Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba aku harus menghadapi badai besar. Aku tidak tahu ini sebuah berkah atau musibah. Aku juga tidak tahu harus merasa sedih atau senang.
Kupikir, hubunganku dan Mas Iqbal selama ini hanya sebatas pekerja dan pemilik kios, tak lebih. Aku bahkan tidak pernah bermimpi untuk menjadi seseorang yang spesial di mata Mas Iqbal."Maaf kalau aku bikin kamu kaget," ujar Mas Iqbal kemudian.Mungkin Mas Iqbal menyadari kebingunganku saat ini. Selama ini dia memang tidak pernah membahas tentang perasaannya. Aku juga tidak pernah tahu isi hati Mas Iqbal dan aku tak tahu bagaimana pendapat Mas Iqbal tentangku.Sejak kapan Mas Iqbal memiliki perasaan seperti itu padaku? Sejak kapan Mas Iqbal mulai melihatku sebagai seorang wanita? Apa aku benar-benar memiliki masa depan dengannya?"Naina, kamu baik-baik aja, kan?""Aku nggak kenapa-napa, Mas," sahutku tergagap."KalaSebenarnya aku masih punya banyak waktu untuk berpikir, tapi aku memilih untuk memberikan jawaban saat ini juga. Aku yakin tidak akan menyesal. Aku juga yakin inilah yang diinginkan oleh hati kecilku. "Maksud kamu, jawaban lamaranku?" tanya Mas Iqbal.Aku mengangguk. Aku mulai mengatur nafas sebelum mengatakan jawaban yang sudah kusiapkan."Aku mau jadi istri kamu, Mas," ucapku dengan tegas.Pada akhirnya, aku menerima lamaran dari Mas Iqbal. Bukan karena aku tak mau diusir dari sini atau karena aku tak mau kehilangan pekerjaan, tapi aku menerima Mas Iqbal karena aku memang menginginkan masa depan bersama dengan Mas Iqbal.Mungkin terlalu cepat untukku beralih ke lain hati. Tapi, kupikir tak ada salahnya untuk mencoba memulai hubungan baru. Urusan cepat atau lambat, itu hanya perkara waktu. Entah sekarang atau suatu hari nanti, aku pasti akan menikah lagi kan? Selagi ada kesempatan, tentu aku harus
Aku tak ingat apa yang sudah terjadi. Tiba-tiba aku sudah terbaring di ranjang rumah sakit, ditemani oleh Mas Iqbal."Nayna, kamu udah sadar?" Mas Iqbal menggenggam tanganku dengan erat. Aku menoleh ke arah Mas Iqbal tanpa mampu bersuara. "Anak kita harus dilahirkan sekarang. Dokter menyarankan supaya kamu operasi. Aku udah urus semuanya. Sebentar lagi kamu akan dibawa ke ruang operasi," ungkap Mas Iqbal.Operasi katanya? Apa ada yang salah dengan tubuhku? Kupikir, aku mampu melahirkan secara normal."Kamu nggak perlu mikirin apa-apa, Nay! Kamu harus rileks. Ingat, nggak lama lagi kita akan bertemu sama malaikat kecil kita."Ucapan Mas Iqbal cukup membuatku senang, tapi tetap saja aku tidak bisa menghilangkan rasa gugupku saat ini."Semuanya akan baik-baik aja, Nay. Kamu dan anak kita, semuanya akan selamat."Mas Iqbal terus berada di sampingku untuk menyemangatiku. Tidak lama kemudian
Hari yang kutunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Hari ini, aku akan berangkat ke kampung halaman ibuku bersama dengan anak dan calon suamiku.Aku sudah menyiapkan banyak oleh-oleh untuk Ibu. Mas Iqbal juga membawa beberapa barang untuk diberikan pada Ibu."Semuanya udah siap? Kita berangkat sekarang?" tanya Mas Iqbal."Aku udah siap, Mas.""Kalau gitu, kita berangkat ke bandara sekarang, ya?"Aku akan pergi ke Palembang dengan menaiki pesawat. Dulu, mungkin aku akan lebih memilih bepergian dengan menaiki bus. Tapi sekarang aku sudah mempunyai cukup uang untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa kulakukan dulu. Kuharap, aku bisa membagi rezekiku pada Ibu. Aku pulang bukan hanya ingin mengabarkan tentang kelahiran anakku dan mengenalkan calon suamiku, tapi aku juga ingin memberitahu ibuku kalau sekarang kehidupanku sudah jauh lebih baik. "Kenapa kamu diam aja dari tadi, Mas? Kamu gugup?" tany
