Hati Shena terasa bergemuruh ketika telinganya mendengar suara derit ranjang di dalam kamar tidurnya.
Wanita itu baru saja kembali dari luar kota setelah melakukan pertemuan dengan beberapa desainer ternama, untuk mengikuti pameran dan peragaan busana tradisional di kota tersebut dalam rangka memeriahkan acara kemerdekaan.
Shena berjalan secepat mungkin, memastikan bunyi suara itu. Kedua bola mata Shena membelalak dengan sempurna, ketika melihat sang suami dengan lancangnya berani menggunakan ranjang miliknya untuk berbagi keringat dan melakukan penyatuan bersama wanita lain.
"Menjijikan! Teganya kamu ngelakuin ini sama aku, Mas!" batin Shena bergemuruh menahan amarah. Kedua pelupuk matanya mulai berembun.
Arya memang teledor. Pria tinggi berkulit sawo matang tersebut selalu lupa untuk menutup pintu jika nafsunya ingin segera disalurkan.
Dengan sekuat tenaga wanita cantik berambut panjang itu meredam emosinya sendiri. Dengan tangan yang gemetar, wanita berusia tiga puluh lima tahun itu memberanikan diri untuk mengambil ponsel di dalam tasnya, kemudian merekam adegan tak senonoh yang kini terpampang di depan matanya.
Napas Shena semakin sesak ketika melihat sang suami yang dicintainya sangat menikmati suguhan dari kekasih gelapnya itu.
"A -- aku sangat mencintaimu, Vid," ucap Arya ditengah permainannya dengan suara yang terdengar parau.
Vidya merupakan seorang kasir yang bekerja di butik milik Shena. Kini wanita itu dengan lancangnya berani mengambil pria yang telah menjadi haknya secara utuh.
Shena kini benar-benar mati rasa terhadap suaminya sendiri.
Ketika kedua pengkhianat itu selesai melakukan pelepasan, Shena mematikan ponselnya karena merasa rekaman tadi sudah cukup untuk menjadi barang bukti saat mengajukan perceraian ke pengadilan nanti.
Benar! Tekad Shena sudah bulat karena dirinya akan menggugat Arya, agar bisa segera lepas dari pria itu.
"Apa harus kulabrak sekarang juga?" Shena bertanya pada dirinya sendiri.
"Ah, tidak! sebaiknya aku harus menghubungi seseorang."
Shena bergegas menuju ruang tamu. Dia mencari nama seseorang di salah satu daftar kontak ponselnya untuk dihubungi.
"Irma, tolong ke rumahku sekarang!" titah Shena pada wanita seusianya, yang merupakan asisten desainer di butik miliknya.
Tak butuh waktu lama untuk menunggu, Irma kini sudah berada di hadapan Shena. Wanita berambut sebahu itu terlihat terengah-engah, seolah dia baru saja berjalan dengan sangat cepat.
Shena dan Irma tinggal di satu komplek perumahan.
"Mbak Shena, apakah ada masalah penting? Maaf, biasanya Mbak Shena mene--"
"Sstt!!" Shena menempelkan jari telunjuk di depan mulutnya sendiri.
"Mbak Shena baik-baik aja, kan?" tanya Irma heran sekaligus khawatir.
"Sstt!!" seru Shena kini dengan mata melotot memberi aba-aba.
"Kenapa?" tanya Irma heran dengan suara berbisik.
"Ayo ikut aku, Ir!" Shena berbisik di telinga asistennya tersebut. Cengkeraman Shena sangat kuat di pergelangan tangan Irma.
"Ada apa sih, Mbak Shena?" tanya Irma yang menyeret kakinya dengan cepat, untuk menyeimbangkan langkahnya dengan Shena.
Sebenarnya Shena dilema melakukan ini. Ada rasa malu jikalau nanti semua warga juga harus mengetahui kelakuan suaminya yang sedang bermain di atas ranjang dengan adik kandung Irma.
