Sudah tiga hari aku menumpang dan bersembunyi di rumah Mas Arul. Sesuai dengan kesepakatan, selama di sini aku akan membantu menjaga Ibu Mas Arul selagi Mas Arul dan istrinya pergi bekerja.
Untungnya istri Mas Arul dan anak Mas Arul menyambutku dengan baik dan tidak keberatan aku menumpang di sini selama seminggu. Mbak Lia sangat ramah padaku, begitu pula dengan Roni.Aku sudah mulai terbiasa tinggal di sini. Meskipun rumah Mas Arul sempit dan tidak memiliki fasilitas seperti TV dan juga kipas angin, tetapi tempatnya cukup nyaman untuk beristirahat.Tugas yang diberikan Mas Arul padaku juga tidak terlalu berat. Aku hanya perlu menemani ibunya, menyuapi, memandikan, serta membantu ke kamar mandi bila Mas Arul dan Mbak Lia tidak ada di rumah."Roni, Kamu udah pulang?" sapaku pada anak Mas Arul yang baru saja kembali dari sekolah"Iya, Tante. Ibu belum pulang, ya?" tanya Roni."Iya, Ibu kamu belum pulAku akan pulang ke kampung halaman dengan menaiki bus. Uang yang diberikan oleh Mas Arul lebih dari cukup untuk membiayai perjalananku sampai ke Palembang.Agak sedih karena harus berpisah dengan keluarga Mas Arul, tapi di sisi lain aku juga merasa senang karena berhasil kabur dari Mas Bima dan Juragan Basri. Aku juga berhak hidup bahagia dan tinggal di tempat yang lebih aman dan nyaman. Selama beberapa minggu terakhir, hidupku sungguh tidak tenang. Aku tak ubahnya seperti seorang buronan yang harus bersembunyi dari kejaran orang-orang Juragan Basri. Insyaallah setelah berhasil meninggalkan tempat ini, aku bisa hidup normal lagi. "Bismillah! Semoga perjalananku lancar tanpa hambatan apapun."Bus yang kunaiki mulai bergerak memasuki area pelabuhan. Sebentar lagi kapal akan membawaku menyeberang ke Pulau Sumatera. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera sampai di kampung halaman. Selagi menunggu bus masuk ke kapal, aku mengh
Aku ada di mana sekarang? Kenapa aku bisa ada di sini? Pandangan mataku mengarah ke seluruh penjuru ruangan. Ada ranjang pasien, tiang infus, dan aroma obat-obatan. Apa aku ada di rumah sakit? Siapa yang membawaku ke sini? "Syukurlah Mbak sudah sadar. Ada keluhan apa, Mbak? Mbak merasa pusing atau ada bagian tubuh yang terasa sakit?" Seorang wanita berpakaian serba putih menghampiriku dan mengajakku bicara. Dari busana yang ia kenakan, sepertinya dia adalah perawat di rumah sakit ini. "Mbak bisa dengar suara saya? Mbak bisa lihat dengan jelas?" tanya perawat itu lagi padaku. Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun karena aku masih berusaha mengingat-ingat kejadian sebelum aku dibawa ke sini. Bukankah tadi aku dikejar-kejar oleh anak buah Juragan Basri di pelabuhan? "Mbak?" Perawat itu menyentuh tanganku, tapi aku langsung menepisnya dah menatap curiga ke arah perawat yang berdiri di ha
Satu-satunya cara untuk menghindari anak buah Juragan Basri adalah pergi sejauh mungkin dari wilayah ini. Bagaimanapun caranya, aku harus pergi dari sini. “Minta tolong apa?” tanya Dokter Dimas. Aku terdiam sejenak. Setidaknya aku harus menyiapkan kalimat yang bagus agar Dokter Dimas mau menolongku. “Saya nggak bisa menghubungi keluarga saya sekarang, tapi saya harus pergi dari sini. Apa saya boleh minta tumpangan pada Dokter?" ucapku malu sekaligus sungkan. “Tentu, Nona. Saya bisa antar Nona pulang,” sahut Dokter Dimas. Aku masih belum memutuskan ke mana akan pergi. Untuk sekarang mungkin aku tidak akan bisa pulang ke Palembang. Anak buah Juragan Basri mungkin masih mencariku di pelabuhan. Tak ada pilihan lain lagi, mungkin sebaiknya aku pergi ke Bekasi. Di Bekasi lebih baik daripada aku harus tinggal di Tangerang. Tempat ini sudah tidak aman lagi untukku.
