Jantungku terus berdegup kencang selama aku berada di wilayah kediaman Juragan Basri. Sesuai dengan informasi yang aku dapat, hari ini Juragan Basri pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Beberapa preman tampak sibuk mempersiapkan keberangkatan Juragan Basri, jadi aku bisa menyelinap masuk dengan mudah.
"Gimana, Mbak? Juragan Basri udah mau pergi, kan?" tanyaku pada Mbak Ratih begitu kami bertemu di dapur."Sebentar lagi dia berangkat," sahut Mbak Ratih."Kita mau pergi sekarang apa nanti?""Kita tunggu dulu sampai si Tua Bangka itu pergi."Mbak Ratih segera berganti pakaian sambil menunggu Juragan Basri berangkat bersama pengawalnya. Aku sudah menyiapkan pakaian khusus untuk Mbak Ratih menyamar.Meski aku tidak yakin baju yang dikenakan Mbak Ratih dapat mengelabui penjaga di rumah Juragan Basri, tapi setidaknya aku dan Mbak Ratih harus melakukan sesuatu agar kami tidak tertangTawaranku mendapat sambutan baik dari Mbak Ratih. Mulai hari ini, Mbak Ratih akan menjadi pegawai di kedai empek-empek yang baru saja aku buka di Tangerang.Mas Iqbal mendukung penuh keputusanku, dan ikut membantu menyediakan tempat tinggal bagi Mbak Ratih untuk sementara waktu. Mbak Ratih akan menjadi orang kepercayaanku untuk mengurus cabang-cabang kedai yang ada di wilayah Tangerang."Bu, udah siap belum? Ayo, kita harus berangkat ke kedai sekarang," ajakku pada Ibu.Hari ini, aku dan Mas Iqbal akan pergi ke kedai empek-empek bersama dengan Ibu dan Yumna. Karena kedai yang kami buka di Tangerang masih sangat baru, jadi aku dan Mas Iqbal harus memberikan perhatian khusus sampai kedai kami memperoleh angka penjualan yang stabil. "Yumna, hari ini bantuin Mama jaga kedai, ya? Kita bantu Tante Ratih jualan empek-empek," ocehku pada putriku.Untuk menebus rasa bersalahku pada Yumna karena aku terus sibuk selama bebe
Mas Bima terus menatap ke arah putriku. Mungkinkah Mas Bima sudah mulai curiga? Tapi Mas Bima tidak mungkin bisa langsung tahu kalau Yumna adalah anaknya. Mas Bima tidak tahu bagaimana kabarku, jadi Mas Bima juga tidak akan tahu kalau aku mengandung anaknya setelah kami berpisah."Kamu kabur dari Juragan Basri, ya? Kamu lebih memilih suami miskin, makanya sekarang kamu kerja di kedai kecil kayak gini?" cibir Mas Bima padaku."Siapa yang kamu sebut suami miskin?" sentak Mas Iqbal, "sekarang kedai ini memang masih kecil, tapi aku akan membuat kedai ini menjadi besar sesegera mungkin.""Kedai ini punya suamiku, Mas," ungkapku, "memang suamiku belum jadi juragan, tapi aku akan menemani suamiku sampai bisa jadi seorang juragan."Mas Bima membelalakkan mata. Setelah mengejekku, Mas Bima pasti terkejut saat tahu kalau kedai empek-empek ini adalah milik suamiku."Bima, kamu ngobrol sama siapa?"Seseorang tib
"Jangan ngomong sembarangan ya, Mas! Anakku sama sekali nggak mirip sama kamu!"Aku makin panik. Aku tidak akan membiarkan Mas Bima tahu soal Yumna."Ini anak aku sama Mas Iqbal. Anak ini nggak ada hubungannya sama kamu!" tegasku."Berapa umur anak ini? Udah berapa lama kamu nikah sama Iqbal?" tanya Mas Bima.Aku segera pergi meninggalkan Mas Bima tanpa menjawab pertanyaan darinya. Kalau Mas Bima tahu aku baru menikah dengan Mas Iqbal beberapa bulan lalu, jelas Mas Bima akan langsung paham kalau Yumna bukanlah anak Mas Iqbal."Nayna, aku belum selesai bicara sama kamu!" seru Mas Iqbal."Aku sama kamu udah nggak punya urusan apa-apa lagi. Aku sama kamu udah punya kehidupan masing-masing, jadi tolong jangan ganggu ketenangan aku lagi!"Hari ini mungkin aku bisa melarikan diri dari Mas Bima. Namun, jika nanti aku sampai bertemu dengan Mas Bima lagi, mungkin aku tidak akan bisa kabur.
