Bab 1
Mataku membulat sempurna menatap ponsel yang ada di tanganku. Saat ini aku tengah melihat sebuah video yang dikirim oleh nomor tak dikenal. Dalam video itu tampak suamiku––Mas Iqbal dan teman-teman seprofesinya yang masih mengenakan seragam PNS sedang berada di sebuah kafe."Pak Iqbal mukanya kusut banget, kayak baju yang belum disetrika. Setiap kali mau pulang, pasti deh mukanya kelihatan bete. Emang kenapa sih, Pak?" tanya salah satu teman Mas Iqbal."Sebenarnya saya malas pulang, Pak. Nggak betah saya di rumah, soalnya yang di rumah itu makin lama makin kelihatan kucel, mana bau amis lagi."Deg!Aku sangat terkejut mendengar jawaban Mas Iqbal. Apa maksudnya dia bicara seperti itu?"Emangnya sebau apa sih istrinya, sampai Pak Iqbal ilfil begitu," sahut teman Mas Iqbal yang lain."Pokoknya bau banget, Pak. Kalian pasti nggak akan sanggup deh, dekat-dekat sama istri saya. Setiap hari dia 'kan pegang ikan dan telur terus. Baunya itu bikin mual, saya aja sampai mau muntah kalau dekat lama-lama sama dia," ungkap Mas Iqbal dengan ekspresi jijik.Ya Allah, jadi seperti ini kelakuan Mas Iqbal di belakangku. Tega sekali dia menggunjing dan menjelek-jelekkan aku di depan teman-temannya.Refleks kucium baju dan badanku sendiri. Apa benar, aku bau amis seperti yang dikatakan oleh suamiku barusan?Tidak! Mana ada tubuh dan pakaianku bau amis. Walaupun hampir setiap hari aku berkecimpung dengan bahan pembuatan empek-empek, tapi bukan berarti badan dan bajuku jadi bau amis. Tentu saja karena aku selalu berusaha menjaga kebersihan."Istrinya suruh mandi kembang, Pak, biar wangi," celetuk teman Mas Iqbal sambil terkekeh. Sungguh, ingin rasanya kusumpal mulutnya yang busuk itu."Emangnya Pak Iqbal nggak mampu beliin minyak wangi buat istrinya?" sahut yang lain seolah sengaja menyiram bensin diatas api yang sedang berkobar."Keteknya bau juga nggak, Pak?" kelakar yang lain diiringi gelak tawa."Jangankan ketek. Nafasnya aja bau banget!" seru Mas Iqbal yang membuatku semakin meradang.Tanganku terkepal, dadaku naik turun karena aku begitu emosi mendengar kalimat demi kalimat penuh hinaan yang sangat menyakiti hatiku.Kurang ajar mereka semua, laki-laki bermulut sampah. Padahal mereka adalah seorang guru yang harusnya bersikap baik dan menjadi teladan. Apalagi Mas Iqbal, suami macam apa dia? Bisa-bisanya aku mendengar kalimat penuh hinaan dari mulut suamiku sendiri. Seseorang yang selama ini paling dekat dan paling aku sayang karena hanya dia yang aku miliki setelah kedua orang tuaku meninggal.Apa sebenarnya maksud dan tujuan Mas Iqbal berkata seperti itu? Dia menghinaku, meledekku, dan merendahkan harga diriku dengan menjadikan aku bahan olok-olok di depan teman-temannya. Bukankah seharusnya seorang suami tidak melakukan hal seperti itu? Apa pantas seorang suami menggunjing istrinya sendiri di depan orang lain?"Tapi kok Pak Iqbal masih ngasih izin Bu Melati buat jualan empek-empek? Kan sekarang Pak Iqbal udah jadi PNS, emang nggak malu istrinya masih jualan jajanan kayak gitu?""Sebenarnya saya malu, Pak. Tapi mau bagaimana lagi kalau dia maunya begitu. Saya udah larang tapi dia masih kekeuh mau jualan, katanya lumayan buat tambah-tambah. Ngeselin banget 'kan punya istri kayak gitu."Oh, jadi selama ini Mas Iqbal malu aku jualan empek-empek? Oke, kalau begitu mulai besok aku nggak akan jualan lagi. Kita lihat saja, apa kamu bisa menanggung semua biaya kebutuhan sehari-hari kita.Ya, selama ini aku