"Rambut Vidya yang dulu sangat indah, sekarang malah berantakan tak beraturan, membuatku tak lagi memiliki hasrat padanya."
"Aargh!" Aku mengacak rambutku dengan kasar, ketika melihat Vidya yang sudah terlelap dalam tidurnya di kamar Bi Sumi yang sesak ini. Kenapa perasaanku jadi terganggu saat melihat rambut pendek Vidya yang terpotong sembarangan? Ah, ini semua adalah kesalahanku yang terburu-buru mengajak Vidya bercinta di rumah ini. Siapa sangka, Shena pulang dari luar kota lebih awal dan malah memergoki kami berdua. "Vid, geser, Mas juga ngantuk, mau tidur!" Aku menggoyangkan tubuh Vidya yang matanya sudah terpejam. "Ck! Mas Arya ganggu aja, sih. Aku ngantuk banget, Mas ...." Vidya meracau dengan mata yang masih tertutup rapat. Dulu, saat Vidya masih menjadi selingkuhanku, aku begitu menikmati ketika melihat wajahnya tertidur dengan lelap. Tapi sekarang, kecantikannya sudah luntur. Kalau saja dia tidak mengandung anakku, sudah pasti aku tak ingin menikahinya. Begitu dalam penyesalan yang kurasakan. Setitik kebahagiaan yang kucari dari Vidya pun seakan hilang tak berbekas, dan tak ada harapan untuk mengembalikannya. Semuanya kini terasa pahit dan tak berguna, bagaikan pasir yang terus mengalir melalui celah-celah jemari. "Vidya Sayang, geser sedikit aja. Mas juga ingin beristirahat, besok kan harus ke butik." Bisikku lembut di telinga istri muda yang ku cinta, berharap ia mengalah dan memberikan sedikit ruang bagiku, walau hanya cukup untuk tidur dalam posisi miring saja. Perlahan, Vidya membuka matanya yang terlihat lengket. Ia pun membalikkan tubuhnya ke arahku, namun tetap dalam posisi tidur. "Mas, aku tidur sendiri aja, merasa nggak nyaman. Gimana kalau Mas berbaring di sampingku? Pasti akan jadi semakin sempit!" keluh Vidya, wajahnya tampak kesal padaku. Merasa tidak tenang, istri muda itu segera bangkit dari tidurnya. Ia duduk dengan punggungnya bersandar pada dinding, menunjukkan betapa sulitnya tidur berdampingan di tempat yang sempit ini. Dalam hati, aku tersadar bahwa aku harus lebih peka terhadap kebutuhan istriku dan berusaha mencari solusi agar kedua hati ini dapat bersama dengan nyaman. "Aku benci sama Mbak Shena! Kenapa nggak kamu ceraikan dia aja sih, Mas? Mbak Shena itu kan seusia dengan Mbak Irma, berarti dia udah tua, kulitnya udah nggak segar dan sebentar lagi pasti keriput! Aku ingin jadi istrimu satu-satunya, Mas! Aku masih muda, kulitku masih segar, bahkan lebih cantik daripada istri tuamu itu. Baru sehari jadi madunya aja, Mbak Shena udah tega banget sama aku. Sumpah, aku nggak kuat, Mas!" keluh Vidya dengan penuh air mata. Sepertinya ia mengharap agar aku selalu membelanya jika sedang berhadapan dengan Shena. Aku hanya menghela napas dan membuangnya dengan kasar, merasa terjebak dalam dilema. Malam ini, aku ingin beristirahat dan tidur dengan lelap. Namun, tangis dan rengekannya menggema di telingaku, memaksa diriku untuk mendengarkan, dan mataku tetap terjaga. "Mas, kamu kenapa diam aja, sih? Ingat, besok aku nggak mau tidur di sini lagi. Aku mau tidur di kamar utama bersamamu, titik!" Vidya menegaskan, semakin ngotot. Mataku menatap langit-langit gelap kamar, membayangkan wajah Shena yang semakin menjauh dariku. Semenjak aku terperosok dalam dosa perselingkuhan, sikap Shena yang dulu lembut dan perhatian padaku, kini berubah seperti angin surga yang terhempas badai. Tetapi, biar bagaimanapun Shena tetap menjadi menantu