"Mbak Shena, sial!"BRAK!Vidya membanting pintu kamarnya, membuat Arya yang terlelap tidur pun langsung terbangun mendengar suara keras itu.Sang suami terlonjak kaget, memegangi dadanya sambil mengumpulkan kesadarannya."Heh, Vidya! Kamu kenapa lagi, sih, astaga? Pagi-pagi bikin ulah aja!" omel Arya pada istri mudanya.Lagipula, siapa yang tidak kesal, sedang asik tidur malah diganggu. Vidya terlanjur kesal, Shena selalu saja melakukan berbagai cara untuk memancing emosinya."Kamu berisik banget sih, Mas! Aku kesal sama Mbak Shena!" keluh Vidya. Ia menyedekapkan kedua tangannya di depan dada sembari mendaratkan bokongnya di kasur.Pria itu menautkan kedua alisnya. Saat nama Shena disebut di sela-sela kekesalan Vidya."Kenapa dengan Shena?" tanya Arya. Pria itu mengucek kedua matanya sambil mendekat ke arah istri mudanya."Dia menghina aku lagi, Mas! Kamu yang tegas dong, jadi suami. Tegur dia supaya nggak semena-mena sama orang! Kamu ini gimana sih!" Vidya menggerutu. Wanita itu men
Aulia datang ke kampus dengan malas. Tidak seperti biasanya, gadis itu terlihat murung karena temannya tahu Aulia selalu bersemangat jika ke kampus."Ayolah, Aulia. Jangan berpikir gila karena percaya pada orang seperti Vidya. Dia itu ular berbisa!" gumamnya.Dia masih kepikiran foto kebersamaan Ervan dengan kakak iparnya. Di parkiran, Aulia menatap sebuah mobil milik Ervan yang memasuki area kampus.Saat sosok Ervan keluar, Aulia buru-buru menghalau kegugupan dengan jantung berdebar-debar.Ervan melirik, pada sosok mahasiswi yang tengah berdiri dan tersenyum ke arahnya."Selamat pagi, Pak Ervan. Jangan lupa, jam awal Bapak yang mengajar," sapa Aulia. Gadis itu memang suka menyapa pada dosen yang mengajar di kelasnya. Bukan hanya Ervan saja, tetapi yang lainnya juga.Pria berusia matang itu mengangguk. Selain wajahnya yang tampan, dia dikenal ramah kepada siapa saja."Pagi, Aulia. Terima kasih sudah mengingatkan saya. Se
Seperti rencana mereka pagi tadi, Aulia dan Wina datang ke sebuah pusat perbelanjaan sore harinya untuk bersantai. Mereka datang ke food court.Gerak-gerik dua gadis itu tak luput dari pengawasan Vidya yang tak jauh dari mereka. Dia ingin memantau Aulia, agar bisa mendapatkan informasi.Aulia celingak-celinguk, bola matanya terus mengitari area di sekitarnya seperti ada yang dia cari."Kamu nyari apa sih, Aulia? Dari tadi celingukan melulu. Nggak pegal tuh, matamu?" tanya Wina sambil mengguncang pelan lengan sahabatnya.Semula Aulia yang semangat, kini rasa semangatnya pudar lantaran Ervan belum terlihat di mall ini."Pak Ervan kok nggak ada, ya? Apa dia lagi di jalan?" Bukannya menjawab, Aulia justru bertanya.Kurang lebih satu jam lamanya mereka menunggu di mall itu, akan tetapi dia tidak melihat Ervan sama sekali.Wina menepuk keningnya. Susah sekali menghadapi Aulia yang sedang kasmaran pada seorang duda tampan yang mengajar di kelasnya."Astaga, Aulia ... aku kira kenapa. Udahlah