bekerja banting tulang dengan berjualan empek-empek bukan tanpa sebab. Itu karena aku harus menanggung biaya hidup kami sehari-hari. Sedangkan gaji Mas Iqbal selalu diberikannya pada ibu dan adik perempuannya yang saat ini masih kuliah.Lalu aku harus bagaimana? Apa harus diam saja tanpa melakukan apapun demi dapur bisa selalu ngebul? Bukannya berterima kasih karena aku sudah berusaha meringankan bebannya, dia malah menghina dan merendahkan harga diriku.Mungkin sekarang karena sudah merasa hebat, Mas Iqbal merasa malu dengan pekerjaanku sebagai penjual jajanan khas Palembang. Tapi apa dia lupa, siapa yang bekerja keras banting tulang demi membiayai kuliahnya agar karirnya bisa naik jenjang?Dasar suami tak tahu diri. Apa ini yang dinamakan kacang lupa kulitnya?Sungguh aku tak habis pikir dengan kelakuan Mas Iqbal. Tapi jangan harap aku akan diam saja diperlukan seperti ini. Akan aku perlihatkan sisi lain dari seorang Melati.Bab 2"Mel ...!Suara Mas Iqbal membuatku tersadar dari lamunan. Setelah melihat video rekaman tadi, aku duduk termenung di dalam kamar sampai Mas Iqbal pulang.Hari ini warung memang tutup lebih cepat, karena tadi ada yang memborong daganganku."Udah sore, ya?" gumamku segera melangkah keluar dari kamar dan menjumpai Mas Iqbal yang baru pulang."Bikinin kopi!" perintah Mas Iqbal padaku.Aku mengangguk tanpa mengucapkan banyak kata. "Setelah menghinaku habis-habisan dan menjadikan aku bahan olok-olok, ternyata hanya untuk membuat secangkir kopi saja masih butuh tenagaku," gerutuku dalam hati.Melihat wajah Mas Iqbal membuatku kembali meradang, tapi aku masih berusaha untuk menahan diri. Aku memang masih kesal dan kecewa, tapi aku lebih memilih untuk tidak membuat keributan. Mungkin untuk sementara waktu, aku akan berpura-pura tidak tahu mengenai kelakuan Mas Iqbal di belakangku. Aku ingin tahu, apa lagi yang akan dilakukan oleh Mas Iqbal tanpa sepengetahuanku. Aku yakin, ini bukan pe
Bab 3Suara azan subuh sudah seperti alarm alami yang selalu membangunkanku setiap pagi. Setelah menunaikan kewajiban dua rakaat, aku mulai berkutat di dapur.Biasanya sebelum membuat sarapan, aku akan menyiapkan adonan empek-empek untuk dagangan. Tapi pagi ini sedikit berbeda karena aku sudah memutuskan untuk berhenti berjualan untuk sementara waktu."Aduh Mel, kamu kenapa nggak bangunin aku sih? Ini udah jam berapa?" Mas Iqbal keluar dari dalam kamar sambil menggerutu, dengan tergesa-gesa dia berjalan ke arah kamar mandi yang menyatu dengan dapur."Aku kira Mas udah bangun," sahutku acuh.Tak sampai lima menit Mas Iqbal sudah selesai mandi, dengan cepat dia masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian dan bersiap untuk berangkat kerja."Aku nggak sempat sarapan, udah kesiangan. Ya udah, aku berangkat ya." Setelah meminum teh manis hangat beberapa teguk, Mas Iqbal pun memakai sepatunya."Lho, Mel. Kamu kok tumben nggak jualan?" tanya Mas Iqbal heran. Mungkin karena terburu-buru takut
