Bab 5
Saat Mas Iqbal makan malam, aku lebih memilih untuk mencuci pakaian. Kebetulan perutku belum terasa lapar, mungkin karena tadi sore aku sudah makan di mall.Tempat mencuci pakaian letaknya persis di samping kamar mandi, tidak terlalu jauh dari meja makan di mana Mas Iqbal kini sedang menikmati makan malamnya.Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat Mas Iqbal menyuap makanannya.Eh, tunggu. Sejak kapan Mas Iqbal makan sambil main ponsel? Mungkin karena saking asyiknya chatting dengan seseorang, Mas Iqbal sampai tidak menyadari aku sedang memperhatikannya. Sesekali kulihat laki-laki yang masih bergelar suamiku itu tampak senyum-senyum seperti orang yang sedang kasmaran.Aku baru akan menegurnya, ketika Mas Iqbal bangun dari tempat duduknya pertanda dia sudah selesai makan. Akhirnya aku pun meneruskan aktivitasku, tapi pikiranku berkelana kemana-mana."Pasti Mas Iqbal lagi chattingan sama perempuan itu," batinku.Ya, aku merasa yakin suamiku sedang asyik bertukar pesan dengan perempuan yang bernama Rosa itu. Perempuan yang tadi siang diajaknya nonton bioskop di Metropolitan Mall.Cepat-cepat aku menyelesaikan pekerjaanku. Kemudian mencari keberadaan Mas Iqbal. Ruang keluarga tampak sepi, televisi juga dalam keadaan mati.Karena di ruang keluarga tidak kulihat keberadaan Mas Iqbal, aku berjalan ke kamar. Tapi ternyata di dalam kamar pun dia tidak ada. Kira-kira Mas Iqbal ke mana ya?Aku keluar lagi dari dalam kamar, kemudian berjalan ke arah pintu depan yang ternyata sedikit terbuka. Dari cela pintu dapat kulihat Mas Iqbal sedang duduk di pinggiran teras yang memang didesain bisa sekalian untuk tempat duduk.Ternyata Mas Iqbal sedang menelepon seseorang. Dan entah kenapa, aku yakin Mas Iqbal sedang menelepon perempuan selingkuhannya itu.Kutajamkan indera pendengaran. Meski suara Mas Iqbal tidak terlalu keras, tapi aku masih bisa mendengar dengan jelas ucapan Mas Iqbal kepada lawan bicaranya.Segera kurogoh saku celana dimana aku menyimpan ponsel, kukeluarkan benda pipih itu lalu menghidupkan perekam suara."Jangan lupa sama rencana kita besok ya. Aku beneran udah nggak sabar mau pergi lagi sama kamu." Dari kalimat Mas Iqbal barusan, sepertinya dia memang sedang menghubungi perempuan yang tadi siang diajaknya pergi.Entah jawaban apa yang diberikan perempuan bernama Rosa itu pada Mas Iqbal, tapi Mas Iqbal terus memperdengarkan tawa kecil saat berbincang di telepon. Mas Iqbal benar-benar terlihat seperti remaja yang sedang kasmaran."Jangan lupa juga, besok bawa baju yang udah kita beli tadi ke sekolahan. Pasti nanti banyak yang iri lihat kita pakai baju couplean," ucap Mas Iqbal lagi."Dasar nggak tahu malu! Apa kamu udah lupa kalau kamu masih punya istri? Kamu mau pergi kondangan pakai baju couple sama perempuan lain?" batinku dengan hati yang tersayat-sayat."Besok kamu dandan yang cantik, biar semua orang semakin iri lihat kita berdua. Ya udah, sekarang kamu istirahat, biar besok bangunnya nggak kesiangan. Selamat malam, cantik. Jangan lupa mimpiin aku ya." Kemudian Mas Iqbal memutuskan sambungan telepon.Segera kumatikan perekam suara lalu menyimpan kembali ponsel di saku celana. Kemudian kubuka pintu dan menghampiri Mas Iqbal.Mas Iqbal terlihat gugup dan panik saat aku tiba-tiba muncul di teras. "K-kamu