"Mas, mereka benar-benar tega banget sama aku. Padahal kan aku udah capek-capek masak untuk mereka, tapi keluarga kamu seolah belum bisa menerima aku sepenuhnya ...," rengek Vidya dengan mata berkaca-kaca, memeluk lengan kekar Arya dengan erat.'Lihat saja, dramaku pasti berhasil membuat Mas Arya membelaku di hadapan kalian semua!' Vidya bermonolog dalam hatinya.Shena yang menyaksikan adegan menjijikan itu, tak bisa menahan rasa jengkel.Ia menghela napas kesal, memutar bola matanya dengan malas, dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Meskipun merasa ilfeel dengan penampilan Vidya yang berantakan, Arya merasa kasihan pada istri mudanya yang terus-menerus diperlakukan rendah oleh kakak dan adik perempuannya sendiri."Vid, sebelum kita makan siang, coba kamu mandi dulu biar segar. Setelah itu, ikut bergabung bersama kami, ya?" Ucap Arya dengan lembut.Vidya masih tetap bergelayut manja, ingin terlihat mesra di hadapan kel
Arya masih duduk mematung, pandangan kosongnya menyapu meja makan yang telah tersaji menu masakan istri mudanya."Sayang, aku udah selesai mandi, tap--" ucapan Vidya terhenti ketika matanya menyadari bahwa hanya suaminya yang ada di ruang makan itu."Mas, mana mereka? Keluarga kamu nggak jadi makan siang?" Tanya Vidya dengan lirih, seraya menatap hidangan yang tersentuh sebatas mencicip dan dibiarkan begitu saja.Rasa kesal dan penuh kecewa terpancar dari wajahnya."Makanan aku nggak enak, ya?" Vidya meneguk ludah dengan susah payah, menahan tangis yang menguras tenaga. Punggung tangannya menyeka sudut mata yang basah.'Sialan! Udah dipaksa buat masak banyak, ternyata cuma buat dicicipin doang!' Vidya mengumpat dalam hatinya.Arya tersenyum tipis dan menggenggam erat telapak tangan istri mudanya itu."Enak, Sayang, jangan berpikir seperti itu. Buktinya, mereka mau makan masakanmu. Cuma, mereka nggak habiskan karena ingin
"Mas, kenapa kita harus pakai taksi online, sih?" Vidya bertanya dengan wajah cemberut, menatap mobil pribadi yang biasa dikemudikan oleh suaminya, terparkir di garasi.Taksi online yang mereka tumpangi tengah melaju dengan kecepatan sedang."Apa kamu nggak mau menggunakan mobil itu untuk membawaku, Mas?""Mobil itu milik Shena. Sudahlah, jangan protes, atau kamu turun sekarang dan aku nggak akan pernah antar kamu ke salon!" Arya menjawab dengan tegas, sekaligus memberikan ancaman pada istri mudanya itu.Vidya hanya bisa mengerucutkan bibirnya, berharap Arya akan merayu saat ia sedang merajuk seperti sekarang. Namun, pria itu tak menggubris rajukan Vidya.Tatapan mata Arya hanya tertuju pada jalanan yang akan menuju salon.Sesampai di tempat tujuan, Vidya merasa kecewa karena sang suami membawanya ke sebuah salon sederhana."Mas, kamu serius, ngajak aku ke tempat ini?" Vidya mendengus kesal, dengan perasaan kecewa yang b
Setelah melakukan perawatan rambut dan memborong pakaian di butik cabang, Arya dan juga Vidya kembali ke rumah dengan biasa-biasa saja.Bagaimana tidak, para karyawan tadi sangat menjengkelkan Vidya. Mereka dengan berani melontarkan makian saat posisi Vidya sudah menjadi istri Arya.Niat hati ingin menyenangkan diri, malah justru sebaliknya. Vidya harus terus menerima gunjingan orang-orang tentangnya dan lebih membela Shena.'Apa-apa Shena, apa istimewanya sih, Mbak Shena itu? Dibanding aku, ya masih mending aku, lah. Buktinya aja Mas Arya milih aku,' batin Vidya menggerutu dalam hati.Keduanya berjalan menuju ruang tamu. Vidya menggaetkan tangannya ke lengan Arya begitu mesra. "Aku nggak mau tahu, ya, Mas. Kapan-kapan kamu harus bawa aku ke butik pusat. Supaya aku bisa pilih pakaian bagus dan tampil cantik. Kalau aku cantik, 'kan bisa nyenengin kamu. Biar enak gitu dipandang," kata Vidya, keukeuh dengan keinginannya.Arya hanya bisa mengiyakan saja. Pusing sekali mendengar omelan Vi
