Dua minggu telah berlalu sejak Arya dan Anna menyerahkan sampel DNA ke laboratorium di rumah sakit. Selama dua minggu ini, Arya mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia tetap bekerja, tetap pulang ke rumah setiap malam, dan tetap berusaha untuk bersikap normal di hadapan Vidya. Tapi jauh di dalam hatinya, ada sebuah ketakutan yang terus menghantui. Pagi itu, ponselnya bergetar saat ia sedang duduk di meja makan, menyeruput kopi yang terasa hambar di lidahnya. Layar ponsel menampilkan nama sebuah rumah sakit. Saat itu pula, jantungnya langsung terasa berdetak lebih cepat."Halo?" suaranya terdengar sedikit bergetar._"Selamat pagi, Bapak Arya. Kami dari bagian laboratorium Rumah Sakit Sumber Medika. Hasil tes DNA Anda sudah keluar dan bisa diambil hari ini."_Mendengar informasi tersebut, Arya menelan ludahnya. "Baik, nanti siang akan saya ambil."Setelah menutup telepon, Arya menatap kosong ke depan. Vidya, yang sejak tadi duduk di seberangnya sambil menggendong Arvi, menyada
Hati Shena terasa bergemuruh ketika telinganya mendengar suara derit ranjang di dalam kamar tidurnya.Wanita itu baru saja kembali dari luar kota setelah melakukan pertemuan dengan beberapa desainer ternama, untuk mengikuti pameran dan peragaan busana tradisional di kota tersebut dalam rangka memeriahkan acara kemerdekaan.Shena berjalan secepat mungkin, memastikan bunyi suara itu. Kedua bola mata Shena membelalak dengan sempurna, ketika melihat sang suami dengan lancangnya berani menggunakan ranjang miliknya untuk berbagi keringat dan melakukan penyatuan bersama wanita lain."Menjijikan! Teganya kamu ngelakuin ini sama aku, Mas!" batin Shena bergemuruh menahan amarah. Kedua pelupuk matanya mulai berembun.Arya memang teledor. Pria tinggi berkulit sawo matang tersebut selalu lupa untuk menutup pintu jika nafsunya ingin segera disalurkan.Dengan sekuat tenaga wanita cantik berambut panjang itu meredam emosinya sendiri. Dengan tangan yang gemetar, wanita berusia tiga puluh lima tahun it
"Shena, tolong maafkan kami. Hentikan hukuman ini, dan izinkanlah aku menikahi Vidya," pinta Arya yang menangkupkan kedua telapak tangannya, dengan wajah penuh penyesalan.Shena tersenyum sinis, sambil menatap tajam ke netra sang suami."Mas Arya, apa kamu pikir sejak tadi aku sedang menghukum kekasih gelapmu?" tanya Shena dengan nada penuh cemoohan.Arya menoleh, menatap Irma yang masih terengah-engah karena emosi yang terus bergelora di dalam hatinya.Sejatinya, Irma ingin memberikan hukuman yang lebih pedih lagi pada Vidya. Namun, ingatan akan pesan almarhum kedua orang tua mereka muncul kembali, untuk melindungi adik satu-satunya itu. Dilanda rasa penyesalan, kekecewaan, dan kemarahan, Irma merasa seolah telah gagal menjalankan amanat yang diberikan kedua orang tua mereka.Ia menatap Vidya dan Arya dengan penuh kebencian, menahan tangis yang hendak pecah melampaui embun yang menggelayuti wajahnya."Mas Arya, aku memang menghormatimu karena kau adalah suami dari bosku --- Mbak Sena
