Hati Shena terasa bergemuruh ketika telinganya mendengar suara derit ranjang di dalam kamar tidurnya.
Wanita itu baru saja kembali dari luar kota setelah melakukan pertemuan dengan beberapa desainer ternama, untuk mengikuti pameran dan peragaan busana tradisional di kota tersebut dalam rangka memeriahkan acara kemerdekaan.
Shena berjalan secepat mungkin, memastikan bunyi suara itu. Kedua bola mata Shena membelalak dengan sempurna, ketika melihat sang suami dengan lancangnya berani menggunakan ranjang miliknya untuk berbagi keringat dan melakukan penyatuan bersama wanita lain.
"Menjijikan! Teganya kamu ngelakuin ini sama aku, Mas!" batin Shena bergemuruh menahan amarah. Kedua pelupuk matanya mulai berembun.
Arya memang teledor. Pria tinggi berkulit sawo matang tersebut selalu lupa untuk menutup pintu jika nafsunya ingin segera disalurkan.
Dengan sekuat tenaga wanita cantik berambut panjang itu meredam emosinya sendiri. Dengan tangan yang gemetar, wanita berusia tiga puluh lima tahun itu memberanikan diri untuk mengambil ponsel di dalam tasnya, kemudian merekam adegan tak senonoh yang kini terpampang di depan matanya.
Napas Shena semakin sesak ketika melihat sang suami yang dicintainya sangat menikmati suguhan dari kekasih gelapnya itu.
"A -- aku sangat mencintaimu, Vid," ucap Arya ditengah permainannya dengan suara yang terdengar parau.
Vidya merupakan seorang kasir yang bekerja di butik milik Shena. Kini wanita itu dengan lancangnya berani mengambil pria yang telah menjadi haknya secara utuh.
Shena kini benar-benar mati rasa terhadap suaminya sendiri.
Ketika kedua pengkhianat itu selesai melakukan pelepasan, Shena mematikan ponselnya karena merasa rekaman tadi sudah cukup untuk menjadi barang bukti saat mengajukan perceraian ke pengadilan nanti.
Benar! Tekad Shena sudah bulat karena dirinya akan menggugat Arya, agar bisa segera lepas dari pria itu.
"Apa harus kulabrak sekarang juga?" Shena bertanya pada dirinya sendiri.
"Ah, tidak! sebaiknya aku harus menghubungi seseorang."
Shena bergegas menuju ruang tamu. Dia mencari nama seseorang di salah satu daftar kontak ponselnya untuk dihubungi.
"Irma, tolong ke rumahku sekarang!" titah Shena pada wanita seusianya, yang merupakan asisten desainer di butik miliknya.
Tak butuh waktu lama untuk menunggu, Irma kini sudah berada di hadapan Shena. Wanita berambut sebahu itu terlihat terengah-engah, seolah dia baru saja berjalan dengan sangat cepat.
Shena dan Irma tinggal di satu komplek perumahan.
"Mbak Shena, apakah ada masalah penting? Maaf, biasanya Mbak Shena mene--"
"Sstt!!" Shena menempelkan jari telunjuk di depan mulutnya sendiri.
"Mbak Shena baik-baik aja, kan?" tanya Irma heran sekaligus khawatir.
"Sstt!!" seru Shena kini dengan mata melotot memberi aba-aba.
"Kenapa?" tanya Irma heran dengan suara berbisik.
"Ayo ikut aku, Ir!" Shena berbisik di telinga asistennya tersebut. Cengkeraman Shena sangat kuat di pergelangan tangan Irma.
"Ada apa sih, Mbak Shena?" tanya Irma yang menyeret kakinya dengan cepat, untuk menyeimbangkan langkahnya dengan Shena.
Sebenarnya Shena dilema melakukan ini. Ada rasa malu jikalau nanti semua warga juga harus mengetahui kelakuan suaminya yang sedang bermain di atas ranjang dengan adik kandung Irma.