Aulia menoleh dengan cepat, dari mana suara itu berasal.Dari arah tempat bermain anak, terlihat Shena dan Sheira sedang menatap ke arahnya. Bahkan Ervan yang fokus memperhatikan mereka membalik badan, menyadari ada sosok mahasiswinya.Sheira berlari ke arah Aulia, anak kecil itu berhambur ke pelukan tantenya. Shena sendiri kaget, ada kehadiran adik iparnya di sini. Pun sebaliknya, Aulia jadi berpikir, bahwa yang dikatakan Vidya itu benar."Tante Aulia!" panggil Sheira."Hai, Sayang. Seru mainnya?" tanya Aulia."Seru, Tante. Sheira punya teman baru. Ergan namanya, anaknya Om Ervan."Wanita yang dipanggil tante itu tersenyum kepada keponakannya. Ervan mengerutkan kening. Saat Sheira memanggil Aulia dengan sebutan tante, pasalnya dia tak tahu."Kamu di sini juga, Aulia? Sama siapa ke sini?" tanya Shena dengan biasa-biasa saja, dia tidak sadar bahwa Vidya sedang memprovokasinya pada Aulia."I-iya, Mbak. Sendirian aja. Tadinya sih sama Wina, dia pamit karena ada urusan," alibi Aulia, mena
Setelah asik berkeliling sambil berbelanja di mall, mereka semua memutuskan untuk pulang, berhubung hari sudah mulai merangkak ke malam. Mereka menaiki kendaraan masing-masing, sementara Aulia bersama dengan Shena karena dia berangkat ke mall ini memakai mobil Wina. Sebelum pergi, mereka berpamitan terlebih dahulu. "Dadah, Ergan. Semoga kita bisa main lagi," kata Sheira, melambaikan tangan pada Ergan yang enggan untuk pulang karena asik bermain dengan teman barunya itu."Bye, Sheira. Nanti aku suruh Daddy ke sini supaya kita bisa main bareng lagi," ucap Ergan.Kedua anak kecil itu asik dengan dunianya, terpaksa pulang karena hari sudah mulai gelap. Pun besok sekolah, harus istirahat.Aulia tersenyum ke arah Ergan, bocah itu buru-buru membuang muka. Susah memang menaklukan hati anak kecil ini."Hati-hati ya, pulangnya, Ergan," ucap Aulia. Berusaha menampilkan raut keceriaan pada anak dari pria yang dicintainya. Namun sayang, Ergan malah melewatinya begitu saja, dan memilih berjalan m
Sesampainya di kediaman, Shena memarkirkan mobilnya di garasi. Dia sedikit janggal, dengan Aulia yang tidak mendengarkan ucapannya selama dalam perjalanan. Alhasil, Shena hanya bisa fokus menyetir karena Sheira sudah tidur.Saat mengetahui mobil sudah berhenti, Aulia turun tanpa melirik sedikit pun pada Shena.BRAK!Shena terparanjat, sambil menenangkan Sheira yang hampir terbangun dengan sikap Aulia yang menutup pintu mobil dengan kasar."Apa yang terjadi pada Aulia? Sepanjang jalan dia hanya diam saja," gumam Shena bertanya-tanya. Ia lekas menggendong tubuh mungil Sheira. Di saat itu juga, sebuah mobil terparkir tepat di sebelah mobilnya.Mobil siapa lagi jika bukan mobil milik Arya. Lebih tepatnya, mobil dari Arya, untuk hadiah ulang tahun Shena beberapa tahun yang lalu. Karena ini sudah termasuk jam pulang kerja, pria itu tak mampir ke mana pun. Arya turun, menghampiri Shena dan juga putrinya."Sini, Sheira biar Mas aja yang gendong, Sayang," katanya. Mendengar kalimat 'Sayang' y
Aulia pura-pura tidak mendengarkan pertanyaan Sheira yang terus membahas Shena. Sengaja tidak ia bawa, karena perempuan itu pasti akan mengalihkan segalanya.Dua wanita beda generasi itu turun dari taksi, Aulia mengumpulkan keberaniannya karena berkunjung ke rumah Ervan untuk kedua kalinya.Mereka diam di depan pintu, sambil mengetuknya. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya terlihat saat membuka pintu."Selamat siang, Tante," sapa Aulia. Memperlihatkan senyum manisnya pada Bu Rahayu.Bu Rahayu mengangguk, dia melihat ke arah Sheira yang tengah tersenyum ke arahnya. "Eh ada Nak Sheira. Kebetulan kamu ke sini, Ergan pasti senang kamu datang," kata Bu Rahayu, mengulurkan tangan pada mereka berdua.Sedari tadi, mata Aulia mencari-cari mobil Ervan yang tidak ada di garasi. Entah ada atau tidak. Bu Rahayu tidak mengerti, apa yang sedang dicari wanita di hadapannya ini."Mencari apa?" Bu Rahayu bertanya, kurang nyaman saja jika ada tamu yang sepertinya memperhatikan rumahnya.Aulia t
