Satu-satunya cara untuk menghindari anak buah Juragan Basri adalah pergi sejauh mungkin dari wilayah ini. Bagaimanapun caranya, aku harus pergi dari sini.
“Minta tolong apa?” tanya Dokter Dimas. Aku terdiam sejenak. Setidaknya aku harus menyiapkan kalimat yang bagus agar Dokter Dimas mau menolongku. “Saya nggak bisa menghubungi keluarga saya sekarang, tapi saya harus pergi dari sini. Apa saya boleh minta tumpangan pada Dokter?" ucapku malu sekaligus sungkan. “Tentu, Nona. Saya bisa antar Nona pulang,” sahut Dokter Dimas. Aku masih belum memutuskan ke mana akan pergi. Untuk sekarang mungkin aku tidak akan bisa pulang ke Palembang. Anak buah Juragan Basri mungkin masih mencariku di pelabuhan. Tak ada pilihan lain lagi, mungkin sebaiknya aku pergi ke Bekasi. Di Bekasi lebih baik daripada aku harus tinggal di Tangerang. Tempat ini sudah tidak aman lagi untukku.Tak terasa, sudah satu minggu aku tinggal menumpang di rumah Bu Senja dan Pak Fajar. Kedua orang tua dokter Dimas memperlakukan aku dengan baik layaknya seorang tamu selama aku tinggal di sini.Aku diberi kamar yang cukup besar dan aku menikmati banyak makanan enak setiap harinya. Aku benar-benar bersyukur bertemu dengan orang-orang baik seperti keluarga dokter Dimas, tapi aku merasa tak pantas menerima semua kebaikan ini secara cuma-cuma.Entah apa yang harus kulakukan nanti untuk membalas kebaikan keluarga dokter Dimas. Untuk saat ini, aku hanya bisa melakukan hal yang mampu kulakukan."Eh, Nak Nayna! Kamu ngapain pegang-pegang sapu?" Bu senja menghampiriku dan merebut sapu yang ada di tanganku."Kamu istirahat aja di dalam. Enggak perlu bersih-bersih kayak gini, kan udah ada bibi pembantu yang akan bersihin rumah," ujar Bu Senja.Sebagai orang yang tahu diri, aku tidak mungkin hanya berdiam diri dan menerima pe
Aku benar-benar shock. Aku tak pernah menyangka jika ada janin yang sedang tumbuh di dalam perutku. Bu Senja sepertinya juga terkejut. Beliau tidak mengucapkan sepatah kata pun selama dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, hingga kami tiba di rumah.Apa yang harus kukatakan sekarang? Haruskah aku menceritakan semua kisah hidupku pada Bu Senja? Sekarang Bu Senja pasti bingung mengenai kehamilanku saat ini. Aku sendiri juga tak pernah bermimpi akan mengandung anak dari mantan suami yang sudah menyakitiku. Aku tak ingin menolak berkah dari Yang Maha Kuasa, tapi aku benar-benar tidak ingin berhubungan lagi dengan Mas Bima. "Terima kasih udah bawa saya periksa ke rumah sakit, Bu," ucapku pada Bu Senja.Bu Senja tidak bereaksi. Beliau meninggalkanku begitu saja dan masuk ke dalam kamar. Bu Senja tak mau menoleh sedikitpun ke arahku. Tak ada seorang pun mau menyapaku dan mengajakku bicara setelah aku pulang dari ru
Hari masih gelap. Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi. Aku sudah bangun dan bersiap dengan pakaian rapi. Hari ini, aku akan pergi meninggalkan kediaman keluarga dokter Dimas. Aku hanya meninggalkan sepucuk surat untuk berpamitan dengan semua orang. Rasanya aku tak sanggup berpamitan langsung dengan keluarga dokter Dimas, terutama Bu Senja. Aku sudah tak punya muka lagi di hadapan Bu Senja. Mungkin cara yang kugunakan memang kurang sopan, tapi aku rasa mereka juga tidak akan keberatan. Mereka pasti juga menginginkan kepergianku tanpa harus repot mengusirku. "Terima kasih banyak Mas Dimas, Bu Senja, dan Pak Fajar. Aku nggak akan pernah lupain bantuan dari kalian," gumamku sebelum pergi dari kediaman keluarga dokter yang baik hati itu. Segera setelah meninggalkan surat, aku bergegas keluar dari pintu belakang. Semuanya berjalan dengan mulus dan aku berhasil mencapai jalan raya.
"Kamu beneran Nayna, kan?" Aku mengangguk sambil melempar senyum pada orang yang ada di depanku. Aku benar-benar lega. Kupikir aku akan bertemu dengan anak buah Juragan Basri. "Apa kabar ... Mas Iqbal?" Orang yang tak sengaja kutabrak tadi rupanya adalah Mas Iqbal, mantan suami sepupuku, Melati. Aku memang tidak terlalu kenal dengan Mas Iqbal, tapi aku cukup hafal dengan wajahnya dan kami saling mengetahui nama satu sama lain. "Kabar aku baik, Nay. Kamu kenapa bisa sampai sini?" tanya Mas Iqbal. Mas Iqbal terlihat cukup ramah dibandingkan dulu. Seingatku aku hanya pernah bertemu dengannya dua kali saja yaitu saat pernikahannya dengan Melati, lalu saat aku dan Mas Bima mengantarkan undangan pernikahan kami. Dulu, di mataku Mas Iqbal adalah sosok laki-laki yang angkuh. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada pernikahannya dengan Melati hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai.