Bab 4Dengan tergesa-gesa aku berjalan hendak menghampiri Mas Iqbal dan perempuan itu, baru saja aku akan keluar dari restoran ketika tiba-tiba ...."Lho, Mel, di sini juga?" Seseorang yang baru masuk restoran menyebut namaku."Eh, Mba Mira. Iya Mba." Mau tak mau aku menghentikan langkah, padahal aku sedang terburu-buru takut kehilangan jejak suamiku."Pantesan aja tadi waktu Mba lewat warung kamu tutup, rupanya kamu lagi shopping. Kamu sama siapa? Sendirian?"Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal. Sebenarnya aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini, tapi aku tidak enak dengan Mba Miranti. Pasalnya perempuan ini adalah pelanggan tetapku, bahkan Mba Mira ini adalah pelanggan lama dan paling royal. Seperti kemarin, dia langsung memborong semua daganganku, bahkan memberiku uang lebih alias tips yang cukup besar."Iya, Mba, aku sendirian. Hari ini warung tutup, kemungkinan masih lama buka lagi. Soal aku mau istirahat dulu," jawabku dengan resah. Sesekali aku menoleh ke luar re
Bab 5Saat Mas Iqbal makan malam, aku lebih memilih untuk mencuci pakaian. Kebetulan perutku belum terasa lapar, mungkin karena tadi sore aku sudah makan di mall.Tempat mencuci pakaian letaknya persis di samping kamar mandi, tidak terlalu jauh dari meja makan di mana Mas Iqbal kini sedang menikmati makan malamnya.Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat Mas Iqbal menyuap makanannya.Eh, tunggu. Sejak kapan Mas Iqbal makan sambil main ponsel? Mungkin karena saking asyiknya chatting dengan seseorang, Mas Iqbal sampai tidak menyadari aku sedang memperhatikannya. Sesekali kulihat laki-laki yang masih bergelar suamiku itu tampak senyum-senyum seperti orang yang sedang kasmaran.Aku baru akan menegurnya, ketika Mas Iqbal bangun dari tempat duduknya pertanda dia sudah selesai makan. Akhirnya aku pun meneruskan aktivitasku, tapi pikiranku berkelana kemana-mana."Pasti Mas Iqbal lagi chattingan sama perempuan itu," batinku.Ya, aku merasa yakin suamiku sedang asyik bertukar pesan dengan perem
Bab 6Pagi ini Mas Iqbal berangkat kerja seperti biasanya. Kalau dilihat dari penampilan dan gelagatnya memang tidak terlihat sesuatu yang mencurigakan. Dia biasa saja seperti hari-hari sebelumnya.Andai aku tidak mendengar secara langsung, saat dia dua kali menelpon dua orang yang berbeda dan mengatakan tentang rencananya, aku pun tidak akan tahu kalau hari ini sepulang dari mengajar dia akan pergi ke acara pernikahan temannya. Sebenarnya ini bukan karena Mas Iqbal pergi ke acara itu tanpa mengajakku, tapi aku kecewa karena Mas Iqbal berbohong dan perginya pun bersama perempuan lain yang sepertinya juga menaruh hati padanya.Semoga saja Mas Iqbal tidak semakin jauh tersesat. Jangan sampai dia melakukan kesalahan fatal yang tidak bisa termaafkan. Tetapi andaikan itu terjadi, tentu aku harus mempersiapkan diri dari sekarang.**Setelah Mas Iqbal berangkat kerja, aku segera membuat empek-empek pesanan Mba Mira. Rencananya kami akan bertemu jam 11 siang ini, jadi masih ada waktu beberap
Bab 7"Jadi ini acaranya udah selesai 'kan, Mba?" tanya Mba Mita pada kakaknya."Iya, udah kok. Kamu mau pulang duluan, Mit?" "Iya nih, takutnya anak-anak nyariin. Nggak apa-apa kan, Mel, kami pulang duluan?" Mba Mita menatapku."Oh iya, nggak apa-apa, Mba. Terima kasih banyak ya." Mba Mita dan suaminya berdiri dari tempat duduknya."Kami yang seharusnya berterima kasih. Makasih banyak ya, Mel, semua makanan buatan kamu enak banget. Alhamdulillah rasa rindu ini bisa sedikit terobati, karena masakan kamu itu mirip banget sama masakan almarhumah ibu kami." Mba Mita mendekat, kemudian dia memelukku. Sepertinya dia benar-benar sedang rindu pada almarhumah ibunya, sekilas tadi kulihat matanya tampak berkaca-kaca.Aku membalas pelukan Mba Mita. Dalam hal ini sepertinya kami sama, karena aku pun akan melakukan hal serupa bila rasa rindu itu datang. Biasanya aku akan memasak makanan yang dulu sering kubuat bersama almarhumah ibu.Seperti kata Mba Mita, setidaknya rasa rindu bisa sedikit tero
