Aku terus berlari tanpa berani menoleh ke belakang sedikit pun. Di jalanan yang gelap dan sepi, aku berlari tanpa henti, menjauh dari kediaman Juragan Basri.
"Semoga nggak ada yang ngikutin aku." Pikiranku benar-benar kacau. Aku memang sudah berhasil keluar dari rumah Juragan Basri. Akan tetapi, belum tentu aku bisa lolos dari cengkraman Juragan yang gila perempuan itu. Selama aku masih berkeliaran di wilayah ini, orang-orang suruhan Juragan Basri bisa saja mengejar dan menangkapku kembali."Aku harus ke mana sekarang?" Langkah kakiku tanpa arah dan tujuan. Setelah berlari kencang selama beberapa menit, akhirnya aku berhasil keluar dari gang dan saat ini aku telah berada di jalan raya.Meski malam sudah sangat larut, tetapi masih ada beberapa mobil yang berlalu lalang di jalanan yang aku lewati. Agar tidak terlihat mencolok, aku berjalan di pinggir jalan. Aku tidak boleh terlihat oleh orang-orang Juragan Basri."Aku nggak bolehCukup lama aku sembunyi di balik pohon bersama laki-laki berperawakan tinggi besar yang merupakan salah satu anak buah Juragan Basri. Dan sudah beberapa kali aku mendengar suara preman-preman lain yang melintas di dekat tempatku bersembunyi. Akan tetapi, laki-laki ini masih tetap melindungiku. Aku tidak ingin mengakuinya, tapi secara tidak langsung laki-laki ini sudah menyelamatkanku dari anak buah Juragan Basri yang lain, padahal dia salah satu bagian dari mereka."Kayaknya mereka udah pergi," gumam laki-laki itu kemudian melepas tangannya yang masih membekap mulutku."K-kamu siapa? Kenapa kamu bisa tahu aku ada di sini? Kamu juga orang suruhan Juragan Basri, kan?" tanyaku pada laki-laki itu."Aku emang anak buah Juragan Basri, tapi aku nggak akan nyerahin kamu ke Juragan Basri!" sahut laki-laki itu."Maksudnya apa? Apa dia punya rencana lain? Apa dia mau menculikku, lalu menjualku ke juragan lain?" batinku. Aku mulai berburuk
Akhirnya aku mengikuti langkah laki-laki itu masuk. Dari luar, bangunan rumah yang ada di hadapanku saat ini terlihat cukup memprihatinkan. Akan tetapi, saat aku sudah berada di dalam ternyata rumah ini terlihat cukup bersih dan rapi.Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak banyak perabotan yang terpajang di sana. Aku hanya melihat sebuah tikar usang dan dipan kayu yang berada di pojok ruangan.Sama seperti tikar yang sudah usang, dipan kayu yang ada di pojok ruangan itu juga terlihat sudah tua. Dan di atas dipan itu, tampak seorang perempuan renta sedang terbaring di sana."Silakan duduk!" ucap laki-laki yang sudah menolongku."Iya, makasih, Mas," ujarku sekenanya pada laki-laki yang belum kuketahui namanya itu.Aku duduk di atas tikar usang yang terbentang. Sesekali aku melirik ke arah wanita tua yang terbaring tak jauh dari tempatku duduk.Tak lama kemudian, anak buah Juragan Basri itu muncul dengan
Aku dan Mas Arul masih asik berbincang, membahas masa lalu Mas Arul dan keluarganya. Aku makin penasaran, bagaimana laki-laki sebaik Mas Arul bisa bergabung menjadi anak buah rentenir kejam seperti Juragan Basri.Kupikir semua anak buah Juragan Basri sama br*ngseknya seperti majikan mereka. Tapi Mas Arul sama sekali bukan laki-laki kejam seperti Juragan Basri. Mas Arul bukan preman. Mas Arul hanya seorang ayah yang berusaha menghidupi keluarga kecilnya, dan seorang anak yang berjuang untuk merawat ibunya yang sedang sakit."Jadi Mas berhenti jualan dan jadi anak buah Juragan Basri demi mendapatkan uang lebih?" tanyaku."Iya, Mba, saya terpaksa. Saya butuh uang untuk pengobatan Ibu saya. Mbak lihat sendiri 'kan kondisi Ibu saya? Ibu saya udah nggak bisa ngapa-ngapain, Mbak. Makan aja harus disuapin," ujar Mas Arul sambil menatap ibunya. "Uang hasil jualan di pelabuhan nggak bisa saya andalkan, makanya saya berusaha cari pekerja