Suasana kafe semakin ramai, meskipun masih ada tempat yang cukup tenang di sudut ruangan.Ervan dan Shena duduk di meja tengah, keduanya duduk santai setelah diskusi tentang jadwal sidang perceraian Shena. Walaupun topik yang mereka bicarakan cukup berat, ekspresi mereka terlihat lebih ringan. Sesekali, mereka tertawa, berbagi kenangan lama, dan sedikit berbicara tentang masa depan yang tak lagi melibatkan Arya."Apa rencanamu ke depan jika sudah tak bersama dengan Arya?" tanya Ervan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Wajahnya tampak lebih santai, tetapi sorot matanya tetap mengandung keseriusan yang mendalam.Shena mengedikkan bahu, matanya menerawang jauh."Aku belum tahu ... yang jelas, sekarang ini aku malah merasa sedikit lega, padahal ini baru awal dari semuanya. Aku sudah berusaha bertahan selama ini, tapi ternyata …," suaranya hampir hilang, seolah ada beban besar di dadanya.Ervan mengangguk mengerti."Terkadang, melepaskan adalah langkah terbaik meskipun itu terasa su
Shena menyilangkan kedua tangannya di dada, sorot matanya tajam menatap Arya dengan lekat. "Oh, jadi itu alasan kamu ngikutin aku? Karena kamu cemburu, Mas?""Bukan cuma itu!" Arya membalas dengan cepat, "aku juga tahu kamu ada di perusahaan Pak Bondan seharian penuh kemarin. Sampai malam. Kamu pikir aku nggak punya hak untuk curiga?"Shena menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya meskipun jelas terlihat ia merasa tersinggung. "Jadi ini masalahnya? Kamu ngikutin aku karena kamu berpikir aku selingkuh dengan Pak Bondan?"Arya terdiam, merasa sulit untuk membantah secara langsung. "Aku cuma mau tahu apa yang sebenarnya terjadi, Sayang. Aku nggak bisa berhenti memikirkan itu."Shena mendekat, jaraknya hanya beberapa langkah dari Arya. "Mas Arya, dengar baik-baik. Aku bekerja dengan Pak Bondan, itu benar. Kemarin kami di perusahaan sampai malam karena ada banyak yang harus diselesaikan untuk acara gala dinner. Dan makan malam di restoran itu? Itu cuma makan malam biasa setelah k
Arya memutuskan untuk mengikuti mobil itu lagi. Kali ini, mereka menuju sebuah restoran mewah di pusat kota. Arya memarkir mobilnya agak jauh, lalu masuk ke restoran yang sama setelah memastikan Shena dan Pak Bondan sudah mengambil tempat di sudut ruangan.Dengan hati-hati, Arya memilih meja yang cukup jauh, tapi masih bisa memantau gerak-gerik mereka. Ia memesan secangkir kopi untuk menghindari kecurigaan pelayan.Dari kejauhan, Arya melihat Shena dan Pak Bondan berbicara dengan santai. Sesekali, mereka tertawa kecil. Arya merasa dadanya semakin sesak."Apa ini cuma urusan kerjaan, atau lebih dari itu?" Arya bergumam, merasa geram dengan banyak pertanyaan yang menjejali pikirannya.Malam itu, Arya memutuskan untuk tidak mengikuti Shena sampai selesai. Ia kembali ke mobilnya, menggenggam setir dengan penuh rasa emosi yang bercampur aduk.***Keesokan paginya, Arya bangun dengan kepala berat. Tidur malamnya tidak nyenyak, dan pikirannya masih dipenuhi bayangan tentang Shena dan Pak Bon