Bab 8"Mel, ayo kita turun," ajak Mba Mira.Walau sempat ragu dan dengan tangan sedikit gemetar akhirnya aku membuka pintu mobil, kemudian menyusul Mba Mira yang sudah turun lebih dulu.Jantungku semakin berdebar saat kami mulai melangkah memasuki gedung balai rakyat, yang meskipun tidak mewah tapi tempatnya cukup luas untuk orang dari kalangan biasa sepertiku.Mba Mira langsung mengisi buku tamu, aku hanya berdiri di sampingnya dengan mata yang mulai memindai keadaan sekitar. Di parkiran tadi mataku sempat mencari keberadaan motor Mas Iqbal, tetapi sejauh mata memandang aku tidak menemukan kendaraan yang setiap hari selalu dipakai oleh suamiku itu.Apa mungkin nama mempelai laki-lakinya hanya kebetulan sama? Atau Mas Iqbal sudah datang dan sekarang dia sudah pulang? Atau, bisa juga Mas Iqbal dan teman-temannya malah belum sempat datang.Ah, memikirkannya malah membuat kepalaku jadi pusing.Setelah Mba Mira memasukkan amplop ke kotak uang, kami berempat pun akhirnya masuk yang langsun
Bab 9Mas Iqbal keluar dari antrian, kemudian berjalan mendekat."M-melati, i-ini benaran kamu?" Mas Iqbal terpana. Dia menatapku dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas lagi.Aku tidak mempedulikan ucapan Mas Iqbal, malah membuang pandangan ke arah lain. "Tega kamu, Mas.""Maksud kamu apa? Terus kamu ngapain di sini?" bisik Mas Iqbal seolah takut ada yang mendengar obrolan kami. Aku yakin sebenarnya hati Mas Iqbal sedang kebat-kebit, tapi ternyata dia sangat lihai bersandiwara. Mas Iqbal begitu cepat menguasai keadaan."Kamu sendiri lagi ngapain di sini, Mas? Bukannya kemarin kamu bilang lagi banyak kerjaan di sekolah?" "Aku memang lagi banyak kerjaan. Ini aku sengaja mampir sebentar sekalian pulang. Cuma sekedar hadir, masa iya teman nikah aku nggak datang. Apa kata teman-temanku nanti," kilah Mas Iqbal."Tapi kamu datang ke acara ini dengan perempuan lain, Mas. Apa itu pantas?" sahutku sambil melirik perempuan yang tadi bersama Mas Iqbal. Perempuan itu bersikap cuek, seolah ta
Sudah kuduga, setelah istri Mas Bima tahu kebenaran tentang Yumna, Mas Bima pasti akan langsung menemuiku. Aku tidak tahu bagaimana Mas Bima bisa menemukanku. Aku sengaja tidak muncul di kedai cabang baru, karena aku takut Mas Bima akan mendatangiku ke sana. Namun, ternyata menghindari tempat itu tak bisa menjamin aku akan aman dari Mas Bima. Semakin aku menghindar dari Mas Bima, justru aku makin mudah dipertemukan dengan laki-laki itu."Aku udah nyari kamu kemana-mana," ucap Mas Bima padaku. "Ada banyak hal yang harus kita bicarakan."Aku menatap Mas Bima dengan penuh waspada. "Kamu mau tanya soal anakku lagi?""Anak kamu? Anak itu bukan cuma anak kamu 'kan, tapi anakku juga. Aku nggak impoten! Aku masih bisa punya anak!" seru Mas Bima.Aku segera menghubungi Mas Iqbal dan memberitahu tentang pertemuanku dengan Mas Bima. Aku bergegas mencari tempat yang ramai untuk berbicara dengan Mas Bima untuk mencegah Mas Bima melakukan ha