Perut Shena terasa tergelitik, mendengar perkataan suaminya yang terkesan tak tahu malu. Malah meminta uang mahar untuk menikahi madunya. Wanita itu menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan suami dan madunya, mereka sama-sama tidak tahu malu di matanya."Cih, yang benar saja? Gaya selangit, pakai selingkuh segala, giliran mahar pinjam ke istri, memalukan sekali," timpal Shena, geli dengan tingkah suaminya itu.Arya meringis, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Mau bagaimana lagi, saat ini di dompetnya kosong dan tidak ada uang cash sama sekali. Uangnya sudah habis, membayar belanjaan Vidya yang banyak maunya."Ayolah, Sayang. Pinjam dulu untuk mahar. Aku bakal ganti dengan jumlah yang lebih besar. Bantu aku, ya?" pinta Arya. Ia memohon pada istrinya dengan wajah tanpa dosa.Jangan tanyakan, bagaimana perasaan Shena saat ini. Sedih, kesal, sekaligus jijik secara bersamaan. "Nggak usah diganti. Anggap saja sumbanganku untuk wanita sundal itu!" kesal Shena, mengambil dompet da
"Sayang, kamu bilang apa barusan, Nak? Jangan bercanda! Kenapa kamu mengizinkan wanita perusak kebahagiaanmu tinggal satu atap denganmu? Kenapa?" Bu Surti mencecar Shena dengan banyak pertanyaan, tidak percaya dengan menantunya."Karena aku ingin memberikan dia pelajaran, Bu." Bisik Shena, saat Bu Surti memeluk tubuhnya erat."Aku nggak akan diam, saat ditindas seperti ini," lanjutnya.Bu Surti mengurai pelukannya secara perlahan, menatap nanar sang menantu dengan mata berkaca-kaca."Baiklah, Shena. Apapun rencanamu, ingatlah bahwa Ibu akan selalu mendukungmu sepenuh hati." Kedua telapak tangan Bu Surti membelai wajah Shena dengan penuh kasih sayang."Sabarlah, Sayang. Jangan khawatir, Ibu tidak akan tinggal diam melihat wanita tidak tahu malu itu berani menyakiti menantu kesayangan Ibu." Genangan air mata menyeruak di sudut mata Bu Surti, tapi wanita paruh baya itu mencoba untuk menahan sekuat tenaga agar tak meluncur jatuh."Vidya!" teriak Irma, wajahnya memerah karena amarah terhad
"Mbak Shena, Bu Surti, aku minta maaf atas kesalahan yang telah Vidya lakukan, a--""Sudahlah, Ir, kamu nggak salah. Jangan pernah meminta maaf atas kesalahan yang nggak pernah kamu lakukan," ujarku memotong ucapan Irma, dengan nada yang tegas dan penuh empati, sebelum asistenku itu selesai berbicara.Irma tampak semakin menunduk, tatapannya getir, terlihat air mata mulai menggenang di kelopak matanya yang menyiratkan kepedihan yang mendalam. Dia terus berjuang menahan tangis."Ir, aku tahu, sebelum aku merasakan kejadian seperti ini, kamu sudah mengalaminya lebih dulu. Jangan khawatir, aku nggak akan berbuat jahat terhadap adikmu." Ucapku sambil menatap Irma dalam-dalam, berusaha merasakan apa yang dirasakannya."Aku hanya ingin memberikan dia pelajaran saja, supaya dia sadar jika mengambil milik orang lain itu tidak akan selamanya bahagia," sambungku, dengan harapan ucapanku bisa menenangkan hati dan pikiran Irma yang bergolak."Nanti kunci mobilku ini kamu titipkan saja pada Bi Ira
"Kamu bisa istirahat di kamar yang itu!" Jari telunjuk Shena mengarah pada satu kamar yang membuat adik madunya itu nampak terkejut.Vidya membelalak, ia terperangah tatkala Shena menunjuk sebuah kamar yang terletak di area belakang rumah.Sebuah kamar kecil yang Vidya tahu itu adalah kamar Bi Sumi --- asisten rumah tangga di kediaman ini. Ruangan itu selalu dipakai Bi Sumi, jika dia menginap.Shena tersenyum melihat Vidya yang tercengang, netranya menatap nanar pada adik madu yang selalu kurang ajar. "Maksud Mbak Shena apa menunjuk-nujuk kamar Bi Sumi?" tanya Vidya. Nada bicaranya sedikit naik, seperti tidak terima.Tertawa samar, Shena bersedekap dada. "Nggak usah pura-pura bodoh, Vidya. Aku tahu kamu paham maksduku.""Jadi Mbak Shena nyuruh aku tidur di kamar pembantu? Ck, apa-apaan, aku nggak mau!" Vidya menyentak kesal.Arya pun jadi ikut tidak terima. Dari sekian banyaknya ruangan, kenapa Shena memilih kamar pem