"Sabar ya, Mas? Ibu pasti masih bingung sekarang. Tahu-tahu aku pulang bawa anak dan calon suami baru. Mungkin Ibu masih kaget dan nggak percaya," ujarku menghibur Mas Iqbal yang saat ini tengah duduk di sampingku dengan wajah muram. "Aku baik-baik aja. Wajar kalau ibu kamu agak was-was. Mungkin aja ibu kamu takut aku akan menyakiti kamu seperti aku menyakiti Melati dulu," sahut Mas Iqbal. Aku tertunduk lesu. Sepertinya akan sulit mendapatkan kepercayaan Ibu kalau Ibu terus melihat masa lalu Mas Iqbal sebagai patokan. Aku, Ibu, dan Mas Iqbal masih belum melanjutkan pembicaraan kami sebelumnya. Aku dan Mas Iqbal duduk bersantai di ruang tamu, sementara ibu pamit pergi ke warung sejak tadi. Sepertinya Ibu tidak mau memantik pertengkaran pada pertemuan pertama kami setelah sekian lama. Ibu segera menghindar dan meninggalkanku, tanpa menyelesaikan obrolan kami. "Kenapa Ibu lama banget ke
Malam mulai beranjak. Ibu sedang menemani Yumna di kamar, sementara aku dan Mas Iqbal masih duduk santai di teras. Ibu terlihat begitu senang bermain dengan cucunya. Harusnya aku memberitahu Ibu lebih awal mengenai kehamilanku. Kalau saja aku langsung pulang ke Palembang setelah aku berhasil lepas dari Juragan Basri, mungkin aku bisa sedikit membantu Ibu di sini. Mungkin Ibu tidak akan kesulitan bertahan hidup sendirian seperti ini. "Mas, aku mau ngomong sesuatu," ujarku membuka perbincangan. Bola mataku sempat melirik ke arah pintu kamar. Lebih baik aku segera bicara dengan Mas Iqbal sebelum Ibu keluar dari kamar. "Kamu nau ngomong apa?" "Aku ... mau minta izin sama kamu," ucapku. "Izin buat apa?" Jantungku berdegup kencang. Aku takut, Mas Iqbal tidak akan setuju dengan rencanaku. "Aku mau bawa Ibu, Mas," ungkapku, "aku ngg
Usai melewati diskusi yang panjang dengan Ibu, akhirnya beliau memutuskan untuk ikut bersamaku. Meski Ibu mempunyai banyak pertimbangan dan hampir menolak ajakanku, tapi aku berhasil meyakinkan Ibu untuk tinggal denganku.Aku segera meminta Ibu untuk berkemas. Semua hutang Ibu juga langsung aku lunasi. Aku akan mengosongkan rumah ini. Ibu akan ikut denganku untuk mempersiapkan pernikahanku dengan Mas Iqbal."Terima kasih ya, Bu. Ibu mau ikut aku ke Jawa," ucapku."Harusnya Ibu yang berterima kasih sama kamu. Maaf, Ibu udah bikin kamu sama Iqbal repot," sahut Ibu. "Kami sama sekali nggak repot, Bu. Saya senang, rumah saya bisa ramai lagi. Semoga Ibu betah tinggal sama kami nanti," timpal Mas Iqbal.Aku dan Mas Iqbal sudah memesan tiket untuk Ibu. Semua urusan Ibu di kampung juga sudah terselesaikan. Ibu juga sudah berpamitan pada ketua RT dan beberapa tetangga."Kita bisa pulang ke sini lagi nanti, k