Kadung hatinya merasa tersayat ribuan sembilu, Shena mencoba menutup mata hatinya dan berusaha untuk tak peduli dengan apa yang akan warga katakan nanti jika mengetahui tentang rumah tangganya yang karam diterpa perselingkuhan.
Shena membawa Irma menuju kamar utama yang berhadapan dengan ruang keluarga.
Shena mendorong Irma dengan seluruh emosinya, menyebabkan wanita bertubuh mungil itu menabrak pintu kamar yang tidak terkunci.
Pintu tersebut kini terbuka dengan lebar dan menampakkan dua insan yang masih menikmati permainannya berkali-kali hingga berkeringat.
"Lihat itu! Lihat, Irma!" perintah Shena pada Irma.
"Vidya!" pekik Irma dengan kencang.
Kedua bola mata Irma kini nampak merah menahan emosi, melihat kelakuan adik kesayangannya yang sangat mem4luk4n. Dia tidak menyangka, jika adik yang sangat disayanginya itu tega membuang kotoran di mukanya dengan melakukan hal seperti ini, selingkuh dengan suami atasannya sendiri.
Arya dan Vidya yang tampak terkejut bersembunyi di balik selimut. Reflek Irma masuk ke kamar tersebut dan menjambak rambut panjang Vidya dengan kuat hingga rontok beberapa helai.
"Aw! Lepasin, Mbak Irma. Jangan tarik rambut aku!" teriak Vidya dengan suaranya yang terdengar kesakitan akibat jambakan dari sang kakak dengan balutan emosi dalam dirinya.
Irma sama sekali tak menggubris teriakan sang adik. Wanita itu terus menyeret Vidya hingga ke ruang tamu dengan tubuh yang masih polos.
"Mbak, ampun, Mbak!"
Jambakannya dilepas, Irma mengempaskan tubuh Vidya ke lantai dengan sangat kencang.
Sementara Shena yang melihat adegan itu, masih berdiri di hadapan Arya yang sedang sibuk mengambil pakaiannya yang berserakan di kamar tersebut.
"Mas minta maaf, sayang. Mas bisa menjelaskan semuanya sama kamu," ucap Arya memelas sambil mengenakan bajunya dengan cepat.
Pria itu cepat-cepat berlari keluar kamar menuju ruang tamu sambil membawa pakaian milik Vidya.
PLAK!
Irma mendaratkan telapak tangannya di pipi kanan Vidya hingga gadis itu merasa kebas.
PLAK!
Sekali lagi Irma mendaratkan lima jarinya di pipi sebelah kiri sang adik untuk melampiaskan emosi yang sudah tak bisa dia kontrol.
"Kamu sungguh memalukan, Vidya! dasar wanita murahan!" umpat Irma yang kembali menjambak rambut sang adik.
"Irma, hentikan!" seru Arya yang berlari menghampiri kekasih gelapnya dan memeluk Vidya dengan erat.
"Tolong jangan lakukan itu, dia sedang hamil!" tukas Arya sambil membantu sang kekasih untuk mengenakan pakaiannya.
"A–apa? Hamil!" teriak Irma tidak percaya.
Beberapa warga yang kebetulan sedang melintas, tidak sengaja mendengar keributan di dalam rumah itu dan langsung masuk tanpa permisi secara bersamaan.
"Hei, Arya, apa yang kau lakukan!" pekik seorang ibu yang melihat suami Shena memakaikan baju pada Vidya, namun masih tetap terlihat berantakan karena memasangkan kancing yang tidak pada lubangnya.
"Mereka berdua telah melakukan zina, Bu Sita!" jerit Irma dengan penuh emosi.
"Astaghfirullah! Dewi, tolong panggil Pak RT, kita harus melaporkan masalah ini!" seru Bu Sita pada warga yang lain.
Shena hanya mematung menonton pertunjukkan tersebut tanpa sepatah kata pun. Wanita itu tak ingin mengotori tangan dan mulutnya untuk menghakimi dua orang pengkhianat yang ada di hadapannya.
