"Kenapa aku baik sama kamu?"
Astaga, pertanyaan macam apa yang aku lontarkan pada Mas Iqbal? Secara tidak langsung, aku seperti sedang menuduh Mas Iqbal mempunyai maksud lain padaku."M-maaf, Mas! B-bukan itu maksudku. Aku cuma penasaran aja," ujarku panik, "dulu waktu Mas masih jadi suaminya Melati, kita 'kan nggak dekat, ngobrol aja kita nggak pernah. Aku cuma nggak nyangka aja, Mas Iqbal bisa bersikap sebaik ini sama aku, meskipun sekarang Mas bukan lagi suami sepupuku.""Tenang, Nay. Ngomongnya pelan-pelan aja," sahut Mas Iqbal diiringi tawa kecil.Kepanikanku pasti terlihat jelas. "Maaf, Mas. Tolong jangan tersinggung, ya. Aku nggak nuduh kamu macam-macam kok."Sekalipun Mas Iqbal menyimpan niat terselubung, Mas Iqbal juga tidak akan mendapat keuntungan apa pun dariku. Aku punya apa sekarang? Tempat berteduh saja, aku tidak punya. Aku tidak akan bisa makan dan tidur dengan baik jika Mas Iqbal tidak menolongkuWaktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, kios kecil yang aku urus kini sudah mempunyai banyak cabang di beberapa tempat.Setelah mendapatkan keuntungan cukup besar, Mas Iqbal segera membuka kios baru dan merekrut banyak pegawai. Hanya dalam waktu kurang dari enam bulan, Mas Iqbal sudah berhasil membuka lima cabang kios empek-empek baru."Nay, kamu istirahat aja dulu. Jangan wara-wiri terus! Nanti kamu kecapekan!" tegur Mas Iqbal padaku.Mas Iqbal pasti khawatir melihatku berjalan ke sana kemari dengan perut besar sejak tadi. "Kamu nggak perlu ke kios setiap hari. Kamu istirahat aja di kontrakan."Saat ini aku tidak lagi tidur di kios. Aku mengontrak sebuah rumah yang berada tak jauh dari rumah Mas Iqbal.Mas Iqbal rutin memberi bonus padaku, dia juga memberikan gaji cukup besar padaku setelah membuka beberapa cabang kios empek-empek. Dengan gaji dan bonus tersebut, aku mampu mengontrak sebuah rumah y
Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba aku harus menghadapi badai besar. Aku tidak tahu ini sebuah berkah atau musibah. Aku juga tidak tahu harus merasa sedih atau senang.Kupikir, hubunganku dan Mas Iqbal selama ini hanya sebatas pekerja dan pemilik kios, tak lebih. Aku bahkan tidak pernah bermimpi untuk menjadi seseorang yang spesial di mata Mas Iqbal."Maaf kalau aku bikin kamu kaget," ujar Mas Iqbal kemudian. Mungkin Mas Iqbal menyadari kebingunganku saat ini. Selama ini dia memang tidak pernah membahas tentang perasaannya. Aku juga tidak pernah tahu isi hati Mas Iqbal dan aku tak tahu bagaimana pendapat Mas Iqbal tentangku. Sejak kapan Mas Iqbal memiliki perasaan seperti itu padaku? Sejak kapan Mas Iqbal mulai melihatku sebagai seorang wanita? Apa aku benar-benar memiliki masa depan dengannya?"Naina, kamu baik-baik aja, kan?""Aku nggak kenapa-napa, Mas," sahutku tergagap."Kala
Sebenarnya aku masih punya banyak waktu untuk berpikir, tapi aku memilih untuk memberikan jawaban saat ini juga. Aku yakin tidak akan menyesal. Aku juga yakin inilah yang diinginkan oleh hati kecilku. "Maksud kamu, jawaban lamaranku?" tanya Mas Iqbal.Aku mengangguk. Aku mulai mengatur nafas sebelum mengatakan jawaban yang sudah kusiapkan."Aku mau jadi istri kamu, Mas," ucapku dengan tegas.Pada akhirnya, aku menerima lamaran dari Mas Iqbal. Bukan karena aku tak mau diusir dari sini atau karena aku tak mau kehilangan pekerjaan, tapi aku menerima Mas Iqbal karena aku memang menginginkan masa depan bersama dengan Mas Iqbal.Mungkin terlalu cepat untukku beralih ke lain hati. Tapi, kupikir tak ada salahnya untuk mencoba memulai hubungan baru. Urusan cepat atau lambat, itu hanya perkara waktu. Entah sekarang atau suatu hari nanti, aku pasti akan menikah lagi kan? Selagi ada kesempatan, tentu aku harus
