Bab 9
Ucapan Juragan Basri tidak membuatku berhenti. Aku masih berusaha mencari cara lain untuk melarikan diri dari tempat ini. Ya, aku tidak akan berhenti kabur sampai aku bisa lolos dari cengkraman Juragan Basri. Aku yakin pasti masih ada banyak cara untuk bisa keluar dari tempat ini.Aku memeriksa semua pintu dan jendela yang ada di ruangan tempatku dikurung. Sayangnya, semua pintu dan jendela terkunci rapat. Aku tidak bisa mencongkel jendela, maupun mendobrak pintu."Apa aku hancurin aja kacanya pakai kursi?" gumamku makin pusing membuat rencana untuk keluar dari kamar ini."Kalau aku pecahin kacanya, suaranya pasti berisik dan aku bisa langsung ketahuan." Aku sibuk mengoceh sendiri sebelum mengeksekusi rencana.Beberapa kali aku berusaha membuka jendela, tapi sayangnya cara yang aku gunakan tidak berhasil. Saat aku bisa membuka jendela pun, aku tak dapat langsung melompat dari jendela karena ada teralis dan bBab 10Aku tercengang saat mendengar ucapan perempuan asing itu.Siapa sebenarnya perempuan itu, kenapa dia begitu baik padaku? Apa dia punya maksud tertentu padaku? Atau dia hanya berpura-pura baik di depanku?Aku tak bisa mempercayai siapapun di rumah ini. Bisa jadi perempuan ini adalah orang suruhan juragan Basri yang ditugaskan untuk mengawasiku."Kenapa Mbak mau bantuin saya?" tanyaku sembari melempar tatapan penuh curiga pada perempuan asing itu. Aku tak boleh lengah. Aku harus selalu waspada dengan semua orang yang ada di rumah ini."Mbak bisa percaya sama saya. Saya nggak ada niat buruk sama Mbak. Saya benar-benar ingin membantu Mbak," ujar perempuan itu."Perkenalkan, nama saya Ratih." Perempuan itu menyodorkan tangannya ke arahku. Aku hanya diam tanpa menyambut jabatan tangan darinya. Perempuan itu tetap tersenyum padaku meskipun aku menunjukkan sikap kurang menyenangkan."Say
Sesuai dengan janji Mbak Ratih, setiap hari Mbak Ratih datang ke kamarku untuk mengantarkan makanan sembari mengamati situasi. Aku tidak tahu rencana apa yang sudah dibuat oleh Mbak Ratih, tapi aku yakin Mbak Ratih pasti sudah memperhitungkan matang-matang sebelum membawaku kabur dari sini."Habiskan makanannya, Mbak! Mbak nggak boleh sakit. Mbak harus untuk kuat lari nanti," ucap Mbak Ratih.Aku memakan semua makanan yang dibawa oleh Mbak Ratih dengan lahap. Satu-satunya harta berharga yang aku miliki saat ini hanyalah badan yang sehat. Aku harus menjaga kondisi tubuhku sampai aku bisa pergi dari tempat ini."Gimana, Mbak? Apa udah ada celah yang bisa saya manfaatin buat kabur dari sini?" tanyaku pada Mbak Ratih."Saya belum berani ambil keputusan, Mbak. Tolong tunggu beberapa hari lagi, ya? Acara pernikahan Mbak sama Juragan Basri juga belum ditentukan. Kita masih punya waktu buat nyusun rencana matang-matang." Aku mengangguk
Aku terus berlari tanpa berani menoleh ke belakang sedikit pun. Di jalanan yang gelap dan sepi, aku berlari tanpa henti, menjauh dari kediaman Juragan Basri."Semoga nggak ada yang ngikutin aku." Pikiranku benar-benar kacau. Aku memang sudah berhasil keluar dari rumah Juragan Basri. Akan tetapi, belum tentu aku bisa lolos dari cengkraman Juragan yang gila perempuan itu. Selama aku masih berkeliaran di wilayah ini, orang-orang suruhan Juragan Basri bisa saja mengejar dan menangkapku kembali."Aku harus ke mana sekarang?" Langkah kakiku tanpa arah dan tujuan. Setelah berlari kencang selama beberapa menit, akhirnya aku berhasil keluar dari gang dan saat ini aku telah berada di jalan raya.Meski malam sudah sangat larut, tetapi masih ada beberapa mobil yang berlalu lalang di jalanan yang aku lewati. Agar tidak terlihat mencolok, aku berjalan di pinggir jalan. Aku tidak boleh terlihat oleh orang-orang Juragan Basri."Aku nggak boleh
Cukup lama aku sembunyi di balik pohon bersama laki-laki berperawakan tinggi besar yang merupakan salah satu anak buah Juragan Basri. Dan sudah beberapa kali aku mendengar suara preman-preman lain yang melintas di dekat tempatku bersembunyi. Akan tetapi, laki-laki ini masih tetap melindungiku. Aku tidak ingin mengakuinya, tapi secara tidak langsung laki-laki ini sudah menyelamatkanku dari anak buah Juragan Basri yang lain, padahal dia salah satu bagian dari mereka."Kayaknya mereka udah pergi," gumam laki-laki itu kemudian melepas tangannya yang masih membekap mulutku."K-kamu siapa? Kenapa kamu bisa tahu aku ada di sini? Kamu juga orang suruhan Juragan Basri, kan?" tanyaku pada laki-laki itu."Aku emang anak buah Juragan Basri, tapi aku nggak akan nyerahin kamu ke Juragan Basri!" sahut laki-laki itu."Maksudnya apa? Apa dia punya rencana lain? Apa dia mau menculikku, lalu menjualku ke juragan lain?" batinku. Aku mulai berburuk