Pak RT dan beberapa warga kini hadir berbondong-bondong ke rumah Shena dan Arya.
Semua warga nampak emosi mendengar berita perselingkuhan sekaligus perzinahan yang dilakukan oleh pasangan tidak halal itu. Apalagi saat mereka melihat Arya yang begitu menjaga Vidya saat massa berkerumun. Hal ini membuat para warga merasa jengkel dan emosi, khususnya ibu-ibu komplek perumahan yang kini berada di rumah Arya dan Shena.
"Pak RT, sebaiknya kita arak keliling komplek saja mereka berdua, biar kapok!" seru Bu Sita pada Pak Erwin.
"Ampun, jangan Pak Erwin! Tolong jangan di arak keliling komplek. Kami berdua mengaku salah!" Arya memohon pada Pak RT dan seluruh warga.
"Selingkuh aja nggak malu, tapi giliran mau diarak, kalian ngerasa malu! dasar nggak punya pikiran, malu-maluin!"
"Tahu nih, ngotorin komplek kita aja! Huuuu!!!"
Sorak para warga yang merasa geram pada Arya dan Vidya.
Pak RT lalu memerhatikan Shena yang masih diam seribu bahasa.
"Mbak Shena, bagaimana? Apakah mau kita arak hingga ke Balai Desa lalu menikahkan mereka?" tanya Pak RT yang meminta persetujuan istri sah Arya tersebut.
Shena masih berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada, mencoba menahan emosi yang sejak tadi ingin meledak.
"Maaf para warga, kita tidak usah repot-repot mengarak mereka berdua keliling komplek. Lagi pula, pasti seluruh warga di sini lama kelamaan akan mengetahui berita ini. Saya hanya ingin Irma yang menghukum adik kesayangannya, agar tahu diri dan merasakan bagaimana rasanya sakit hati!"
Irma merasa bingung, hukuman apa yang harus diberikan pada adiknya itu. Karena merasa pernah diselingkuhi, tanpa berpikir panjang akhirnya wanita itu meraih sebuah gunting yang tergeletak di atas meja, kemudian memotong rambut adiknya dengan tidak teratur, hingga hanya tersisa lima sentimeter.
"Ampun, Mbak Irma, ampun! tolong jangan potong rambut aku, Mbak!" Vidya tersedu saat helaian rambut indahnya sudah tidak menjadi mahkota di kepalanya lagi.
"Ini hukuman buat kamu karena sudah menjadi perusak rumah tangga bosmu sendiri!"
"Shena, tolong maafkan kami. Hentikan hukuman itu, dan bolehkah aku menikahi Vidya?"
***
"Shena, tolong maafkan kami. Hentikan hukuman ini, dan izinkanlah aku menikahi Vidya," pinta Arya yang menangkupkan kedua telapak tangannya, dengan wajah penuh penyesalan.Shena tersenyum sinis, sambil menatap tajam ke netra sang suami."Mas Arya, apa kamu pikir sejak tadi aku sedang menghukum kekasih gelapmu?" tanya Shena dengan nada penuh cemoohan.Arya menoleh, menatap Irma yang masih terengah-engah karena emosi yang terus bergelora di dalam hatinya.Sejatinya, Irma ingin memberikan hukuman yang lebih pedih lagi pada Vidya. Namun, ingatan akan pesan almarhum kedua orang tua mereka muncul kembali, untuk melindungi adik satu-satunya itu. Dilanda rasa penyesalan, kekecewaan, dan kemarahan, Irma merasa seolah telah gagal menjalankan amanat yang diberikan kedua orang tua mereka.Ia menatap Vidya dan Arya dengan penuh kebencian, menahan tangis yang hendak pecah melampaui embun yang menggelayuti wajahnya."Mas Arya, aku memang menghormatimu karena kau adalah suami dari bosku --- Mbak Sena