"Sah!"Aku tak bisa menahan tangis haru. Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari ini aku dan Mas Iqbal melangsungkan akad nikah. Meski acara ini tidak dihadiri oleh banyak orang, tapi ijab kabul yang kami laksanakan tetap terasa sakral dan khidmat.Di depan penghulu, Mas Iqbal mengucap ijab dengan lantang tanpa kesalahan. Hanya dalam hitungan menit, aku akhirnya resmi menjadi istri Mas Iqbal yang sah secara hukum dan agama.Kini, jari manisku kembali dihiasi dengan cincin. Bukan hanya cincin di jariku saja yang bertambah, tapi kehidupanku juga akan sepenuhnya berubah."Selamat, Nayna. Semoga kamu dan suami kamu bisa membangun rumah tangga yang sakinah dan penuh berkah," ucap Ibu padaku diiringi derai air mata.Aku menangis dalam pelukan Ibu. Kebahagiaan yang aku rasakan saat ini tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kupikir, hidupku sudah berakhir setelah aku berpisah dari Mas Bima. Namun, siapa sang
Aku bersyukur, Mbak Ratih masih ingat padaku. Mbak Ratih terlihat begitu senang saat bertemu lagi denganku. Meski kami tidak bisa bicara banyak, setidaknya aku sudah berhasil bertukar nomor dengan Mbak Ratih. Aku bisa memantau Mbak Ratih dan menyusun rencana untuk membawa Mbak Ratih keluar dari sana.[Aku berhutang banyak sama Mbak Ratih. Kalau bukan karena Mbak, aku nggak mungkin bisa nikah lagi, ngurus anak, sama bikin usaha bareng suami. Semua yang aku capai sekarang, berkat bantuan Mbak Ratih.]Aku mengirim pesan tersebut dengan manik mata berkaca-kaca. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku sudah hidup aman dan damai, tapi orang yang menolongku masih terperangkap dalam penderitaan.[Kamu nggak perlu berlebihan, Nayna. Aku ikut senang kalau kamu udah hidup bahagia sekarang.][Aku akan bantu Mbak keluar dari cengkraman Juragan Basri.][Kamu nggak perlu repot mikirin aku, Nay. Aku bisa cari cara sendiri.]
Sudah kuduga, setelah istri Mas Bima tahu kebenaran tentang Yumna, Mas Bima pasti akan langsung menemuiku. Aku tidak tahu bagaimana Mas Bima bisa menemukanku. Aku sengaja tidak muncul di kedai cabang baru, karena aku takut Mas Bima akan mendatangiku ke sana. Namun, ternyata menghindari tempat itu tak bisa menjamin aku akan aman dari Mas Bima. Semakin aku menghindar dari Mas Bima, justru aku makin mudah dipertemukan dengan laki-laki itu."Aku udah nyari kamu kemana-mana," ucap Mas Bima padaku. "Ada banyak hal yang harus kita bicarakan."Aku menatap Mas Bima dengan penuh waspada. "Kamu mau tanya soal anakku lagi?""Anak kamu? Anak itu bukan cuma anak kamu 'kan, tapi anakku juga. Aku nggak impoten! Aku masih bisa punya anak!" seru Mas Bima.Aku segera menghubungi Mas Iqbal dan memberitahu tentang pertemuanku dengan Mas Bima. Aku bergegas mencari tempat yang ramai untuk berbicara dengan Mas Bima untuk mencegah Mas Bima melakukan ha
Kupikir, aku sudah berhasil lepas dari Mas Bima. Tapi entah kenapa, sampai saat ini bayang-bayang Mas Bima masih saja mengusikku.Aku datang ke kedai hanya untuk memberikan makan siang, tapi aku justru mendapat kejutan tak terduga. Begitu sampai di sana, aku langsung disambut oleh seorang wanita dengan wajah yang cukup familiar"Aku baru aja mau menghubungimu," ujar Mbak Ratih. "Kamu urus dulu tamu kamu."Aku mematung di pintu. Wanita yang menatapku saat ini tak lain ialah istri baru Mas Bima."Bisa kita bicara sebentar?""Ada perlu apa, ya?" tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Mana bisa aku menyambut tamu tak diundang itu dengan wajah ramah. Aku tidak mau berhubungan lagi dengan Mas Bima, tapi orang-orang di rumah Mas Bima justru terus mendatangiku."Ada hal penting yang ingin saya bahas."Mas Iqbal dan Ibu ikut duduk di dekatku. Istri baru Mas Bima itu tetap melanjutk
