Aku akan pulang ke kampung halaman dengan menaiki bus. Uang yang diberikan oleh Mas Arul lebih dari cukup untuk membiayai perjalananku sampai ke Palembang.
Agak sedih karena harus berpisah dengan keluarga Mas Arul, tapi di sisi lain aku juga merasa senang karena berhasil kabur dari Mas Bima dan Juragan Basri. Aku juga berhak hidup bahagia dan tinggal di tempat yang lebih aman dan nyaman.Selama beberapa minggu terakhir, hidupku sungguh tidak tenang. Aku tak ubahnya seperti seorang buronan yang harus bersembunyi dari kejaran orang-orang Juragan Basri.Insyaallah setelah berhasil meninggalkan tempat ini, aku bisa hidup normal lagi. "Bismillah! Semoga perjalananku lancar tanpa hambatan apapun."Bus yang kunaiki mulai bergerak memasuki area pelabuhan. Sebentar lagi kapal akan membawaku menyeberang ke Pulau Sumatera. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera sampai di kampung halaman. Selagi menunggu bus masuk ke kapal, aku menghAku ada di mana sekarang? Kenapa aku bisa ada di sini? Pandangan mataku mengarah ke seluruh penjuru ruangan. Ada ranjang pasien, tiang infus, dan aroma obat-obatan. Apa aku ada di rumah sakit? Siapa yang membawaku ke sini? "Syukurlah Mbak sudah sadar. Ada keluhan apa, Mbak? Mbak merasa pusing atau ada bagian tubuh yang terasa sakit?" Seorang wanita berpakaian serba putih menghampiriku dan mengajakku bicara. Dari busana yang ia kenakan, sepertinya dia adalah perawat di rumah sakit ini. "Mbak bisa dengar suara saya? Mbak bisa lihat dengan jelas?" tanya perawat itu lagi padaku. Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun karena aku masih berusaha mengingat-ingat kejadian sebelum aku dibawa ke sini. Bukankah tadi aku dikejar-kejar oleh anak buah Juragan Basri di pelabuhan? "Mbak?" Perawat itu menyentuh tanganku, tapi aku langsung menepisnya dah menatap curiga ke arah perawat yang berdiri di ha
Satu-satunya cara untuk menghindari anak buah Juragan Basri adalah pergi sejauh mungkin dari wilayah ini. Bagaimanapun caranya, aku harus pergi dari sini. “Minta tolong apa?” tanya Dokter Dimas. Aku terdiam sejenak. Setidaknya aku harus menyiapkan kalimat yang bagus agar Dokter Dimas mau menolongku. “Saya nggak bisa menghubungi keluarga saya sekarang, tapi saya harus pergi dari sini. Apa saya boleh minta tumpangan pada Dokter?" ucapku malu sekaligus sungkan. “Tentu, Nona. Saya bisa antar Nona pulang,” sahut Dokter Dimas. Aku masih belum memutuskan ke mana akan pergi. Untuk sekarang mungkin aku tidak akan bisa pulang ke Palembang. Anak buah Juragan Basri mungkin masih mencariku di pelabuhan. Tak ada pilihan lain lagi, mungkin sebaiknya aku pergi ke Bekasi. Di Bekasi lebih baik daripada aku harus tinggal di Tangerang. Tempat ini sudah tidak aman lagi untukku.