Perut Shena terasa tergelitik, mendengar perkataan suaminya yang terkesan tak tahu malu. Malah meminta uang mahar untuk menikahi madunya. Wanita itu menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan suami dan madunya, mereka sama-sama tidak tahu malu di matanya."Cih, yang benar saja? Gaya selangit, pakai selingkuh segala, giliran mahar pinjam ke istri, memalukan sekali," timpal Shena, geli dengan tingkah suaminya itu.Arya meringis, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Mau bagaimana lagi, saat ini di dompetnya kosong dan tidak ada uang cash sama sekali. Uangnya sudah habis, membayar belanjaan Vidya yang banyak maunya."Ayolah, Sayang. Pinjam dulu untuk mahar. Aku bakal ganti dengan jumlah yang lebih besar. Bantu aku, ya?" pinta Arya. Ia memohon pada istrinya dengan wajah tanpa dosa.Jangan tanyakan, bagaimana perasaan Shena saat ini. Sedih, kesal, sekaligus jijik secara bersamaan. "Nggak usah diganti. Anggap saja sumbanganku untuk wanita sundal itu!" kesal Shena, mengambil dompet da
"Sayang, kamu bilang apa barusan, Nak? Jangan bercanda! Kenapa kamu mengizinkan wanita perusak kebahagiaanmu tinggal satu atap denganmu? Kenapa?" Bu Surti mencecar Shena dengan banyak pertanyaan, tidak percaya dengan menantunya."Karena aku ingin memberikan dia pelajaran, Bu." Bisik Shena, saat Bu Surti memeluk tubuhnya erat."Aku nggak akan diam, saat ditindas seperti ini," lanjutnya.Bu Surti mengurai pelukannya secara perlahan, menatap nanar sang menantu dengan mata berkaca-kaca."Baiklah, Shena. Apapun rencanamu, ingatlah bahwa Ibu akan selalu mendukungmu sepenuh hati." Kedua telapak tangan Bu Surti membelai wajah Shena dengan penuh kasih sayang."Sabarlah, Sayang. Jangan khawatir, Ibu tidak akan tinggal diam melihat wanita tidak tahu malu itu berani menyakiti menantu kesayangan Ibu." Genangan air mata menyeruak di sudut mata Bu Surti, tapi wanita paruh baya itu mencoba untuk menahan sekuat tenaga agar tak meluncur jatuh."Vidya!" teriak Irma, wajahnya memerah karena amarah terhad
"Mbak Shena, Bu Surti, aku minta maaf atas kesalahan yang telah Vidya lakukan, a--""Sudahlah, Ir, kamu nggak salah. Jangan pernah meminta maaf atas kesalahan yang nggak pernah kamu lakukan," ujarku memotong ucapan Irma, dengan nada yang tegas dan penuh empati, sebelum asistenku itu selesai berbicara.Irma tampak semakin menunduk, tatapannya getir, terlihat air mata mulai menggenang di kelopak matanya yang menyiratkan kepedihan yang mendalam. Dia terus berjuang menahan tangis."Ir, aku tahu, sebelum aku merasakan kejadian seperti ini, kamu sudah mengalaminya lebih dulu. Jangan khawatir, aku nggak akan berbuat jahat terhadap adikmu." Ucapku sambil menatap Irma dalam-dalam, berusaha merasakan apa yang dirasakannya."Aku hanya ingin memberikan dia pelajaran saja, supaya dia sadar jika mengambil milik orang lain itu tidak akan selamanya bahagia," sambungku, dengan harapan ucapanku bisa menenangkan hati dan pikiran Irma yang bergolak."Nanti kunci mobilku ini kamu titipkan saja pada Bi Ira