"Rambut Vidya yang dulu sangat indah, sekarang malah berantakan tak beraturan, membuatku tak lagi memiliki hasrat padanya.""Aargh!" Aku mengacak rambutku dengan kasar, ketika melihat Vidya yang sudah terlelap dalam tidurnya di kamar Bi Sumi yang sesak ini.Kenapa perasaanku jadi terganggu saat melihat rambut pendek Vidya yang terpotong sembarangan?Ah, ini semua adalah kesalahanku yang terburu-buru mengajak Vidya bercinta di rumah ini. Siapa sangka, Shena pulang dari luar kota lebih awal dan malah memergoki kami berdua."Vid, geser, Mas juga ngantuk, mau tidur!" Aku menggoyangkan tubuh Vidya yang matanya sudah terpejam."Ck! Mas Arya ganggu aja, sih. Aku ngantuk banget, Mas ...." Vidya meracau dengan mata yang masih tertutup rapat.Dulu, saat Vidya masih menjadi selingkuhanku, aku begitu menikmati ketika melihat wajahnya tertidur dengan lelap. Tapi sekarang, kecantikannya sudah luntur.Kalau saja dia tidak mengandung anakku, sudah pasti aku tak ingin menikahinya. Begitu dalam penyesa
Dua minggu telah berlalu sejak Arya dan Anna menyerahkan sampel DNA ke laboratorium di rumah sakit. Selama dua minggu ini, Arya mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia tetap bekerja, tetap pulang ke rumah setiap malam, dan tetap berusaha untuk bersikap normal di hadapan Vidya. Tapi jauh di dalam hatinya, ada sebuah ketakutan yang terus menghantui. Pagi itu, ponselnya bergetar saat ia sedang duduk di meja makan, menyeruput kopi yang terasa hambar di lidahnya. Layar ponsel menampilkan nama sebuah rumah sakit. Saat itu pula, jantungnya langsung terasa berdetak lebih cepat."Halo?" suaranya terdengar sedikit bergetar._"Selamat pagi, Bapak Arya. Kami dari bagian laboratorium Rumah Sakit Sumber Medika. Hasil tes DNA Anda sudah keluar dan bisa diambil hari ini."_Mendengar informasi tersebut, Arya menelan ludahnya. "Baik, nanti siang akan saya ambil."Setelah menutup telepon, Arya menatap kosong ke depan. Vidya, yang sejak tadi duduk di seberangnya sambil menggendong Arvi, menyada
"Cuma apa?" potong Arya dengan cepat. "Cuma mau memastikan Arvi selalu ada di dekatmu, biar aku nggak punya kesempatan buat bawa dia ke rumah sakit?""Mas Arya!" Vidya terperanjat. "Aku cuma … aku cuma nggak mau ada masalah dalam rumah tangga kita! Aku takut semuanya hancur!"Arya tertawa pendek, penuh kepahitan. "Semuanya hancur? Kamu pikir aku nggak takut? Aku juga nggak mau rumah tangga ini berantakan, Vidya! Sudah cukup rumah tanggaku dengan Shena berantakan gara-gara kamu muncul dalam hidup aku. Aku juga nggak mau hidup dalam kebohongan!"Vidya terdiam. Ia ingin membela diri, tetapi hatinya dipenuhi ketakutan."Aku nggak minta banyak, Vid," lanjut Arya dengan suaranya yang lebih lirih, tapi tetap terdengar tegas. "Aku cuma mau kepastian. Kalau memang Arvi adalah anak kandungku, aku sangat bersyukur dan akan tetap mencintaimu dengan sepenuh hati. Tapi kalau ternyata bukan ...."Arya menatap istrinya dengan tajam. "Aku nggak tahu apa aku masih bisa bertahan dalam rumah tangga yang