Kadung hatinya merasa tersayat ribuan sembilu, Shena mencoba menutup mata hatinya dan berusaha untuk tak peduli dengan apa yang akan warga katakan nanti jika mengetahui tentang rumah tangganya yang karam diterpa perselingkuhan.
Shena membawa Irma menuju kamar utama yang berhadapan dengan ruang keluarga.
Shena mendorong Irma dengan seluruh emosinya, menyebabkan wanita bertubuh mungil itu menabrak pintu kamar yang tidak terkunci.
Pintu tersebut kini terbuka dengan lebar dan menampakkan dua insan yang masih menikmati permainannya berkali-kali hingga berkeringat.
"Lihat itu! Lihat, Irma!" perintah Shena pada Irma.
"Vidya!" pekik Irma dengan kencang.
Kedua bola mata Irma kini nampak merah menahan emosi, melihat kelakuan adik kesayangannya yang sangat mem4luk4n. Dia tidak menyangka, jika adik yang sangat disayanginya itu tega membuang kotoran di mukanya dengan melakukan hal seperti ini, selingkuh dengan suami atasannya sendiri.
Arya dan Vidya yang tampak terkejut bersembunyi di balik selimut. Reflek Irma masuk ke kamar tersebut dan menjambak rambut panjang Vidya dengan kuat hingga rontok beberapa helai.
"Aw! Lepasin, Mbak Irma. Jangan tarik rambut aku!" teriak Vidya dengan suaranya yang terdengar kesakitan akibat jambakan dari sang kakak dengan balutan emosi dalam dirinya.
Irma sama sekali tak menggubris teriakan sang adik. Wanita itu terus menyeret Vidya hingga ke ruang tamu dengan tubuh yang masih polos.
"Mbak, ampun, Mbak!"
Jambakannya dilepas, Irma mengempaskan tubuh Vidya ke lantai dengan sangat kencang.
Sementara Shena yang melihat adegan itu, masih berdiri di hadapan Arya yang sedang sibuk mengambil pakaiannya yang berserakan di kamar tersebut.
"Mas minta maaf, sayang. Mas bisa menjelaskan semuanya sama kamu," ucap Arya memelas sambil mengenakan bajunya dengan cepat.
Pria itu cepat-cepat berlari keluar kamar menuju ruang tamu sambil membawa pakaian milik Vidya.
PLAK!
Irma mendaratkan telapak tangannya di pipi kanan Vidya hingga gadis itu merasa kebas.
PLAK!
Sekali lagi Irma mendaratkan lima jarinya di pipi sebelah kiri sang adik untuk melampiaskan emosi yang sudah tak bisa dia kontrol.
"Kamu sungguh memalukan, Vidya! dasar wanita murahan!" umpat Irma yang kembali menjambak rambut sang adik.
"Irma, hentikan!" seru Arya yang berlari menghampiri kekasih gelapnya dan memeluk Vidya dengan erat.
"Tolong jangan lakukan itu, dia sedang hamil!" tukas Arya sambil membantu sang kekasih untuk mengenakan pakaiannya.
"A–apa? Hamil!" teriak Irma tidak percaya.
Beberapa warga yang kebetulan sedang melintas, tidak sengaja mendengar keributan di dalam rumah itu dan langsung masuk tanpa permisi secara bersamaan.
"Hei, Arya, apa yang kau lakukan!" pekik seorang ibu yang melihat suami Shena memakaikan baju pada Vidya, namun masih tetap terlihat berantakan karena memasangkan kancing yang tidak pada lubangnya.
"Mereka berdua telah melakukan zina, Bu Sita!" jerit Irma dengan penuh emosi.
"Astaghfirullah! Dewi, tolong panggil Pak RT, kita harus melaporkan masalah ini!" seru Bu Sita pada warga yang lain.
Shena hanya mematung menonton pertunjukkan tersebut tanpa sepatah kata pun. Wanita itu tak ingin mengotori tangan dan mulutnya untuk menghakimi dua orang pengkhianat yang ada di hadapannya.
