Suasana tegang mulai menyelimuti ruang tamu. Mas Bima terus mengoceh sejak tadi, menyesalkan kekalahannya dalam pemilihan kepala daerah. Ibu mertuaku juga tak kalah pusing saat mendengar rengekan suamiku. Kami semua mulai kebingungan mencari cara untuk melunasi hutang pada rentenir."Kok kamu bisa kalah, Bim? Kemarin kamu udah nyebar banyak amplop 'kan? Kamu juga udah kasih bantuan ke banyak desa. Kenapa suara yang masuk nggak cukup untuk bikin kamu menang?" omel ibu mertuaku."Aku juga nggak tahu, Bu! Suara yang masuk untuk aku sedikit banget!" gerutu Mas Bima."Terus gimana, apa juragan Basri udah tahu kalau kamu kalah?"Tepat setelah ibu mertuaku melontarkan pertanyaan itu, terdengar suara pintu diketuk. Sepertinya ada seseorang yang datang bertamu ke rumah kami. Perhatian kami pun langsung teralihkan pada tamu tak diundang itu."Permisi!" Suara lantang seorang laki-laki membuatku terperanjat. Aku bertugas memb
Aku masih berdiri di depan kamar. Pikiranku mulai kacau setelah mendengar pembicaraan Mas Bima dan ibu mertuaku. Aku ingin segera pergi melarikan diri dari rumah ini, tapi aku tidak tahu harus pergi ke mana.Sepertinya aku harus membuat rencana terlebih dahulu. Tidak mungkin aku langsung meninggalkan rumah ini tanpa rencana yang matang. Setidaknya aku harus menentukan tempat tujuanku."Aku harus pergi ke mana sekarang? Tapi aku harus segera pergi dari rumah ini sebelum Mas Bima menyerahkan aku pada juragan hidung belang itu!" gumamku mulai panik.Aku tidak punya siapa-siapa di kota ini selain suami dan ibu mertuaku. Tempat tinggal orang tuaku sangat jauh. Aku berasal dari sebuah daerah yang berada di pedalaman Palembang.Aku hanya memiliki ibu, sedangkan ayahku sudah meninggal sejak aku masih SMP. Aku tidak memiliki saudara karena aku adalah anak tunggal, tapi aku mempunyai sepupu yang tinggal di kota lain.Jika a
Setelah menghabiskan makanan yang disuapkan oleh Mas Bima, akhirnya acara makan malam yang menyiksa ini pun selesai. Mas Bima dan ibu mertuaku mulai beranjak meninggalkan meja makan, begitu pula denganku yang ikut bergegas pergi dari ruang makan. Aku sudah tidak peduli lagi dengan meja makan yang berantakan. Aku tidak membereskan meja makan, apalagi mencuci piring seperti biasanya. Sesuai dengan rencanaku sebelumnya, aku harus segera pergi dari rumah ini. "Kamu mau ke mana, Nay?" Nampaknya Mas Bima melihatku yang agak terburu-buru sejak tadi. "Mau ke depan sebentar," sahutku. "Meja makan gimana? Kok belum kamu beresin?" omel ibu mertuaku. "Nanti aku urus, Bu. Sebentar, ya?" Aku kembali membuat-buat alasan. "Kamu mau ngapain? Habis makan tuh, piringnya dibersihin sekalian dong!" seru ibu mertuaku. Kebawelan Mas Bima dan ibunya membuatku tak bisa
Sedikit kenangan masa lalu mulai terngiang-ngiang di kepalaku. Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana ucapan ibu dua tahun yang lalu saat menolak memberi restu."Kamu yakin mau nikah sama laki-laki itu? Seberapa banyak kamu kenal sama dia? Apa kamu udah tahu sikap dan sifatnya? Kamu udah kenal belum sama kebiasaannya?" Ibu begitu cerewet dan terus bertanya berulang kali mengenai keputusanku sebelum aku menikah dengan Mas Bima.Saat itu Ibu begitu ragu pada Mas Bima, tapi aku malah sangat yakin ingin membina rumah tangga dengan laki-laki brengs*k ini."Aku udah ambil keputusan yang salah dari awal," gumamku.Aku mulai beranjak dari tempat tidur dengan penuh hati-hati. Segera kuambil tas yang akan kubawa kemudian bergegas keluar dari kamar. Dengan penuh waspada, aku melangkah menuju pintu depan. Sejauh ini masih aman. Aku tidak menimbulkan suara-suara gaduh yang bisa mengganggu tidur Mas Bima dan ibu mertuaku.
