Galogandang, tahun 1963
“Lekaslah wa’ang* ke surau, Buyuang! Atau kusepak pantatmu itu nanti.”
Bocah laki-laki bernama Kasim dan berusia 12 tahun itu baru saja selesai mandi ketika tiba-tiba ayahnya—Pak Uday—berdiri di depannya dengan wajah tidak ramah. Kasim melewati sang ayah dan bergegas masuk ke dalam bilik bambu.
Dia merungut sambil mengenakan pakaian. “Baru juga selesai mandi. Perut lapar pula. Ayah ini tega sekali sama anak sendiri.”
Di luar kamar, Pak Uday mendengar gerutuan anaknya itu. “Apa yang wa’ang katai-kataikan*, Kasim? Sebentar lagi maghrib. Pergilah wa’ang salat dan mengaji di surau. Habis tu baru wa’ang bisa makan.”
Kasim dengan cepat mengenakan pakaian. Tidak lupa dia mengalungkan kain sarung di lehernya dan memakai kopiah hitam yang sudah kusam di kepalanya. Dia segera keluar dari kamar dan mendapati Pak Uday sedang bersandar sambil melinting rokok daun enau.
“Ayah ini menyuruh saja bisanya. Memangnya Ayah tidak wajib salat? Kok, ambo* saja yang harus beribadah, sedang Ayah enak-enak di rumah.”
Mendengar ucapan Kasim, amarah Pak Uday langsung naik ke ubun-ubun. “Anak setan! Tidak perlu pula wa’ang ajari ayahmu ini. Wa’ang salatlah yang benar, mengaji yang benar. Awas saja kalau kudapati wa’ang main-main, aku pukul wa’ang nanti.”
Pak Uday menendang pantat Kasim yang membuat bocah kecil itu meringis sambil memegang pinggulnya.
“Coba saja ada Amak di rumah, mana sanggup Ayah marah-marah ke ambo.” Kasim menuruni tangga rumah kayu sambil mulutnya mengeluarkan protes dan kritikan perihal Pak Uday.
“Protes saja wa’ang terus. Anak durhaka!”
Kasim mempercepat langkah karena azan maghrib sudah mulai terdengar dari surau yang berjarak sekitar lima ratus meter dari rumahnya. Di jalan dia bertemu dengan Fikri dan Khairul.
“Tumben mandi wa’ang, Kasim?” Fikri merangkulkan tangannya di pundak Kasim, “Pakai sampo wa’ang, yo? Harum rambut wa’ang!”
“Ya iyalah aku
mandi. Emang wa’ang, mandi sekali seabad. Jauhkan tangan wa’ang, ha. Ketiak wa’ang amis sekali. Tak jadi wa’ang oleskan kapur sirih ke ketiak wa’ang, tu?”Kasim segera mendorong tubuh Fikri menjauh.
“Halah, lagak wa’ang lagi, Buyuang! Baru mandi sekali saja sudah kayak tuan muda saja. Sinilah, wa’ang cium ketiakku ini.”
Kasim segera ambil langkah seribu begitu Fikri kembali hendak merangkul pundaknya. Sementara itu Khairul hanya bisa menertawakan lelucon kedua sahabatnya tersebut.
“Wa’ang sudah wudhu, Rul?” Kasim bertanya ke Khairul begitu mereka bertiga sampai di halaman surau.
“Belum. Wa’ang sudah?”
“Sama! Kalau gitu mari kita ke luak*.”
“Wa’ang tidak bertanya ke aku, Sim?” Fikri mengedumel di belakang Kasim.
“Ah, dari wujud wa’ang saja sudah tahu aku kalau wa’ang belum suci dari hadas besar dan kecil! Hahaha.” Kasim kembali berlari menjauh ketika tangan Fikri hendak menabok kepalanya.
“Dasar anak setan!” teriak Fikri murka.