Pak RT dan beberapa warga kini hadir berbondong-bondong ke rumah Shena dan Arya.
Semua warga nampak emosi mendengar berita perselingkuhan sekaligus perzinahan yang dilakukan oleh pasangan tidak halal itu. Apalagi saat mereka melihat Arya yang begitu menjaga Vidya saat massa berkerumun. Hal ini membuat para warga merasa jengkel dan emosi, khususnya ibu-ibu komplek perumahan yang kini berada di rumah Arya dan Shena.
"Pak RT, sebaiknya kita arak keliling komplek saja mereka berdua, biar kapok!" seru Bu Sita pada Pak Erwin.
"Ampun, jangan Pak Erwin! Tolong jangan di arak keliling komplek. Kami berdua mengaku salah!" Arya memohon pada Pak RT dan seluruh warga.
"Selingkuh aja nggak malu, tapi giliran mau diarak, kalian ngerasa malu! dasar nggak punya pikiran, malu-maluin!"
"Tahu nih, ngotorin komplek kita aja! Huuuu!!!"
Sorak para warga yang merasa geram pada Arya dan Vidya.
Pak RT lalu memerhatikan Shena yang masih diam seribu bahasa.
"Mbak Shena, bagaimana? Apakah mau kita arak hingga ke Balai Desa lalu menikahkan mereka?" tanya Pak RT yang meminta persetujuan istri sah Arya tersebut.
Shena masih berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada, mencoba menahan emosi yang sejak tadi ingin meledak.
"Maaf para warga, kita tidak usah repot-repot mengarak mereka berdua keliling komplek. Lagi pula, pasti seluruh warga di sini lama kelamaan akan mengetahui berita ini. Saya hanya ingin Irma yang menghukum adik kesayangannya, agar tahu diri dan merasakan bagaimana rasanya sakit hati!"
Irma merasa bingung, hukuman apa yang harus diberikan pada adiknya itu. Karena merasa pernah diselingkuhi, tanpa berpikir panjang akhirnya wanita itu meraih sebuah gunting yang tergeletak di atas meja, kemudian memotong rambut adiknya dengan tidak teratur, hingga hanya tersisa lima sentimeter.
"Ampun, Mbak Irma, ampun! tolong jangan potong rambut aku, Mbak!" Vidya tersedu saat helaian rambut indahnya sudah tidak menjadi mahkota di kepalanya lagi.
"Ini hukuman buat kamu karena sudah menjadi perusak rumah tangga bosmu sendiri!"
"Shena, tolong maafkan kami. Hentikan hukuman itu, dan bolehkah aku menikahi Vidya?"
***
"Shena, tolong maafkan kami. Hentikan hukuman ini, dan izinkanlah aku menikahi Vidya," pinta Arya yang menangkupkan kedua telapak tangannya, dengan wajah penuh penyesalan.Shena tersenyum sinis, sambil menatap tajam ke netra sang suami."Mas Arya, apa kamu pikir sejak tadi aku sedang menghukum kekasih gelapmu?" tanya Shena dengan nada penuh cemoohan.Arya menoleh, menatap Irma yang masih terengah-engah karena emosi yang terus bergelora di dalam hatinya.Sejatinya, Irma ingin memberikan hukuman yang lebih pedih lagi pada Vidya. Namun, ingatan akan pesan almarhum kedua orang tua mereka muncul kembali, untuk melindungi adik satu-satunya itu. Dilanda rasa penyesalan, kekecewaan, dan kemarahan, Irma merasa seolah telah gagal menjalankan amanat yang diberikan kedua orang tua mereka.Ia menatap Vidya dan Arya dengan penuh kebencian, menahan tangis yang hendak pecah melampaui embun yang menggelayuti wajahnya."Mas Arya, aku memang menghormatimu karena kau adalah suami dari bosku --- Mbak Sena