"Kamu bisa istirahat di kamar yang itu!" Jari telunjuk Shena mengarah pada satu kamar yang membuat adik madunya itu nampak terkejut.Vidya membelalak, ia terperangah tatkala Shena menunjuk sebuah kamar yang terletak di area belakang rumah.Sebuah kamar kecil yang Vidya tahu itu adalah kamar Bi Sumi --- asisten rumah tangga di kediaman ini. Ruangan itu selalu dipakai Bi Sumi, jika dia menginap.Shena tersenyum melihat Vidya yang tercengang, netranya menatap nanar pada adik madu yang selalu kurang ajar. "Maksud Mbak Shena apa menunjuk-nujuk kamar Bi Sumi?" tanya Vidya. Nada bicaranya sedikit naik, seperti tidak terima.Tertawa samar, Shena bersedekap dada. "Nggak usah pura-pura bodoh, Vidya. Aku tahu kamu paham maksduku.""Jadi Mbak Shena nyuruh aku tidur di kamar pembantu? Ck, apa-apaan, aku nggak mau!" Vidya menyentak kesal.Arya pun jadi ikut tidak terima. Dari sekian banyaknya ruangan, kenapa Shena memilih kamar pem
"Rambut Vidya yang dulu sangat indah, sekarang malah berantakan tak beraturan, membuatku tak lagi memiliki hasrat padanya.""Aargh!" Aku mengacak rambutku dengan kasar, ketika melihat Vidya yang sudah terlelap dalam tidurnya di kamar Bi Sumi yang sesak ini.Kenapa perasaanku jadi terganggu saat melihat rambut pendek Vidya yang terpotong sembarangan?Ah, ini semua adalah kesalahanku yang terburu-buru mengajak Vidya bercinta di rumah ini. Siapa sangka, Shena pulang dari luar kota lebih awal dan malah memergoki kami berdua."Vid, geser, Mas juga ngantuk, mau tidur!" Aku menggoyangkan tubuh Vidya yang matanya sudah terpejam."Ck! Mas Arya ganggu aja, sih. Aku ngantuk banget, Mas ...." Vidya meracau dengan mata yang masih tertutup rapat.Dulu, saat Vidya masih menjadi selingkuhanku, aku begitu menikmati ketika melihat wajahnya tertidur dengan lelap. Tapi sekarang, kecantikannya sudah luntur.Kalau saja dia tidak mengandung anakku, sudah pasti aku tak ingin menikahinya. Begitu dalam penyesa
"Mbak Shena, aku lapar! Mana makanan untukku dan Mas Arya?" Vidya melirik kakak madunya yang hendak berdiri menyimpan piring ke dapur."Masak sendiri, dong. Aku ini bukan babu kamu!" jawab Shena dengan senyum sinis yang terukir di bibirnya, mengejek Vidya yang raut wajahnya nampak masam.Wanita cantik berusia tiga puluh lima tahun tersebut segera ke dapur, dan meletakkan piring kotor itu di wastafel.Hatinya sedikit bergetar karena emosi, tapi dia menepis perasaan itu."Mas, jangan lupa pagi ini kita harus bertemu dengan klien. Cepat bersiap, atau mereka akan membatalkan kerjasama dengan kita!" Shena mengingatkan suaminya dengan nada tegas. Dia seolah ingin menyindir sang madu yang hanya seorang karyawan biasa, di butik cabang miliknya.Arya mengekor di belakang istri pertamanya dengan patuh, mengabaikan istri kedua yang masih mematung di ruang makan."Mas Arya, kamu mau ke mana? Aku ikut ...," rengek Vidya pada sang suami. Kemudian, wanita itu malah bergelayut manja di lengan Arya, b