“Kalian ini kayak kucing dan anjing. Ribut saja! Haha.” Khairul hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua temannya itu.
Senja kian menghitam ditelan kegelapan. Semburat jingga di langit sudah berubah warna. Angin berembus cukup kencang, seperti berusaha menghalau gerombolan awan hitam yang tadi berkumpul menutupi rembulan.
“Tadi seperti mau hujan, Fik. Tapi kayaknya tidak jadi. Apa rencana kita malam ini?”
Di surau yang ada sekarang hanya Kasim, Fikri, dan Khairul. Mereka sedang bergolek-golek di atas tikar di dalam surau. Hembusan angin terasaa menelusup menembus kulit. Mereka segera membungkus tubuh dengan kain sarung.
“Rencanaku malam ini—makan, Sim! Aku lapar sekali. Di rumahku tidak ada makanan. Beras habis, uang pun tak punya. Kasihan aku sama amakku itu. Menangis saja kerjanya seharian ini. Sedang ayahku yang tidak berguna itu, dia memilih duduk di lepau, ber-haha-hihi dengan kawan-kawannya. Lupa dia dengan anak dan bininya sedang kelaparan di rumah.”
Curahan hati Fikri ini tidak sekali dua kali didengar oleh Kasim. Dia ingin sekali membantu, tetapi hidupnya dan hidup Fikri sebelas dua belas. Sama saja.
Mereka menatap Khairul yang sedari tadi diam saja. Biasanya Khairul adalah penyelamat mereka. Temannya yang satu ini termasuk orang berada. Tidak pernah merasakan kelaparan. Kasim dan Fikri sering sekali dia traktir makan.
“Apa?”
Khairul merasa risih ditatap kedua orang temannya itu.
“Tidakkah wa’ang mendengar jeritan cacing di dalam perut kami ini, Khairul?”
“Aku tidak dengar dan tidak mau mendengar.”
“Jahat kali wa’ang! Cepatlah ajak kami ke rumah wa’ang, ha. Makan ubi pun tak apa, yang penting perut berisi.” Kasim menarik tangan Khairul.
“Onde mande. Kebetulan sekali, amakku merebus ubi jalar di rumah. Ayoklah, semoga masih ada tersisa di rumah.”
“Nah, begitu seharusnya! Itu baru namanya teman!”
Khairul mengabaikan ucapan Fikri dia segera mengajak kedua bocah itu berlari ke rumahnya. Di kampung ini, rumah Khairul adalah yang paling besar dan paling luas halamannya. Ayah dan Ibunya itu seorang toke beras. Sayangnya, mereka terkenal pelit. Makanya, Khairul selalu sembunyi-sembunyi jika ingin memberi makanan kedua temannya itu.
“Seperti biasa, kalian tunggu aku di dekat kandang sapi. Jangan bersuara sedikit pun. Aku tidak ingin ayah dan amakku mengetahui aku mengambil makanan untuk kalian. Jika sampai ketahuan, bisa-bisa dipukulnya kita nanti.”
Keduanya mengangguk setuju.
Di belakang rumah Khairul, ada kandang yang memuat tiga ekor sapi. Bau tidak sedap menguar dari tempat tersebut. Namun, demi perut yang lapar, Kasim dan Fikri mengabaikan bau tersebut dan menunggu Khairul membawa ubi rebus yang dijanjikan.
Nyamuk-nyamuk nakal mulai mengigiti kaki kedua bocah tersebut.
“Lama sekali si Khairul. Bisa mati kita digigit nyamuk, Kasim!” Fikri menepuk nyamuk yang menghinggapi kakinya. Rasanya benar-benar tidak nyaman.
“Ah, wa’ang sabarlah sedikit, Fik. Pelankan suara wa’ang tu. Jangan sampai terdengar orang tua si Khairul. Bisa disambitnya kita nanti.” Kasim memegang bahu Fikri sembari menenangkan sahabatnya yang mulai rusuh karena nyamuk.