Perut Shena terasa tergelitik, mendengar perkataan suaminya yang terkesan tak tahu malu. Malah meminta uang mahar untuk menikahi madunya. Wanita itu menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan suami dan madunya, mereka sama-sama tidak tahu malu di matanya."Cih, yang benar saja? Gaya selangit, pakai selingkuh segala, giliran mahar pinjam ke istri, memalukan sekali," timpal Shena, geli dengan tingkah suaminya itu.Arya meringis, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Mau bagaimana lagi, saat ini di dompetnya kosong dan tidak ada uang cash sama sekali. Uangnya sudah habis, membayar belanjaan Vidya yang banyak maunya."Ayolah, Sayang. Pinjam dulu untuk mahar. Aku bakal ganti dengan jumlah yang lebih besar. Bantu aku, ya?" pinta Arya. Ia memohon pada istrinya dengan wajah tanpa dosa.Jangan tanyakan, bagaimana perasaan Shena saat ini. Sedih, kesal, sekaligus jijik secara bersamaan. "Nggak usah diganti. Anggap saja sumbanganku untuk wanita sundal itu!" kesal Shena, mengambil dompet da
"Sayang, kamu bilang apa barusan, Nak? Jangan bercanda! Kenapa kamu mengizinkan wanita perusak kebahagiaanmu tinggal satu atap denganmu? Kenapa?" Bu Surti mencecar Shena dengan banyak pertanyaan, tidak percaya dengan menantunya."Karena aku ingin memberikan dia pelajaran, Bu." Bisik Shena, saat Bu Surti memeluk tubuhnya erat."Aku nggak akan diam, saat ditindas seperti ini," lanjutnya.Bu Surti mengurai pelukannya secara perlahan, menatap nanar sang menantu dengan mata berkaca-kaca."Baiklah, Shena. Apapun rencanamu, ingatlah bahwa Ibu akan selalu mendukungmu sepenuh hati." Kedua telapak tangan Bu Surti membelai wajah Shena dengan penuh kasih sayang."Sabarlah, Sayang. Jangan khawatir, Ibu tidak akan tinggal diam melihat wanita tidak tahu malu itu berani menyakiti menantu kesayangan Ibu." Genangan air mata menyeruak di sudut mata Bu Surti, tapi wanita paruh baya itu mencoba untuk menahan sekuat tenaga agar tak meluncur jatuh."Vidya!" teriak Irma, wajahnya memerah karena amarah terhad
"Mbak Shena, Bu Surti, aku minta maaf atas kesalahan yang telah Vidya lakukan, a--""Sudahlah, Ir, kamu nggak salah. Jangan pernah meminta maaf atas kesalahan yang nggak pernah kamu lakukan," ujarku memotong ucapan Irma, dengan nada yang tegas dan penuh empati, sebelum asistenku itu selesai berbicara.Irma tampak semakin menunduk, tatapannya getir, terlihat air mata mulai menggenang di kelopak matanya yang menyiratkan kepedihan yang mendalam. Dia terus berjuang menahan tangis."Ir, aku tahu, sebelum aku merasakan kejadian seperti ini, kamu sudah mengalaminya lebih dulu. Jangan khawatir, aku nggak akan berbuat jahat terhadap adikmu." Ucapku sambil menatap Irma dalam-dalam, berusaha merasakan apa yang dirasakannya."Aku hanya ingin memberikan dia pelajaran saja, supaya dia sadar jika mengambil milik orang lain itu tidak akan selamanya bahagia," sambungku, dengan harapan ucapanku bisa menenangkan hati dan pikiran Irma yang bergolak."Nanti kunci mobilku ini kamu titipkan saja pada Bi Ira