Kupikir, aku sudah berhasil lepas dari Mas Bima. Tapi entah kenapa, sampai saat ini bayang-bayang Mas Bima masih saja mengusikku.Aku datang ke kedai hanya untuk memberikan makan siang, tapi aku justru mendapat kejutan tak terduga. Begitu sampai di sana, aku langsung disambut oleh seorang wanita dengan wajah yang cukup familiar"Aku baru aja mau menghubungimu," ujar Mbak Ratih. "Kamu urus dulu tamu kamu."Aku mematung di pintu. Wanita yang menatapku saat ini tak lain ialah istri baru Mas Bima."Bisa kita bicara sebentar?""Ada perlu apa, ya?" tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Mana bisa aku menyambut tamu tak diundang itu dengan wajah ramah. Aku tidak mau berhubungan lagi dengan Mas Bima, tapi orang-orang di rumah Mas Bima justru terus mendatangiku."Ada hal penting yang ingin saya bahas."Mas Iqbal dan Ibu ikut duduk di dekatku. Istri baru Mas Bima itu tetap melanjutk
"Anak Mas Arul sakit apa? Sekarang keadaannya gimana?" Pertemuanku dan Mas Arul tak berhenti sampai di sini. Kami berbincang banyak, membahas tentang kondisi keluarga Mas Arul. Ternyata memang benar, kehidupan Mas Arul masih belum berubah. Bahkan, Mas Arul makin kesulitan mencari nafkah setelah memutuskan berhenti menjadi kaki tangan Juragan Basri. Sampai saat ini, Mas Arul dan Mbak Lia masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka bahkan kesusahan mengumpulkan keuntungan dari hasil berjualan di pelabuhan. "Jualan di pelabuhan sekarang susah, Mbak. Ada banyak pesaing, ditambah minat pembeli yang makin berkurang. Saya sampai nggak mampu bawa Roni ke dokter," ungkap Mas Arul dengan wajah sendu. Mendengar cerita Mas Arul membuatku iba dan tak tega. Setelah memberikan empek-empek, aku pun menawarkan diri untuk mengantar Mas Arul pulang. Aku ingin bertemu dengan keluarga Mas Arul,
"Jangan ngomong sembarangan ya, Mas! Anakku sama sekali nggak mirip sama kamu!"Aku makin panik. Aku tidak akan membiarkan Mas Bima tahu soal Yumna."Ini anak aku sama Mas Iqbal. Anak ini nggak ada hubungannya sama kamu!" tegasku."Berapa umur anak ini? Udah berapa lama kamu nikah sama Iqbal?" tanya Mas Bima.Aku segera pergi meninggalkan Mas Bima tanpa menjawab pertanyaan darinya. Kalau Mas Bima tahu aku baru menikah dengan Mas Iqbal beberapa bulan lalu, jelas Mas Bima akan langsung paham kalau Yumna bukanlah anak Mas Iqbal."Nayna, aku belum selesai bicara sama kamu!" seru Mas Iqbal."Aku sama kamu udah nggak punya urusan apa-apa lagi. Aku sama kamu udah punya kehidupan masing-masing, jadi tolong jangan ganggu ketenangan aku lagi!"Hari ini mungkin aku bisa melarikan diri dari Mas Bima. Namun, jika nanti aku sampai bertemu dengan Mas Bima lagi, mungkin aku tidak akan bisa kabur.
Mas Bima terus menatap ke arah putriku. Mungkinkah Mas Bima sudah mulai curiga? Tapi Mas Bima tidak mungkin bisa langsung tahu kalau Yumna adalah anaknya. Mas Bima tidak tahu bagaimana kabarku, jadi Mas Bima juga tidak akan tahu kalau aku mengandung anaknya setelah kami berpisah."Kamu kabur dari Juragan Basri, ya? Kamu lebih memilih suami miskin, makanya sekarang kamu kerja di kedai kecil kayak gini?" cibir Mas Bima padaku."Siapa yang kamu sebut suami miskin?" sentak Mas Iqbal, "sekarang kedai ini memang masih kecil, tapi aku akan membuat kedai ini menjadi besar sesegera mungkin.""Kedai ini punya suamiku, Mas," ungkapku, "memang suamiku belum jadi juragan, tapi aku akan menemani suamiku sampai bisa jadi seorang juragan."Mas Bima membelalakkan mata. Setelah mengejekku, Mas Bima pasti terkejut saat tahu kalau kedai empek-empek ini adalah milik suamiku."Bima, kamu ngobrol sama siapa?"Seseorang tib