"Anak Mas Arul sakit apa? Sekarang keadaannya gimana?" Pertemuanku dan Mas Arul tak berhenti sampai di sini. Kami berbincang banyak, membahas tentang kondisi keluarga Mas Arul. Ternyata memang benar, kehidupan Mas Arul masih belum berubah. Bahkan, Mas Arul makin kesulitan mencari nafkah setelah memutuskan berhenti menjadi kaki tangan Juragan Basri. Sampai saat ini, Mas Arul dan Mbak Lia masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka bahkan kesusahan mengumpulkan keuntungan dari hasil berjualan di pelabuhan. "Jualan di pelabuhan sekarang susah, Mbak. Ada banyak pesaing, ditambah minat pembeli yang makin berkurang. Saya sampai nggak mampu bawa Roni ke dokter," ungkap Mas Arul dengan wajah sendu. Mendengar cerita Mas Arul membuatku iba dan tak tega. Setelah memberikan empek-empek, aku pun menawarkan diri untuk mengantar Mas Arul pulang. Aku ingin bertemu dengan keluarga Mas Arul,
"Jangan ngomong sembarangan ya, Mas! Anakku sama sekali nggak mirip sama kamu!"Aku makin panik. Aku tidak akan membiarkan Mas Bima tahu soal Yumna."Ini anak aku sama Mas Iqbal. Anak ini nggak ada hubungannya sama kamu!" tegasku."Berapa umur anak ini? Udah berapa lama kamu nikah sama Iqbal?" tanya Mas Bima.Aku segera pergi meninggalkan Mas Bima tanpa menjawab pertanyaan darinya. Kalau Mas Bima tahu aku baru menikah dengan Mas Iqbal beberapa bulan lalu, jelas Mas Bima akan langsung paham kalau Yumna bukanlah anak Mas Iqbal."Nayna, aku belum selesai bicara sama kamu!" seru Mas Iqbal."Aku sama kamu udah nggak punya urusan apa-apa lagi. Aku sama kamu udah punya kehidupan masing-masing, jadi tolong jangan ganggu ketenangan aku lagi!"Hari ini mungkin aku bisa melarikan diri dari Mas Bima. Namun, jika nanti aku sampai bertemu dengan Mas Bima lagi, mungkin aku tidak akan bisa kabur.
Mas Bima terus menatap ke arah putriku. Mungkinkah Mas Bima sudah mulai curiga? Tapi Mas Bima tidak mungkin bisa langsung tahu kalau Yumna adalah anaknya. Mas Bima tidak tahu bagaimana kabarku, jadi Mas Bima juga tidak akan tahu kalau aku mengandung anaknya setelah kami berpisah."Kamu kabur dari Juragan Basri, ya? Kamu lebih memilih suami miskin, makanya sekarang kamu kerja di kedai kecil kayak gini?" cibir Mas Bima padaku."Siapa yang kamu sebut suami miskin?" sentak Mas Iqbal, "sekarang kedai ini memang masih kecil, tapi aku akan membuat kedai ini menjadi besar sesegera mungkin.""Kedai ini punya suamiku, Mas," ungkapku, "memang suamiku belum jadi juragan, tapi aku akan menemani suamiku sampai bisa jadi seorang juragan."Mas Bima membelalakkan mata. Setelah mengejekku, Mas Bima pasti terkejut saat tahu kalau kedai empek-empek ini adalah milik suamiku."Bima, kamu ngobrol sama siapa?"Seseorang tib