Sudah tiga hari aku menumpang dan bersembunyi di rumah Mas Arul. Sesuai dengan kesepakatan, selama di sini aku akan membantu menjaga Ibu Mas Arul selagi Mas Arul dan istrinya pergi bekerja.Untungnya istri Mas Arul dan anak Mas Arul menyambutku dengan baik dan tidak keberatan aku menumpang di sini selama seminggu. Mbak Lia sangat ramah padaku, begitu pula dengan Roni. Aku sudah mulai terbiasa tinggal di sini. Meskipun rumah Mas Arul sempit dan tidak memiliki fasilitas seperti TV dan juga kipas angin, tetapi tempatnya cukup nyaman untuk beristirahat.Tugas yang diberikan Mas Arul padaku juga tidak terlalu berat. Aku hanya perlu menemani ibunya, menyuapi, memandikan, serta membantu ke kamar mandi bila Mas Arul dan Mbak Lia tidak ada di rumah. "Roni, Kamu udah pulang?" sapaku pada anak Mas Arul yang baru saja kembali dari sekolah"Iya, Tante. Ibu belum pulang, ya?" tanya Roni."Iya, Ibu kamu belum pul
Aku akan pulang ke kampung halaman dengan menaiki bus. Uang yang diberikan oleh Mas Arul lebih dari cukup untuk membiayai perjalananku sampai ke Palembang.Agak sedih karena harus berpisah dengan keluarga Mas Arul, tapi di sisi lain aku juga merasa senang karena berhasil kabur dari Mas Bima dan Juragan Basri. Aku juga berhak hidup bahagia dan tinggal di tempat yang lebih aman dan nyaman. Selama beberapa minggu terakhir, hidupku sungguh tidak tenang. Aku tak ubahnya seperti seorang buronan yang harus bersembunyi dari kejaran orang-orang Juragan Basri. Insyaallah setelah berhasil meninggalkan tempat ini, aku bisa hidup normal lagi. "Bismillah! Semoga perjalananku lancar tanpa hambatan apapun."Bus yang kunaiki mulai bergerak memasuki area pelabuhan. Sebentar lagi kapal akan membawaku menyeberang ke Pulau Sumatera. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera sampai di kampung halaman. Selagi menunggu bus masuk ke kapal, aku mengh
Aku ada di mana sekarang? Kenapa aku bisa ada di sini? Pandangan mataku mengarah ke seluruh penjuru ruangan. Ada ranjang pasien, tiang infus, dan aroma obat-obatan. Apa aku ada di rumah sakit? Siapa yang membawaku ke sini? "Syukurlah Mbak sudah sadar. Ada keluhan apa, Mbak? Mbak merasa pusing atau ada bagian tubuh yang terasa sakit?" Seorang wanita berpakaian serba putih menghampiriku dan mengajakku bicara. Dari busana yang ia kenakan, sepertinya dia adalah perawat di rumah sakit ini. "Mbak bisa dengar suara saya? Mbak bisa lihat dengan jelas?" tanya perawat itu lagi padaku. Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun karena aku masih berusaha mengingat-ingat kejadian sebelum aku dibawa ke sini. Bukankah tadi aku dikejar-kejar oleh anak buah Juragan Basri di pelabuhan? "Mbak?" Perawat itu menyentuh tanganku, tapi aku langsung menepisnya dah menatap curiga ke arah perawat yang berdiri di ha
Satu-satunya cara untuk menghindari anak buah Juragan Basri adalah pergi sejauh mungkin dari wilayah ini. Bagaimanapun caranya, aku harus pergi dari sini. “Minta tolong apa?” tanya Dokter Dimas. Aku terdiam sejenak. Setidaknya aku harus menyiapkan kalimat yang bagus agar Dokter Dimas mau menolongku. “Saya nggak bisa menghubungi keluarga saya sekarang, tapi saya harus pergi dari sini. Apa saya boleh minta tumpangan pada Dokter?" ucapku malu sekaligus sungkan. “Tentu, Nona. Saya bisa antar Nona pulang,” sahut Dokter Dimas. Aku masih belum memutuskan ke mana akan pergi. Untuk sekarang mungkin aku tidak akan bisa pulang ke Palembang. Anak buah Juragan Basri mungkin masih mencariku di pelabuhan. Tak ada pilihan lain lagi, mungkin sebaiknya aku pergi ke Bekasi. Di Bekasi lebih baik daripada aku harus tinggal di Tangerang. Tempat ini sudah tidak aman lagi untukku.