ngapain di sini?" tanya Mas Iqbal tergagap."Mas sendiri ngapain di sini?' tanyaku balik."Kebiasaan banget, kalau ditanya malah balik nanya." Mas Iqbal beranjak dari tempat duduknya kemudian masuk ke dalam rumah. Aku pun akhirnya mengikutinya."Mas, besok kamu ada acara nggak?" tanyaku saat sudah berada di dalam kamar.Aku sengaja memancing Mas Iqbal. Aku juga ingin tahu jawaban apa yang akan diberikan Mas Iqbal padaku."Kenapa tanya-tanya begitu?" Mas Iqbal menatapku sekilas."Ya, pengen tahu aja. Kalau Mas nggak ada acara aku mau ngajakin Mas pergi. Kebetulan besok aku ada janji sama teman," sahutku.Aku tidak bohong, besok aku memang sudah ada janji dengan Mba Miranti dan saudaranya yang akan membuka cabang kafe baru. Orang yang kata Mba Mira ingin mengajakku bekerja sama.Mas Iqbal terdiam. Mungkin dia sedang memikirkan alasan jitu untuk membodohi ku."Sebentar lagi 'kan ujian tengah semester. Aku lagi sibuk bikin soal buat ujian. Kayaknya aku bakal pulang telat terus minggu-minggu ini," ujar Mas Iqbal."Besok juga kemungkinan aku akan pulang telat. Aku nggak bisa nemenin kamu pergi."Aku menatap mata Mas Iqbal dengan lekat."Ternyata kamu sekarang udah pandai berbohong, Mas! Tapi kita lihat saja sejauh mana kamu akan membohongiku!" batinku.Aku memang sengaja masih mengikuti permainan yang telah diciptakan oleh Mas Iqbal. Tunggu saja waktunya sampai aku memiliki bukti yang banyak dan kuat, aku pasti akan menghancurkan kalian berdua!Bab 6Pagi ini Mas Iqbal berangkat kerja seperti biasanya. Kalau dilihat dari penampilan dan gelagatnya memang tidak terlihat sesuatu yang mencurigakan. Dia biasa saja seperti hari-hari sebelumnya.Andai aku tidak mendengar secara langsung, saat dia dua kali menelpon dua orang yang berbeda dan mengatakan tentang rencananya, aku pun tidak akan tahu kalau hari ini sepulang dari mengajar dia akan pergi ke acara pernikahan temannya. Sebenarnya ini bukan karena Mas Iqbal pergi ke acara itu tanpa mengajakku, tapi aku kecewa karena Mas Iqbal berbohong dan perginya pun bersama perempuan lain yang sepertinya juga menaruh hati padanya.Semoga saja Mas Iqbal tidak semakin jauh tersesat. Jangan sampai dia melakukan kesalahan fatal yang tidak bisa termaafkan. Tetapi andaikan itu terjadi, tentu aku harus mempersiapkan diri dari sekarang.**Setelah Mas Iqbal berangkat kerja, aku segera membuat empek-empek pesanan Mba Mira. Rencananya kami akan bertemu jam 11 siang ini, jadi masih ada waktu beberap
Bab 7"Jadi ini acaranya udah selesai 'kan, Mba?" tanya Mba Mita pada kakaknya."Iya, udah kok. Kamu mau pulang duluan, Mit?" "Iya nih, takutnya anak-anak nyariin. Nggak apa-apa kan, Mel, kami pulang duluan?" Mba Mita menatapku."Oh iya, nggak apa-apa, Mba. Terima kasih banyak ya." Mba Mita dan suaminya berdiri dari tempat duduknya."Kami yang seharusnya berterima kasih. Makasih banyak ya, Mel, semua makanan buatan kamu enak banget. Alhamdulillah rasa rindu ini bisa sedikit terobati, karena masakan kamu itu mirip banget sama masakan almarhumah ibu kami." Mba Mita mendekat, kemudian dia memelukku. Sepertinya dia benar-benar sedang rindu pada almarhumah ibunya, sekilas tadi kulihat matanya tampak berkaca-kaca.Aku membalas pelukan Mba Mita. Dalam hal ini sepertinya kami sama, karena aku pun akan melakukan hal serupa bila rasa rindu itu datang. Biasanya aku akan memasak makanan yang dulu sering kubuat bersama almarhumah ibu.Seperti kata Mba Mita, setidaknya rasa rindu bisa sedikit tero