kesayangan ibuku. Aku menggigit bibirku, memikirkan langkah yang harus diambil. Haruskah aku mencoba merayu Shena lagi, atau malah memutuskan tali cinta yang sudah terjalin lama? Ketukan jantungku berdetak keras, mencari jawaban dari hati yang sudah terluka dan penuh pertanyaan. "Mas! Kamu nyebelin banget, sih!" Vidya merengek sebal sambil menggoyangkan tubuhku yang tetap bergeming. Istri mudaku terus meracau tanpa henti. Malam pertama yang terbayang akan indah, namun nyatanya malah seperti mimpi buruk. Setelah puas melepaskan kekesalan, Vidya merebahkan tubuhnya, dan dengan cepat terlelap kembali dalam tidurnya. Ah, malam ini terpaksa aku harus tidur di lantai yang dingin. Sungguh menyebalkan! *** Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi ketika aku membuka mata, dan melihat ponselku yang terabaikan. Sial, hari ini aku kesiangan! Padahal, hari ini adalah hari penting karena aku harus bertemu dengan klien yang akan memesan gaun pengantin yang dirancang oleh Shena, istri pertamaku. Aku segera beranjak, membersihkan tubuhku, dan berharap sempat menikmati sarapan hangat dengan Shena. Namun, begitu keluar dari kamar mandi belakang dan melangkah ke ruang makan, aku mendapati dua piring kotor di atas meja. Hanya tersisa beberapa butir nasi goreng di mangkuk besar. "Sayang, kenapa kamu masak nasi goreng cuma sedikit? Mas belum makan lho, dari semalam!" Aku berbicara dengan nada kecewa sambil menghampiri Shena. Wanita itu menatapku dengan ekspresi datar, seraya menyimpan luka yang tak pernah terungkap. Dia diam, dan aku bisa merasakan suatu kebekuan antara kami yang mulai sulit ditembus. "Hei, pakailah dulu bajumu!" Ibu menyentakku dengan kasar, lalu menambahkan dengan tegas, "dengar, jangan pernah berani menegur atau membentak Shena, karena kamu telah melukai hati menantuku!" Aku tersentak, seolah tak mengenal sosok ibuku sendiri yang kini begitu berubah padaku. "Bu, Arya lapar, dan hari ini harus berangkat kerja lebih pagi karena sudah ada janji dengan klien." Aku mencoba merayu ibuku, berharap ia bisa mengerti situasiku dan membujuk Shena agar mau menyiapkan sarapan pagi untukku. "Kamu lapar? Minta saja pada istri mudamu itu! Jangan pernah menyuruh Shena untuk memasak, karena menantuku ini bukan pembantu!" tukas ibu, memecahkan harapanku menjadi serpihan-serpihan kekecewaan. Sungguh, aku merasa terjepit di antara dua wanita yang sangat aku cintai ini. "Ya sudah, Arya mau ganti baju dulu." Ucapku lirih, mencoba menghindari pandangan menyakitkan dari ibu dan Shena yang semakin dingin padaku. Baru saja aku melangkahkan kakiku menuju kamar utama, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakangku. Seolah hatiku diremas-remas oleh kegalauan, membuat langkahku tak karuan dan beban hidup ini seakan terasa lebih berat dari biasanya. "Mas, kamu mau ke mana? Aku lapar, tapi aku juga mau mandi," lagi-lagi Vidya merengek dengan manja. Jika di hadapan ibu, aku malu melihat sikap istri mudaku yang seperti itu. "Heh, pelakor, kamu nggak sadar kalau penampilanmu itu seperti gembel, hah?" bentak ibuku pada Vidy. Niat hati ingin segera berganti baju, akhirnya harus kuurungkan. Shena tersenyum sinis melihat ibuku berbicara keras pada Vidya. "Bu, dia ini menantu Ibu juga. Arya mohon, tolong jangan terlalu kasar sama dia, Bu," pintaku pada ibu. Aku lelah, baru saja sehari berpoligami, rasanya tak sebahagia yang diceritakan oleh teman-temanku yang