Arya menyusuri setiap ruangan untuk mencari keberadaan Vidya. Pasalnya, ia tidak tahu harus mencari Vidya yang entah ke mana.Sampai-sampai Arya kelimpungan sendiri, bertanya pada orang rumah tidak ada yang tahu Vidya. Jelas Arya kesal, pasalnya, ia menyuruh Vidya mengambil makanan karena lapar. Malah menghilang.Pria tersebut mondar-mandir di ruang tamu, membuat keluarga sendiri kebingungan melihat Arya yang seperti ini."Kamu ngapain mondar-mandir kayak gitu, Arya? Kurang kerjaan sekali kamu ini!" Tanya Bu Surti begitu menuruni tangga bersama Sheira.Arya menoleh pada ibunya, lalu tersenyum pada putrinya. "Ibu lihat Vidya nggak? Ke mana ya dia? Aku nggak melihatnya dari tadi."Pertanyaan dari sang putra, Bu Surti jadi malas jika sudah mendengar nama Vidya disebut."Mana Ibu tahu, dia 'kan istrimu. Dikira Ibu suka ngintilin dia!" Timpal Bu Surti, sambil membawa cucunya pergi ke arah dapur.Arya mengembuskan napas kasar.
Malam harinya ....Setelah selesai menyiapkan keperluan untuk kuliahnya, Aulia yang biasanya tinggal berdua dengan Bu Surti, kini memutuskan untuk tinggal bersama Shena, semenjak Arya menikah dengan Vidya.Aulia pun turun ke bawah, ingin ikut serta bergabung dengan ibu dan juga keponakannya, di ruang televisi.Selama kuliah, Aulia jadi jarang menghabiskan waktu bersama keluarga saking padatnya jadwal di kampus. Aulia datang, gadis yang mengwnakan piyama pink itu memeluk tubuh Bu Surti, yang menemani Sheira menonton televisi. Kebiasaan Sheira, jika sudah anteng selalu merebahkan dirinya di pangkuan sang nenek."Kamu belum tidur, Nak? Udah malam lho, besok kamu 'kan harus kuliah," ujar Bu Surti kepada putri bungsunya yang memeluk dengan manja."Aulia belum ngantuk, Bu. Bosen banget nugas mulu, sekali-kali pengen ngabisin waktu sama Ibu," kata Aulia sedang dalam mode manjanya.Karena kedua kakaknya sudah menikah, Aulia sering menemani Bu Surti agar ibunya memiliki teman ngobrol.Bu Surt
"Mbak Shena, sial!"BRAK!Vidya membanting pintu kamarnya, membuat Arya yang terlelap tidur pun langsung terbangun mendengar suara keras itu.Sang suami terlonjak kaget, memegangi dadanya sambil mengumpulkan kesadarannya."Heh, Vidya! Kamu kenapa lagi, sih, astaga? Pagi-pagi bikin ulah aja!" omel Arya pada istri mudanya.Lagipula, siapa yang tidak kesal, sedang asik tidur malah diganggu. Vidya terlanjur kesal, Shena selalu saja melakukan berbagai cara untuk memancing emosinya."Kamu berisik banget sih, Mas! Aku kesal sama Mbak Shena!" keluh Vidya. Ia menyedekapkan kedua tangannya di depan dada sembari mendaratkan bokongnya di kasur.Pria itu menautkan kedua alisnya. Saat nama Shena disebut di sela-sela kekesalan Vidya."Kenapa dengan Shena?" tanya Arya. Pria itu mengucek kedua matanya sambil mendekat ke arah istri mudanya."Dia menghina aku lagi, Mas! Kamu yang tegas dong, jadi suami. Tegur dia supaya nggak semena-mena sama orang! Kamu ini gimana sih!" Vidya menggerutu. Wanita itu men