“Nyamuk ini membuat darahku panas, Kasim! Kalau bukan karena aku lapar, tidak akan aku mau menginjakkan kaki di rumah si Khairul ini!”
Kasim hendak menjawab, tetapi dia segera menarik tubuh Fikri dengan cepat. “Ada orang datang!”
“Mungkin si Khairul!”
“Bukan! Kayaknya itu Pak Anwar.”
“Astaghfirullah. Benar! Itu ayahnya si Khairul. Jangan-jangan kita ketahuan.”
Tubuh kedua bocah itu pun mengigigil ketakutan. Mereka segera bersembunyi di belakang kandang sapi. Sementara itu sesosok tubuh tinggi, jangkung, kurus, dan memegang senter di tangannya sudah berdiri di depan pintu kandang sapi. Dia segera membuka pintu tersebut.
“Benar, itu Pak Anwar,” bisik Fikri ke telinga Kasim. Mereka mengintip melalui dinding kandang yang terbuat dari bambu.
“Iya. Jangan bicara lagi. Nanti dia mendengar ….” Kasim memberi kode sambil menyuruh Fikri waspada.
Di dalam kandang melalui cahaya senter, Pak Anwar menyoroti tiga ekor sapinya yang sedang berbaring di lantai betung. Bau pesing menyengat tajam. “Kalian besok harus dimandikan. Sudah kotor sekali tubuh kalian.”
Lelaki yang berusia sekitar 35 tahun itu pun mengeluarkan rumput dari karung dan memasukkan ke dalam lawak-lawak. * Ketiga sapi itu segera berdiri ketika Pak Anwar menarik kekang tali di hidungnya. Mereka kemudian melahap rumput segar yang tadi dituangkan Pak Anwar ke dalam tempat makan yang disebut lawak-lawak.
Keasyikan Pak Anwar terganggu ketika telinganya menangkap suara mengaduh dari luar.
“Siapa?”
Jantung Kasim dan Fikri terasa putus sekarang begitu cahaya senter mengarah ke arah mereka.
Catt:1. Wa'ang : kamu2. Ambo : aku3. Lawak-lawak : tempat makan sapi4. Mangatai-ngatai : ngomel-ngomel
Pak Anwar mengarahkan senter ke sumber suara. Namun, tidak ada jawaban. Kasim dan Fikri mati-matian menahan napas sambil menutup mulut. Ketakutan sedang menguasai hati mereka.“Semakin hari, setan semakin berani berkeliaran. Kalau kalian setan, jangan pernah ganggu aku. Aku tidak mengusik kalian dan kalian jangan mengusik kehidupanku.”Kasim dan Fikri melihat Pak Anwar komat-kamit seperti membaca sesuatu. Lalu tanpa terduga, ayah sahabat mereka itu melepehkan ludah dengan kecepatan maksimal.Sialnya, air liur tersebut menempel di pipi Fikri. Andai tidak sedang bersembunyi, mungkin dia sudah memaki panjang pendek.Kasim mati-matian menahan gelak tawa. Sungguh dia tidak menyangka kalau Pak Anwar mengira mereka setan yang harus diusir dengan mantra-mantra.Mereka berdua tetap berdiam diri tanpa bergerak sedikit pun, hanya bisa saling pandang, walau suasana di tempat mereka gelap, terbantu oleh cahaya lampu senter Pak Anwar yang terkadang menyorot ke arah mereka.“Sebentar lagi Idul Adha,