memiliki lebih dari satu istri. Ibu membuang muka, sepertinya beliau benar-benar murka padaku. "Cih! Jangan pernah berharap jika perempuan sundal ini mendapatkan perlakuan yang sama dariku, seperti perlakuanku pada Shena!" ucap ibuku dengan tegas. Kemudian, beliau berlalu meninggalkan kami bertiga di ruang makan. "Mbak Shena, aku lapar! Mana makanan untukku dan Mas Arya?" ***"Mbak Shena, aku lapar! Mana makanan untukku dan Mas Arya?" Vidya melirik kakak madunya yang hendak berdiri menyimpan piring ke dapur."Masak sendiri, dong. Aku ini bukan babu kamu!" jawab Shena dengan senyum sinis yang terukir di bibirnya, mengejek Vidya yang raut wajahnya nampak masam.Wanita cantik berusia tiga puluh lima tahun tersebut segera ke dapur, dan meletakkan piring kotor itu di wastafel.Hatinya sedikit bergetar karena emosi, tapi dia menepis perasaan itu."Mas, jangan lupa pagi ini kita harus bertemu dengan klien. Cepat bersiap, atau mereka akan membatalkan kerjasama dengan kita!" Shena mengingatkan suaminya dengan nada tegas. Dia seolah ingin menyindir sang madu yang hanya seorang karyawan biasa, di butik cabang miliknya.Arya mengekor di belakang istri pertamanya dengan patuh, mengabaikan istri kedua yang masih mematung di ruang makan."Mas Arya, kamu mau ke mana? Aku ikut ...," rengek Vidya pada sang suami. Kemudian, wanita itu malah bergelayut manja di lengan Arya, b
Betapa sialnya nasibku di tahun ini. Ramalan si kakek tua itu rupanya meleset. Dia bilang tahun ini aku akan menjadi istri dari pria kaya raya. Faktanya? Ternyata semua butik itu adalah milik si Shena –-- wanita seumuran kakakku yang masih rela menjadi istri tua untuk dipoligami.Sungguh aneh, kenapa takdirku bisa begini? Sejak Mas Arya dan Mbak Shena pergi mengurus butik, aku merasa bingung bagaimana mengisi waktuku.Dengan langkah gontai, aku memutuskan untuk menyalakan televisi dan menonton siaran favorit di ruang keluarga. Toh, hidup sebagai nyonya di rumah ini lumayan menyenangkan. Tidak perlu bekerja, cukup minta uang pada suami jika ingin berbelanja. Namun, sebelum aku sempat terlarut dalam acara gosip kesukaanku, tiba-tiba kudengar teriakan melengking dari luar. Sungguh mengganggu ketenangan!"Vidyaaaa!" seru wanita tua itu dari ruang tamu. Ah, betapa menyesakkannya suara teriakan si nenek itu menyeruak, menghantam telingaku."Heh, wanita
"Nenek ...! Sheira kangen banget sama Nenek," seru gadis kecil berusia lima tahun itu, bersemangat melompat ke arah Bu Surti yang baru saja membuka pintu ruang tamu.Matanya yang bening bersinar penuh dengan keceriaan khas anak-anak, seolah menemukan harta karun yang selama ini hilang."Aduh, cucu kesayangan Nenek ini tinggal di rumah Budhe kayanya tambah gemuk, ya? Sampai gembil, nih pipinya," goda Bu Surti. Wanita paruh baya itu menjawil pipi Sheira dengan gemas dan penuh kasih sayang."Tenang aja, kalau Sheira di rumah Budhe, pasti Budhe bikinin kamu kue terus setiap hari, ya, Sayang?" ujar Ana --- kakak kandung Arya. Wanita itu mengusap lembut pucuk rambut keponakannya dengan penuh kehangatan.Gadis cilik itu tersenyum bahagia dan mengangguk, lalu melangkah masuk ke rumah yang sudah dua minggu ditinggalnya untuk liburan ke rumah sang Budhe.Langkahnya makin ringan, seolah menemukan kembali kebahagiaan."Ana, mana adikmu?" Tanya Bu Surti dengan pandangan tajam, menyapu sekeliling h