Tak terasa, sudah satu minggu aku tinggal menumpang di rumah Bu Senja dan Pak Fajar. Kedua orang tua dokter Dimas memperlakukan aku dengan baik layaknya seorang tamu selama aku tinggal di sini.Aku diberi kamar yang cukup besar dan aku menikmati banyak makanan enak setiap harinya. Aku benar-benar bersyukur bertemu dengan orang-orang baik seperti keluarga dokter Dimas, tapi aku merasa tak pantas menerima semua kebaikan ini secara cuma-cuma.Entah apa yang harus kulakukan nanti untuk membalas kebaikan keluarga dokter Dimas. Untuk saat ini, aku hanya bisa melakukan hal yang mampu kulakukan."Eh, Nak Nayna! Kamu ngapain pegang-pegang sapu?" Bu senja menghampiriku dan merebut sapu yang ada di tanganku."Kamu istirahat aja di dalam. Enggak perlu bersih-bersih kayak gini, kan udah ada bibi pembantu yang akan bersihin rumah," ujar Bu Senja.Sebagai orang yang tahu diri, aku tidak mungkin hanya berdiam diri dan menerima pe
Aku benar-benar shock. Aku tak pernah menyangka jika ada janin yang sedang tumbuh di dalam perutku. Bu Senja sepertinya juga terkejut. Beliau tidak mengucapkan sepatah kata pun selama dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, hingga kami tiba di rumah.Apa yang harus kukatakan sekarang? Haruskah aku menceritakan semua kisah hidupku pada Bu Senja? Sekarang Bu Senja pasti bingung mengenai kehamilanku saat ini. Aku sendiri juga tak pernah bermimpi akan mengandung anak dari mantan suami yang sudah menyakitiku. Aku tak ingin menolak berkah dari Yang Maha Kuasa, tapi aku benar-benar tidak ingin berhubungan lagi dengan Mas Bima. "Terima kasih udah bawa saya periksa ke rumah sakit, Bu," ucapku pada Bu Senja.Bu Senja tidak bereaksi. Beliau meninggalkanku begitu saja dan masuk ke dalam kamar. Bu Senja tak mau menoleh sedikitpun ke arahku. Tak ada seorang pun mau menyapaku dan mengajakku bicara setelah aku pulang dari ru
Hari masih gelap. Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi. Aku sudah bangun dan bersiap dengan pakaian rapi. Hari ini, aku akan pergi meninggalkan kediaman keluarga dokter Dimas. Aku hanya meninggalkan sepucuk surat untuk berpamitan dengan semua orang. Rasanya aku tak sanggup berpamitan langsung dengan keluarga dokter Dimas, terutama Bu Senja. Aku sudah tak punya muka lagi di hadapan Bu Senja. Mungkin cara yang kugunakan memang kurang sopan, tapi aku rasa mereka juga tidak akan keberatan. Mereka pasti juga menginginkan kepergianku tanpa harus repot mengusirku. "Terima kasih banyak Mas Dimas, Bu Senja, dan Pak Fajar. Aku nggak akan pernah lupain bantuan dari kalian," gumamku sebelum pergi dari kediaman keluarga dokter yang baik hati itu. Segera setelah meninggalkan surat, aku bergegas keluar dari pintu belakang. Semuanya berjalan dengan mulus dan aku berhasil mencapai jalan raya.
"Kamu beneran Nayna, kan?" Aku mengangguk sambil melempar senyum pada orang yang ada di depanku. Aku benar-benar lega. Kupikir aku akan bertemu dengan anak buah Juragan Basri. "Apa kabar ... Mas Iqbal?" Orang yang tak sengaja kutabrak tadi rupanya adalah Mas Iqbal, mantan suami sepupuku, Melati. Aku memang tidak terlalu kenal dengan Mas Iqbal, tapi aku cukup hafal dengan wajahnya dan kami saling mengetahui nama satu sama lain. "Kabar aku baik, Nay. Kamu kenapa bisa sampai sini?" tanya Mas Iqbal. Mas Iqbal terlihat cukup ramah dibandingkan dulu. Seingatku aku hanya pernah bertemu dengannya dua kali saja yaitu saat pernikahannya dengan Melati, lalu saat aku dan Mas Bima mengantarkan undangan pernikahan kami. Dulu, di mataku Mas Iqbal adalah sosok laki-laki yang angkuh. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada pernikahannya dengan Melati hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai.