"Kamu bisa istirahat di kamar yang itu!" Jari telunjuk Shena mengarah pada satu kamar yang membuat adik madunya itu nampak terkejut.Vidya membelalak, ia terperangah tatkala Shena menunjuk sebuah kamar yang terletak di area belakang rumah.Sebuah kamar kecil yang Vidya tahu itu adalah kamar Bi Sumi --- asisten rumah tangga di kediaman ini. Ruangan itu selalu dipakai Bi Sumi, jika dia menginap.Shena tersenyum melihat Vidya yang tercengang, netranya menatap nanar pada adik madu yang selalu kurang ajar. "Maksud Mbak Shena apa menunjuk-nujuk kamar Bi Sumi?" tanya Vidya. Nada bicaranya sedikit naik, seperti tidak terima.Tertawa samar, Shena bersedekap dada. "Nggak usah pura-pura bodoh, Vidya. Aku tahu kamu paham maksduku.""Jadi Mbak Shena nyuruh aku tidur di kamar pembantu? Ck, apa-apaan, aku nggak mau!" Vidya menyentak kesal.Arya pun jadi ikut tidak terima. Dari sekian banyaknya ruangan, kenapa Shena memilih kamar pem
"Kamu bisa istirahat di kamar yang itu!" Jari telunjuk Shena mengarah pada satu kamar yang membuat adik madunya itu nampak terkejut.Vidya membelalak, ia terperangah tatkala Shena menunjuk sebuah kamar yang terletak di area belakang rumah.Sebuah kamar kecil yang Vidya tahu itu adalah kamar Bi Sumi --- asisten rumah tangga di kediaman ini. Ruangan itu selalu dipakai Bi Sumi, jika dia menginap.Shena tersenyum melihat Vidya yang tercengang, netranya menatap nanar pada adik madu yang selalu kurang ajar. "Maksud Mbak Shena apa menunjuk-nujuk kamar Bi Sumi?" tanya Vidya. Nada bicaranya sedikit naik, seperti tidak terima.Tertawa samar, Shena bersedekap dada. "Nggak usah pura-pura bodoh, Vidya. Aku tahu kamu paham maksduku.""Jadi Mbak Shena nyuruh aku tidur di kamar pembantu? Ck, apa-apaan, aku nggak mau!" Vidya menyentak kesal.Arya pun jadi ikut tidak terima. Dari sekian banyaknya ruangan, kenapa Shena memilih kamar pem
"Mbak Shena, Bu Surti, aku minta maaf atas kesalahan yang telah Vidya lakukan, a--""Sudahlah, Ir, kamu nggak salah. Jangan pernah meminta maaf atas kesalahan yang nggak pernah kamu lakukan," ujarku memotong ucapan Irma, dengan nada yang tegas dan penuh empati, sebelum asistenku itu selesai berbicara.Irma tampak semakin menunduk, tatapannya getir, terlihat air mata mulai menggenang di kelopak matanya yang menyiratkan kepedihan yang mendalam. Dia terus berjuang menahan tangis."Ir, aku tahu, sebelum aku merasakan kejadian seperti ini, kamu sudah mengalaminya lebih dulu. Jangan khawatir, aku nggak akan berbuat jahat terhadap adikmu." Ucapku sambil menatap Irma dalam-dalam, berusaha merasakan apa yang dirasakannya."Aku hanya ingin memberikan dia pelajaran saja, supaya dia sadar jika mengambil milik orang lain itu tidak akan selamanya bahagia," sambungku, dengan harapan ucapanku bisa menenangkan hati dan pikiran Irma yang bergolak."Nanti kunci mobilku ini kamu titipkan saja pada Bi Ira
"Sayang, kamu bilang apa barusan, Nak? Jangan bercanda! Kenapa kamu mengizinkan wanita perusak kebahagiaanmu tinggal satu atap denganmu? Kenapa?" Bu Surti mencecar Shena dengan banyak pertanyaan, tidak percaya dengan menantunya."Karena aku ingin memberikan dia pelajaran, Bu." Bisik Shena, saat Bu Surti memeluk tubuhnya erat."Aku nggak akan diam, saat ditindas seperti ini," lanjutnya.Bu Surti mengurai pelukannya secara perlahan, menatap nanar sang menantu dengan mata berkaca-kaca."Baiklah, Shena. Apapun rencanamu, ingatlah bahwa Ibu akan selalu mendukungmu sepenuh hati." Kedua telapak tangan Bu Surti membelai wajah Shena dengan penuh kasih sayang."Sabarlah, Sayang. Jangan khawatir, Ibu tidak akan tinggal diam melihat wanita tidak tahu malu itu berani menyakiti menantu kesayangan Ibu." Genangan air mata menyeruak di sudut mata Bu Surti, tapi wanita paruh baya itu mencoba untuk menahan sekuat tenaga agar tak meluncur jatuh."Vidya!" teriak Irma, wajahnya memerah karena amarah terhad
