, dengar baik-baik. Aku bekerja dengan Pak Bondan, itu benar. Kemarin kami di perusahaan sampai malam karena ada banyak yang harus diselesaikan untuk acara gala dinner. Dan makan malam di restoran itu? Itu cuma makan malam biasa setelah k
Arya memutuskan untuk mengikuti mobil itu lagi. Kali ini, mereka menuju sebuah restoran mewah di pusat kota. Arya memarkir mobilnya agak jauh, lalu masuk ke restoran yang sama setelah memastikan Shena dan Pak Bondan sudah mengambil tempat di sudut ruangan.Dengan hati-hati, Arya memilih meja yang cukup jauh, tapi masih bisa memantau gerak-gerik mereka. Ia memesan secangkir kopi untuk menghindari kecurigaan pelayan.Dari kejauhan, Arya melihat Shena dan Pak Bondan berbicara dengan santai. Sesekali, mereka tertawa kecil. Arya merasa dadanya semakin sesak."Apa ini cuma urusan kerjaan, atau lebih dari itu?" Arya bergumam, merasa geram dengan banyak pertanyaan yang menjejali pikirannya.Malam itu, Arya memutuskan untuk tidak mengikuti Shena sampai selesai. Ia kembali ke mobilnya, menggenggam setir dengan penuh rasa emosi yang bercampur aduk.***Keesokan paginya, Arya bangun dengan kepala berat. Tidur malamnya tidak nyenyak, dan pikirannya masih dipenuhi bayangan tentang Shena dan Pak Bon
Setelah selesai berbicara dengan adiknya, Arya kembali ke kamarnya dengan langkah berat. Beberapa saat kemudian, Vidya muncul di hadapannya dengan senyum manis yang terlihat begitu dipaksakan."Mas, makan malamnya sudah siap. Aku masak menu kesukaanmu hari ini," ucap Vidya dengan nada lembut.Arya hanya tersenyum tipis. "Terima kasih, Vidya. Kamu sudah repot-repot masak buatku."Vidya menatap Arya dengan saksama, mencoba membaca pikirannya. "Mas, tadi ngobrol apa sih sama Aulia? Kok lama banget?"Arya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Nggak ada apa-apa. Cuma obrolan ringan saja."Vidya tersenyum kecil, meski hatinya penuh kecurigaan. "Oh, gitu. Aku kira ada sesuatu yang serius dan kamu rahasiakan dari aku."Arya tidak menjawab, hanya menatap manik cokelat istrinya dengan penuh tanda tanya.Di sisi lain, Aulia masih duduk di balkon kamarnya dengan senyum puas. Meski apa yang ia katakan tadi hanyalah karangan, ia merasa telah berhasil membuat Arya meragukan Vidya."Kalau Mas Arya
Sepulang dari kampus, Aulia langsung masuk ke kamarnya dan membanting pintu dengan kesal. Tas kuliahnya dilemparkan ke atas tempat tidur, lalu ia duduk di kursi depan meja belajarnya. Pikiran gadis itu berkecamuk, membayangkan Shena yang semakin dekat dengan keluarga Ervan.Aulia menggenggam ponselnya erat-erat, membaca kembali unggahan Instagram Bu Rahayu. Wajah Shena yang tersenyum lembut di foto itu membuatnya semakin marah."Kenapa Mbak Shena setega itu? Apa aku harus jujur kalau Pak Ervan itu lebih cocok sama aku?" pikirnya sambil mengepalkan tangan hingga uratnya terlihat.Tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk. Vidya melangkah masuk dengan santai, membawa secangkir teh di tangannya."Aulia, kok nggak makan dulu? Mukamu kok kelihatan kusut banget gitu, sih?" sindir Vidya sambil duduk di tepi tempat tidur Aulia."Aku nggak lapar," jawab Aulia dingin tanpa menoleh. "Biasakan ketuk pintu dulu kalau mau masuk ke kamar orang. Nggak sopan!"Vidya tersenyum sinis. "Hei
"Lumayan, uang merahnya ada dua lembar, jadi aku bisa beli sarapan yang enak nih sebelum ke pasar," gumam Vidya seraya berjalan menuju gerbang. Setelah beberapa menit menunggu tukang ojek pangkalan yang ia hubungi melalui ponsel, akhirnya datang. Namun, bukannya langsung ke pasar, Vidya malah meminta sang pengemudi berhenti di salah satu tempat kukiner di pinggir jalan. "Bang, berhenti di sini dulu, ya. Saya mau sarapan sebentar," ucap Vidya dengan santai. "Baik, Mbak. Saya tunggu di sini aja," jawab pengemudi ojek itu. Vidya turun dari motor dan segera masuk ke tempat kuliner pagi yang menyediakan berbagai menu untuk sarapan dan cemilan. Aroma nasi uduk yang menggoda langsung menyambutnya. Dengan cepat, ia memesan seporsi nasi uduk lengkap dengan lauk pauk. Tapi, langkah Vidya tiba-tiba terhenti saat matanya menangkap sosok yang tak asing baginya. Ternyata ada kakak madunya di sana. Shena sedang berdiri di salah satu tempat jajanan, bersama seorang pria yang pernah Vidya lihat s