Aku menangis, meraung, dan menggedor-gedor pintu kamar yang sudah dikunci oleh Mas Bima. "Buka pintunya Mas! Biarin aku pergi!" teriakku pada Mas Bima hingga suaraku hampir habis. "Aku bukan barang, Mas! Aku nggak mau diserahin ke Juragan Basri!" Mas Bima pasti tidak mendengar tangisan dan teriakanku karena kamar kami memang kedap suara, jadi percuma saja aku berteriak sampai suaraku habis. Mas Bima tidak akan mendengarnya, aku juga tidak akan bisa meminta bantuan dari luar. "Brengs*k kamu, Mas! Aku nyesel nikah sama kamu! Aku nggak mau jadi istri kamu lagi!" Aku mengamuk di dalam kamar. Tak henti-hentinya aku mengucapkan sumpah serapah pada Mas Bima. "Kamu nggak bisa jual aku, Mas! Kamu nggak berhak bertingkah semena-mena sama aku! Kamu nggak bisa seenaknya serahin aku ke Juragan Basri!" Prang! Aku memecahkan beberapa barang yang ada di kamar. Aku meluapkan semua kemarahanku pada Mas Bima. "Kamu udah berubah, Mas! Kamu bukan lagi Mas Bima yang aku kenal! Kamu cuma penja
Aku menatap Mas Bima tak berkedip. Aku tidak terkejut sama sekali saat Mas Bima mengucapkan kata talak padaku. Aku sudah menduga cepat atau lambat Mas Bima pasti akan menceraikan aku. Tak ada sedikitpun rasa sedih di hatiku. Aku justru merasa bersyukur bisa terlepas dari laki-laki yang tidak punya hati seperti Mas Bima. "Selamat, Nayna. Sebentar lagi kamu akan punya suami baru," ucap Mas Bima sambil mengelus dagunya. Aku berdecih lalu membuang muka, rasanya tak sudi lagi aku melihat laki-laki brengs*k itu. Aku memang menerima perceraian dengan Mas Bima, tapi bukan berarti aku akan membiarkan diriku menikah dengan Juragan Basri. Setelah terlepas dari Mas Bima, aku tak akan jatuh dalam perangkap laki-laki yang aku yakin tak jauh beda dengan Mas Bima. "Mendingan aku jadi janda seumur hidup, daripada nikah sa
Mobil akhirnya berhenti, sepertinya kami sudah sampai di kediaman Juragan Basri. Ini adalah neraka yang akan menjadi tempat tinggal baruku. Kedua preman itu menggotong tubuhku keluar dari mobil. Dari luar, rumah Juragan Basri memang terlihat megah bak istana. Tapi bagiku, tempat ini tak lebih dari sekedar penjara. Dua preman suruhan Juragan Basri membawaku masuk ke dalam, kemudian menempatkanku di salah satu kamar yang sangat mewah. "Diam di sini!" sentak preman itu padaku. Kutatap sejenak kamar berukuran besar yang berisi banyak barang itu. Ada ranjang besar, lemari besar, dan juga meja rias mewah. Perempuan yang gila kemewahan pasti akan merasa senang saat dikurung di kamar mewah seperti ini. "Si Tua Bangka itu pasti berpikir aku akan senang tinggal di kamar mewah ini," sinisku. Setelah preman-preman yang mengantarku pergi, dat
Bab 9Ucapan Juragan Basri tidak membuatku berhenti. Aku masih berusaha mencari cara lain untuk melarikan diri dari tempat ini. Ya, aku tidak akan berhenti kabur sampai aku bisa lolos dari cengkraman Juragan Basri. Aku yakin pasti masih ada banyak cara untuk bisa keluar dari tempat ini.Aku memeriksa semua pintu dan jendela yang ada di ruangan tempatku dikurung. Sayangnya, semua pintu dan jendela terkunci rapat. Aku tidak bisa mencongkel jendela, maupun mendobrak pintu."Apa aku hancurin aja kacanya pakai kursi?" gumamku makin pusing membuat rencana untuk keluar dari kamar ini."Kalau aku pecahin kacanya, suaranya pasti berisik dan aku bisa langsung ketahuan." Aku sibuk mengoceh sendiri sebelum mengeksekusi rencana.Beberapa kali aku berusaha membuka jendela, tapi sayangnya cara yang aku gunakan tidak berhasil. Saat aku bisa membuka jendela pun, aku tak dapat langsung melompat dari jendela karena ada teralis dan b