"Aku setuju tes DNA dilakukan besok," ucap Arya akhirnya.Anna tersenyum tipis, akhirnya sang adik menyetujui. "Bagus kalau kamu sudah yakin.""Tapi, ada masalah," lanjut Arya dengan nada serius. "Aku nggak punya uang cukup buat tesnya, Mbak."Anna mengerutkan kening, menatap adiknya dengan penuh selidik. "Memangnya, kamu butuh berapa?""Aku belum cek biaya pastinya, Mbak. Tapi, tes DNA di rumah sakit itu pasti nggak murah," Arya mengusap tengkuknya dengan canggung. "Makanya aku mau minta bantuanmu, Mbak. Bisa nggak, aku pinjam uang dulu?"Anna menatap Arya lekat-lekat, memastikan apakah adiknya benar-benar serius. Ia tahu kondisi keuangan Arya memang sedang sulit. Sebagai sopir taksi online, penghasilannya pas-pasan, apalagi sekarang Vidya sudah tidak bekerja semenjak menikah dengan Arya."Aku nggak masalah bantuin kamu," jawab Anna akhirnya. "Tapi, kalau hasilnya nanti beneran nunjukin kalau Arvi bukan anak kamu, apa kamu berani ambil tindakan?"Mendengar itu, Arya terdiam. Pertanya
Setelah masuk ke dalam kamar, Vidya langsung mengunci pintunya rapat-rapat. Ia bahkan memastikan jendela juga terkunci. Ia tak mau ada seorang pun yang masuk atau mencoba mengambil sesuatu dari dalam kamar ini.Sementara itu, di luar kamar, Anna berdiri bersedekap dengan ekspresi dingin. Ia sudah menduga Vidya akan melakukan hal ini, mengurung diri bersama dengan bayinya. Namun, kali ini ia tidak akan tinggal diam.Anna menunggu di luar kamar dengan penuh kesabaran. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik Vidya, mengamati apakah ada celah yang bisa dimanfaatkan.Ternyata, usahanya tidak sia-sia.Ketika sore mulai menjelang, Anna mendengar suara kunci kamar yang diputar. Ia segera berpura-pura sedang sibuk dengan ponselnya. Namun, ekor matanya tetap mengawasi.Vidya keluar dari kamar dengan wajah sedikit lelah, tetapi ekspresi tegang masih jelas terlihat di wajahnya.Anna memperhatikan dengan saksama."Kenapa dia keluar kamar?" pikirnya.Saat Vidya berjalan menuju kamar mandi, Anna memperh
Siang itu, suasana rumah masih terasa tegang. Vidya terus-terusan menempel pada Arvi, seolah tak ingin bayi itu lepas dari gendongannya. Bahkan, saat makan pun, ia tetap menggendong sang putra.Arya yang duduk di meja makan hanya bisa menatap istrinya dengan pandangan penuh tanya. Sejak pagi, Vidya tampak semakin aneh. Ia tidak membiarkan siapa pun menyentuh Arvi, bahkan Arya sendiri.Saat tangan Arya terulur ingin mengusap kepala bayinya, Vidya langsung memundurkan tubuhnya sedikit, menghindar tanpa terlihat mencolok."Kamu kenapa, Vid?" tanya Arya akhirnya, dengan suaranya yang datar, dan sorot matanya yang menatap tajam.Vidya tersentak, lalu terkekeh kecil. "Nggak kenapa-napa, Mas. Aku cuma lagi menikmati waktu sama Arvi."Arya mengangkat alis, merasa tidak percaya. "Bahkan aku aja nggak boleh gendong Arvi? Sejak kapan kamu kayak gini?"Vidya berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa dag-dig-dug. "Bukan gitu, Mas. Arvi kan masih kecil. Aku nggak mau dia rewel kalau digendong ora
Ia menunduk, menenangkan Arvi yang mulai menggeliat dalam gendongannya. Vidya pun menghela napas panjang."Sial," desisnya. "Aku nggak boleh panik, dan aku harus berpikir jernih."Jika benar Arya sudah mulai curiga, maka itu berarti ia harus mencari cara lain untuk mengendalikan keadaan. Mengandalkan Yudi jelas bukan pilihan. Pria itu terlalu bodoh untuk memahami situasi.Vidya menegakkan punggungnya, memasukkan amplop itu ke dalam saku celananya. Matanya mulai mencari-cari seseorang di sekitar taman. Ia harus memastikan bahwa tidak ada yang mengawasinya.Tapi, tanpa Vidya sadari, seseorang masih berdiri di balik pohon besar, mengamati semua yang terjadi.Anna menggenggam ponselnya erat-erat, jantungnya berdegup kencang. Ia sudah mendengar semuanya. Setiap kata yang keluar dari mulut Vidya dan Yudi telah ia rekam.Anna mengusap tengkuknya yang dingin. Apa yang baru saja ia dengar bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Fakta bahwa Arvi bukan anak kandung Arya adalah sebuah bom besar y