Bab 8"Mel, ayo kita turun," ajak Mba Mira.Walau sempat ragu dan dengan tangan sedikit gemetar akhirnya aku membuka pintu mobil, kemudian menyusul Mba Mira yang sudah turun lebih dulu.Jantungku semakin berdebar saat kami mulai melangkah memasuki gedung balai rakyat, yang meskipun tidak mewah tapi tempatnya cukup luas untuk orang dari kalangan biasa sepertiku.Mba Mira langsung mengisi buku tamu, aku hanya berdiri di sampingnya dengan mata yang mulai memindai keadaan sekitar. Di parkiran tadi mataku sempat mencari keberadaan motor Mas Iqbal, tetapi sejauh mata memandang aku tidak menemukan kendaraan yang setiap hari selalu dipakai oleh suamiku itu.Apa mungkin nama mempelai laki-lakinya hanya kebetulan sama? Atau Mas Iqbal sudah datang dan sekarang dia sudah pulang? Atau, bisa juga Mas Iqbal dan teman-temannya malah belum sempat datang.Ah, memikirkannya malah membuat kepalaku jadi pusing.Setelah Mba Mira memasukkan amplop ke kotak uang, kami berempat pun akhirnya masuk yang langsun
Bab 9Mas Iqbal keluar dari antrian, kemudian berjalan mendekat."M-melati, i-ini benaran kamu?" Mas Iqbal terpana. Dia menatapku dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas lagi.Aku tidak mempedulikan ucapan Mas Iqbal, malah membuang pandangan ke arah lain. "Tega kamu, Mas.""Maksud kamu apa? Terus kamu ngapain di sini?" bisik Mas Iqbal seolah takut ada yang mendengar obrolan kami. Aku yakin sebenarnya hati Mas Iqbal sedang kebat-kebit, tapi ternyata dia sangat lihai bersandiwara. Mas Iqbal begitu cepat menguasai keadaan."Kamu sendiri lagi ngapain di sini, Mas? Bukannya kemarin kamu bilang lagi banyak kerjaan di sekolah?" "Aku memang lagi banyak kerjaan. Ini aku sengaja mampir sebentar sekalian pulang. Cuma sekedar hadir, masa iya teman nikah aku nggak datang. Apa kata teman-temanku nanti," kilah Mas Iqbal."Tapi kamu datang ke acara ini dengan perempuan lain, Mas. Apa itu pantas?" sahutku sambil melirik perempuan yang tadi bersama Mas Iqbal. Perempuan itu bersikap cuek, seolah ta
Bab 10Setelah makan malam, seperti biasanya Mas Iqbal akan masuk ke ruang kerjanya. Entah apa saja sebenarnya yang dia lakukan di dalam sana, aku tidak tahu pasti. Namun akhir-akhir ini aku perhatikan Mas Iqbal semakin betah berada di ruangan itu. Dan biasanya dia baru akan meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam kamar tidur menjelang tengah malam."Tunggu sampai besok, setelah itu aku akan tahu apa aja yang kamu lakukan di dalam sana, Mas. Mulai besok aku akan mengawasimu, sekarang aku hanya perlu bersabar sedikit lagi," gumamku sesaat setelah Mas Iqbal menghilang di balik pintu ruang kerjanya.Malam ini ada satu misi yang akan aku lakukan. Aku hanya perlu menunggu sampai Mas Iqbal tertidur pulas, setelah itu aku akan mulai beraksi.Waktu terasa begitu lambat, agar tetap terjaga aku sudah minum segelas kopi. Misi ini harus berhasil, dan aku tidak boleh sampai ketiduran.Aku hampir saja putus asa, karena hingga jam 12 malam lewat Mas Iqbal belum juga masuk ke dalam kamar. Atau ja