"Mas, mereka benar-benar tega banget sama aku. Padahal kan aku udah capek-capek masak untuk mereka, tapi keluarga kamu seolah belum bisa menerima aku sepenuhnya ...," rengek Vidya dengan mata berkaca-kaca, memeluk lengan kekar Arya dengan erat.'Lihat saja, dramaku pasti berhasil membuat Mas Arya membelaku di hadapan kalian semua!' Vidya bermonolog dalam hatinya.Shena yang menyaksikan adegan menjijikan itu, tak bisa menahan rasa jengkel.Ia menghela napas kesal, memutar bola matanya dengan malas, dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Meskipun merasa ilfeel dengan penampilan Vidya yang berantakan, Arya merasa kasihan pada istri mudanya yang terus-menerus diperlakukan rendah oleh kakak dan adik perempuannya sendiri."Vid, sebelum kita makan siang, coba kamu mandi dulu biar segar. Setelah itu, ikut bergabung bersama kami, ya?" Ucap Arya dengan lembut.Vidya masih tetap bergelayut manja, ingin terlihat mesra di hadapan kel
Arya masih duduk mematung, pandangan kosongnya menyapu meja makan yang telah tersaji menu masakan istri mudanya."Sayang, aku udah selesai mandi, tap--" ucapan Vidya terhenti ketika matanya menyadari bahwa hanya suaminya yang ada di ruang makan itu."Mas, mana mereka? Keluarga kamu nggak jadi makan siang?" Tanya Vidya dengan lirih, seraya menatap hidangan yang tersentuh sebatas mencicip dan dibiarkan begitu saja.Rasa kesal dan penuh kecewa terpancar dari wajahnya."Makanan aku nggak enak, ya?" Vidya meneguk ludah dengan susah payah, menahan tangis yang menguras tenaga. Punggung tangannya menyeka sudut mata yang basah.'Sialan! Udah dipaksa buat masak banyak, ternyata cuma buat dicicipin doang!' Vidya mengumpat dalam hatinya.Arya tersenyum tipis dan menggenggam erat telapak tangan istri mudanya itu."Enak, Sayang, jangan berpikir seperti itu. Buktinya, mereka mau makan masakanmu. Cuma, mereka nggak habiskan karena ingin
"Mas, kenapa kita harus pakai taksi online, sih?" Vidya bertanya dengan wajah cemberut, menatap mobil pribadi yang biasa dikemudikan oleh suaminya, terparkir di garasi.Taksi online yang mereka tumpangi tengah melaju dengan kecepatan sedang."Apa kamu nggak mau menggunakan mobil itu untuk membawaku, Mas?""Mobil itu milik Shena. Sudahlah, jangan protes, atau kamu turun sekarang dan aku nggak akan pernah antar kamu ke salon!" Arya menjawab dengan tegas, sekaligus memberikan ancaman pada istri mudanya itu.Vidya hanya bisa mengerucutkan bibirnya, berharap Arya akan merayu saat ia sedang merajuk seperti sekarang. Namun, pria itu tak menggubris rajukan Vidya.Tatapan mata Arya hanya tertuju pada jalanan yang akan menuju salon.Sesampai di tempat tujuan, Vidya merasa kecewa karena sang suami membawanya ke sebuah salon sederhana."Mas, kamu serius, ngajak aku ke tempat ini?" Vidya mendengus kesal, dengan perasaan kecewa yang b
Setelah melakukan perawatan rambut dan memborong pakaian di butik cabang, Arya dan juga Vidya kembali ke rumah dengan biasa-biasa saja.Bagaimana tidak, para karyawan tadi sangat menjengkelkan Vidya. Mereka dengan berani melontarkan makian saat posisi Vidya sudah menjadi istri Arya.Niat hati ingin menyenangkan diri, malah justru sebaliknya. Vidya harus terus menerima gunjingan orang-orang tentangnya dan lebih membela Shena.'Apa-apa Shena, apa istimewanya sih, Mbak Shena itu? Dibanding aku, ya masih mending aku, lah. Buktinya aja Mas Arya milih aku,' batin Vidya menggerutu dalam hati.Keduanya berjalan menuju ruang tamu. Vidya menggaetkan tangannya ke lengan Arya begitu mesra. "Aku nggak mau tahu, ya, Mas. Kapan-kapan kamu harus bawa aku ke butik pusat. Supaya aku bisa pilih pakaian bagus dan tampil cantik. Kalau aku cantik, 'kan bisa nyenengin kamu. Biar enak gitu dipandang," kata Vidya, keukeuh dengan keinginannya.Arya hanya bisa mengiyakan saja. Pusing sekali mendengar omelan Vi