"Empek-empek bikinan kamu enak banget, Nay," puji Mas Iqbal padaku, "kalau empek-empeknya seenak ini, kios kita pasti makin ramai." Mas Iqbal terus saja memujiku sejak tadi, hingga membuatku salah tingkah. Aku sempat khawatir empek-empek buatanku tidak akan sesuai dengan selera Mas Iqbal. Tapi melihat reaksi Mas Iqbal, aku rasa empek-empek buatanku masih cukup layak untuk dijual. "Mas Iqbal cuma jual empek-empek di kios aja?" "Iya, Nay. Aku cuma punya satu kios ini. Tiap hari aku jualan di sini aja." "Gimana kalau kita coba jualan online juga, Mas?" saranku. "Biaya admin aplikasinya mahal, Nay. Kalau aku pasang harga mahal buat nutup biaya aplikasi, aku takut nggak ada yang mau beli." "Ya udah, sekarang kita nggak usah jualan di aplikasi dulu. Masih ada banyak cara buat memasarkan empek-empek kita," sahutku. Aku akan membantu Mas Iqbal memajuka
"Kenapa aku baik sama kamu?"Astaga, pertanyaan macam apa yang aku lontarkan pada Mas Iqbal? Secara tidak langsung, aku seperti sedang menuduh Mas Iqbal mempunyai maksud lain padaku."M-maaf, Mas! B-bukan itu maksudku. Aku cuma penasaran aja," ujarku panik, "dulu waktu Mas masih jadi suaminya Melati, kita 'kan nggak dekat, ngobrol aja kita nggak pernah. Aku cuma nggak nyangka aja, Mas Iqbal bisa bersikap sebaik ini sama aku, meskipun sekarang Mas bukan lagi suami sepupuku.""Tenang, Nay. Ngomongnya pelan-pelan aja," sahut Mas Iqbal diiringi tawa kecil.Kepanikanku pasti terlihat jelas. "Maaf, Mas. Tolong jangan tersinggung, ya. Aku nggak nuduh kamu macam-macam kok."Sekalipun Mas Iqbal menyimpan niat terselubung, Mas Iqbal juga tidak akan mendapat keuntungan apa pun dariku. Aku punya apa sekarang? Tempat berteduh saja, aku tidak punya. Aku tidak akan bisa makan dan tidur dengan baik jika Mas Iqbal tidak menolongku
Sudah kuduga, setelah istri Mas Bima tahu kebenaran tentang Yumna, Mas Bima pasti akan langsung menemuiku. Aku tidak tahu bagaimana Mas Bima bisa menemukanku. Aku sengaja tidak muncul di kedai cabang baru, karena aku takut Mas Bima akan mendatangiku ke sana. Namun, ternyata menghindari tempat itu tak bisa menjamin aku akan aman dari Mas Bima. Semakin aku menghindar dari Mas Bima, justru aku makin mudah dipertemukan dengan laki-laki itu."Aku udah nyari kamu kemana-mana," ucap Mas Bima padaku. "Ada banyak hal yang harus kita bicarakan."Aku menatap Mas Bima dengan penuh waspada. "Kamu mau tanya soal anakku lagi?""Anak kamu? Anak itu bukan cuma anak kamu 'kan, tapi anakku juga. Aku nggak impoten! Aku masih bisa punya anak!" seru Mas Bima.Aku segera menghubungi Mas Iqbal dan memberitahu tentang pertemuanku dengan Mas Bima. Aku bergegas mencari tempat yang ramai untuk berbicara dengan Mas Bima untuk mencegah Mas Bima melakukan ha
Kupikir, aku sudah berhasil lepas dari Mas Bima. Tapi entah kenapa, sampai saat ini bayang-bayang Mas Bima masih saja mengusikku.Aku datang ke kedai hanya untuk memberikan makan siang, tapi aku justru mendapat kejutan tak terduga. Begitu sampai di sana, aku langsung disambut oleh seorang wanita dengan wajah yang cukup familiar"Aku baru aja mau menghubungimu," ujar Mbak Ratih. "Kamu urus dulu tamu kamu."Aku mematung di pintu. Wanita yang menatapku saat ini tak lain ialah istri baru Mas Bima."Bisa kita bicara sebentar?""Ada perlu apa, ya?" tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Mana bisa aku menyambut tamu tak diundang itu dengan wajah ramah. Aku tidak mau berhubungan lagi dengan Mas Bima, tapi orang-orang di rumah Mas Bima justru terus mendatangiku."Ada hal penting yang ingin saya bahas."Mas Iqbal dan Ibu ikut duduk di dekatku. Istri baru Mas Bima itu tetap melanjutk