Setelah selesai berbicara dengan adiknya, Arya kembali ke kamarnya dengan langkah berat. Beberapa saat kemudian, Vidya muncul di hadapannya dengan senyum manis yang terlihat begitu dipaksakan."Mas, makan malamnya sudah siap. Aku masak menu kesukaanmu hari ini," ucap Vidya dengan nada lembut.Arya hanya tersenyum tipis. "Terima kasih, Vidya. Kamu sudah repot-repot masak buatku."Vidya menatap Arya dengan saksama, mencoba membaca pikirannya. "Mas, tadi ngobrol apa sih sama Aulia? Kok lama banget?"Arya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Nggak ada apa-apa. Cuma obrolan ringan saja."Vidya tersenyum kecil, meski hatinya penuh kecurigaan. "Oh, gitu. Aku kira ada sesuatu yang serius dan kamu rahasiakan dari aku."Arya tidak menjawab, hanya menatap manik cokelat istrinya dengan penuh tanda tanya.Di sisi lain, Aulia masih duduk di balkon kamarnya dengan senyum puas. Meski apa yang ia katakan tadi hanyalah karangan, ia merasa telah berhasil membuat Arya meragukan Vidya."Kalau Mas Arya
Sepulang dari kampus, Aulia langsung masuk ke kamarnya dan membanting pintu dengan kesal. Tas kuliahnya dilemparkan ke atas tempat tidur, lalu ia duduk di kursi depan meja belajarnya. Pikiran gadis itu berkecamuk, membayangkan Shena yang semakin dekat dengan keluarga Ervan.Aulia menggenggam ponselnya erat-erat, membaca kembali unggahan Instagram Bu Rahayu. Wajah Shena yang tersenyum lembut di foto itu membuatnya semakin marah."Kenapa Mbak Shena setega itu? Apa aku harus jujur kalau Pak Ervan itu lebih cocok sama aku?" pikirnya sambil mengepalkan tangan hingga uratnya terlihat.Tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk. Vidya melangkah masuk dengan santai, membawa secangkir teh di tangannya."Aulia, kok nggak makan dulu? Mukamu kok kelihatan kusut banget gitu, sih?" sindir Vidya sambil duduk di tepi tempat tidur Aulia."Aku nggak lapar," jawab Aulia dingin tanpa menoleh. "Biasakan ketuk pintu dulu kalau mau masuk ke kamar orang. Nggak sopan!"Vidya tersenyum sinis. "Hei
"Lumayan, uang merahnya ada dua lembar, jadi aku bisa beli sarapan yang enak nih sebelum ke pasar," gumam Vidya seraya berjalan menuju gerbang. Setelah beberapa menit menunggu tukang ojek pangkalan yang ia hubungi melalui ponsel, akhirnya datang. Namun, bukannya langsung ke pasar, Vidya malah meminta sang pengemudi berhenti di salah satu tempat kukiner di pinggir jalan. "Bang, berhenti di sini dulu, ya. Saya mau sarapan sebentar," ucap Vidya dengan santai. "Baik, Mbak. Saya tunggu di sini aja," jawab pengemudi ojek itu. Vidya turun dari motor dan segera masuk ke tempat kuliner pagi yang menyediakan berbagai menu untuk sarapan dan cemilan. Aroma nasi uduk yang menggoda langsung menyambutnya. Dengan cepat, ia memesan seporsi nasi uduk lengkap dengan lauk pauk. Tapi, langkah Vidya tiba-tiba terhenti saat matanya menangkap sosok yang tak asing baginya. Ternyata ada kakak madunya di sana. Shena sedang berdiri di salah satu tempat jajanan, bersama seorang pria yang pernah Vidya lihat s
Arya yang sejak tadi hanya diam akhirnya mengangguk dengan lemah. "Iya, Bu. Aku berangkat sekarang."Tapi, sebelum Arya sempat melangkah, Vidya memegang lengannya erat-erat. "Mas, aku nggak rela kamu pergi. Aku ini istrimu. Aku punya hak buat minta waktu kamu, Mas!"Arya menatap Vidya dengan wajah lelah. "Vidya, kita bisa bicara nanti. Sekarang aku benar-benar harus kerja."Vidya melepaskan tangannya dengan gerakan kasar, wajahnya kini memerah karena marah. Bu Surti yang melihat hal tersebut, hanya mendengkus sambil melipat tangan di dada."Vidya, kalau kamu terus melarang Arya untuk bekerja dan kamu nggak membersihkan rumah, ssbaiknya kalian berdua pergi dari rumah ini. Ingat, rumah ini milik kedua orang tua Shena. Jadi, kalian berdua harus sadar diri bahwa di sini hanya menumpang!" ancam Bu Surti sebelum berbalik kembali ke dapur.Vidya menatap punggung Bu Surti dengan kesal, lalu menoleh ke Arya. "Mas, kalau begini terus, aku nggak yak