Aku tak ingat apa yang sudah terjadi. Tiba-tiba aku sudah terbaring di ranjang rumah sakit, ditemani oleh Mas Iqbal."Nayna, kamu udah sadar?" Mas Iqbal menggenggam tanganku dengan erat. Aku menoleh ke arah Mas Iqbal tanpa mampu bersuara. "Anak kita harus dilahirkan sekarang. Dokter menyarankan supaya kamu operasi. Aku udah urus semuanya. Sebentar lagi kamu akan dibawa ke ruang operasi," ungkap Mas Iqbal.Operasi katanya? Apa ada yang salah dengan tubuhku? Kupikir, aku mampu melahirkan secara normal."Kamu nggak perlu mikirin apa-apa, Nay! Kamu harus rileks. Ingat, nggak lama lagi kita akan bertemu sama malaikat kecil kita."Ucapan Mas Iqbal cukup membuatku senang, tapi tetap saja aku tidak bisa menghilangkan rasa gugupku saat ini."Semuanya akan baik-baik aja, Nay. Kamu dan anak kita, semuanya akan selamat."Mas Iqbal terus berada di sampingku untuk menyemangatiku. Tidak lama kemudian
Hari yang kutunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Hari ini, aku akan berangkat ke kampung halaman ibuku bersama dengan anak dan calon suamiku.Aku sudah menyiapkan banyak oleh-oleh untuk Ibu. Mas Iqbal juga membawa beberapa barang untuk diberikan pada Ibu."Semuanya udah siap? Kita berangkat sekarang?" tanya Mas Iqbal."Aku udah siap, Mas.""Kalau gitu, kita berangkat ke bandara sekarang, ya?"Aku akan pergi ke Palembang dengan menaiki pesawat. Dulu, mungkin aku akan lebih memilih bepergian dengan menaiki bus. Tapi sekarang aku sudah mempunyai cukup uang untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa kulakukan dulu. Kuharap, aku bisa membagi rezekiku pada Ibu. Aku pulang bukan hanya ingin mengabarkan tentang kelahiran anakku dan mengenalkan calon suamiku, tapi aku juga ingin memberitahu ibuku kalau sekarang kehidupanku sudah jauh lebih baik. "Kenapa kamu diam aja dari tadi, Mas? Kamu gugup?" tany
"Sabar ya, Mas? Ibu pasti masih bingung sekarang. Tahu-tahu aku pulang bawa anak dan calon suami baru. Mungkin Ibu masih kaget dan nggak percaya," ujarku menghibur Mas Iqbal yang saat ini tengah duduk di sampingku dengan wajah muram. "Aku baik-baik aja. Wajar kalau ibu kamu agak was-was. Mungkin aja ibu kamu takut aku akan menyakiti kamu seperti aku menyakiti Melati dulu," sahut Mas Iqbal. Aku tertunduk lesu. Sepertinya akan sulit mendapatkan kepercayaan Ibu kalau Ibu terus melihat masa lalu Mas Iqbal sebagai patokan. Aku, Ibu, dan Mas Iqbal masih belum melanjutkan pembicaraan kami sebelumnya. Aku dan Mas Iqbal duduk bersantai di ruang tamu, sementara ibu pamit pergi ke warung sejak tadi. Sepertinya Ibu tidak mau memantik pertengkaran pada pertemuan pertama kami setelah sekian lama. Ibu segera menghindar dan meninggalkanku, tanpa menyelesaikan obrolan kami. "Kenapa Ibu lama banget ke
Malam mulai beranjak. Ibu sedang menemani Yumna di kamar, sementara aku dan Mas Iqbal masih duduk santai di teras. Ibu terlihat begitu senang bermain dengan cucunya. Harusnya aku memberitahu Ibu lebih awal mengenai kehamilanku. Kalau saja aku langsung pulang ke Palembang setelah aku berhasil lepas dari Juragan Basri, mungkin aku bisa sedikit membantu Ibu di sini. Mungkin Ibu tidak akan kesulitan bertahan hidup sendirian seperti ini. "Mas, aku mau ngomong sesuatu," ujarku membuka perbincangan. Bola mataku sempat melirik ke arah pintu kamar. Lebih baik aku segera bicara dengan Mas Iqbal sebelum Ibu keluar dari kamar. "Kamu nau ngomong apa?" "Aku ... mau minta izin sama kamu," ucapku. "Izin buat apa?" Jantungku berdegup kencang. Aku takut, Mas Iqbal tidak akan setuju dengan rencanaku. "Aku mau bawa Ibu, Mas," ungkapku, "aku ngg
Usai melewati diskusi yang panjang dengan Ibu, akhirnya beliau memutuskan untuk ikut bersamaku. Meski Ibu mempunyai banyak pertimbangan dan hampir menolak ajakanku, tapi aku berhasil meyakinkan Ibu untuk tinggal denganku.Aku segera meminta Ibu untuk berkemas. Semua hutang Ibu juga langsung aku lunasi. Aku akan mengosongkan rumah ini. Ibu akan ikut denganku untuk mempersiapkan pernikahanku dengan Mas Iqbal."Terima kasih ya, Bu. Ibu mau ikut aku ke Jawa," ucapku."Harusnya Ibu yang berterima kasih sama kamu. Maaf, Ibu udah bikin kamu sama Iqbal repot," sahut Ibu. "Kami sama sekali nggak repot, Bu. Saya senang, rumah saya bisa ramai lagi. Semoga Ibu betah tinggal sama kami nanti," timpal Mas Iqbal.Aku dan Mas Iqbal sudah memesan tiket untuk Ibu. Semua urusan Ibu di kampung juga sudah terselesaikan. Ibu juga sudah berpamitan pada ketua RT dan beberapa tetangga."Kita bisa pulang ke sini lagi nanti, k