Vidya mengusap air matanya yang sudah berjatuhan. Ia merasa malu sekaligus kesal karena Shena selalu saja membuat dirinya seperti ini."Vidya, kita harus bica—""Diam kamu, Mas! Nggak ada yang perlu dibicarakan! Jangan ganggu aku!" Tanpa mempedulikan panggilan dari Arya, Vidya menepis kasar tangan suaminya yang hendak menahannya.Vidya menyeret langkahnya menuju kamar, tak lupa menutup pintu begitu kerasnya hingga menimbulkan bunyi berdebam menggema di ruangan.Wanita yang tengah hamil itu menyapu barang yang ada di meja kamar Bi Sumi, sambil berteriak kencang."Argh! Kenapa Mbak Shena selalu membuatku malu! Dia sok berkuasa sekali jadi orang!" umpatnya. Vidya terus melampiaskan ke barang yang ada di sekitar. Sebagai pelampiasan.Bulir air mata terus membasahi wajahnya. Keinginan Vidya ingin menjadi nyonya malah sebaliknya, dia sudah seperti babu di kediaman ini.'Lihat aja, Mbak Shena! Aku akan membalas perbua
[Temanku katanya siap menangani kasusmu, Mbak Shena. Kita ketemu di Rosaine Cafe aja, ya. Kami akan menunggu Mbak di sana. Sampai jumpa.] Tulis Irma di aplikasi chatnya.Setelah membaca pesan dari Irma, Shena bersiap-siap untuk pergi ke kafe yang sudah ditentukan oleh Irma bersama dengan pengacarannya.Shena berharap, kasus penceraiannya dapat diselesaikan dengan lancar. Selain itu, dia bisa bebas dan tidak lagi berhubungan dengan Arya yang hanya membuatnya menderita.Melihat ibunya akan pergi. Sheira menggampiri sang ibu yang sedang bersolek di depan cermin."Sheira diam dulu di rumah, ya, Sayang. Mama mau keluar dulu sebentar. Jangan nakal," ujar Shena pada putrinya. Wanita itu mengecup dua pipi gembil anaknya dengan gemas.Sheira pun mengangguk, dia melambaikan tangan saat ibunya keluar kamar.Sedangkan di ruang makan, Vidya yang akan pergi ke dapur melihat Shena berjalan menuruni tangga. Entah akan ke mana, penampilannya sudah rapi seperti itu."Mbak Shena? Mau ke mana dia? Buru-b
Arya menyusuri setiap ruangan untuk mencari keberadaan Vidya. Pasalnya, ia tidak tahu harus mencari Vidya yang entah ke mana.Sampai-sampai Arya kelimpungan sendiri, bertanya pada orang rumah tidak ada yang tahu Vidya. Jelas Arya kesal, pasalnya, ia menyuruh Vidya mengambil makanan karena lapar. Malah menghilang.Pria tersebut mondar-mandir di ruang tamu, membuat keluarga sendiri kebingungan melihat Arya yang seperti ini."Kamu ngapain mondar-mandir kayak gitu, Arya? Kurang kerjaan sekali kamu ini!" Tanya Bu Surti begitu menuruni tangga bersama Sheira.Arya menoleh pada ibunya, lalu tersenyum pada putrinya. "Ibu lihat Vidya nggak? Ke mana ya dia? Aku nggak melihatnya dari tadi."Pertanyaan dari sang putra, Bu Surti jadi malas jika sudah mendengar nama Vidya disebut."Mana Ibu tahu, dia 'kan istrimu. Dikira Ibu suka ngintilin dia!" Timpal Bu Surti, sambil membawa cucunya pergi ke arah dapur.Arya mengembuskan napas kasar.