"Sekarang saatnya aku memberi pelajaran pada Arya dan Vidya," gumam Shena pelan, matanya menyapu sekeliling ruangan, memastikan tidak ada yang melihat. Arya tidak tahu apa yang ada di dalam brankas itu. Shena menyimpan rahasia besar tentang tempat yang dirawat oleh Bi Sumi, sebuah rumah yang jauh lebih besar dan lebih nyaman daripada rumah yang mereka tinggali sekarang. Shena merapikan dokumen-dokumen penting itu, memastikan semuanya lengkap dan aman. Surat tanah, akta rumah, dan beberapa dokumen lainnya ia masukkan ke dalam tas besar yang akan segera dibawanya. Ia tahu, rumah besar miliknya itu adalah tempat yang aman bagi barang-barang berharga ini. Arya tidak akan pernah tahu bahwa Shena memiliki rumah lain. Yang dia tahu, hanya rumah yang mereka tempati saat ini, rumah yang katanya hasil jerih payah kedua orang tua Shena sebelum meninggal. *** Arya duduk di ruang keluarga dengan ekspresi kosong pagi itu. Pikirannya melayang pada pertengkaran yang terjadi semalam. Suar
Rumah Shena yang biasanya tenang kini terasa seperti medan perang yang penuh ketegangan. Bu Surti berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya tajam mengawasi Vidya yang baru saja keluar dari kamar Aulia dengan wajah merah padam."Vidya, apa yang baru saja kau lakukan di dalam kamar anakku?" Tanya wanita paruh baya tersebut, penuh dengan kecurigaan."Oh ... nggak apa-apa, Bu. Aku hanya ingin memastikan, kalau anak gadis kesayangan Ibu baik-baik aja. Karena, sepertinya dia lagi patah hati," jawab Vidya yang sengaja memancing emosi mertuanya."Omong kosong! Ingat, jangan pernah ganggu anak gadisku, dan meracuni otaknya dengan semua kebohonganmu. Sekarang, cepat buatkan teh manis hangat. Shena baru pulang kerja, dia pasti kelelahan," perintah Bu Surti tanpa basa-basi.Vidya mengerutkan kening, tapi tidak berani membantah. Dalam hati, ia menggerutu karena kesal. 'Teh manis hangat? Aku ini menantunya, bukan babu!'Tapi, demi menjaga suasana rumah tetap kondusif, ia melangkah dengan terp
"Kenapa dia nggak masuk?" gumam Aulia dengan frustrasi.Meski begitu, ia tetap menyimpan video rekaman tersebut. Baginya, itu sudah cukup untuk menjadi senjata jika nanti dibutuhkan.Saat Ervan kembali melajukan mobilnya, Aulia dengan cepat memberi arahan kepada sopir taksi untuk kembali mengikuti. Namun, kali ini, sopirnya terlihat ragu."Maaf, Mbak. Saya nggak bisa terlalu lama di sini. Ada pesanan lain," katanya.Aulia menatap sopir itu tajam, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. "Ini untuk tambahan. Yang penting, ikuti saja mobil itu."Dengan berat hati, sopir itu menurut.Mobil Ervan berbelok ke jalan yang lebih sepi, menuju rumahnya. Aulia terus mengawasi, meski rasa lelah makin menyerang. Dalam hatinya, ia bertekad membongkar hubungan Ervan dan Shena, apa pun risikonya.Tapi, sebuah pikiran mulai mengganggunya. "Bagaimana jika mereka memang tidak ada apa-apa? Apa aku hanya membuang waktu?"Akhirnya, gadis itu pun memutuskan untuk pulang.***Sesampainya di rum