"Anak Mas Arul sakit apa? Sekarang keadaannya gimana?" Pertemuanku dan Mas Arul tak berhenti sampai di sini. Kami berbincang banyak, membahas tentang kondisi keluarga Mas Arul. Ternyata memang benar, kehidupan Mas Arul masih belum berubah. Bahkan, Mas Arul makin kesulitan mencari nafkah setelah memutuskan berhenti menjadi kaki tangan Juragan Basri. Sampai saat ini, Mas Arul dan Mbak Lia masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka bahkan kesusahan mengumpulkan keuntungan dari hasil berjualan di pelabuhan. "Jualan di pelabuhan sekarang susah, Mbak. Ada banyak pesaing, ditambah minat pembeli yang makin berkurang. Saya sampai nggak mampu bawa Roni ke dokter," ungkap Mas Arul dengan wajah sendu. Mendengar cerita Mas Arul membuatku iba dan tak tega. Setelah memberikan empek-empek, aku pun menawarkan diri untuk mengantar Mas Arul pulang. Aku ingin bertemu dengan keluarga Mas Arul,
"Jangan ngomong sembarangan ya, Mas! Anakku sama sekali nggak mirip sama kamu!"Aku makin panik. Aku tidak akan membiarkan Mas Bima tahu soal Yumna."Ini anak aku sama Mas Iqbal. Anak ini nggak ada hubungannya sama kamu!" tegasku."Berapa umur anak ini? Udah berapa lama kamu nikah sama Iqbal?" tanya Mas Bima.Aku segera pergi meninggalkan Mas Bima tanpa menjawab pertanyaan darinya. Kalau Mas Bima tahu aku baru menikah dengan Mas Iqbal beberapa bulan lalu, jelas Mas Bima akan langsung paham kalau Yumna bukanlah anak Mas Iqbal."Nayna, aku belum selesai bicara sama kamu!" seru Mas Iqbal."Aku sama kamu udah nggak punya urusan apa-apa lagi. Aku sama kamu udah punya kehidupan masing-masing, jadi tolong jangan ganggu ketenangan aku lagi!"Hari ini mungkin aku bisa melarikan diri dari Mas Bima. Namun, jika nanti aku sampai bertemu dengan Mas Bima lagi, mungkin aku tidak akan bisa kabur.
Mas Bima terus menatap ke arah putriku. Mungkinkah Mas Bima sudah mulai curiga? Tapi Mas Bima tidak mungkin bisa langsung tahu kalau Yumna adalah anaknya. Mas Bima tidak tahu bagaimana kabarku, jadi Mas Bima juga tidak akan tahu kalau aku mengandung anaknya setelah kami berpisah."Kamu kabur dari Juragan Basri, ya? Kamu lebih memilih suami miskin, makanya sekarang kamu kerja di kedai kecil kayak gini?" cibir Mas Bima padaku."Siapa yang kamu sebut suami miskin?" sentak Mas Iqbal, "sekarang kedai ini memang masih kecil, tapi aku akan membuat kedai ini menjadi besar sesegera mungkin.""Kedai ini punya suamiku, Mas," ungkapku, "memang suamiku belum jadi juragan, tapi aku akan menemani suamiku sampai bisa jadi seorang juragan."Mas Bima membelalakkan mata. Setelah mengejekku, Mas Bima pasti terkejut saat tahu kalau kedai empek-empek ini adalah milik suamiku."Bima, kamu ngobrol sama siapa?"Seseorang tib