Malam harinya ....Setelah selesai menyiapkan keperluan untuk kuliahnya, Aulia yang biasanya tinggal berdua dengan Bu Surti, kini memutuskan untuk tinggal bersama Shena, semenjak Arya menikah dengan Vidya.Aulia pun turun ke bawah, ingin ikut serta bergabung dengan ibu dan juga keponakannya, di ruang televisi.Selama kuliah, Aulia jadi jarang menghabiskan waktu bersama keluarga saking padatnya jadwal di kampus. Aulia datang, gadis yang mengwnakan piyama pink itu memeluk tubuh Bu Surti, yang menemani Sheira menonton televisi. Kebiasaan Sheira, jika sudah anteng selalu merebahkan dirinya di pangkuan sang nenek."Kamu belum tidur, Nak? Udah malam lho, besok kamu 'kan harus kuliah," ujar Bu Surti kepada putri bungsunya yang memeluk dengan manja."Aulia belum ngantuk, Bu. Bosen banget nugas mulu, sekali-kali pengen ngabisin waktu sama Ibu," kata Aulia sedang dalam mode manjanya.Karena kedua kakaknya sudah menikah, Aulia sering menemani Bu Surti agar ibunya memiliki teman ngobrol.Bu Surt
Setelah berputar-putar tanpa tujuan menggunakan taksi online, Aulia akhirnya merasa lelah. Pandangannya menerawang ke luar jendela, memperhatikan gemerlap lampu-lampu kota Jakarta yang terasa begitu kontras dengan hatinya yang gelap gulita. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan sesak yang masih bersarang di dadanya."Aku nggak bisa terus begini," gumamnya pelan, seolah menegur dirinya sendiri.Sopir taksi melirik lewat kaca spion. Melihat raut wajah penumpangnya yang lelah dan muram, ia memutuskan untuk tetap fokus pada jalanan yang mulai lengang.Sesampainya di depan rumah, Aulia turun dari taksi dan berjalan dengan langkah gontai menuju teras rumah. Ia membuka pintu perlahan, berharap tidak membangunkan ibunya yang biasanya sudah tertidur di jam segini. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat Bu Surti duduk di ruang tamu, menatapnya dengan tatapan penuh tanya."Kok baru pulang, Nak?" tanya Bu Surti sambil melipat tangannya di depan dada. "Tadi Ibu pikir kamu bakal pulang sa
Aulia masih berdiri di tempat dengan pikiran yang berkecamuk. Dadanya terasa sesak mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Sheira dan Ergan tadi. Pertanyaan demi pertanyaan terus bergulir di benaknya, mencari jawaban yang tak kunjung ia temukan.Kini, Kevin menghampiri mereka berdua dan memanggil Wina untuk ikut berfoto bersama keluarga besarnya."Li, ikut ke sana, yuk?" bisik Wina sebelum beranjak menuju keluarga besar Kevin."Aku di sini aja, Win. Aku nggak enak kalau harus ikut. Itu momen keluarga kalian," jawab Aulia dengan senyum tipis.Wina menatapnya sejenak, merasa ragu untuk meninggalkan sahabatnya sendirian. Tapi akhirnya ia mengangguk. "Oke, tapi kalau kamu butuh apa-apa, panggil aku, ya."Aulia hanya menjawab dengan anggukkan dan sedikit senyuman.Kevin menggandeng tangan Wina dan membawanya ke tengah kerumunan yang dipenuhi oleh keluarga besar Pak Bondan. Shena dan Ervan, yang berada di dekat Sheira dan Ergan, juga bersiap untuk berfoto. Kedua anak kecil itu tampak c