Vidya mengusap air matanya yang sudah berjatuhan. Ia merasa malu sekaligus kesal karena Shena selalu saja membuat dirinya seperti ini."Vidya, kita harus bica—""Diam kamu, Mas! Nggak ada yang perlu dibicarakan! Jangan ganggu aku!" Tanpa mempedulikan panggilan dari Arya, Vidya menepis kasar tangan suaminya yang hendak menahannya.Vidya menyeret langkahnya menuju kamar, tak lupa menutup pintu begitu kerasnya hingga menimbulkan bunyi berdebam menggema di ruangan.Wanita yang tengah hamil itu menyapu barang yang ada di meja kamar Bi Sumi, sambil berteriak kencang."Argh! Kenapa Mbak Shena selalu membuatku malu! Dia sok berkuasa sekali jadi orang!" umpatnya. Vidya terus melampiaskan ke barang yang ada di sekitar. Sebagai pelampiasan.Bulir air mata terus membasahi wajahnya. Keinginan Vidya ingin menjadi nyonya malah sebaliknya, dia sudah seperti babu di kediaman ini.'Lihat aja, Mbak Shena! Aku akan membalas perbua
Setelah berputar-putar tanpa tujuan menggunakan taksi online, Aulia akhirnya merasa lelah. Pandangannya menerawang ke luar jendela, memperhatikan gemerlap lampu-lampu kota Jakarta yang terasa begitu kontras dengan hatinya yang gelap gulita. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan sesak yang masih bersarang di dadanya."Aku nggak bisa terus begini," gumamnya pelan, seolah menegur dirinya sendiri.Sopir taksi melirik lewat kaca spion. Melihat raut wajah penumpangnya yang lelah dan muram, ia memutuskan untuk tetap fokus pada jalanan yang mulai lengang.Sesampainya di depan rumah, Aulia turun dari taksi dan berjalan dengan langkah gontai menuju teras rumah. Ia membuka pintu perlahan, berharap tidak membangunkan ibunya yang biasanya sudah tertidur di jam segini. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat Bu Surti duduk di ruang tamu, menatapnya dengan tatapan penuh tanya."Kok baru pulang, Nak?" tanya Bu Surti sambil melipat tangannya di depan dada. "Tadi Ibu pikir kamu bakal pulang sa
Aulia masih berdiri di tempat dengan pikiran yang berkecamuk. Dadanya terasa sesak mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Sheira dan Ergan tadi. Pertanyaan demi pertanyaan terus bergulir di benaknya, mencari jawaban yang tak kunjung ia temukan.Kini, Kevin menghampiri mereka berdua dan memanggil Wina untuk ikut berfoto bersama keluarga besarnya."Li, ikut ke sana, yuk?" bisik Wina sebelum beranjak menuju keluarga besar Kevin."Aku di sini aja, Win. Aku nggak enak kalau harus ikut. Itu momen keluarga kalian," jawab Aulia dengan senyum tipis.Wina menatapnya sejenak, merasa ragu untuk meninggalkan sahabatnya sendirian. Tapi akhirnya ia mengangguk. "Oke, tapi kalau kamu butuh apa-apa, panggil aku, ya."Aulia hanya menjawab dengan anggukkan dan sedikit senyuman.Kevin menggandeng tangan Wina dan membawanya ke tengah kerumunan yang dipenuhi oleh keluarga besar Pak Bondan. Shena dan Ervan, yang berada di dekat Sheira dan Ergan, juga bersiap untuk berfoto. Kedua anak kecil itu tampak c