Tak terasa, sudah satu minggu aku tinggal menumpang di rumah Bu Senja dan Pak Fajar. Kedua orang tua dokter Dimas memperlakukan aku dengan baik layaknya seorang tamu selama aku tinggal di sini.Aku diberi kamar yang cukup besar dan aku menikmati banyak makanan enak setiap harinya. Aku benar-benar bersyukur bertemu dengan orang-orang baik seperti keluarga dokter Dimas, tapi aku merasa tak pantas menerima semua kebaikan ini secara cuma-cuma.Entah apa yang harus kulakukan nanti untuk membalas kebaikan keluarga dokter Dimas. Untuk saat ini, aku hanya bisa melakukan hal yang mampu kulakukan."Eh, Nak Nayna! Kamu ngapain pegang-pegang sapu?" Bu senja menghampiriku dan merebut sapu yang ada di tanganku."Kamu istirahat aja di dalam. Enggak perlu bersih-bersih kayak gini, kan udah ada bibi pembantu yang akan bersihin rumah," ujar Bu Senja.Sebagai orang yang tahu diri, aku tidak mungkin hanya berdiam diri dan menerima pe
Sudah kuduga, setelah istri Mas Bima tahu kebenaran tentang Yumna, Mas Bima pasti akan langsung menemuiku. Aku tidak tahu bagaimana Mas Bima bisa menemukanku. Aku sengaja tidak muncul di kedai cabang baru, karena aku takut Mas Bima akan mendatangiku ke sana. Namun, ternyata menghindari tempat itu tak bisa menjamin aku akan aman dari Mas Bima. Semakin aku menghindar dari Mas Bima, justru aku makin mudah dipertemukan dengan laki-laki itu."Aku udah nyari kamu kemana-mana," ucap Mas Bima padaku. "Ada banyak hal yang harus kita bicarakan."Aku menatap Mas Bima dengan penuh waspada. "Kamu mau tanya soal anakku lagi?""Anak kamu? Anak itu bukan cuma anak kamu 'kan, tapi anakku juga. Aku nggak impoten! Aku masih bisa punya anak!" seru Mas Bima.Aku segera menghubungi Mas Iqbal dan memberitahu tentang pertemuanku dengan Mas Bima. Aku bergegas mencari tempat yang ramai untuk berbicara dengan Mas Bima untuk mencegah Mas Bima melakukan ha
Kupikir, aku sudah berhasil lepas dari Mas Bima. Tapi entah kenapa, sampai saat ini bayang-bayang Mas Bima masih saja mengusikku.Aku datang ke kedai hanya untuk memberikan makan siang, tapi aku justru mendapat kejutan tak terduga. Begitu sampai di sana, aku langsung disambut oleh seorang wanita dengan wajah yang cukup familiar"Aku baru aja mau menghubungimu," ujar Mbak Ratih. "Kamu urus dulu tamu kamu."Aku mematung di pintu. Wanita yang menatapku saat ini tak lain ialah istri baru Mas Bima."Bisa kita bicara sebentar?""Ada perlu apa, ya?" tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Mana bisa aku menyambut tamu tak diundang itu dengan wajah ramah. Aku tidak mau berhubungan lagi dengan Mas Bima, tapi orang-orang di rumah Mas Bima justru terus mendatangiku."Ada hal penting yang ingin saya bahas."Mas Iqbal dan Ibu ikut duduk di dekatku. Istri baru Mas Bima itu tetap melanjutk