Betapa sialnya nasibku di tahun ini. Ramalan si kakek tua itu rupanya meleset. Dia bilang tahun ini aku akan menjadi istri dari pria kaya raya. Faktanya? Ternyata semua butik itu adalah milik si Shena –-- wanita seumuran kakakku yang masih rela menjadi istri tua untuk dipoligami.Sungguh aneh, kenapa takdirku bisa begini? Sejak Mas Arya dan Mbak Shena pergi mengurus butik, aku merasa bingung bagaimana mengisi waktuku.Dengan langkah gontai, aku memutuskan untuk menyalakan televisi dan menonton siaran favorit di ruang keluarga. Toh, hidup sebagai nyonya di rumah ini lumayan menyenangkan. Tidak perlu bekerja, cukup minta uang pada suami jika ingin berbelanja. Namun, sebelum aku sempat terlarut dalam acara gosip kesukaanku, tiba-tiba kudengar teriakan melengking dari luar. Sungguh mengganggu ketenangan!"Vidyaaaa!" seru wanita tua itu dari ruang tamu. Ah, betapa menyesakkannya suara teriakan si nenek itu menyeruak, menghantam telingaku."Heh, wanita
Shena menyilangkan kedua tangannya di dada, sorot matanya tajam menatap Arya dengan lekat. "Oh, jadi itu alasan kamu ngikutin aku? Karena kamu cemburu, Mas?""Bukan cuma itu!" Arya membalas dengan cepat, "aku juga tahu kamu ada di perusahaan Pak Bondan seharian penuh kemarin. Sampai malam. Kamu pikir aku nggak punya hak untuk curiga?"Shena menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya meskipun jelas terlihat ia merasa tersinggung. "Jadi ini masalahnya? Kamu ngikutin aku karena kamu berpikir aku selingkuh dengan Pak Bondan?"Arya terdiam, merasa sulit untuk membantah secara langsung. "Aku cuma mau tahu apa yang sebenarnya terjadi, Sayang. Aku nggak bisa berhenti memikirkan itu."Shena mendekat, jaraknya hanya beberapa langkah dari Arya. "Mas Arya, dengar baik-baik. Aku bekerja dengan Pak Bondan, itu benar. Kemarin kami di perusahaan sampai malam karena ada banyak yang harus diselesaikan untuk acara gala dinner. Dan makan malam di restoran itu? Itu cuma makan malam biasa setelah k
Arya memutuskan untuk mengikuti mobil itu lagi. Kali ini, mereka menuju sebuah restoran mewah di pusat kota. Arya memarkir mobilnya agak jauh, lalu masuk ke restoran yang sama setelah memastikan Shena dan Pak Bondan sudah mengambil tempat di sudut ruangan.Dengan hati-hati, Arya memilih meja yang cukup jauh, tapi masih bisa memantau gerak-gerik mereka. Ia memesan secangkir kopi untuk menghindari kecurigaan pelayan.Dari kejauhan, Arya melihat Shena dan Pak Bondan berbicara dengan santai. Sesekali, mereka tertawa kecil. Arya merasa dadanya semakin sesak."Apa ini cuma urusan kerjaan, atau lebih dari itu?" Arya bergumam, merasa geram dengan banyak pertanyaan yang menjejali pikirannya.Malam itu, Arya memutuskan untuk tidak mengikuti Shena sampai selesai. Ia kembali ke mobilnya, menggenggam setir dengan penuh rasa emosi yang bercampur aduk.***Keesokan paginya, Arya bangun dengan kepala berat. Tidur malamnya tidak nyenyak, dan pikirannya masih dipenuhi bayangan tentang Shena dan Pak Bon
Setelah selesai berbicara dengan adiknya, Arya kembali ke kamarnya dengan langkah berat. Beberapa saat kemudian, Vidya muncul di hadapannya dengan senyum manis yang terlihat begitu dipaksakan."Mas, makan malamnya sudah siap. Aku masak menu kesukaanmu hari ini," ucap Vidya dengan nada lembut.Arya hanya tersenyum tipis. "Terima kasih, Vidya. Kamu sudah repot-repot masak buatku."Vidya menatap Arya dengan saksama, mencoba membaca pikirannya. "Mas, tadi ngobrol apa sih sama Aulia? Kok lama banget?"Arya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Nggak ada apa-apa. Cuma obrolan ringan saja."Vidya tersenyum kecil, meski hatinya penuh kecurigaan. "Oh, gitu. Aku kira ada sesuatu yang serius dan kamu rahasiakan dari aku."Arya tidak menjawab, hanya menatap manik cokelat istrinya dengan penuh tanda tanya.Di sisi lain, Aulia masih duduk di balkon kamarnya dengan senyum puas. Meski apa yang ia katakan tadi hanyalah karangan, ia merasa telah berhasil membuat Arya meragukan Vidya."Kalau Mas Arya