"Uang," jawab Yudi dengan singkat. "Gunakan ini buat jaga-jaga. Kalau Arya sampai kepikiran tes DNA, kamu tahu harus gimana, kan?"Vidya pun semakin gelisah. "Tapi ....""Jangan banyak tanya, Vidya," potong Yudi dengan tajam. "Ini buat kebaikan kita semua. Aku nggak mau ada masalah."Vidya menggigit bibirnya, lalu menerima amplop itu dengan rasa penasaran, berapa banyak uang yang ia terima.Ia segera membuka amplop yang baru saja diberikan Yudi. Dengan cepat, ia menarik isinya dan mulai menghitungnya di hadapan pria itu. Matanya menyipit saat melihat jumlahnya. Hanya sepuluh lembar uang seratus ribuan.Vidya mendengkus, lalu menatap Yudi dengan ekspresi tak percaya. "Serius? Kamu kasih aku uang cuma satu juta?"Yudi memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, ekspresinya tetap datar. "Memangnya kamu berharap berapa?"Vidya mendekatkan wajahnya, menurunkan suaranya agar tidak terdengar oleh siapa pun di sekitar mereka. "Kalau kamu pikir aku bisa nyogok dokter buat memalsukan hasil tes
Arya mendesah pelan, lalu menundukkan kepala. "Aku … nggak punya cukup uang buat itu, Mbak."Anna terdiam. Ia tahu bahwa setelah kehilangan pekerjaan lamanya, Arya kini hanya bekerja sebagai sopir taksi online. Penghasilannya pas-pasan, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, terutama untuk Arvi."Tes DNA itu mahal," lanjut Arya dengan suara berat. "Aku bahkan belum bisa menabung, karena semua uangku habis buat beli susu dan kebutuhan Arvi."Anna menatapnya dengan penuh simpati."Mbak ngerti, Arya. Mbak juga nggak mau maksa kamu untuk Tes DNA, kalau memang kamu belum siap." Ia menghela napas sejenak, lalu menatap wajah adiknya yang kini tampak lebih tua dari usianya. "Tapi kalau kamu benar-benar ingin tahu kebenarannya, kamu harus cari cara. Mungkin bisa mulai menabung sedikit demi sedikit dari sekarang. Ya, meskipun akhirnya entah kapan tes itu bisa dilakukan."Arya memijat pelipisnya, merasa semakin terbebani. "Aku takut, Mbak."Anna menatap adiknya dalam-dalam. "Kamu takut kalau t
Vidya tertegun. Ia tidak menyangka Arya akan menanyakan hal itu."Maksud Mas Arya apa?" tanya Vidya yang memaksakan diri dan berusaha tersenyum, meskipun jantungnya mulai berdebar tak menentu karena merasa tak nyaman mendengar pertanyaan dari suaminya.Arya menelan ludah dengan susah payah. "Aku nggak tahu kenapa, tapi … aku merasa dia nggak mirip sama aku, atau kamu."Ruangan mendadak terasa lebih sunyi. Vidya memandang wajah bayi mereka, lalu kembali menatap Arya."Mas … kenapa tiba-tiba mikirin hal kayak gitu?" tanya Vidya, mencoba untuk tetap tenang.Arya mengusap wajahnya, merasa bimbang apakah ia harus melanjutkan ucapannya atau tidak. Namun, pikiran itu terus menghantuinya."Aku tahu ini mungkin cuma perasaan anehku aja," katanya pelan. "Tapi … selama ini aku berusaha meyakinkan diri sendiri kalau aku cuma berlebihan. Tapi sekarang, aku nggak bisa lagi. Aku merasa … Arvi lebih mirip seseorang yang kita kenal."Vidya merasakan napasnya tercekat. Tangannya secara refleks menggeng