Aku tak ingat apa yang sudah terjadi. Tiba-tiba aku sudah terbaring di ranjang rumah sakit, ditemani oleh Mas Iqbal.
"Nayna, kamu udah sadar?" Mas Iqbal menggenggam tanganku dengan erat. Aku menoleh ke arah Mas Iqbal tanpa mampu bersuara."Anak kita harus dilahirkan sekarang. Dokter menyarankan supaya kamu operasi. Aku udah urus semuanya. Sebentar lagi kamu akan dibawa ke ruang operasi," ungkap Mas Iqbal.Operasi katanya? Apa ada yang salah dengan tubuhku? Kupikir, aku mampu melahirkan secara normal."Kamu nggak perlu mikirin apa-apa, Nay! Kamu harus rileks. Ingat, nggak lama lagi kita akan bertemu sama malaikat kecil kita."Ucapan Mas Iqbal cukup membuatku senang, tapi tetap saja aku tidak bisa menghilangkan rasa gugupku saat ini."Semuanya akan baik-baik aja, Nay. Kamu dan anak kita, semuanya akan selamat."Mas Iqbal terus berada di sampingku untuk menyemangatiku. Tidak lama kemudianHari yang kutunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Hari ini, aku akan berangkat ke kampung halaman ibuku bersama dengan anak dan calon suamiku.Aku sudah menyiapkan banyak oleh-oleh untuk Ibu. Mas Iqbal juga membawa beberapa barang untuk diberikan pada Ibu."Semuanya udah siap? Kita berangkat sekarang?" tanya Mas Iqbal."Aku udah siap, Mas.""Kalau gitu, kita berangkat ke bandara sekarang, ya?"Aku akan pergi ke Palembang dengan menaiki pesawat. Dulu, mungkin aku akan lebih memilih bepergian dengan menaiki bus. Tapi sekarang aku sudah mempunyai cukup uang untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa kulakukan dulu. Kuharap, aku bisa membagi rezekiku pada Ibu. Aku pulang bukan hanya ingin mengabarkan tentang kelahiran anakku dan mengenalkan calon suamiku, tapi aku juga ingin memberitahu ibuku kalau sekarang kehidupanku sudah jauh lebih baik. "Kenapa kamu diam aja dari tadi, Mas? Kamu gugup?" tany
"Sabar ya, Mas? Ibu pasti masih bingung sekarang. Tahu-tahu aku pulang bawa anak dan calon suami baru. Mungkin Ibu masih kaget dan nggak percaya," ujarku menghibur Mas Iqbal yang saat ini tengah duduk di sampingku dengan wajah muram. "Aku baik-baik aja. Wajar kalau ibu kamu agak was-was. Mungkin aja ibu kamu takut aku akan menyakiti kamu seperti aku menyakiti Melati dulu," sahut Mas Iqbal. Aku tertunduk lesu. Sepertinya akan sulit mendapatkan kepercayaan Ibu kalau Ibu terus melihat masa lalu Mas Iqbal sebagai patokan. Aku, Ibu, dan Mas Iqbal masih belum melanjutkan pembicaraan kami sebelumnya. Aku dan Mas Iqbal duduk bersantai di ruang tamu, sementara ibu pamit pergi ke warung sejak tadi. Sepertinya Ibu tidak mau memantik pertengkaran pada pertemuan pertama kami setelah sekian lama. Ibu segera menghindar dan meninggalkanku, tanpa menyelesaikan obrolan kami. "Kenapa Ibu lama banget ke
Malam mulai beranjak. Ibu sedang menemani Yumna di kamar, sementara aku dan Mas Iqbal masih duduk santai di teras. Ibu terlihat begitu senang bermain dengan cucunya. Harusnya aku memberitahu Ibu lebih awal mengenai kehamilanku. Kalau saja aku langsung pulang ke Palembang setelah aku berhasil lepas dari Juragan Basri, mungkin aku bisa sedikit membantu Ibu di sini. Mungkin Ibu tidak akan kesulitan bertahan hidup sendirian seperti ini. "Mas, aku mau ngomong sesuatu," ujarku membuka perbincangan. Bola mataku sempat melirik ke arah pintu kamar. Lebih baik aku segera bicara dengan Mas Iqbal sebelum Ibu keluar dari kamar. "Kamu nau ngomong apa?" "Aku ... mau minta izin sama kamu," ucapku. "Izin buat apa?" Jantungku berdegup kencang. Aku takut, Mas Iqbal tidak akan setuju dengan rencanaku. "Aku mau bawa Ibu, Mas," ungkapku, "aku ngg
Usai melewati diskusi yang panjang dengan Ibu, akhirnya beliau memutuskan untuk ikut bersamaku. Meski Ibu mempunyai banyak pertimbangan dan hampir menolak ajakanku, tapi aku berhasil meyakinkan Ibu untuk tinggal denganku.Aku segera meminta Ibu untuk berkemas. Semua hutang Ibu juga langsung aku lunasi. Aku akan mengosongkan rumah ini. Ibu akan ikut denganku untuk mempersiapkan pernikahanku dengan Mas Iqbal."Terima kasih ya, Bu. Ibu mau ikut aku ke Jawa," ucapku."Harusnya Ibu yang berterima kasih sama kamu. Maaf, Ibu udah bikin kamu sama Iqbal repot," sahut Ibu. "Kami sama sekali nggak repot, Bu. Saya senang, rumah saya bisa ramai lagi. Semoga Ibu betah tinggal sama kami nanti," timpal Mas Iqbal.Aku dan Mas Iqbal sudah memesan tiket untuk Ibu. Semua urusan Ibu di kampung juga sudah terselesaikan. Ibu juga sudah berpamitan pada ketua RT dan beberapa tetangga."Kita bisa pulang ke sini lagi nanti, k