Sepulang dari kampus, Aulia langsung masuk ke kamarnya dan membanting pintu dengan kesal. Tas kuliahnya dilemparkan ke atas tempat tidur, lalu ia duduk di kursi depan meja belajarnya. Pikiran gadis itu berkecamuk, membayangkan Shena yang semakin dekat dengan keluarga Ervan.Aulia menggenggam ponselnya erat-erat, membaca kembali unggahan Instagram Bu Rahayu. Wajah Shena yang tersenyum lembut di foto itu membuatnya semakin marah."Kenapa Mbak Shena setega itu? Apa aku harus jujur kalau Pak Ervan itu lebih cocok sama aku?" pikirnya sambil mengepalkan tangan hingga uratnya terlihat.Tak lama kemudian, pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk. Vidya melangkah masuk dengan santai, membawa secangkir teh di tangannya."Aulia, kok nggak makan dulu? Mukamu kok kelihatan kusut banget gitu, sih?" sindir Vidya sambil duduk di tepi tempat tidur Aulia."Aku nggak lapar," jawab Aulia dingin tanpa menoleh. "Biasakan ketuk pintu dulu kalau mau masuk ke kamar orang. Nggak sopan!"Vidya tersenyum sinis. "Hei
"Lumayan, uang merahnya ada dua lembar, jadi aku bisa beli sarapan yang enak nih sebelum ke pasar," gumam Vidya seraya berjalan menuju gerbang. Setelah beberapa menit menunggu tukang ojek pangkalan yang ia hubungi melalui ponsel, akhirnya datang. Namun, bukannya langsung ke pasar, Vidya malah meminta sang pengemudi berhenti di salah satu tempat kukiner di pinggir jalan. "Bang, berhenti di sini dulu, ya. Saya mau sarapan sebentar," ucap Vidya dengan santai. "Baik, Mbak. Saya tunggu di sini aja," jawab pengemudi ojek itu. Vidya turun dari motor dan segera masuk ke tempat kuliner pagi yang menyediakan berbagai menu untuk sarapan dan cemilan. Aroma nasi uduk yang menggoda langsung menyambutnya. Dengan cepat, ia memesan seporsi nasi uduk lengkap dengan lauk pauk. Tapi, langkah Vidya tiba-tiba terhenti saat matanya menangkap sosok yang tak asing baginya. Ternyata ada kakak madunya di sana. Shena sedang berdiri di salah satu tempat jajanan, bersama seorang pria yang pernah Vidya lihat s
Arya yang sejak tadi hanya diam akhirnya mengangguk dengan lemah. "Iya, Bu. Aku berangkat sekarang."Tapi, sebelum Arya sempat melangkah, Vidya memegang lengannya erat-erat. "Mas, aku nggak rela kamu pergi. Aku ini istrimu. Aku punya hak buat minta waktu kamu, Mas!"Arya menatap Vidya dengan wajah lelah. "Vidya, kita bisa bicara nanti. Sekarang aku benar-benar harus kerja."Vidya melepaskan tangannya dengan gerakan kasar, wajahnya kini memerah karena marah. Bu Surti yang melihat hal tersebut, hanya mendengkus sambil melipat tangan di dada."Vidya, kalau kamu terus melarang Arya untuk bekerja dan kamu nggak membersihkan rumah, ssbaiknya kalian berdua pergi dari rumah ini. Ingat, rumah ini milik kedua orang tua Shena. Jadi, kalian berdua harus sadar diri bahwa di sini hanya menumpang!" ancam Bu Surti sebelum berbalik kembali ke dapur.Vidya menatap punggung Bu Surti dengan kesal, lalu menoleh ke Arya. "Mas, kalau begini terus, aku nggak yak