"Anak Mas Arul sakit apa? Sekarang keadaannya gimana?" Pertemuanku dan Mas Arul tak berhenti sampai di sini. Kami berbincang banyak, membahas tentang kondisi keluarga Mas Arul. Ternyata memang benar, kehidupan Mas Arul masih belum berubah. Bahkan, Mas Arul makin kesulitan mencari nafkah setelah memutuskan berhenti menjadi kaki tangan Juragan Basri. Sampai saat ini, Mas Arul dan Mbak Lia masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka bahkan kesusahan mengumpulkan keuntungan dari hasil berjualan di pelabuhan. "Jualan di pelabuhan sekarang susah, Mbak. Ada banyak pesaing, ditambah minat pembeli yang makin berkurang. Saya sampai nggak mampu bawa Roni ke dokter," ungkap Mas Arul dengan wajah sendu. Mendengar cerita Mas Arul membuatku iba dan tak tega. Setelah memberikan empek-empek, aku pun menawarkan diri untuk mengantar Mas Arul pulang. Aku ingin bertemu dengan keluarga Mas Arul,
"Jangan ngomong sembarangan ya, Mas! Anakku sama sekali nggak mirip sama kamu!"Aku makin panik. Aku tidak akan membiarkan Mas Bima tahu soal Yumna."Ini anak aku sama Mas Iqbal. Anak ini nggak ada hubungannya sama kamu!" tegasku."Berapa umur anak ini? Udah berapa lama kamu nikah sama Iqbal?" tanya Mas Bima.Aku segera pergi meninggalkan Mas Bima tanpa menjawab pertanyaan darinya. Kalau Mas Bima tahu aku baru menikah dengan Mas Iqbal beberapa bulan lalu, jelas Mas Bima akan langsung paham kalau Yumna bukanlah anak Mas Iqbal."Nayna, aku belum selesai bicara sama kamu!" seru Mas Iqbal."Aku sama kamu udah nggak punya urusan apa-apa lagi. Aku sama kamu udah punya kehidupan masing-masing, jadi tolong jangan ganggu ketenangan aku lagi!"Hari ini mungkin aku bisa melarikan diri dari Mas Bima. Namun, jika nanti aku sampai bertemu dengan Mas Bima lagi, mungkin aku tidak akan bisa kabur.
Mas Bima terus menatap ke arah putriku. Mungkinkah Mas Bima sudah mulai curiga? Tapi Mas Bima tidak mungkin bisa langsung tahu kalau Yumna adalah anaknya. Mas Bima tidak tahu bagaimana kabarku, jadi Mas Bima juga tidak akan tahu kalau aku mengandung anaknya setelah kami berpisah."Kamu kabur dari Juragan Basri, ya? Kamu lebih memilih suami miskin, makanya sekarang kamu kerja di kedai kecil kayak gini?" cibir Mas Bima padaku."Siapa yang kamu sebut suami miskin?" sentak Mas Iqbal, "sekarang kedai ini memang masih kecil, tapi aku akan membuat kedai ini menjadi besar sesegera mungkin.""Kedai ini punya suamiku, Mas," ungkapku, "memang suamiku belum jadi juragan, tapi aku akan menemani suamiku sampai bisa jadi seorang juragan."Mas Bima membelalakkan mata. Setelah mengejekku, Mas Bima pasti terkejut saat tahu kalau kedai empek-empek ini adalah milik suamiku."Bima, kamu ngobrol sama siapa?"Seseorang tib
Tawaranku mendapat sambutan baik dari Mbak Ratih. Mulai hari ini, Mbak Ratih akan menjadi pegawai di kedai empek-empek yang baru saja aku buka di Tangerang.Mas Iqbal mendukung penuh keputusanku, dan ikut membantu menyediakan tempat tinggal bagi Mbak Ratih untuk sementara waktu. Mbak Ratih akan menjadi orang kepercayaanku untuk mengurus cabang-cabang kedai yang ada di wilayah Tangerang."Bu, udah siap belum? Ayo, kita harus berangkat ke kedai sekarang," ajakku pada Ibu.Hari ini, aku dan Mas Iqbal akan pergi ke kedai empek-empek bersama dengan Ibu dan Yumna. Karena kedai yang kami buka di Tangerang masih sangat baru, jadi aku dan Mas Iqbal harus memberikan perhatian khusus sampai kedai kami memperoleh angka penjualan yang stabil. "Yumna, hari ini bantuin Mama jaga kedai, ya? Kita bantu Tante Ratih jualan empek-empek," ocehku pada putriku.Untuk menebus rasa bersalahku pada Yumna karena aku terus sibuk selama bebe