Perut Shena terasa tergelitik, mendengar perkataan suaminya yang terkesan tak tahu malu. Malah meminta uang mahar untuk menikahi madunya. Wanita itu menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan suami dan madunya, mereka sama-sama tidak tahu malu di matanya."Cih, yang benar saja? Gaya selangit, pakai selingkuh segala, giliran mahar pinjam ke istri, memalukan sekali," timpal Shena, geli dengan tingkah suaminya itu.Arya meringis, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Mau bagaimana lagi, saat ini di dompetnya kosong dan tidak ada uang cash sama sekali. Uangnya sudah habis, membayar belanjaan Vidya yang banyak maunya."Ayolah, Sayang. Pinjam dulu untuk mahar. Aku bakal ganti dengan jumlah yang lebih besar. Bantu aku, ya?" pinta Arya. Ia memohon pada istrinya dengan wajah tanpa dosa.Jangan tanyakan, bagaimana perasaan Shena saat ini. Sedih, kesal, sekaligus jijik secara bersamaan. "Nggak usah diganti. Anggap saja sumbanganku untuk wanita sundal itu!" kesal Shena, mengambil dompet da
"Shena, tolong maafkan kami. Hentikan hukuman ini, dan izinkanlah aku menikahi Vidya," pinta Arya yang menangkupkan kedua telapak tangannya, dengan wajah penuh penyesalan.Shena tersenyum sinis, sambil menatap tajam ke netra sang suami."Mas Arya, apa kamu pikir sejak tadi aku sedang menghukum kekasih gelapmu?" tanya Shena dengan nada penuh cemoohan.Arya menoleh, menatap Irma yang masih terengah-engah karena emosi yang terus bergelora di dalam hatinya.Sejatinya, Irma ingin memberikan hukuman yang lebih pedih lagi pada Vidya. Namun, ingatan akan pesan almarhum kedua orang tua mereka muncul kembali, untuk melindungi adik satu-satunya itu. Dilanda rasa penyesalan, kekecewaan, dan kemarahan, Irma merasa seolah telah gagal menjalankan amanat yang diberikan kedua orang tua mereka.Ia menatap Vidya dan Arya dengan penuh kebencian, menahan tangis yang hendak pecah melampaui embun yang menggelayuti wajahnya."Mas Arya, aku memang menghormatimu karena kau adalah suami dari bosku --- Mbak Sena
Hati Shena terasa bergemuruh ketika telinganya mendengar suara derit ranjang di dalam kamar tidurnya.Wanita itu baru saja kembali dari luar kota setelah melakukan pertemuan dengan beberapa desainer ternama, untuk mengikuti pameran dan peragaan busana tradisional di kota tersebut dalam rangka memeriahkan acara kemerdekaan.Shena berjalan secepat mungkin, memastikan bunyi suara itu. Kedua bola mata Shena membelalak dengan sempurna, ketika melihat sang suami dengan lancangnya berani menggunakan ranjang miliknya untuk berbagi keringat dan melakukan penyatuan bersama wanita lain."Menjijikan! Teganya kamu ngelakuin ini sama aku, Mas!" batin Shena bergemuruh menahan amarah. Kedua pelupuk matanya mulai berembun.Arya memang teledor. Pria tinggi berkulit sawo matang tersebut selalu lupa untuk menutup pintu jika nafsunya ingin segera disalurkan.Dengan sekuat tenaga wanita cantik berambut panjang itu meredam emosinya sendiri. Dengan tangan yang gemetar, wanita berusia tiga puluh lima tahun it