"Empek-empek bikinan kamu enak banget, Nay," puji Mas Iqbal padaku, "kalau empek-empeknya seenak ini, kios kita pasti makin ramai." Mas Iqbal terus saja memujiku sejak tadi, hingga membuatku salah tingkah. Aku sempat khawatir empek-empek buatanku tidak akan sesuai dengan selera Mas Iqbal. Tapi melihat reaksi Mas Iqbal, aku rasa empek-empek buatanku masih cukup layak untuk dijual. "Mas Iqbal cuma jual empek-empek di kios aja?" "Iya, Nay. Aku cuma punya satu kios ini. Tiap hari aku jualan di sini aja." "Gimana kalau kita coba jualan online juga, Mas?" saranku. "Biaya admin aplikasinya mahal, Nay. Kalau aku pasang harga mahal buat nutup biaya aplikasi, aku takut nggak ada yang mau beli." "Ya udah, sekarang kita nggak usah jualan di aplikasi dulu. Masih ada banyak cara buat memasarkan empek-empek kita," sahutku. Aku akan membantu Mas Iqbal memajuka
"Kenapa aku baik sama kamu?"Astaga, pertanyaan macam apa yang aku lontarkan pada Mas Iqbal? Secara tidak langsung, aku seperti sedang menuduh Mas Iqbal mempunyai maksud lain padaku."M-maaf, Mas! B-bukan itu maksudku. Aku cuma penasaran aja," ujarku panik, "dulu waktu Mas masih jadi suaminya Melati, kita 'kan nggak dekat, ngobrol aja kita nggak pernah. Aku cuma nggak nyangka aja, Mas Iqbal bisa bersikap sebaik ini sama aku, meskipun sekarang Mas bukan lagi suami sepupuku.""Tenang, Nay. Ngomongnya pelan-pelan aja," sahut Mas Iqbal diiringi tawa kecil.Kepanikanku pasti terlihat jelas. "Maaf, Mas. Tolong jangan tersinggung, ya. Aku nggak nuduh kamu macam-macam kok."Sekalipun Mas Iqbal menyimpan niat terselubung, Mas Iqbal juga tidak akan mendapat keuntungan apa pun dariku. Aku punya apa sekarang? Tempat berteduh saja, aku tidak punya. Aku tidak akan bisa makan dan tidur dengan baik jika Mas Iqbal tidak menolongku
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, kios kecil yang aku urus kini sudah mempunyai banyak cabang di beberapa tempat.Setelah mendapatkan keuntungan cukup besar, Mas Iqbal segera membuka kios baru dan merekrut banyak pegawai. Hanya dalam waktu kurang dari enam bulan, Mas Iqbal sudah berhasil membuka lima cabang kios empek-empek baru."Nay, kamu istirahat aja dulu. Jangan wara-wiri terus! Nanti kamu kecapekan!" tegur Mas Iqbal padaku.Mas Iqbal pasti khawatir melihatku berjalan ke sana kemari dengan perut besar sejak tadi. "Kamu nggak perlu ke kios setiap hari. Kamu istirahat aja di kontrakan."Saat ini aku tidak lagi tidur di kios. Aku mengontrak sebuah rumah yang berada tak jauh dari rumah Mas Iqbal.Mas Iqbal rutin memberi bonus padaku, dia juga memberikan gaji cukup besar padaku setelah membuka beberapa cabang kios empek-empek. Dengan gaji dan bonus tersebut, aku mampu mengontrak sebuah rumah y
Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba aku harus menghadapi badai besar. Aku tidak tahu ini sebuah berkah atau musibah. Aku juga tidak tahu harus merasa sedih atau senang.Kupikir, hubunganku dan Mas Iqbal selama ini hanya sebatas pekerja dan pemilik kios, tak lebih. Aku bahkan tidak pernah bermimpi untuk menjadi seseorang yang spesial di mata Mas Iqbal."Maaf kalau aku bikin kamu kaget," ujar Mas Iqbal kemudian. Mungkin Mas Iqbal menyadari kebingunganku saat ini. Selama ini dia memang tidak pernah membahas tentang perasaannya. Aku juga tidak pernah tahu isi hati Mas Iqbal dan aku tak tahu bagaimana pendapat Mas Iqbal tentangku. Sejak kapan Mas Iqbal memiliki perasaan seperti itu padaku? Sejak kapan Mas Iqbal mulai melihatku sebagai seorang wanita? Apa aku benar-benar memiliki masa depan dengannya?"Naina, kamu baik-baik aja, kan?""Aku nggak kenapa-napa, Mas," sahutku tergagap."Kala