Aulia datang ke kampus dengan malas. Tidak seperti biasanya, gadis itu terlihat murung karena temannya tahu Aulia selalu bersemangat jika ke kampus."Ayolah, Aulia. Jangan berpikir gila karena percaya pada orang seperti Vidya. Dia itu ular berbisa!" gumamnya.Dia masih kepikiran foto kebersamaan Ervan dengan kakak iparnya. Di parkiran, Aulia menatap sebuah mobil milik Ervan yang memasuki area kampus.Saat sosok Ervan keluar, Aulia buru-buru menghalau kegugupan dengan jantung berdebar-debar.Ervan melirik, pada sosok mahasiswi yang tengah berdiri dan tersenyum ke arahnya."Selamat pagi, Pak Ervan. Jangan lupa, jam awal Bapak yang mengajar," sapa Aulia. Gadis itu memang suka menyapa pada dosen yang mengajar di kelasnya. Bukan hanya Ervan saja, tetapi yang lainnya juga.Pria berusia matang itu mengangguk. Selain wajahnya yang tampan, dia dikenal ramah kepada siapa saja."Pagi, Aulia. Terima kasih sudah mengingatkan saya. Se
Seperti rencana mereka pagi tadi, Aulia dan Wina datang ke sebuah pusat perbelanjaan sore harinya untuk bersantai. Mereka datang ke food court.Gerak-gerik dua gadis itu tak luput dari pengawasan Vidya yang tak jauh dari mereka. Dia ingin memantau Aulia, agar bisa mendapatkan informasi.Aulia celingak-celinguk, bola matanya terus mengitari area di sekitarnya seperti ada yang dia cari."Kamu nyari apa sih, Aulia? Dari tadi celingukan melulu. Nggak pegal tuh, matamu?" tanya Wina sambil mengguncang pelan lengan sahabatnya.Semula Aulia yang semangat, kini rasa semangatnya pudar lantaran Ervan belum terlihat di mall ini."Pak Ervan kok nggak ada, ya? Apa dia lagi di jalan?" Bukannya menjawab, Aulia justru bertanya.Kurang lebih satu jam lamanya mereka menunggu di mall itu, akan tetapi dia tidak melihat Ervan sama sekali.Wina menepuk keningnya. Susah sekali menghadapi Aulia yang sedang kasmaran pada seorang duda tampan yang mengajar di kelasnya."Astaga, Aulia ... aku kira kenapa. Udahlah
Aulia menoleh dengan cepat, dari mana suara itu berasal.Dari arah tempat bermain anak, terlihat Shena dan Sheira sedang menatap ke arahnya. Bahkan Ervan yang fokus memperhatikan mereka membalik badan, menyadari ada sosok mahasiswinya.Sheira berlari ke arah Aulia, anak kecil itu berhambur ke pelukan tantenya. Shena sendiri kaget, ada kehadiran adik iparnya di sini. Pun sebaliknya, Aulia jadi berpikir, bahwa yang dikatakan Vidya itu benar."Tante Aulia!" panggil Sheira."Hai, Sayang. Seru mainnya?" tanya Aulia."Seru, Tante. Sheira punya teman baru. Ergan namanya, anaknya Om Ervan."Wanita yang dipanggil tante itu tersenyum kepada keponakannya. Ervan mengerutkan kening. Saat Sheira memanggil Aulia dengan sebutan tante, pasalnya dia tak tahu."Kamu di sini juga, Aulia? Sama siapa ke sini?" tanya Shena dengan biasa-biasa saja, dia tidak sadar bahwa Vidya sedang memprovokasinya pada Aulia."I-iya, Mbak. Sendirian aja. Tadinya sih sama Wina, dia pamit karena ada urusan," alibi Aulia, mena
Setelah asik berkeliling sambil berbelanja di mall, mereka semua memutuskan untuk pulang, berhubung hari sudah mulai merangkak ke malam. Mereka menaiki kendaraan masing-masing, sementara Aulia bersama dengan Shena karena dia berangkat ke mall ini memakai mobil Wina. Sebelum pergi, mereka berpamitan terlebih dahulu. "Dadah, Ergan. Semoga kita bisa main lagi," kata Sheira, melambaikan tangan pada Ergan yang enggan untuk pulang karena asik bermain dengan teman barunya itu."Bye, Sheira. Nanti aku suruh Daddy ke sini supaya kita bisa main bareng lagi," ucap Ergan.Kedua anak kecil itu asik dengan dunianya, terpaksa pulang karena hari sudah mulai gelap. Pun besok sekolah, harus istirahat.Aulia tersenyum ke arah Ergan, bocah itu buru-buru membuang muka. Susah memang menaklukan hati anak kecil ini."Hati-hati ya, pulangnya, Ergan," ucap Aulia. Berusaha menampilkan raut keceriaan pada anak dari pria yang dicintainya. Namun sayang, Ergan malah melewatinya begitu saja, dan memilih berjalan m