Sudah kuduga, setelah istri Mas Bima tahu kebenaran tentang Yumna, Mas Bima pasti akan langsung menemuiku. Aku tidak tahu bagaimana Mas Bima bisa menemukanku. Aku sengaja tidak muncul di kedai cabang baru, karena aku takut Mas Bima akan mendatangiku ke sana. Namun, ternyata menghindari tempat itu tak bisa menjamin aku akan aman dari Mas Bima. Semakin aku menghindar dari Mas Bima, justru aku makin mudah dipertemukan dengan laki-laki itu."Aku udah nyari kamu kemana-mana," ucap Mas Bima padaku. "Ada banyak hal yang harus kita bicarakan."Aku menatap Mas Bima dengan penuh waspada. "Kamu mau tanya soal anakku lagi?""Anak kamu? Anak itu bukan cuma anak kamu 'kan, tapi anakku juga. Aku nggak impoten! Aku masih bisa punya anak!" seru Mas Bima.Aku segera menghubungi Mas Iqbal dan memberitahu tentang pertemuanku dengan Mas Bima. Aku bergegas mencari tempat yang ramai untuk berbicara dengan Mas Bima untuk mencegah Mas Bima melakukan ha
Kupikir, aku sudah berhasil lepas dari Mas Bima. Tapi entah kenapa, sampai saat ini bayang-bayang Mas Bima masih saja mengusikku.Aku datang ke kedai hanya untuk memberikan makan siang, tapi aku justru mendapat kejutan tak terduga. Begitu sampai di sana, aku langsung disambut oleh seorang wanita dengan wajah yang cukup familiar"Aku baru aja mau menghubungimu," ujar Mbak Ratih. "Kamu urus dulu tamu kamu."Aku mematung di pintu. Wanita yang menatapku saat ini tak lain ialah istri baru Mas Bima."Bisa kita bicara sebentar?""Ada perlu apa, ya?" tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Mana bisa aku menyambut tamu tak diundang itu dengan wajah ramah. Aku tidak mau berhubungan lagi dengan Mas Bima, tapi orang-orang di rumah Mas Bima justru terus mendatangiku."Ada hal penting yang ingin saya bahas."Mas Iqbal dan Ibu ikut duduk di dekatku. Istri baru Mas Bima itu tetap melanjutk
"Anak Mas Arul sakit apa? Sekarang keadaannya gimana?" Pertemuanku dan Mas Arul tak berhenti sampai di sini. Kami berbincang banyak, membahas tentang kondisi keluarga Mas Arul. Ternyata memang benar, kehidupan Mas Arul masih belum berubah. Bahkan, Mas Arul makin kesulitan mencari nafkah setelah memutuskan berhenti menjadi kaki tangan Juragan Basri. Sampai saat ini, Mas Arul dan Mbak Lia masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka bahkan kesusahan mengumpulkan keuntungan dari hasil berjualan di pelabuhan. "Jualan di pelabuhan sekarang susah, Mbak. Ada banyak pesaing, ditambah minat pembeli yang makin berkurang. Saya sampai nggak mampu bawa Roni ke dokter," ungkap Mas Arul dengan wajah sendu. Mendengar cerita Mas Arul membuatku iba dan tak tega. Setelah memberikan empek-empek, aku pun menawarkan diri untuk mengantar Mas Arul pulang. Aku ingin bertemu dengan keluarga Mas Arul,
"Jangan ngomong sembarangan ya, Mas! Anakku sama sekali nggak mirip sama kamu!"Aku makin panik. Aku tidak akan membiarkan Mas Bima tahu soal Yumna."Ini anak aku sama Mas Iqbal. Anak ini nggak ada hubungannya sama kamu!" tegasku."Berapa umur anak ini? Udah berapa lama kamu nikah sama Iqbal?" tanya Mas Bima.Aku segera pergi meninggalkan Mas Bima tanpa menjawab pertanyaan darinya. Kalau Mas Bima tahu aku baru menikah dengan Mas Iqbal beberapa bulan lalu, jelas Mas Bima akan langsung paham kalau Yumna bukanlah anak Mas Iqbal."Nayna, aku belum selesai bicara sama kamu!" seru Mas Iqbal."Aku sama kamu udah nggak punya urusan apa-apa lagi. Aku sama kamu udah punya kehidupan masing-masing, jadi tolong jangan ganggu ketenangan aku lagi!"Hari ini mungkin aku bisa melarikan diri dari Mas Bima. Namun, jika nanti aku sampai bertemu dengan Mas Bima lagi, mungkin aku tidak akan bisa kabur.