Bab 11"Kamu lagi ngapain sih, Mel?"Jantungku seakan mau copot rasanya mendengar pertanyaan Mas Iqbal. Dalam hati aku juga merutuki kecerobohanku sendiri, kenapa pula harus pakai menendang tempat sampah segala. Cerobohnya ...."A-aku haus, Mas, mau ambil minum. Tapi karena ngantuk banget, nggak sengaja nabrak tempat sampah. Maaf ya, gara-gara keteledoranku, tidur kamu jadi terganggu." Dengan suara yang dibuat sememelas mungkin kutunjukkan wajah penuh penyesalan. Lalu cepat-cepat kusambar botol air dan menuangkannya ke dalam gelas, kemudian meminumnya sampai habis."Kirain tadi apaan, ganggu orang tidur aja. Udah buruan tidur lagi, ini masih terlalu malam untuk bikin keributan," omelnya seraya merubah posisi tidur dari telentang menjadi menyamping, kini posisi Mas Iqbal jadi memunggungiku.Mas Iqbal tampak begitu kesal, sepertinya dia benar-benar merasa terganggu, apalagi dia memang baru tidur beberapa menit yang lalu."Iya," sahutku sekedarnya. Lalu aku mengeluarkan ponsel Mas Iqbal
Bab 12Setelah pegawai toko elektronik yang memasang CCTV pulang, aku mulai bersiap untuk berangkat ke kafe. Ya, mulai hari ini aku akan membuat empek-empek dan beberapa macam kue khas Palembang di kafe milik Mba Sri."Ini hari pertamaku bekerja, aku harus semangat," gumamku.Sebelum berangkat, aku memastikan sekali lagi semua CCTV sudah terpasang di tempat yang benar. Tak butuh waktu lama untuk bersiap, karena aku hanya memakai riasan yang simpel. Aku memang tidak suka memakai make up yang mencolok. Untuk OOTD hari ini aku hanya memakai one set dan tas selempang kecil.Sekitar tiga puluh menit kemudian, aku sudah sampai di kafe. Khusus hari ini aku memang datang agak siang, karena tadi harus menunggu orang yang akan memasang CCTV terlebih dahulu. Tapi mulai besok aku akan datang lebih pagi. Setidaknya lima belas menit atau dua puluh menit setelah Mas Iqbal berangkat ke tempatnya mengajar. Dan aku harus sudah pulang sebelum Mas Iqbal sampai di rumah. Alhamdulillah semua itu sudah men
Bab 13"Akhirnya sampai juga."Aku membuka pintu rumah dan ternyata ada Mas Iqbal duduk di ruang tamu. Entah sedang apa dia di sana, tumben sekali. Apa iya, Mas Iqbal sengaja menunggu kepulanganku?Setelah mengucapkan salam, aku melenggang masuk walaupun Mas Iqbal tak menjawab salamku. Sempat kulirik jam dinding yang tergantung di salah satu sisi tembok, ternyata sudah jam 6 lewat 10 menit. Berarti sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang.Mas Iqbal menatap ke arahku dengan tatapan tajam. Wajahnya masam dan terlihat kesal."Bagus ya, jam segini baru pulang!" ucap Mas Iqbal tiba-tiba.Aku baru akan melangkah ke kamar, namun langkahku terhenti mendengar ucapan Mas Iqbal."Kenapa, Mas?" tanyaku tanpa rasa bersalah."Kenapa, kamu bilang? Aku nungguin kamu dari tadi. Katanya cuma sebentar, tapi kenapa udah gelap gini baru pulang?" omel Mas Iqbal."Sebenarnya kamu kelayapan ke mana aja, sih? Kamu itu perempuan dan udah nikah. Apa pantas keluyuran sampai malam begini?" sambungnya lagi.