Sesampainya di kediaman, Shena memarkirkan mobilnya di garasi. Dia sedikit janggal, dengan Aulia yang tidak mendengarkan ucapannya selama dalam perjalanan. Alhasil, Shena hanya bisa fokus menyetir karena Sheira sudah tidur.Saat mengetahui mobil sudah berhenti, Aulia turun tanpa melirik sedikit pun pada Shena.BRAK!Shena terparanjat, sambil menenangkan Sheira yang hampir terbangun dengan sikap Aulia yang menutup pintu mobil dengan kasar."Apa yang terjadi pada Aulia? Sepanjang jalan dia hanya diam saja," gumam Shena bertanya-tanya. Ia lekas menggendong tubuh mungil Sheira. Di saat itu juga, sebuah mobil terparkir tepat di sebelah mobilnya.Mobil siapa lagi jika bukan mobil milik Arya. Lebih tepatnya, mobil dari Arya, untuk hadiah ulang tahun Shena beberapa tahun yang lalu. Karena ini sudah termasuk jam pulang kerja, pria itu tak mampir ke mana pun. Arya turun, menghampiri Shena dan juga putrinya."Sini, Sheira biar Mas aja yang gendong, Sayang," katanya. Mendengar kalimat 'Sayang' y
Dua minggu telah berlalu sejak Arya dan Anna menyerahkan sampel DNA ke laboratorium di rumah sakit. Selama dua minggu ini, Arya mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia tetap bekerja, tetap pulang ke rumah setiap malam, dan tetap berusaha untuk bersikap normal di hadapan Vidya. Tapi jauh di dalam hatinya, ada sebuah ketakutan yang terus menghantui. Pagi itu, ponselnya bergetar saat ia sedang duduk di meja makan, menyeruput kopi yang terasa hambar di lidahnya. Layar ponsel menampilkan nama sebuah rumah sakit. Saat itu pula, jantungnya langsung terasa berdetak lebih cepat."Halo?" suaranya terdengar sedikit bergetar._"Selamat pagi, Bapak Arya. Kami dari bagian laboratorium Rumah Sakit Sumber Medika. Hasil tes DNA Anda sudah keluar dan bisa diambil hari ini."_Mendengar informasi tersebut, Arya menelan ludahnya. "Baik, nanti siang akan saya ambil."Setelah menutup telepon, Arya menatap kosong ke depan. Vidya, yang sejak tadi duduk di seberangnya sambil menggendong Arvi, menyada
"Cuma apa?" potong Arya dengan cepat. "Cuma mau memastikan Arvi selalu ada di dekatmu, biar aku nggak punya kesempatan buat bawa dia ke rumah sakit?""Mas Arya!" Vidya terperanjat. "Aku cuma … aku cuma nggak mau ada masalah dalam rumah tangga kita! Aku takut semuanya hancur!"Arya tertawa pendek, penuh kepahitan. "Semuanya hancur? Kamu pikir aku nggak takut? Aku juga nggak mau rumah tangga ini berantakan, Vidya! Sudah cukup rumah tanggaku dengan Shena berantakan gara-gara kamu muncul dalam hidup aku. Aku juga nggak mau hidup dalam kebohongan!"Vidya terdiam. Ia ingin membela diri, tetapi hatinya dipenuhi ketakutan."Aku nggak minta banyak, Vid," lanjut Arya dengan suaranya yang lebih lirih, tapi tetap terdengar tegas. "Aku cuma mau kepastian. Kalau memang Arvi adalah anak kandungku, aku sangat bersyukur dan akan tetap mencintaimu dengan sepenuh hati. Tapi kalau ternyata bukan ...."Arya menatap istrinya dengan tajam. "Aku nggak tahu apa aku masih bisa bertahan dalam rumah tangga yang