Setelah pulang kerja, Shena duduk di sofa, ditemani secangkir teh hangat. Ia masih mengenakan blouse putih yang sedikit kusut, tanda kelelahan setelah seharian bekerja.Sheira sedang duduk di karpet, asyik menggambar dengan krayon warna-warni. Sesekali, ia memanggil sang ibu untuk menunjukkan hasil gambarnya."Mama, lihat! Ini gambar aku sama Mama," ujar Sheira sambil tersenyum lebar, menunjuk gambarnya yang sederhana dan penuh warna.Shena tersenyum lembut, kemudian mengangguk. "Bagus sekali, Sayang. Kamu makin pintar menggambar."Tapi, pikiran Shena tetap melayang pada tawaran Ervan tadi siang."Aku ingin memperkenalkanmu, bukan hanya sebagai desainer yang membuat baju itu—tapi sebagai seseorang yang berarti bagiku."Kata-kata itu terngiang terus, membuat hatinya merasa campur aduk. Shena menghela napas panjang, mencoba membuang rasa ragu yang terus menghantuinya.Lamunannya terhenti saat ponselnya bergetar di meja. Nama Bu Rahayu muncul di layar, membuat Shena terkejut. Ia mengerut
"Bahagia?" suara Bu Surti meninggi, kini tak mampu lagi menahan amarah. "Vidya, bahagia tidak bisa kau dapatkan dengan cara seperti ini. Bahagia itu butuh usaha, bukan dengan mengorbankan orang lain. Kau tahu berapa banyak luka yang sudah kau buat? Shena itu sudah terlalu baik padamu. Tapi apa balasanmu? Kau sudah merebut suaminya, dan sekarang kau mencuri dari butiknya. Apa kau tidak malu?"Vidya terdiam, tapi wajahnya menunjukkan bahwa ia enggan menerima nasihat itu. Ia memalingkan wajah, menatap Arya dengan tajam."Mas Arya," lanjut Vidya, kali ini dengan nada penuh kekecewaan. "Kenapa kamu tidak pernah bisa memberikan kehidupan yang aku mau? Kalau saja kamu kaya raya, aku tidak perlu melakukan ini semua."Arya menghela napas panjang, menahan emosi yang mulai membakar dadanya. "Vidya, aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan kita. Aku bekerja siang malam demi kamu dan bayi ini. Tapi kalau kamu tidak pernah puas, sebaiknya kita bercerai saja. Aku sudah dipecat dari
Bu Surti masih termenung, duduk di sofa butik dengan wajah penuh kebingungan. Ia tak menyangka mantan menantunya yang dulu dikenal begitu baik hati, kini berubah menjadi seorang wanita yang dingin dan tegas. Shena yang dulu selalu memaafkan kesalahan apa pun, kini terlihat seperti orang yang menyimpan dendam pada Arya dan juga Vidya."Bu, kita pulang saja," Arya berkata, suaranya terdengar serak. Matanya menatap lantai butik, seolah enggan menatap siapa pun. "Shena tidak akan mengubah keputusannya."Bu Surti menggeleng perlahan, tangannya menggenggam erat tas kecil di pangkuannya. "Tidak, Arya. Ibu yakin Shena itu bukan orang yang kejam. Dia hanya keras di luar, tapi hatinya pasti masih sama. Kita tunggu sebentar lagi."Arya mendesah berat. Ia tahu ibunya masih berharap. Namun di dalam hatinya, ia merasa harapan itu sia-sia, karena Shena yang sekarang bukan lagi Shena yang dulu.Sementara itu di ruang kerja, Shena duduk di kursinya dengan raut wajah yang sulit diartikan. Irma yang mer
Budhe Retno tampak terdiam sejenak, seolah berpikir sebelum menjawab. "Oh, Shena? Dia sedang sibuk di luar. Kalau kalian ingin bertemu, lebih baik datang ke butik pusat saja. Biasanya dia ada di sana pagi-pagi seperti ini."Arya yang sedari tadi diam mulai merasa ada yang aneh. "Budhe, Shena benar-benar tidak ada di rumah? Kami hanya ingin bicara sebentar."Budhe Retno pun tersenyum tipis. "Saya memang diminta menjaga rumah ini, Arya. Tapi Shena jarang ada di sini sekarang. Dia lebih sering menghabiskan waktunya di butik. Seharusnya kamu hafal, Arya, sekarang kan pesanan di butik sedang ramai. Shena sibuk mendesain pesanan dari beberapa pelanggan. Kalau kalian ingin bicara, temui saja dia di sana."Bu Surti tampak sedikit kecewa, tetapi ia tahu tidak ada gunanya memaksa. "Baiklah, Mbak. Terima kasih atas informasinya."Budhe Retno mengangguk kecil. “Sama-sama. Semoga urusan kalian dengan Shena bisa selesai dengan baik." Setelah itu, wanita paruh baya tersebut menutup pintu, meninggalk