Jantungku terus berdegup kencang selama aku berada di wilayah kediaman Juragan Basri. Sesuai dengan informasi yang aku dapat, hari ini Juragan Basri pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Beberapa preman tampak sibuk mempersiapkan keberangkatan Juragan Basri, jadi aku bisa menyelinap masuk dengan mudah."Gimana, Mbak? Juragan Basri udah mau pergi, kan?" tanyaku pada Mbak Ratih begitu kami bertemu di dapur."Sebentar lagi dia berangkat," sahut Mbak Ratih."Kita mau pergi sekarang apa nanti?""Kita tunggu dulu sampai si Tua Bangka itu pergi."Mbak Ratih segera berganti pakaian sambil menunggu Juragan Basri berangkat bersama pengawalnya. Aku sudah menyiapkan pakaian khusus untuk Mbak Ratih menyamar.Meski aku tidak yakin baju yang dikenakan Mbak Ratih dapat mengelabui penjaga di rumah Juragan Basri, tapi setidaknya aku dan Mbak Ratih harus melakukan sesuatu agar kami tidak tertang
Aku bersyukur, Mbak Ratih masih ingat padaku. Mbak Ratih terlihat begitu senang saat bertemu lagi denganku. Meski kami tidak bisa bicara banyak, setidaknya aku sudah berhasil bertukar nomor dengan Mbak Ratih. Aku bisa memantau Mbak Ratih dan menyusun rencana untuk membawa Mbak Ratih keluar dari sana.[Aku berhutang banyak sama Mbak Ratih. Kalau bukan karena Mbak, aku nggak mungkin bisa nikah lagi, ngurus anak, sama bikin usaha bareng suami. Semua yang aku capai sekarang, berkat bantuan Mbak Ratih.]Aku mengirim pesan tersebut dengan manik mata berkaca-kaca. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku sudah hidup aman dan damai, tapi orang yang menolongku masih terperangkap dalam penderitaan.[Kamu nggak perlu berlebihan, Nayna. Aku ikut senang kalau kamu udah hidup bahagia sekarang.][Aku akan bantu Mbak keluar dari cengkraman Juragan Basri.][Kamu nggak perlu repot mikirin aku, Nay. Aku bisa cari cara sendiri.]
"Sah!"Aku tak bisa menahan tangis haru. Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari ini aku dan Mas Iqbal melangsungkan akad nikah. Meski acara ini tidak dihadiri oleh banyak orang, tapi ijab kabul yang kami laksanakan tetap terasa sakral dan khidmat.Di depan penghulu, Mas Iqbal mengucap ijab dengan lantang tanpa kesalahan. Hanya dalam hitungan menit, aku akhirnya resmi menjadi istri Mas Iqbal yang sah secara hukum dan agama.Kini, jari manisku kembali dihiasi dengan cincin. Bukan hanya cincin di jariku saja yang bertambah, tapi kehidupanku juga akan sepenuhnya berubah."Selamat, Nayna. Semoga kamu dan suami kamu bisa membangun rumah tangga yang sakinah dan penuh berkah," ucap Ibu padaku diiringi derai air mata.Aku menangis dalam pelukan Ibu. Kebahagiaan yang aku rasakan saat ini tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kupikir, hidupku sudah berakhir setelah aku berpisah dari Mas Bima. Namun, siapa sang