Setelah pulang kerja, Shena duduk di sofa, ditemani secangkir teh hangat. Ia masih mengenakan blouse putih yang sedikit kusut, tanda kelelahan setelah seharian bekerja.Sheira sedang duduk di karpet, asyik menggambar dengan krayon warna-warni. Sesekali, ia memanggil sang ibu untuk menunjukkan hasil gambarnya."Mama, lihat! Ini gambar aku sama Mama," ujar Sheira sambil tersenyum lebar, menunjuk gambarnya yang sederhana dan penuh warna.Shena tersenyum lembut, kemudian mengangguk. "Bagus sekali, Sayang. Kamu makin pintar menggambar."Tapi, pikiran Shena tetap melayang pada tawaran Ervan tadi siang."Aku ingin memperkenalkanmu, bukan hanya sebagai desainer yang membuat baju itu—tapi sebagai seseorang yang berarti bagiku."Kata-kata itu terngiang terus, membuat hatinya merasa campur aduk. Shena menghela napas panjang, mencoba membuang rasa ragu yang terus menghantuinya.Lamunannya terhenti saat ponselnya bergetar di meja. Nama Bu Rahayu muncul di layar, membuat Shena terkejut. Ia mengerut
"Bahagia?" suara Bu Surti meninggi, kini tak mampu lagi menahan amarah. "Vidya, bahagia tidak bisa kau dapatkan dengan cara seperti ini. Bahagia itu butuh usaha, bukan dengan mengorbankan orang lain. Kau tahu berapa banyak luka yang sudah kau buat? Shena itu sudah terlalu baik padamu. Tapi apa balasanmu? Kau sudah merebut suaminya, dan sekarang kau mencuri dari butiknya. Apa kau tidak malu?"Vidya terdiam, tapi wajahnya menunjukkan bahwa ia enggan menerima nasihat itu. Ia memalingkan wajah, menatap Arya dengan tajam."Mas Arya," lanjut Vidya, kali ini dengan nada penuh kekecewaan. "Kenapa kamu tidak pernah bisa memberikan kehidupan yang aku mau? Kalau saja kamu kaya raya, aku tidak perlu melakukan ini semua."Arya menghela napas panjang, menahan emosi yang mulai membakar dadanya. "Vidya, aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan kita. Aku bekerja siang malam demi kamu dan bayi ini. Tapi kalau kamu tidak pernah puas, sebaiknya kita bercerai saja. Aku sudah dipecat dari
Bu Surti masih termenung, duduk di sofa butik dengan wajah penuh kebingungan. Ia tak menyangka mantan menantunya yang dulu dikenal begitu baik hati, kini berubah menjadi seorang wanita yang dingin dan tegas. Shena yang dulu selalu memaafkan kesalahan apa pun, kini terlihat seperti orang yang menyimpan dendam pada Arya dan juga Vidya."Bu, kita pulang saja," Arya berkata, suaranya terdengar serak. Matanya menatap lantai butik, seolah enggan menatap siapa pun. "Shena tidak akan mengubah keputusannya."Bu Surti menggeleng perlahan, tangannya menggenggam erat tas kecil di pangkuannya. "Tidak, Arya. Ibu yakin Shena itu bukan orang yang kejam. Dia hanya keras di luar, tapi hatinya pasti masih sama. Kita tunggu sebentar lagi."Arya mendesah berat. Ia tahu ibunya masih berharap. Namun di dalam hatinya, ia merasa harapan itu sia-sia, karena Shena yang sekarang bukan lagi Shena yang dulu.Sementara itu di ruang kerja, Shena duduk di kursinya dengan raut wajah yang sulit diartikan. Irma yang mer
Budhe Retno tampak terdiam sejenak, seolah berpikir sebelum menjawab. "Oh, Shena? Dia sedang sibuk di luar. Kalau kalian ingin bertemu, lebih baik datang ke butik pusat saja. Biasanya dia ada di sana pagi-pagi seperti ini."Arya yang sedari tadi diam mulai merasa ada yang aneh. "Budhe, Shena benar-benar tidak ada di rumah? Kami hanya ingin bicara sebentar."Budhe Retno pun tersenyum tipis. "Saya memang diminta menjaga rumah ini, Arya. Tapi Shena jarang ada di sini sekarang. Dia lebih sering menghabiskan waktunya di butik. Seharusnya kamu hafal, Arya, sekarang kan pesanan di butik sedang ramai. Shena sibuk mendesain pesanan dari beberapa pelanggan. Kalau kalian ingin bicara, temui saja dia di sana."Bu Surti tampak sedikit kecewa, tetapi ia tahu tidak ada gunanya memaksa. "Baiklah, Mbak. Terima kasih atas informasinya."Budhe Retno mengangguk kecil. “Sama-sama. Semoga urusan kalian dengan Shena bisa selesai dengan baik." Setelah itu, wanita paruh baya tersebut menutup pintu, meninggalk