"Jangan beralasan!" potong Shena dengan tajam. "Aku punya semua buktinya. Rekaman CCTV, laporan karyawan, semuanya. Kamu sudah mencuri dari butikku tiga kali berturut-turut!"Vidya mencoba membela diri. "Aku nggak mencuri, Mbak! Aku cuma—""Pak Polisi, tangkap dia," perintah Shena tanpa memberi kesempatan lebih lanjut.Dua orang pria yang sebelumnya tampak seperti pelanggan mendekati Vidya. Salah satu dari mereka menunjukkan lencana polisi. "Ibu Vidya, kami sudah menerima laporan pencurian ini. Silakan ikut kami ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut."Arya yang menyaksikan semuanya dari jarak jauh, merasa tubuhnya seolah kehilangan tenaga. Ia ingin membela Vidya, tapi ia tahu perbuatannya tidak bisa dimaafkan.Vidya memberontak, berusaha melawan. "Mas Arya! Tolong aku! Aku nggak bersalah!" teriaknya dengan air mata yang mengalir deras.Arya hanya bisa menundukkan kepala, tidak mampu berkata apa-apa. Ia tahu segala penjelasan tidak akan mengubah apa pun. Sementara itu, Shena
Vidya mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Mas, kamu kan masih kerja di butik Mbak Shena. Jabatan kamu di sana juga kan bukan orang sembarangan. Nah, aku yakin di sana banyak barang yang nggak terlalu diperhatikan sama Mbak Shena dan karyawan yang lain. Kalau Mas ambil sedikit saja, kita bisa jual dan uangnya bisa kita pakai untuk kebutuhan sehari-hari. Aku yakin, mereka juga nggak akan curiga."Arya langsung melepaskan genggamannya. Matanya membulat, menatap Vidya dengan ekspresi kaget sekaligus marah. "Kamu ngomong apa, Vidya? Nyuruh aku mencuri?""Bukan mencuri, Mas. Anggap aja pinjam sementara. Lagian, koleksi baju di sana banyak banget, lho. Nanti kalau ada uang lebih, kita bisa ganti. Ya anggap aja kita bayar bajunya belakangan." Vidya berusaha meyakinkan Arya."Tidak, Vidya!" Arya berdiri, suaranya naik satu oktaf. "Aku tidak akan melakukan hal kotor seperti itu. Aku kerja di sana untuk cari uang halal, bukan buat bikin masalah!"Vidya ikut berdiri, wajahnya berubah kes
Vidya terdiam, wajahnya memerah menahan malu dan amarah. Ia melirik Arya yang hanya berdiri diam di sudut ruangan. "Mas Arya, kamu diam aja? Nggak dengar Mbak Anna ngomong apa ke aku?"Arya menghela napas panjang, menatap Vidya dengan tatapan letih. "Vidya, kamu juga salah. Kenapa kamu nggak mau bantu Ibu? Kalau kamu nggak mau berubah, bagaimana kita bisa hidup tenang di sini?"Mendengar Arya seperti menyalahkannya, Vidya semakin tersudut. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Anna kembali menyambar."Tenang? Hidup sama Vidya mau tenang gimana, Arya? Kamu itu bodoh, tahu nggak? Ninggalin Shena yang sabar dan mandiri demi perempuan kayak gini? Apa yang kamu lihat dari pelakor ini, hah? Cuma karena dia lebih muda? Sekarang rasakan akibatnya! Kamu kehilangan istri yang bisa ngangkat derajat kamu, dan malah dapat perempuan yang bikin hidupmu makin susah.""Mbak Anna, jangan bawa-bawa Shena lagi!" Arya akhirnya membalas, meski suaranya tidak sekuat Anna."Kenapa? Nggak suka dengar nama Shena