Aku masih berdiri di depan kamar. Pikiranku mulai kacau setelah mendengar pembicaraan Mas Bima dan ibu mertuaku. Aku ingin segera pergi melarikan diri dari rumah ini, tapi aku tidak tahu harus pergi ke mana.
Sepertinya aku harus membuat rencana terlebih dahulu. Tidak mungkin aku langsung meninggalkan rumah ini tanpa rencana yang matang. Setidaknya aku harus menentukan tempat tujuanku."Aku harus pergi ke mana sekarang? Tapi aku harus segera pergi dari rumah ini sebelum Mas Bima menyerahkan aku pada juragan hidung belang itu!" gumamku mulai panik.Aku tidak punya siapa-siapa di kota ini selain suami dan ibu mertuaku. Tempat tinggal orang tuaku sangat jauh. Aku berasal dari sebuah daerah yang berada di pedalaman Palembang.Aku hanya memiliki ibu, sedangkan ayahku sudah meninggal sejak aku masih SMP. Aku tidak memiliki saudara karena aku adalah anak tunggal, tapi aku mempunyai sepupu yang tinggal di kota lain.Jika aSetelah menghabiskan makanan yang disuapkan oleh Mas Bima, akhirnya acara makan malam yang menyiksa ini pun selesai. Mas Bima dan ibu mertuaku mulai beranjak meninggalkan meja makan, begitu pula denganku yang ikut bergegas pergi dari ruang makan. Aku sudah tidak peduli lagi dengan meja makan yang berantakan. Aku tidak membereskan meja makan, apalagi mencuci piring seperti biasanya. Sesuai dengan rencanaku sebelumnya, aku harus segera pergi dari rumah ini. "Kamu mau ke mana, Nay?" Nampaknya Mas Bima melihatku yang agak terburu-buru sejak tadi. "Mau ke depan sebentar," sahutku. "Meja makan gimana? Kok belum kamu beresin?" omel ibu mertuaku. "Nanti aku urus, Bu. Sebentar, ya?" Aku kembali membuat-buat alasan. "Kamu mau ngapain? Habis makan tuh, piringnya dibersihin sekalian dong!" seru ibu mertuaku. Kebawelan Mas Bima dan ibunya membuatku tak bisa
Sedikit kenangan masa lalu mulai terngiang-ngiang di kepalaku. Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana ucapan ibu dua tahun yang lalu saat menolak memberi restu."Kamu yakin mau nikah sama laki-laki itu? Seberapa banyak kamu kenal sama dia? Apa kamu udah tahu sikap dan sifatnya? Kamu udah kenal belum sama kebiasaannya?" Ibu begitu cerewet dan terus bertanya berulang kali mengenai keputusanku sebelum aku menikah dengan Mas Bima.Saat itu Ibu begitu ragu pada Mas Bima, tapi aku malah sangat yakin ingin membina rumah tangga dengan laki-laki brengs*k ini."Aku udah ambil keputusan yang salah dari awal," gumamku.Aku mulai beranjak dari tempat tidur dengan penuh hati-hati. Segera kuambil tas yang akan kubawa kemudian bergegas keluar dari kamar. Dengan penuh waspada, aku melangkah menuju pintu depan. Sejauh ini masih aman. Aku tidak menimbulkan suara-suara gaduh yang bisa mengganggu tidur Mas Bima dan ibu mertuaku.
Aku menangis, meraung, dan menggedor-gedor pintu kamar yang sudah dikunci oleh Mas Bima. "Buka pintunya Mas! Biarin aku pergi!" teriakku pada Mas Bima hingga suaraku hampir habis. "Aku bukan barang, Mas! Aku nggak mau diserahin ke Juragan Basri!" Mas Bima pasti tidak mendengar tangisan dan teriakanku karena kamar kami memang kedap suara, jadi percuma saja aku berteriak sampai suaraku habis. Mas Bima tidak akan mendengarnya, aku juga tidak akan bisa meminta bantuan dari luar. "Brengs*k kamu, Mas! Aku nyesel nikah sama kamu! Aku nggak mau jadi istri kamu lagi!" Aku mengamuk di dalam kamar. Tak henti-hentinya aku mengucapkan sumpah serapah pada Mas Bima. "Kamu nggak bisa jual aku, Mas! Kamu nggak berhak bertingkah semena-mena sama aku! Kamu nggak bisa seenaknya serahin aku ke Juragan Basri!" Prang! Aku memecahkan beberapa barang yang ada di kamar. Aku meluapkan semua kemarahanku pada Mas Bima. "Kamu udah berubah, Mas! Kamu bukan lagi Mas Bima yang aku kenal! Kamu cuma penja