"Jangan beralasan!" potong Shena dengan tajam. "Aku punya semua buktinya. Rekaman CCTV, laporan karyawan, semuanya. Kamu sudah mencuri dari butikku tiga kali berturut-turut!"Vidya mencoba membela diri. "Aku nggak mencuri, Mbak! Aku cuma—""Pak Polisi, tangkap dia," perintah Shena tanpa memberi kesempatan lebih lanjut.Dua orang pria yang sebelumnya tampak seperti pelanggan mendekati Vidya. Salah satu dari mereka menunjukkan lencana polisi. "Ibu Vidya, kami sudah menerima laporan pencurian ini. Silakan ikut kami ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut."Arya yang menyaksikan semuanya dari jarak jauh, merasa tubuhnya seolah kehilangan tenaga. Ia ingin membela Vidya, tapi ia tahu perbuatannya tidak bisa dimaafkan.Vidya memberontak, berusaha melawan. "Mas Arya! Tolong aku! Aku nggak bersalah!" teriaknya dengan air mata yang mengalir deras.Arya hanya bisa menundukkan kepala, tidak mampu berkata apa-apa. Ia tahu segala penjelasan tidak akan mengubah apa pun. Sementara itu, Shena
Vidya mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Mas, kamu kan masih kerja di butik Mbak Shena. Jabatan kamu di sana juga kan bukan orang sembarangan. Nah, aku yakin di sana banyak barang yang nggak terlalu diperhatikan sama Mbak Shena dan karyawan yang lain. Kalau Mas ambil sedikit saja, kita bisa jual dan uangnya bisa kita pakai untuk kebutuhan sehari-hari. Aku yakin, mereka juga nggak akan curiga."Arya langsung melepaskan genggamannya. Matanya membulat, menatap Vidya dengan ekspresi kaget sekaligus marah. "Kamu ngomong apa, Vidya? Nyuruh aku mencuri?""Bukan mencuri, Mas. Anggap aja pinjam sementara. Lagian, koleksi baju di sana banyak banget, lho. Nanti kalau ada uang lebih, kita bisa ganti. Ya anggap aja kita bayar bajunya belakangan." Vidya berusaha meyakinkan Arya."Tidak, Vidya!" Arya berdiri, suaranya naik satu oktaf. "Aku tidak akan melakukan hal kotor seperti itu. Aku kerja di sana untuk cari uang halal, bukan buat bikin masalah!"Vidya ikut berdiri, wajahnya berubah kes
Vidya terdiam, wajahnya memerah menahan malu dan amarah. Ia melirik Arya yang hanya berdiri diam di sudut ruangan. "Mas Arya, kamu diam aja? Nggak dengar Mbak Anna ngomong apa ke aku?"Arya menghela napas panjang, menatap Vidya dengan tatapan letih. "Vidya, kamu juga salah. Kenapa kamu nggak mau bantu Ibu? Kalau kamu nggak mau berubah, bagaimana kita bisa hidup tenang di sini?"Mendengar Arya seperti menyalahkannya, Vidya semakin tersudut. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Anna kembali menyambar."Tenang? Hidup sama Vidya mau tenang gimana, Arya? Kamu itu bodoh, tahu nggak? Ninggalin Shena yang sabar dan mandiri demi perempuan kayak gini? Apa yang kamu lihat dari pelakor ini, hah? Cuma karena dia lebih muda? Sekarang rasakan akibatnya! Kamu kehilangan istri yang bisa ngangkat derajat kamu, dan malah dapat perempuan yang bikin hidupmu makin susah.""Mbak Anna, jangan bawa-bawa Shena lagi!" Arya akhirnya membalas, meski suaranya tidak sekuat Anna."Kenapa? Nggak suka dengar nama Shena