Tak terasa, sudah satu minggu aku tinggal menumpang di rumah Bu Senja dan Pak Fajar. Kedua orang tua dokter Dimas memperlakukan aku dengan baik layaknya seorang tamu selama aku tinggal di sini.Aku diberi kamar yang cukup besar dan aku menikmati banyak makanan enak setiap harinya. Aku benar-benar bersyukur bertemu dengan orang-orang baik seperti keluarga dokter Dimas, tapi aku merasa tak pantas menerima semua kebaikan ini secara cuma-cuma.Entah apa yang harus kulakukan nanti untuk membalas kebaikan keluarga dokter Dimas. Untuk saat ini, aku hanya bisa melakukan hal yang mampu kulakukan."Eh, Nak Nayna! Kamu ngapain pegang-pegang sapu?" Bu senja menghampiriku dan merebut sapu yang ada di tanganku."Kamu istirahat aja di dalam. Enggak perlu bersih-bersih kayak gini, kan udah ada bibi pembantu yang akan bersihin rumah," ujar Bu Senja.Sebagai orang yang tahu diri, aku tidak mungkin hanya berdiam diri dan menerima pe
Aku benar-benar shock. Aku tak pernah menyangka jika ada janin yang sedang tumbuh di dalam perutku. Bu Senja sepertinya juga terkejut. Beliau tidak mengucapkan sepatah kata pun selama dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, hingga kami tiba di rumah.Apa yang harus kukatakan sekarang? Haruskah aku menceritakan semua kisah hidupku pada Bu Senja? Sekarang Bu Senja pasti bingung mengenai kehamilanku saat ini. Aku sendiri juga tak pernah bermimpi akan mengandung anak dari mantan suami yang sudah menyakitiku. Aku tak ingin menolak berkah dari Yang Maha Kuasa, tapi aku benar-benar tidak ingin berhubungan lagi dengan Mas Bima. "Terima kasih udah bawa saya periksa ke rumah sakit, Bu," ucapku pada Bu Senja.Bu Senja tidak bereaksi. Beliau meninggalkanku begitu saja dan masuk ke dalam kamar. Bu Senja tak mau menoleh sedikitpun ke arahku. Tak ada seorang pun mau menyapaku dan mengajakku bicara setelah aku pulang dari ru
Hari masih gelap. Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi. Aku sudah bangun dan bersiap dengan pakaian rapi. Hari ini, aku akan pergi meninggalkan kediaman keluarga dokter Dimas. Aku hanya meninggalkan sepucuk surat untuk berpamitan dengan semua orang. Rasanya aku tak sanggup berpamitan langsung dengan keluarga dokter Dimas, terutama Bu Senja. Aku sudah tak punya muka lagi di hadapan Bu Senja. Mungkin cara yang kugunakan memang kurang sopan, tapi aku rasa mereka juga tidak akan keberatan. Mereka pasti juga menginginkan kepergianku tanpa harus repot mengusirku. "Terima kasih banyak Mas Dimas, Bu Senja, dan Pak Fajar. Aku nggak akan pernah lupain bantuan dari kalian," gumamku sebelum pergi dari kediaman keluarga dokter yang baik hati itu. Segera setelah meninggalkan surat, aku bergegas keluar dari pintu belakang. Semuanya berjalan dengan mulus dan aku berhasil mencapai jalan raya.
"Kamu beneran Nayna, kan?" Aku mengangguk sambil melempar senyum pada orang yang ada di depanku. Aku benar-benar lega. Kupikir aku akan bertemu dengan anak buah Juragan Basri. "Apa kabar ... Mas Iqbal?" Orang yang tak sengaja kutabrak tadi rupanya adalah Mas Iqbal, mantan suami sepupuku, Melati. Aku memang tidak terlalu kenal dengan Mas Iqbal, tapi aku cukup hafal dengan wajahnya dan kami saling mengetahui nama satu sama lain. "Kabar aku baik, Nay. Kamu kenapa bisa sampai sini?" tanya Mas Iqbal. Mas Iqbal terlihat cukup ramah dibandingkan dulu. Seingatku aku hanya pernah bertemu dengannya dua kali saja yaitu saat pernikahannya dengan Melati, lalu saat aku dan Mas Bima mengantarkan undangan pernikahan kami. Dulu, di mataku Mas Iqbal adalah sosok laki-laki yang angkuh. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada pernikahannya dengan Melati hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai.
"Empek-empek bikinan kamu enak banget, Nay," puji Mas Iqbal padaku, "kalau empek-empeknya seenak ini, kios kita pasti makin ramai." Mas Iqbal terus saja memujiku sejak tadi, hingga membuatku salah tingkah. Aku sempat khawatir empek-empek buatanku tidak akan sesuai dengan selera Mas Iqbal. Tapi melihat reaksi Mas Iqbal, aku rasa empek-empek buatanku masih cukup layak untuk dijual. "Mas Iqbal cuma jual empek-empek di kios aja?" "Iya, Nay. Aku cuma punya satu kios ini. Tiap hari aku jualan di sini aja." "Gimana kalau kita coba jualan online juga, Mas?" saranku. "Biaya admin aplikasinya mahal, Nay. Kalau aku pasang harga mahal buat nutup biaya aplikasi, aku takut nggak ada yang mau beli." "Ya udah, sekarang kita nggak usah jualan di aplikasi dulu. Masih ada banyak cara buat memasarkan empek-empek kita," sahutku. Aku akan membantu Mas Iqbal memajuka