Mas Bima terus menatap ke arah putriku. Mungkinkah Mas Bima sudah mulai curiga? Tapi Mas Bima tidak mungkin bisa langsung tahu kalau Yumna adalah anaknya. Mas Bima tidak tahu bagaimana kabarku, jadi Mas Bima juga tidak akan tahu kalau aku mengandung anaknya setelah kami berpisah."Kamu kabur dari Juragan Basri, ya? Kamu lebih memilih suami miskin, makanya sekarang kamu kerja di kedai kecil kayak gini?" cibir Mas Bima padaku."Siapa yang kamu sebut suami miskin?" sentak Mas Iqbal, "sekarang kedai ini memang masih kecil, tapi aku akan membuat kedai ini menjadi besar sesegera mungkin.""Kedai ini punya suamiku, Mas," ungkapku, "memang suamiku belum jadi juragan, tapi aku akan menemani suamiku sampai bisa jadi seorang juragan."Mas Bima membelalakkan mata. Setelah mengejekku, Mas Bima pasti terkejut saat tahu kalau kedai empek-empek ini adalah milik suamiku."Bima, kamu ngobrol sama siapa?"Seseorang tib
Tawaranku mendapat sambutan baik dari Mbak Ratih. Mulai hari ini, Mbak Ratih akan menjadi pegawai di kedai empek-empek yang baru saja aku buka di Tangerang.Mas Iqbal mendukung penuh keputusanku, dan ikut membantu menyediakan tempat tinggal bagi Mbak Ratih untuk sementara waktu. Mbak Ratih akan menjadi orang kepercayaanku untuk mengurus cabang-cabang kedai yang ada di wilayah Tangerang."Bu, udah siap belum? Ayo, kita harus berangkat ke kedai sekarang," ajakku pada Ibu.Hari ini, aku dan Mas Iqbal akan pergi ke kedai empek-empek bersama dengan Ibu dan Yumna. Karena kedai yang kami buka di Tangerang masih sangat baru, jadi aku dan Mas Iqbal harus memberikan perhatian khusus sampai kedai kami memperoleh angka penjualan yang stabil. "Yumna, hari ini bantuin Mama jaga kedai, ya? Kita bantu Tante Ratih jualan empek-empek," ocehku pada putriku.Untuk menebus rasa bersalahku pada Yumna karena aku terus sibuk selama bebe
Jantungku terus berdegup kencang selama aku berada di wilayah kediaman Juragan Basri. Sesuai dengan informasi yang aku dapat, hari ini Juragan Basri pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Beberapa preman tampak sibuk mempersiapkan keberangkatan Juragan Basri, jadi aku bisa menyelinap masuk dengan mudah."Gimana, Mbak? Juragan Basri udah mau pergi, kan?" tanyaku pada Mbak Ratih begitu kami bertemu di dapur."Sebentar lagi dia berangkat," sahut Mbak Ratih."Kita mau pergi sekarang apa nanti?""Kita tunggu dulu sampai si Tua Bangka itu pergi."Mbak Ratih segera berganti pakaian sambil menunggu Juragan Basri berangkat bersama pengawalnya. Aku sudah menyiapkan pakaian khusus untuk Mbak Ratih menyamar.Meski aku tidak yakin baju yang dikenakan Mbak Ratih dapat mengelabui penjaga di rumah Juragan Basri, tapi setidaknya aku dan Mbak Ratih harus melakukan sesuatu agar kami tidak tertang
Aku bersyukur, Mbak Ratih masih ingat padaku. Mbak Ratih terlihat begitu senang saat bertemu lagi denganku. Meski kami tidak bisa bicara banyak, setidaknya aku sudah berhasil bertukar nomor dengan Mbak Ratih. Aku bisa memantau Mbak Ratih dan menyusun rencana untuk membawa Mbak Ratih keluar dari sana.[Aku berhutang banyak sama Mbak Ratih. Kalau bukan karena Mbak, aku nggak mungkin bisa nikah lagi, ngurus anak, sama bikin usaha bareng suami. Semua yang aku capai sekarang, berkat bantuan Mbak Ratih.]Aku mengirim pesan tersebut dengan manik mata berkaca-kaca. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku sudah hidup aman dan damai, tapi orang yang menolongku masih terperangkap dalam penderitaan.[Kamu nggak perlu berlebihan, Nayna. Aku ikut senang kalau kamu udah hidup bahagia sekarang.][Aku akan bantu Mbak keluar dari cengkraman Juragan Basri.][Kamu nggak perlu repot mikirin aku, Nay. Aku bisa cari cara sendiri.]
"Sah!"Aku tak bisa menahan tangis haru. Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari ini aku dan Mas Iqbal melangsungkan akad nikah. Meski acara ini tidak dihadiri oleh banyak orang, tapi ijab kabul yang kami laksanakan tetap terasa sakral dan khidmat.Di depan penghulu, Mas Iqbal mengucap ijab dengan lantang tanpa kesalahan. Hanya dalam hitungan menit, aku akhirnya resmi menjadi istri Mas Iqbal yang sah secara hukum dan agama.Kini, jari manisku kembali dihiasi dengan cincin. Bukan hanya cincin di jariku saja yang bertambah, tapi kehidupanku juga akan sepenuhnya berubah."Selamat, Nayna. Semoga kamu dan suami kamu bisa membangun rumah tangga yang sakinah dan penuh berkah," ucap Ibu padaku diiringi derai air mata.Aku menangis dalam pelukan Ibu. Kebahagiaan yang aku rasakan saat ini tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kupikir, hidupku sudah berakhir setelah aku berpisah dari Mas Bima. Namun, siapa sang