Akhirnya aku mengikuti langkah laki-laki itu masuk. Dari luar, bangunan rumah yang ada di hadapanku saat ini terlihat cukup memprihatinkan. Akan tetapi, saat aku sudah berada di dalam ternyata rumah ini terlihat cukup bersih dan rapi.Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak banyak perabotan yang terpajang di sana. Aku hanya melihat sebuah tikar usang dan dipan kayu yang berada di pojok ruangan.Sama seperti tikar yang sudah usang, dipan kayu yang ada di pojok ruangan itu juga terlihat sudah tua. Dan di atas dipan itu, tampak seorang perempuan renta sedang terbaring di sana."Silakan duduk!" ucap laki-laki yang sudah menolongku."Iya, makasih, Mas," ujarku sekenanya pada laki-laki yang belum kuketahui namanya itu.Aku duduk di atas tikar usang yang terbentang. Sesekali aku melirik ke arah wanita tua yang terbaring tak jauh dari tempatku duduk.Tak lama kemudian, anak buah Juragan Basri itu muncul dengan
Aku dan Mas Arul masih asik berbincang, membahas masa lalu Mas Arul dan keluarganya. Aku makin penasaran, bagaimana laki-laki sebaik Mas Arul bisa bergabung menjadi anak buah rentenir kejam seperti Juragan Basri.Kupikir semua anak buah Juragan Basri sama br*ngseknya seperti majikan mereka. Tapi Mas Arul sama sekali bukan laki-laki kejam seperti Juragan Basri. Mas Arul bukan preman. Mas Arul hanya seorang ayah yang berusaha menghidupi keluarga kecilnya, dan seorang anak yang berjuang untuk merawat ibunya yang sedang sakit."Jadi Mas berhenti jualan dan jadi anak buah Juragan Basri demi mendapatkan uang lebih?" tanyaku."Iya, Mba, saya terpaksa. Saya butuh uang untuk pengobatan Ibu saya. Mbak lihat sendiri 'kan kondisi Ibu saya? Ibu saya udah nggak bisa ngapa-ngapain, Mbak. Makan aja harus disuapin," ujar Mas Arul sambil menatap ibunya. "Uang hasil jualan di pelabuhan nggak bisa saya andalkan, makanya saya berusaha cari pekerja
Sudah tiga hari aku menumpang dan bersembunyi di rumah Mas Arul. Sesuai dengan kesepakatan, selama di sini aku akan membantu menjaga Ibu Mas Arul selagi Mas Arul dan istrinya pergi bekerja.Untungnya istri Mas Arul dan anak Mas Arul menyambutku dengan baik dan tidak keberatan aku menumpang di sini selama seminggu. Mbak Lia sangat ramah padaku, begitu pula dengan Roni. Aku sudah mulai terbiasa tinggal di sini. Meskipun rumah Mas Arul sempit dan tidak memiliki fasilitas seperti TV dan juga kipas angin, tetapi tempatnya cukup nyaman untuk beristirahat.Tugas yang diberikan Mas Arul padaku juga tidak terlalu berat. Aku hanya perlu menemani ibunya, menyuapi, memandikan, serta membantu ke kamar mandi bila Mas Arul dan Mbak Lia tidak ada di rumah. "Roni, Kamu udah pulang?" sapaku pada anak Mas Arul yang baru saja kembali dari sekolah"Iya, Tante. Ibu belum pulang, ya?" tanya Roni."Iya, Ibu kamu belum pul
Aku akan pulang ke kampung halaman dengan menaiki bus. Uang yang diberikan oleh Mas Arul lebih dari cukup untuk membiayai perjalananku sampai ke Palembang.Agak sedih karena harus berpisah dengan keluarga Mas Arul, tapi di sisi lain aku juga merasa senang karena berhasil kabur dari Mas Bima dan Juragan Basri. Aku juga berhak hidup bahagia dan tinggal di tempat yang lebih aman dan nyaman. Selama beberapa minggu terakhir, hidupku sungguh tidak tenang. Aku tak ubahnya seperti seorang buronan yang harus bersembunyi dari kejaran orang-orang Juragan Basri. Insyaallah setelah berhasil meninggalkan tempat ini, aku bisa hidup normal lagi. "Bismillah! Semoga perjalananku lancar tanpa hambatan apapun."Bus yang kunaiki mulai bergerak memasuki area pelabuhan. Sebentar lagi kapal akan membawaku menyeberang ke Pulau Sumatera. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera sampai di kampung halaman. Selagi menunggu bus masuk ke kapal, aku mengh