Aku menatap Mas Bima tak berkedip. Aku tidak terkejut sama sekali saat Mas Bima mengucapkan kata talak padaku. Aku sudah menduga cepat atau lambat Mas Bima pasti akan menceraikan aku. Tak ada sedikitpun rasa sedih di hatiku. Aku justru merasa bersyukur bisa terlepas dari laki-laki yang tidak punya hati seperti Mas Bima. "Selamat, Nayna. Sebentar lagi kamu akan punya suami baru," ucap Mas Bima sambil mengelus dagunya. Aku berdecih lalu membuang muka, rasanya tak sudi lagi aku melihat laki-laki brengs*k itu. Aku memang menerima perceraian dengan Mas Bima, tapi bukan berarti aku akan membiarkan diriku menikah dengan Juragan Basri. Setelah terlepas dari Mas Bima, aku tak akan jatuh dalam perangkap laki-laki yang aku yakin tak jauh beda dengan Mas Bima. "Mendingan aku jadi janda seumur hidup, daripada nikah sa
Mobil akhirnya berhenti, sepertinya kami sudah sampai di kediaman Juragan Basri. Ini adalah neraka yang akan menjadi tempat tinggal baruku. Kedua preman itu menggotong tubuhku keluar dari mobil. Dari luar, rumah Juragan Basri memang terlihat megah bak istana. Tapi bagiku, tempat ini tak lebih dari sekedar penjara. Dua preman suruhan Juragan Basri membawaku masuk ke dalam, kemudian menempatkanku di salah satu kamar yang sangat mewah. "Diam di sini!" sentak preman itu padaku. Kutatap sejenak kamar berukuran besar yang berisi banyak barang itu. Ada ranjang besar, lemari besar, dan juga meja rias mewah. Perempuan yang gila kemewahan pasti akan merasa senang saat dikurung di kamar mewah seperti ini. "Si Tua Bangka itu pasti berpikir aku akan senang tinggal di kamar mewah ini," sinisku. Setelah preman-preman yang mengantarku pergi, dat
Bab 9Ucapan Juragan Basri tidak membuatku berhenti. Aku masih berusaha mencari cara lain untuk melarikan diri dari tempat ini. Ya, aku tidak akan berhenti kabur sampai aku bisa lolos dari cengkraman Juragan Basri. Aku yakin pasti masih ada banyak cara untuk bisa keluar dari tempat ini.Aku memeriksa semua pintu dan jendela yang ada di ruangan tempatku dikurung. Sayangnya, semua pintu dan jendela terkunci rapat. Aku tidak bisa mencongkel jendela, maupun mendobrak pintu."Apa aku hancurin aja kacanya pakai kursi?" gumamku makin pusing membuat rencana untuk keluar dari kamar ini."Kalau aku pecahin kacanya, suaranya pasti berisik dan aku bisa langsung ketahuan." Aku sibuk mengoceh sendiri sebelum mengeksekusi rencana.Beberapa kali aku berusaha membuka jendela, tapi sayangnya cara yang aku gunakan tidak berhasil. Saat aku bisa membuka jendela pun, aku tak dapat langsung melompat dari jendela karena ada teralis dan b
Bab 10Aku tercengang saat mendengar ucapan perempuan asing itu.Siapa sebenarnya perempuan itu, kenapa dia begitu baik padaku? Apa dia punya maksud tertentu padaku? Atau dia hanya berpura-pura baik di depanku?Aku tak bisa mempercayai siapapun di rumah ini. Bisa jadi perempuan ini adalah orang suruhan juragan Basri yang ditugaskan untuk mengawasiku."Kenapa Mbak mau bantuin saya?" tanyaku sembari melempar tatapan penuh curiga pada perempuan asing itu. Aku tak boleh lengah. Aku harus selalu waspada dengan semua orang yang ada di rumah ini."Mbak bisa percaya sama saya. Saya nggak ada niat buruk sama Mbak. Saya benar-benar ingin membantu Mbak," ujar perempuan itu."Perkenalkan, nama saya Ratih." Perempuan itu menyodorkan tangannya ke arahku. Aku hanya diam tanpa menyambut jabatan tangan darinya. Perempuan itu tetap tersenyum padaku meskipun aku menunjukkan sikap kurang menyenangkan."Say
Sesuai dengan janji Mbak Ratih, setiap hari Mbak Ratih datang ke kamarku untuk mengantarkan makanan sembari mengamati situasi. Aku tidak tahu rencana apa yang sudah dibuat oleh Mbak Ratih, tapi aku yakin Mbak Ratih pasti sudah memperhitungkan matang-matang sebelum membawaku kabur dari sini."Habiskan makanannya, Mbak! Mbak nggak boleh sakit. Mbak harus untuk kuat lari nanti," ucap Mbak Ratih.Aku memakan semua makanan yang dibawa oleh Mbak Ratih dengan lahap. Satu-satunya harta berharga yang aku miliki saat ini hanyalah badan yang sehat. Aku harus menjaga kondisi tubuhku sampai aku bisa pergi dari tempat ini."Gimana, Mbak? Apa udah ada celah yang bisa saya manfaatin buat kabur dari sini?" tanyaku pada Mbak Ratih."Saya belum berani ambil keputusan, Mbak. Tolong tunggu beberapa hari lagi, ya? Acara pernikahan Mbak sama Juragan Basri juga belum ditentukan. Kita masih punya waktu buat nyusun rencana matang-matang." Aku mengangguk