"Sekarang saatnya aku memberi pelajaran pada Arya dan Vidya," gumam Shena pelan, matanya menyapu sekeliling ruangan, memastikan tidak ada yang melihat. Arya tidak tahu apa yang ada di dalam brankas itu. Shena menyimpan rahasia besar tentang tempat yang dirawat oleh Bi Sumi, sebuah rumah yang jauh lebih besar dan lebih nyaman daripada rumah yang mereka tinggali sekarang. Shena merapikan dokumen-dokumen penting itu, memastikan semuanya lengkap dan aman. Surat tanah, akta rumah, dan beberapa dokumen lainnya ia masukkan ke dalam tas besar yang akan segera dibawanya. Ia tahu, rumah besar miliknya itu adalah tempat yang aman bagi barang-barang berharga ini. Arya tidak akan pernah tahu bahwa Shena memiliki rumah lain. Yang dia tahu, hanya rumah yang mereka tempati saat ini, rumah yang katanya hasil jerih payah kedua orang tua Shena sebelum meninggal. *** Arya duduk di ruang keluarga dengan ekspresi kosong pagi itu. Pikirannya melayang pada pertengkaran yang terjadi semalam. Suar
Rumah Shena yang biasanya tenang kini terasa seperti medan perang yang penuh ketegangan. Bu Surti berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya tajam mengawasi Vidya yang baru saja keluar dari kamar Aulia dengan wajah merah padam."Vidya, apa yang baru saja kau lakukan di dalam kamar anakku?" Tanya wanita paruh baya tersebut, penuh dengan kecurigaan."Oh ... nggak apa-apa, Bu. Aku hanya ingin memastikan, kalau anak gadis kesayangan Ibu baik-baik aja. Karena, sepertinya dia lagi patah hati," jawab Vidya yang sengaja memancing emosi mertuanya."Omong kosong! Ingat, jangan pernah ganggu anak gadisku, dan meracuni otaknya dengan semua kebohonganmu. Sekarang, cepat buatkan teh manis hangat. Shena baru pulang kerja, dia pasti kelelahan," perintah Bu Surti tanpa basa-basi.Vidya mengerutkan kening, tapi tidak berani membantah. Dalam hati, ia menggerutu karena kesal. 'Teh manis hangat? Aku ini menantunya, bukan babu!'Tapi, demi menjaga suasana rumah tetap kondusif, ia melangkah dengan terp
"Kenapa dia nggak masuk?" gumam Aulia dengan frustrasi.Meski begitu, ia tetap menyimpan video rekaman tersebut. Baginya, itu sudah cukup untuk menjadi senjata jika nanti dibutuhkan.Saat Ervan kembali melajukan mobilnya, Aulia dengan cepat memberi arahan kepada sopir taksi untuk kembali mengikuti. Namun, kali ini, sopirnya terlihat ragu."Maaf, Mbak. Saya nggak bisa terlalu lama di sini. Ada pesanan lain," katanya.Aulia menatap sopir itu tajam, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. "Ini untuk tambahan. Yang penting, ikuti saja mobil itu."Dengan berat hati, sopir itu menurut.Mobil Ervan berbelok ke jalan yang lebih sepi, menuju rumahnya. Aulia terus mengawasi, meski rasa lelah makin menyerang. Dalam hatinya, ia bertekad membongkar hubungan Ervan dan Shena, apa pun risikonya.Tapi, sebuah pikiran mulai mengganggunya. "Bagaimana jika mereka memang tidak ada apa-apa? Apa aku hanya membuang waktu?"Akhirnya, gadis itu pun memutuskan untuk pulang.***Sesampainya di rum