Sudah kuduga, setelah istri Mas Bima tahu kebenaran tentang Yumna, Mas Bima pasti akan langsung menemuiku. Aku tidak tahu bagaimana Mas Bima bisa menemukanku. Aku sengaja tidak muncul di kedai cabang baru, karena aku takut Mas Bima akan mendatangiku ke sana. Namun, ternyata menghindari tempat itu tak bisa menjamin aku akan aman dari Mas Bima. Semakin aku menghindar dari Mas Bima, justru aku makin mudah dipertemukan dengan laki-laki itu."Aku udah nyari kamu kemana-mana," ucap Mas Bima padaku. "Ada banyak hal yang harus kita bicarakan."Aku menatap Mas Bima dengan penuh waspada. "Kamu mau tanya soal anakku lagi?""Anak kamu? Anak itu bukan cuma anak kamu 'kan, tapi anakku juga. Aku nggak impoten! Aku masih bisa punya anak!" seru Mas Bima.Aku segera menghubungi Mas Iqbal dan memberitahu tentang pertemuanku dengan Mas Bima. Aku bergegas mencari tempat yang ramai untuk berbicara dengan Mas Bima untuk mencegah Mas Bima melakukan ha
Kupikir, aku sudah berhasil lepas dari Mas Bima. Tapi entah kenapa, sampai saat ini bayang-bayang Mas Bima masih saja mengusikku.Aku datang ke kedai hanya untuk memberikan makan siang, tapi aku justru mendapat kejutan tak terduga. Begitu sampai di sana, aku langsung disambut oleh seorang wanita dengan wajah yang cukup familiar"Aku baru aja mau menghubungimu," ujar Mbak Ratih. "Kamu urus dulu tamu kamu."Aku mematung di pintu. Wanita yang menatapku saat ini tak lain ialah istri baru Mas Bima."Bisa kita bicara sebentar?""Ada perlu apa, ya?" tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Mana bisa aku menyambut tamu tak diundang itu dengan wajah ramah. Aku tidak mau berhubungan lagi dengan Mas Bima, tapi orang-orang di rumah Mas Bima justru terus mendatangiku."Ada hal penting yang ingin saya bahas."Mas Iqbal dan Ibu ikut duduk di dekatku. Istri baru Mas Bima itu tetap melanjutk
"Anak Mas Arul sakit apa? Sekarang keadaannya gimana?" Pertemuanku dan Mas Arul tak berhenti sampai di sini. Kami berbincang banyak, membahas tentang kondisi keluarga Mas Arul. Ternyata memang benar, kehidupan Mas Arul masih belum berubah. Bahkan, Mas Arul makin kesulitan mencari nafkah setelah memutuskan berhenti menjadi kaki tangan Juragan Basri. Sampai saat ini, Mas Arul dan Mbak Lia masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka bahkan kesusahan mengumpulkan keuntungan dari hasil berjualan di pelabuhan. "Jualan di pelabuhan sekarang susah, Mbak. Ada banyak pesaing, ditambah minat pembeli yang makin berkurang. Saya sampai nggak mampu bawa Roni ke dokter," ungkap Mas Arul dengan wajah sendu. Mendengar cerita Mas Arul membuatku iba dan tak tega. Setelah memberikan empek-empek, aku pun menawarkan diri untuk mengantar Mas Arul pulang. Aku ingin bertemu dengan keluarga Mas Arul,
"Jangan ngomong sembarangan ya, Mas! Anakku sama sekali nggak mirip sama kamu!"Aku makin panik. Aku tidak akan membiarkan Mas Bima tahu soal Yumna."Ini anak aku sama Mas Iqbal. Anak ini nggak ada hubungannya sama kamu!" tegasku."Berapa umur anak ini? Udah berapa lama kamu nikah sama Iqbal?" tanya Mas Bima.Aku segera pergi meninggalkan Mas Bima tanpa menjawab pertanyaan darinya. Kalau Mas Bima tahu aku baru menikah dengan Mas Iqbal beberapa bulan lalu, jelas Mas Bima akan langsung paham kalau Yumna bukanlah anak Mas Iqbal."Nayna, aku belum selesai bicara sama kamu!" seru Mas Iqbal."Aku sama kamu udah nggak punya urusan apa-apa lagi. Aku sama kamu udah punya kehidupan masing-masing, jadi tolong jangan ganggu ketenangan aku lagi!"Hari ini mungkin aku bisa melarikan diri dari Mas Bima. Namun, jika nanti aku sampai bertemu dengan Mas Bima lagi, mungkin aku tidak akan bisa kabur.