Tawaranku mendapat sambutan baik dari Mbak Ratih. Mulai hari ini, Mbak Ratih akan menjadi pegawai di kedai empek-empek yang baru saja aku buka di Tangerang.Mas Iqbal mendukung penuh keputusanku, dan ikut membantu menyediakan tempat tinggal bagi Mbak Ratih untuk sementara waktu. Mbak Ratih akan menjadi orang kepercayaanku untuk mengurus cabang-cabang kedai yang ada di wilayah Tangerang."Bu, udah siap belum? Ayo, kita harus berangkat ke kedai sekarang," ajakku pada Ibu.Hari ini, aku dan Mas Iqbal akan pergi ke kedai empek-empek bersama dengan Ibu dan Yumna. Karena kedai yang kami buka di Tangerang masih sangat baru, jadi aku dan Mas Iqbal harus memberikan perhatian khusus sampai kedai kami memperoleh angka penjualan yang stabil. "Yumna, hari ini bantuin Mama jaga kedai, ya? Kita bantu Tante Ratih jualan empek-empek," ocehku pada putriku.Untuk menebus rasa bersalahku pada Yumna karena aku terus sibuk selama bebe
Jantungku terus berdegup kencang selama aku berada di wilayah kediaman Juragan Basri. Sesuai dengan informasi yang aku dapat, hari ini Juragan Basri pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Beberapa preman tampak sibuk mempersiapkan keberangkatan Juragan Basri, jadi aku bisa menyelinap masuk dengan mudah."Gimana, Mbak? Juragan Basri udah mau pergi, kan?" tanyaku pada Mbak Ratih begitu kami bertemu di dapur."Sebentar lagi dia berangkat," sahut Mbak Ratih."Kita mau pergi sekarang apa nanti?""Kita tunggu dulu sampai si Tua Bangka itu pergi."Mbak Ratih segera berganti pakaian sambil menunggu Juragan Basri berangkat bersama pengawalnya. Aku sudah menyiapkan pakaian khusus untuk Mbak Ratih menyamar.Meski aku tidak yakin baju yang dikenakan Mbak Ratih dapat mengelabui penjaga di rumah Juragan Basri, tapi setidaknya aku dan Mbak Ratih harus melakukan sesuatu agar kami tidak tertang
Aku bersyukur, Mbak Ratih masih ingat padaku. Mbak Ratih terlihat begitu senang saat bertemu lagi denganku. Meski kami tidak bisa bicara banyak, setidaknya aku sudah berhasil bertukar nomor dengan Mbak Ratih. Aku bisa memantau Mbak Ratih dan menyusun rencana untuk membawa Mbak Ratih keluar dari sana.[Aku berhutang banyak sama Mbak Ratih. Kalau bukan karena Mbak, aku nggak mungkin bisa nikah lagi, ngurus anak, sama bikin usaha bareng suami. Semua yang aku capai sekarang, berkat bantuan Mbak Ratih.]Aku mengirim pesan tersebut dengan manik mata berkaca-kaca. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku sudah hidup aman dan damai, tapi orang yang menolongku masih terperangkap dalam penderitaan.[Kamu nggak perlu berlebihan, Nayna. Aku ikut senang kalau kamu udah hidup bahagia sekarang.][Aku akan bantu Mbak keluar dari cengkraman Juragan Basri.][Kamu nggak perlu repot mikirin aku, Nay. Aku bisa cari cara sendiri.]
"Sah!"Aku tak bisa menahan tangis haru. Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari ini aku dan Mas Iqbal melangsungkan akad nikah. Meski acara ini tidak dihadiri oleh banyak orang, tapi ijab kabul yang kami laksanakan tetap terasa sakral dan khidmat.Di depan penghulu, Mas Iqbal mengucap ijab dengan lantang tanpa kesalahan. Hanya dalam hitungan menit, aku akhirnya resmi menjadi istri Mas Iqbal yang sah secara hukum dan agama.Kini, jari manisku kembali dihiasi dengan cincin. Bukan hanya cincin di jariku saja yang bertambah, tapi kehidupanku juga akan sepenuhnya berubah."Selamat, Nayna. Semoga kamu dan suami kamu bisa membangun rumah tangga yang sakinah dan penuh berkah," ucap Ibu padaku diiringi derai air mata.Aku menangis dalam pelukan Ibu. Kebahagiaan yang aku rasakan saat ini tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kupikir, hidupku sudah berakhir setelah aku berpisah dari Mas Bima. Namun, siapa sang