Tawaranku mendapat sambutan baik dari Mbak Ratih. Mulai hari ini, Mbak Ratih akan menjadi pegawai di kedai empek-empek yang baru saja aku buka di Tangerang.Mas Iqbal mendukung penuh keputusanku, dan ikut membantu menyediakan tempat tinggal bagi Mbak Ratih untuk sementara waktu. Mbak Ratih akan menjadi orang kepercayaanku untuk mengurus cabang-cabang kedai yang ada di wilayah Tangerang."Bu, udah siap belum? Ayo, kita harus berangkat ke kedai sekarang," ajakku pada Ibu.Hari ini, aku dan Mas Iqbal akan pergi ke kedai empek-empek bersama dengan Ibu dan Yumna. Karena kedai yang kami buka di Tangerang masih sangat baru, jadi aku dan Mas Iqbal harus memberikan perhatian khusus sampai kedai kami memperoleh angka penjualan yang stabil. "Yumna, hari ini bantuin Mama jaga kedai, ya? Kita bantu Tante Ratih jualan empek-empek," ocehku pada putriku.Untuk menebus rasa bersalahku pada Yumna karena aku terus sibuk selama bebe
Jantungku terus berdegup kencang selama aku berada di wilayah kediaman Juragan Basri. Sesuai dengan informasi yang aku dapat, hari ini Juragan Basri pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Beberapa preman tampak sibuk mempersiapkan keberangkatan Juragan Basri, jadi aku bisa menyelinap masuk dengan mudah."Gimana, Mbak? Juragan Basri udah mau pergi, kan?" tanyaku pada Mbak Ratih begitu kami bertemu di dapur."Sebentar lagi dia berangkat," sahut Mbak Ratih."Kita mau pergi sekarang apa nanti?""Kita tunggu dulu sampai si Tua Bangka itu pergi."Mbak Ratih segera berganti pakaian sambil menunggu Juragan Basri berangkat bersama pengawalnya. Aku sudah menyiapkan pakaian khusus untuk Mbak Ratih menyamar.Meski aku tidak yakin baju yang dikenakan Mbak Ratih dapat mengelabui penjaga di rumah Juragan Basri, tapi setidaknya aku dan Mbak Ratih harus melakukan sesuatu agar kami tidak tertang
Aku bersyukur, Mbak Ratih masih ingat padaku. Mbak Ratih terlihat begitu senang saat bertemu lagi denganku. Meski kami tidak bisa bicara banyak, setidaknya aku sudah berhasil bertukar nomor dengan Mbak Ratih. Aku bisa memantau Mbak Ratih dan menyusun rencana untuk membawa Mbak Ratih keluar dari sana.[Aku berhutang banyak sama Mbak Ratih. Kalau bukan karena Mbak, aku nggak mungkin bisa nikah lagi, ngurus anak, sama bikin usaha bareng suami. Semua yang aku capai sekarang, berkat bantuan Mbak Ratih.]Aku mengirim pesan tersebut dengan manik mata berkaca-kaca. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku sudah hidup aman dan damai, tapi orang yang menolongku masih terperangkap dalam penderitaan.[Kamu nggak perlu berlebihan, Nayna. Aku ikut senang kalau kamu udah hidup bahagia sekarang.][Aku akan bantu Mbak keluar dari cengkraman Juragan Basri.][Kamu nggak perlu repot mikirin aku, Nay. Aku bisa cari cara sendiri.]
"Sah!"Aku tak bisa menahan tangis haru. Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari ini aku dan Mas Iqbal melangsungkan akad nikah. Meski acara ini tidak dihadiri oleh banyak orang, tapi ijab kabul yang kami laksanakan tetap terasa sakral dan khidmat.Di depan penghulu, Mas Iqbal mengucap ijab dengan lantang tanpa kesalahan. Hanya dalam hitungan menit, aku akhirnya resmi menjadi istri Mas Iqbal yang sah secara hukum dan agama.Kini, jari manisku kembali dihiasi dengan cincin. Bukan hanya cincin di jariku saja yang bertambah, tapi kehidupanku juga akan sepenuhnya berubah."Selamat, Nayna. Semoga kamu dan suami kamu bisa membangun rumah tangga yang sakinah dan penuh berkah," ucap Ibu padaku diiringi derai air mata.Aku menangis dalam pelukan Ibu. Kebahagiaan yang aku rasakan saat ini tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kupikir, hidupku sudah berakhir setelah aku berpisah dari Mas Bima. Namun, siapa sang