Mas Bima terus menatap ke arah putriku. Mungkinkah Mas Bima sudah mulai curiga? Tapi Mas Bima tidak mungkin bisa langsung tahu kalau Yumna adalah anaknya. Mas Bima tidak tahu bagaimana kabarku, jadi Mas Bima juga tidak akan tahu kalau aku mengandung anaknya setelah kami berpisah."Kamu kabur dari Juragan Basri, ya? Kamu lebih memilih suami miskin, makanya sekarang kamu kerja di kedai kecil kayak gini?" cibir Mas Bima padaku."Siapa yang kamu sebut suami miskin?" sentak Mas Iqbal, "sekarang kedai ini memang masih kecil, tapi aku akan membuat kedai ini menjadi besar sesegera mungkin.""Kedai ini punya suamiku, Mas," ungkapku, "memang suamiku belum jadi juragan, tapi aku akan menemani suamiku sampai bisa jadi seorang juragan."Mas Bima membelalakkan mata. Setelah mengejekku, Mas Bima pasti terkejut saat tahu kalau kedai empek-empek ini adalah milik suamiku."Bima, kamu ngobrol sama siapa?"Seseorang tib
Tawaranku mendapat sambutan baik dari Mbak Ratih. Mulai hari ini, Mbak Ratih akan menjadi pegawai di kedai empek-empek yang baru saja aku buka di Tangerang.Mas Iqbal mendukung penuh keputusanku, dan ikut membantu menyediakan tempat tinggal bagi Mbak Ratih untuk sementara waktu. Mbak Ratih akan menjadi orang kepercayaanku untuk mengurus cabang-cabang kedai yang ada di wilayah Tangerang."Bu, udah siap belum? Ayo, kita harus berangkat ke kedai sekarang," ajakku pada Ibu.Hari ini, aku dan Mas Iqbal akan pergi ke kedai empek-empek bersama dengan Ibu dan Yumna. Karena kedai yang kami buka di Tangerang masih sangat baru, jadi aku dan Mas Iqbal harus memberikan perhatian khusus sampai kedai kami memperoleh angka penjualan yang stabil. "Yumna, hari ini bantuin Mama jaga kedai, ya? Kita bantu Tante Ratih jualan empek-empek," ocehku pada putriku.Untuk menebus rasa bersalahku pada Yumna karena aku terus sibuk selama bebe
Jantungku terus berdegup kencang selama aku berada di wilayah kediaman Juragan Basri. Sesuai dengan informasi yang aku dapat, hari ini Juragan Basri pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Beberapa preman tampak sibuk mempersiapkan keberangkatan Juragan Basri, jadi aku bisa menyelinap masuk dengan mudah."Gimana, Mbak? Juragan Basri udah mau pergi, kan?" tanyaku pada Mbak Ratih begitu kami bertemu di dapur."Sebentar lagi dia berangkat," sahut Mbak Ratih."Kita mau pergi sekarang apa nanti?""Kita tunggu dulu sampai si Tua Bangka itu pergi."Mbak Ratih segera berganti pakaian sambil menunggu Juragan Basri berangkat bersama pengawalnya. Aku sudah menyiapkan pakaian khusus untuk Mbak Ratih menyamar.Meski aku tidak yakin baju yang dikenakan Mbak Ratih dapat mengelabui penjaga di rumah Juragan Basri, tapi setidaknya aku dan Mbak Ratih harus melakukan sesuatu agar kami tidak tertang
Aku bersyukur, Mbak Ratih masih ingat padaku. Mbak Ratih terlihat begitu senang saat bertemu lagi denganku. Meski kami tidak bisa bicara banyak, setidaknya aku sudah berhasil bertukar nomor dengan Mbak Ratih. Aku bisa memantau Mbak Ratih dan menyusun rencana untuk membawa Mbak Ratih keluar dari sana.[Aku berhutang banyak sama Mbak Ratih. Kalau bukan karena Mbak, aku nggak mungkin bisa nikah lagi, ngurus anak, sama bikin usaha bareng suami. Semua yang aku capai sekarang, berkat bantuan Mbak Ratih.]Aku mengirim pesan tersebut dengan manik mata berkaca-kaca. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku sudah hidup aman dan damai, tapi orang yang menolongku masih terperangkap dalam penderitaan.[Kamu nggak perlu berlebihan, Nayna. Aku ikut senang kalau kamu udah hidup bahagia sekarang.][Aku akan bantu Mbak keluar dari cengkraman Juragan Basri.][Kamu nggak perlu repot mikirin aku, Nay. Aku bisa cari cara sendiri.]
"Sah!"Aku tak bisa menahan tangis haru. Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari ini aku dan Mas Iqbal melangsungkan akad nikah. Meski acara ini tidak dihadiri oleh banyak orang, tapi ijab kabul yang kami laksanakan tetap terasa sakral dan khidmat.Di depan penghulu, Mas Iqbal mengucap ijab dengan lantang tanpa kesalahan. Hanya dalam hitungan menit, aku akhirnya resmi menjadi istri Mas Iqbal yang sah secara hukum dan agama.Kini, jari manisku kembali dihiasi dengan cincin. Bukan hanya cincin di jariku saja yang bertambah, tapi kehidupanku juga akan sepenuhnya berubah."Selamat, Nayna. Semoga kamu dan suami kamu bisa membangun rumah tangga yang sakinah dan penuh berkah," ucap Ibu padaku diiringi derai air mata.Aku menangis dalam pelukan Ibu. Kebahagiaan yang aku rasakan saat ini tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kupikir, hidupku sudah berakhir setelah aku berpisah dari Mas Bima. Namun, siapa sang