"Anak Mas Arul sakit apa? Sekarang keadaannya gimana?" Pertemuanku dan Mas Arul tak berhenti sampai di sini. Kami berbincang banyak, membahas tentang kondisi keluarga Mas Arul. Ternyata memang benar, kehidupan Mas Arul masih belum berubah. Bahkan, Mas Arul makin kesulitan mencari nafkah setelah memutuskan berhenti menjadi kaki tangan Juragan Basri. Sampai saat ini, Mas Arul dan Mbak Lia masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka bahkan kesusahan mengumpulkan keuntungan dari hasil berjualan di pelabuhan. "Jualan di pelabuhan sekarang susah, Mbak. Ada banyak pesaing, ditambah minat pembeli yang makin berkurang. Saya sampai nggak mampu bawa Roni ke dokter," ungkap Mas Arul dengan wajah sendu. Mendengar cerita Mas Arul membuatku iba dan tak tega. Setelah memberikan empek-empek, aku pun menawarkan diri untuk mengantar Mas Arul pulang. Aku ingin bertemu dengan keluarga Mas Arul,
Bab 1Mataku membulat sempurna menatap ponsel yang ada di tanganku. Saat ini aku tengah melihat sebuah video yang dikirim oleh nomor tak dikenal. Dalam video itu tampak suamiku––Mas Iqbal dan teman-teman seprofesinya yang masih mengenakan seragam PNS sedang berada di sebuah kafe."Pak Iqbal mukanya kusut banget, kayak baju yang belum disetrika. Setiap kali mau pulang, pasti deh mukanya kelihatan bete. Emang kenapa sih, Pak?" tanya salah satu teman Mas Iqbal."Sebenarnya saya malas pulang, Pak. Nggak betah saya di rumah, soalnya yang di rumah itu makin lama makin kelihatan kucel, mana bau amis lagi."Deg!Aku sangat terkejut mendengar jawaban Mas Iqbal. Apa maksudnya dia bicara seperti itu?"Emangnya sebau apa sih istrinya, sampai Pak Iqbal ilfil begitu," sahut teman Mas Iqbal yang lain."Pokoknya bau banget, Pak. Kalian pasti nggak akan sanggup deh, dekat-dekat sama istri saya. Setiap hari dia 'kan pegang ikan dan telur terus. Baunya itu bikin mual, saya aja sampai mau muntah kalau de
Bab 2"Mel ...!Suara Mas Iqbal membuatku tersadar dari lamunan. Setelah melihat video rekaman tadi, aku duduk termenung di dalam kamar sampai Mas Iqbal pulang.Hari ini warung memang tutup lebih cepat, karena tadi ada yang memborong daganganku."Udah sore, ya?" gumamku segera melangkah keluar dari kamar dan menjumpai Mas Iqbal yang baru pulang."Bikinin kopi!" perintah Mas Iqbal padaku.Aku mengangguk tanpa mengucapkan banyak kata. "Setelah menghinaku habis-habisan dan menjadikan aku bahan olok-olok, ternyata hanya untuk membuat secangkir kopi saja masih butuh tenagaku," gerutuku dalam hati.Melihat wajah Mas Iqbal membuatku kembali meradang, tapi aku masih berusaha untuk menahan diri. Aku memang masih kesal dan kecewa, tapi aku lebih memilih untuk tidak membuat keributan. Mungkin untuk sementara waktu, aku akan berpura-pura tidak tahu mengenai kelakuan Mas Iqbal di belakangku. Aku ingin tahu, apa lagi yang akan dilakukan oleh Mas Iqbal tanpa sepengetahuanku. Aku yakin, ini bukan pe
Bab 3Suara azan subuh sudah seperti alarm alami yang selalu membangunkanku setiap pagi. Setelah menunaikan kewajiban dua rakaat, aku mulai berkutat di dapur.Biasanya sebelum membuat sarapan, aku akan menyiapkan adonan empek-empek untuk dagangan. Tapi pagi ini sedikit berbeda karena aku sudah memutuskan untuk berhenti berjualan untuk sementara waktu."Aduh Mel, kamu kenapa nggak bangunin aku sih? Ini udah jam berapa?" Mas Iqbal keluar dari dalam kamar sambil menggerutu, dengan tergesa-gesa dia berjalan ke arah kamar mandi yang menyatu dengan dapur."Aku kira Mas udah bangun," sahutku acuh.Tak sampai lima menit Mas Iqbal sudah selesai mandi, dengan cepat dia masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian dan bersiap untuk berangkat kerja."Aku nggak sempat sarapan, udah kesiangan. Ya udah, aku berangkat ya." Setelah meminum teh manis hangat beberapa teguk, Mas Iqbal pun memakai sepatunya."Lho, Mel. Kamu kok tumben nggak jualan?" tanya Mas Iqbal heran. Mungkin karena terburu-buru takut
Bab 4Dengan tergesa-gesa aku berjalan hendak menghampiri Mas Iqbal dan perempuan itu, baru saja aku akan keluar dari restoran ketika tiba-tiba ...."Lho, Mel, di sini juga?" Seseorang yang baru masuk restoran menyebut namaku."Eh, Mba Mira. Iya Mba." Mau tak mau aku menghentikan langkah, padahal aku sedang terburu-buru takut kehilangan jejak suamiku."Pantesan aja tadi waktu Mba lewat warung kamu tutup, rupanya kamu lagi shopping. Kamu sama siapa? Sendirian?"Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal. Sebenarnya aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini, tapi aku tidak enak dengan Mba Miranti. Pasalnya perempuan ini adalah pelanggan tetapku, bahkan Mba Mira ini adalah pelanggan lama dan paling royal. Seperti kemarin, dia langsung memborong semua daganganku, bahkan memberiku uang lebih alias tips yang cukup besar."Iya, Mba, aku sendirian. Hari ini warung tutup, kemungkinan masih lama buka lagi. Soal aku mau istirahat dulu," jawabku dengan resah. Sesekali aku menoleh ke luar re