"Aku setuju tes DNA dilakukan besok," ucap Arya akhirnya.Anna tersenyum tipis, akhirnya sang adik menyetujui. "Bagus kalau kamu sudah yakin.""Tapi, ada masalah," lanjut Arya dengan nada serius. "Aku nggak punya uang cukup buat tesnya, Mbak."Anna mengerutkan kening, menatap adiknya dengan penuh selidik. "Memangnya, kamu butuh berapa?""Aku belum cek biaya pastinya, Mbak. Tapi, tes DNA di rumah sakit itu pasti nggak murah," Arya mengusap tengkuknya dengan canggung. "Makanya aku mau minta bantuanmu, Mbak. Bisa nggak, aku pinjam uang dulu?"Anna menatap Arya lekat-lekat, memastikan apakah adiknya benar-benar serius. Ia tahu kondisi keuangan Arya memang sedang sulit. Sebagai sopir taksi online, penghasilannya pas-pasan, apalagi sekarang Vidya sudah tidak bekerja semenjak menikah dengan Arya."Aku nggak masalah bantuin kamu," jawab Anna akhirnya. "Tapi, kalau hasilnya nanti beneran nunjukin kalau Arvi bukan anak kamu, apa kamu berani ambil tindakan?"Mendengar itu, Arya terdiam. Pertanya
Setelah masuk ke dalam kamar, Vidya langsung mengunci pintunya rapat-rapat. Ia bahkan memastikan jendela juga terkunci. Ia tak mau ada seorang pun yang masuk atau mencoba mengambil sesuatu dari dalam kamar ini.Sementara itu, di luar kamar, Anna berdiri bersedekap dengan ekspresi dingin. Ia sudah menduga Vidya akan melakukan hal ini, mengurung diri bersama dengan bayinya. Namun, kali ini ia tidak akan tinggal diam.Anna menunggu di luar kamar dengan penuh kesabaran. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik Vidya, mengamati apakah ada celah yang bisa dimanfaatkan.Ternyata, usahanya tidak sia-sia.Ketika sore mulai menjelang, Anna mendengar suara kunci kamar yang diputar. Ia segera berpura-pura sedang sibuk dengan ponselnya. Namun, ekor matanya tetap mengawasi.Vidya keluar dari kamar dengan wajah sedikit lelah, tetapi ekspresi tegang masih jelas terlihat di wajahnya.Anna memperhatikan dengan saksama."Kenapa dia keluar kamar?" pikirnya.Saat Vidya berjalan menuju kamar mandi, Anna memperh
Siang itu, suasana rumah masih terasa tegang. Vidya terus-terusan menempel pada Arvi, seolah tak ingin bayi itu lepas dari gendongannya. Bahkan, saat makan pun, ia tetap menggendong sang putra.Arya yang duduk di meja makan hanya bisa menatap istrinya dengan pandangan penuh tanya. Sejak pagi, Vidya tampak semakin aneh. Ia tidak membiarkan siapa pun menyentuh Arvi, bahkan Arya sendiri.Saat tangan Arya terulur ingin mengusap kepala bayinya, Vidya langsung memundurkan tubuhnya sedikit, menghindar tanpa terlihat mencolok."Kamu kenapa, Vid?" tanya Arya akhirnya, dengan suaranya yang datar, dan sorot matanya yang menatap tajam.Vidya tersentak, lalu terkekeh kecil. "Nggak kenapa-napa, Mas. Aku cuma lagi menikmati waktu sama Arvi."Arya mengangkat alis, merasa tidak percaya. "Bahkan aku aja nggak boleh gendong Arvi? Sejak kapan kamu kayak gini?"Vidya berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa dag-dig-dug. "Bukan gitu, Mas. Arvi kan masih kecil. Aku nggak mau dia rewel kalau digendong ora
Ia menunduk, menenangkan Arvi yang mulai menggeliat dalam gendongannya. Vidya pun menghela napas panjang."Sial," desisnya. "Aku nggak boleh panik, dan aku harus berpikir jernih."Jika benar Arya sudah mulai curiga, maka itu berarti ia harus mencari cara lain untuk mengendalikan keadaan. Mengandalkan Yudi jelas bukan pilihan. Pria itu terlalu bodoh untuk memahami situasi.Vidya menegakkan punggungnya, memasukkan amplop itu ke dalam saku celananya. Matanya mulai mencari-cari seseorang di sekitar taman. Ia harus memastikan bahwa tidak ada yang mengawasinya.Tapi, tanpa Vidya sadari, seseorang masih berdiri di balik pohon besar, mengamati semua yang terjadi.Anna menggenggam ponselnya erat-erat, jantungnya berdegup kencang. Ia sudah mendengar semuanya. Setiap kata yang keluar dari mulut Vidya dan Yudi telah ia rekam.Anna mengusap tengkuknya yang dingin. Apa yang baru saja ia dengar bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Fakta bahwa Arvi bukan anak kandung Arya adalah sebuah bom besar y