"Sah!"Aku tak bisa menahan tangis haru. Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari ini aku dan Mas Iqbal melangsungkan akad nikah. Meski acara ini tidak dihadiri oleh banyak orang, tapi ijab kabul yang kami laksanakan tetap terasa sakral dan khidmat.Di depan penghulu, Mas Iqbal mengucap ijab dengan lantang tanpa kesalahan. Hanya dalam hitungan menit, aku akhirnya resmi menjadi istri Mas Iqbal yang sah secara hukum dan agama.Kini, jari manisku kembali dihiasi dengan cincin. Bukan hanya cincin di jariku saja yang bertambah, tapi kehidupanku juga akan sepenuhnya berubah."Selamat, Nayna. Semoga kamu dan suami kamu bisa membangun rumah tangga yang sakinah dan penuh berkah," ucap Ibu padaku diiringi derai air mata.Aku menangis dalam pelukan Ibu. Kebahagiaan yang aku rasakan saat ini tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kupikir, hidupku sudah berakhir setelah aku berpisah dari Mas Bima. Namun, siapa sang
Aku bersyukur, Mbak Ratih masih ingat padaku. Mbak Ratih terlihat begitu senang saat bertemu lagi denganku. Meski kami tidak bisa bicara banyak, setidaknya aku sudah berhasil bertukar nomor dengan Mbak Ratih. Aku bisa memantau Mbak Ratih dan menyusun rencana untuk membawa Mbak Ratih keluar dari sana.[Aku berhutang banyak sama Mbak Ratih. Kalau bukan karena Mbak, aku nggak mungkin bisa nikah lagi, ngurus anak, sama bikin usaha bareng suami. Semua yang aku capai sekarang, berkat bantuan Mbak Ratih.]Aku mengirim pesan tersebut dengan manik mata berkaca-kaca. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku sudah hidup aman dan damai, tapi orang yang menolongku masih terperangkap dalam penderitaan.[Kamu nggak perlu berlebihan, Nayna. Aku ikut senang kalau kamu udah hidup bahagia sekarang.][Aku akan bantu Mbak keluar dari cengkraman Juragan Basri.][Kamu nggak perlu repot mikirin aku, Nay. Aku bisa cari cara sendiri.]
Jantungku terus berdegup kencang selama aku berada di wilayah kediaman Juragan Basri. Sesuai dengan informasi yang aku dapat, hari ini Juragan Basri pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Beberapa preman tampak sibuk mempersiapkan keberangkatan Juragan Basri, jadi aku bisa menyelinap masuk dengan mudah."Gimana, Mbak? Juragan Basri udah mau pergi, kan?" tanyaku pada Mbak Ratih begitu kami bertemu di dapur."Sebentar lagi dia berangkat," sahut Mbak Ratih."Kita mau pergi sekarang apa nanti?""Kita tunggu dulu sampai si Tua Bangka itu pergi."Mbak Ratih segera berganti pakaian sambil menunggu Juragan Basri berangkat bersama pengawalnya. Aku sudah menyiapkan pakaian khusus untuk Mbak Ratih menyamar.Meski aku tidak yakin baju yang dikenakan Mbak Ratih dapat mengelabui penjaga di rumah Juragan Basri, tapi setidaknya aku dan Mbak Ratih harus melakukan sesuatu agar kami tidak tertang
Tawaranku mendapat sambutan baik dari Mbak Ratih. Mulai hari ini, Mbak Ratih akan menjadi pegawai di kedai empek-empek yang baru saja aku buka di Tangerang.Mas Iqbal mendukung penuh keputusanku, dan ikut membantu menyediakan tempat tinggal bagi Mbak Ratih untuk sementara waktu. Mbak Ratih akan menjadi orang kepercayaanku untuk mengurus cabang-cabang kedai yang ada di wilayah Tangerang."Bu, udah siap belum? Ayo, kita harus berangkat ke kedai sekarang," ajakku pada Ibu.Hari ini, aku dan Mas Iqbal akan pergi ke kedai empek-empek bersama dengan Ibu dan Yumna. Karena kedai yang kami buka di Tangerang masih sangat baru, jadi aku dan Mas Iqbal harus memberikan perhatian khusus sampai kedai kami memperoleh angka penjualan yang stabil. "Yumna, hari ini bantuin Mama jaga kedai, ya? Kita bantu Tante Ratih jualan empek-empek," ocehku pada putriku.Untuk menebus rasa bersalahku pada Yumna karena aku terus sibuk selama bebe