Arya yang sejak tadi hanya diam akhirnya mengangguk dengan lemah. "Iya, Bu. Aku berangkat sekarang."Tapi, sebelum Arya sempat melangkah, Vidya memegang lengannya erat-erat. "Mas, aku nggak rela kamu pergi. Aku ini istrimu. Aku punya hak buat minta waktu kamu, Mas!"Arya menatap Vidya dengan wajah lelah. "Vidya, kita bisa bicara nanti. Sekarang aku benar-benar harus kerja."Vidya melepaskan tangannya dengan gerakan kasar, wajahnya kini memerah karena marah. Bu Surti yang melihat hal tersebut, hanya mendengkus sambil melipat tangan di dada."Vidya, kalau kamu terus melarang Arya untuk bekerja dan kamu nggak membersihkan rumah, ssbaiknya kalian berdua pergi dari rumah ini. Ingat, rumah ini milik kedua orang tua Shena. Jadi, kalian berdua harus sadar diri bahwa di sini hanya menumpang!" ancam Bu Surti sebelum berbalik kembali ke dapur.Vidya menatap punggung Bu Surti dengan kesal, lalu menoleh ke Arya. "Mas, kalau begini terus, aku nggak yak
"Sekarang saatnya aku memberi pelajaran pada Arya dan Vidya," gumam Shena pelan, matanya menyapu sekeliling ruangan, memastikan tidak ada yang melihat. Arya tidak tahu apa yang ada di dalam brankas itu. Shena menyimpan rahasia besar tentang tempat yang dirawat oleh Bi Sumi, sebuah rumah yang jauh lebih besar dan lebih nyaman daripada rumah yang mereka tinggali sekarang. Shena merapikan dokumen-dokumen penting itu, memastikan semuanya lengkap dan aman. Surat tanah, akta rumah, dan beberapa dokumen lainnya ia masukkan ke dalam tas besar yang akan segera dibawanya. Ia tahu, rumah besar miliknya itu adalah tempat yang aman bagi barang-barang berharga ini. Arya tidak akan pernah tahu bahwa Shena memiliki rumah lain. Yang dia tahu, hanya rumah yang mereka tempati saat ini, rumah yang katanya hasil jerih payah kedua orang tua Shena sebelum meninggal. *** Arya duduk di ruang keluarga dengan ekspresi kosong pagi itu. Pikirannya melayang pada pertengkaran yang terjadi semalam. Suar
Rumah Shena yang biasanya tenang kini terasa seperti medan perang yang penuh ketegangan. Bu Surti berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya tajam mengawasi Vidya yang baru saja keluar dari kamar Aulia dengan wajah merah padam."Vidya, apa yang baru saja kau lakukan di dalam kamar anakku?" Tanya wanita paruh baya tersebut, penuh dengan kecurigaan."Oh ... nggak apa-apa, Bu. Aku hanya ingin memastikan, kalau anak gadis kesayangan Ibu baik-baik aja. Karena, sepertinya dia lagi patah hati," jawab Vidya yang sengaja memancing emosi mertuanya."Omong kosong! Ingat, jangan pernah ganggu anak gadisku, dan meracuni otaknya dengan semua kebohonganmu. Sekarang, cepat buatkan teh manis hangat. Shena baru pulang kerja, dia pasti kelelahan," perintah Bu Surti tanpa basa-basi.Vidya mengerutkan kening, tapi tidak berani membantah. Dalam hati, ia menggerutu karena kesal. 'Teh manis hangat? Aku ini menantunya, bukan babu!'Tapi, demi menjaga suasana rumah tetap kondusif, ia melangkah dengan terp
"Kenapa dia nggak masuk?" gumam Aulia dengan frustrasi.Meski begitu, ia tetap menyimpan video rekaman tersebut. Baginya, itu sudah cukup untuk menjadi senjata jika nanti dibutuhkan.Saat Ervan kembali melajukan mobilnya, Aulia dengan cepat memberi arahan kepada sopir taksi untuk kembali mengikuti. Namun, kali ini, sopirnya terlihat ragu."Maaf, Mbak. Saya nggak bisa terlalu lama di sini. Ada pesanan lain," katanya.Aulia menatap sopir itu tajam, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. "Ini untuk tambahan. Yang penting, ikuti saja mobil itu."Dengan berat hati, sopir itu menurut.Mobil Ervan berbelok ke jalan yang lebih sepi, menuju rumahnya. Aulia terus mengawasi, meski rasa lelah makin menyerang. Dalam hatinya, ia bertekad membongkar hubungan Ervan dan Shena, apa pun risikonya.Tapi, sebuah pikiran mulai mengganggunya. "Bagaimana jika mereka memang tidak ada apa-apa? Apa aku hanya membuang waktu?"Akhirnya, gadis itu pun memutuskan untuk pulang.***Sesampainya di rum