"Uang," jawab Yudi dengan singkat. "Gunakan ini buat jaga-jaga. Kalau Arya sampai kepikiran tes DNA, kamu tahu harus gimana, kan?"Vidya pun semakin gelisah. "Tapi ....""Jangan banyak tanya, Vidya," potong Yudi dengan tajam. "Ini buat kebaikan kita semua. Aku nggak mau ada masalah."Vidya menggigit bibirnya, lalu menerima amplop itu dengan rasa penasaran, berapa banyak uang yang ia terima.Ia segera membuka amplop yang baru saja diberikan Yudi. Dengan cepat, ia menarik isinya dan mulai menghitungnya di hadapan pria itu. Matanya menyipit saat melihat jumlahnya. Hanya sepuluh lembar uang seratus ribuan.Vidya mendengkus, lalu menatap Yudi dengan ekspresi tak percaya. "Serius? Kamu kasih aku uang cuma satu juta?"Yudi memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, ekspresinya tetap datar. "Memangnya kamu berharap berapa?"Vidya mendekatkan wajahnya, menurunkan suaranya agar tidak terdengar oleh siapa pun di sekitar mereka. "Kalau kamu pikir aku bisa nyogok dokter buat memalsukan hasil tes
Arya mendesah pelan, lalu menundukkan kepala. "Aku … nggak punya cukup uang buat itu, Mbak."Anna terdiam. Ia tahu bahwa setelah kehilangan pekerjaan lamanya, Arya kini hanya bekerja sebagai sopir taksi online. Penghasilannya pas-pasan, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, terutama untuk Arvi."Tes DNA itu mahal," lanjut Arya dengan suara berat. "Aku bahkan belum bisa menabung, karena semua uangku habis buat beli susu dan kebutuhan Arvi."Anna menatapnya dengan penuh simpati."Mbak ngerti, Arya. Mbak juga nggak mau maksa kamu untuk Tes DNA, kalau memang kamu belum siap." Ia menghela napas sejenak, lalu menatap wajah adiknya yang kini tampak lebih tua dari usianya. "Tapi kalau kamu benar-benar ingin tahu kebenarannya, kamu harus cari cara. Mungkin bisa mulai menabung sedikit demi sedikit dari sekarang. Ya, meskipun akhirnya entah kapan tes itu bisa dilakukan."Arya memijat pelipisnya, merasa semakin terbebani. "Aku takut, Mbak."Anna menatap adiknya dalam-dalam. "Kamu takut kalau t
Vidya tertegun. Ia tidak menyangka Arya akan menanyakan hal itu."Maksud Mas Arya apa?" tanya Vidya yang memaksakan diri dan berusaha tersenyum, meskipun jantungnya mulai berdebar tak menentu karena merasa tak nyaman mendengar pertanyaan dari suaminya.Arya menelan ludah dengan susah payah. "Aku nggak tahu kenapa, tapi … aku merasa dia nggak mirip sama aku, atau kamu."Ruangan mendadak terasa lebih sunyi. Vidya memandang wajah bayi mereka, lalu kembali menatap Arya."Mas … kenapa tiba-tiba mikirin hal kayak gitu?" tanya Vidya, mencoba untuk tetap tenang.Arya mengusap wajahnya, merasa bimbang apakah ia harus melanjutkan ucapannya atau tidak. Namun, pikiran itu terus menghantuinya."Aku tahu ini mungkin cuma perasaan anehku aja," katanya pelan. "Tapi … selama ini aku berusaha meyakinkan diri sendiri kalau aku cuma berlebihan. Tapi sekarang, aku nggak bisa lagi. Aku merasa … Arvi lebih mirip seseorang yang kita kenal."Vidya merasakan napasnya tercekat. Tangannya secara refleks menggeng