Tawaranku mendapat sambutan baik dari Mbak Ratih. Mulai hari ini, Mbak Ratih akan menjadi pegawai di kedai empek-empek yang baru saja aku buka di Tangerang.Mas Iqbal mendukung penuh keputusanku, dan ikut membantu menyediakan tempat tinggal bagi Mbak Ratih untuk sementara waktu. Mbak Ratih akan menjadi orang kepercayaanku untuk mengurus cabang-cabang kedai yang ada di wilayah Tangerang."Bu, udah siap belum? Ayo, kita harus berangkat ke kedai sekarang," ajakku pada Ibu.Hari ini, aku dan Mas Iqbal akan pergi ke kedai empek-empek bersama dengan Ibu dan Yumna. Karena kedai yang kami buka di Tangerang masih sangat baru, jadi aku dan Mas Iqbal harus memberikan perhatian khusus sampai kedai kami memperoleh angka penjualan yang stabil. "Yumna, hari ini bantuin Mama jaga kedai, ya? Kita bantu Tante Ratih jualan empek-empek," ocehku pada putriku.Untuk menebus rasa bersalahku pada Yumna karena aku terus sibuk selama bebe
Jantungku terus berdegup kencang selama aku berada di wilayah kediaman Juragan Basri. Sesuai dengan informasi yang aku dapat, hari ini Juragan Basri pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Beberapa preman tampak sibuk mempersiapkan keberangkatan Juragan Basri, jadi aku bisa menyelinap masuk dengan mudah."Gimana, Mbak? Juragan Basri udah mau pergi, kan?" tanyaku pada Mbak Ratih begitu kami bertemu di dapur."Sebentar lagi dia berangkat," sahut Mbak Ratih."Kita mau pergi sekarang apa nanti?""Kita tunggu dulu sampai si Tua Bangka itu pergi."Mbak Ratih segera berganti pakaian sambil menunggu Juragan Basri berangkat bersama pengawalnya. Aku sudah menyiapkan pakaian khusus untuk Mbak Ratih menyamar.Meski aku tidak yakin baju yang dikenakan Mbak Ratih dapat mengelabui penjaga di rumah Juragan Basri, tapi setidaknya aku dan Mbak Ratih harus melakukan sesuatu agar kami tidak tertang
Aku bersyukur, Mbak Ratih masih ingat padaku. Mbak Ratih terlihat begitu senang saat bertemu lagi denganku. Meski kami tidak bisa bicara banyak, setidaknya aku sudah berhasil bertukar nomor dengan Mbak Ratih. Aku bisa memantau Mbak Ratih dan menyusun rencana untuk membawa Mbak Ratih keluar dari sana.[Aku berhutang banyak sama Mbak Ratih. Kalau bukan karena Mbak, aku nggak mungkin bisa nikah lagi, ngurus anak, sama bikin usaha bareng suami. Semua yang aku capai sekarang, berkat bantuan Mbak Ratih.]Aku mengirim pesan tersebut dengan manik mata berkaca-kaca. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku sudah hidup aman dan damai, tapi orang yang menolongku masih terperangkap dalam penderitaan.[Kamu nggak perlu berlebihan, Nayna. Aku ikut senang kalau kamu udah hidup bahagia sekarang.][Aku akan bantu Mbak keluar dari cengkraman Juragan Basri.][Kamu nggak perlu repot mikirin aku, Nay. Aku bisa cari cara sendiri.]
"Sah!"Aku tak bisa menahan tangis haru. Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari ini aku dan Mas Iqbal melangsungkan akad nikah. Meski acara ini tidak dihadiri oleh banyak orang, tapi ijab kabul yang kami laksanakan tetap terasa sakral dan khidmat.Di depan penghulu, Mas Iqbal mengucap ijab dengan lantang tanpa kesalahan. Hanya dalam hitungan menit, aku akhirnya resmi menjadi istri Mas Iqbal yang sah secara hukum dan agama.Kini, jari manisku kembali dihiasi dengan cincin. Bukan hanya cincin di jariku saja yang bertambah, tapi kehidupanku juga akan sepenuhnya berubah."Selamat, Nayna. Semoga kamu dan suami kamu bisa membangun rumah tangga yang sakinah dan penuh berkah," ucap Ibu padaku diiringi derai air mata.Aku menangis dalam pelukan Ibu. Kebahagiaan yang aku rasakan saat ini tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kupikir, hidupku sudah berakhir setelah aku berpisah dari Mas Bima. Namun, siapa sang