Pak Anwar seolah terpaku ke bumi ketika melihat tangan kasarnya malah mencelakai anaknya sendiri. Khairul tergeletak di tanah tidak sadarkan diri. Kasim dan Fikri berteriak-teriak sambil menggoyang-goyangkan badan sahabatnya itu.“Ini semua gara-gara kalian!” Pak Anwar mendorong tubuh Fikri dan Kasim keras. “Jauhi anakku dan berkirab kalian dari sini! Jangan pernah menginjakkan kaki lagi di rumahku. Dasar anak-anak setan!”Kasim dan Fikri masih sesenggukan. Mereka sangat ingin menolong Khairul, tetapi tidak ingin membuat Pak Anwar kian marah. Mereka mundur teratur dan perlahan-lahan menjauh dari rumah Pak Anwar.“Rul! Bangun ….”Khairul masih belum sadar. Pak Anwar segera membopong tubuh anaknya itu dan segera membawanya ke dalam rumah.Buk Rosma—ibu Khairul—tidak mengetahui apa yang telah terjadi karena dia sedang sibuk di kamar menghitung uangnya yang banyak.Dia sontak merapikan uang kertas dan koin yang bertebaran di atas kasurnya ketika mendengar panggilan suaminya—Pak Anwar.“La
Denyut malam kian melemah seiring dengan berjalannya waktu. Pak Uday membawa Pak Anwar ke suatu tempat yang cukup jauh dari kedai kopi. Wajah Pak Uday menegang, penuh dengan kemarahan. Sedangkan Pak Anwar mencoba menenangkan diri.Di bawah pokok beringin, mereka berdiri saling berhadap-hadapan.“Apa yang ingin kawan bicarakan? Sepertinya penting sekali.” Pak Anwar berusaha melihat binar mata Pak Uday di bawah suramnya cahaya rembulan. Walau tidak jelas, dia yakin Pak Uday pasti akan menyampaikan sesuatu yang berhubungan dengan si Kasim.“Langsung saja, Anwar! Apa yang telah wa’ang perbuat ke si Kasim? Pulang-pulang dia merasakan punggungnya sakit.” “Apa yang aku perbuat? Aku tidak berbuat apa-apa. Apa maksud wa’ang, Uday?” Pak Anwar menjawab dengan nada meremehkan. “Jangan berucap dusta wa’ang, Anwar! Si Kasim mengatakan kalau wa’ang membanting tubuhnya. Aku melihat dengan kepala sendiri lecet dan memar di badannya. Kenapa wa’ang tega menganiaya anak kecil? Apa salah anakku ke wa’an
Pak Uday akhirnya lebih dulu meninggalkan Pak Anwar yang masih berdiri dengan sikap menantang. Andai dia tidak ingat dengan kemarahan Datuak Rajo Balang, mungkin dia akan kembali melawan lelaki itu. Dia masih belum puas sebelum membuat Pak Anwar tergeletak mengenaskan.“Urusan kita belum selesai, Anwar! Jangan wa’ang kira aku akan membiarkan wa’ang hidup tenang.” Pak Uday masih sempat melayangkan ancaman ke Pak Anwar yang dibalas lelaki itu dengan membuang ludah ke tanah.“Silahkan saja, Uday! Aku tidak takut! Cih!”Dalam gelapnya malam yang ditengarai dengan gerimis nan mulai berjatuhan, Pak Uday mempercepat langkah menuju pulang. Rasa marahnya belumlah tersalurkan. Dia masih ingin baku antam, tetapi apa yang bisa dia lakukan? Hanya merutuk dan mengutuk sepanjang jalan.“Ini semua gara-gara anak setan itu. Ada-ada saja ulahnya. Kenapa pula dia harus mengemis minta makan sama si Anwar? Ingin kupecahkan saja batok kepalanya itu. Benar-benar membuat darahku terbakar. Kasim sialan!”Kamp
Gelapnya malam di langit Galogandang membuat Pak Uday mempercepat langkah. Malam tidak saja berjelaga, tetapi rinai hujan mulai berjatuhan membasahi bumi yang memang beberapa minggu ini kering kerontang.Luak Batuang yang biasanya jadi tempat mandi, airnya pun sudah jauh surut. Jika hujan tidak deras malam ini, alamat akan ke Tandau atau Lubuak Burai orang mencari air untuk mencuci baju dan kebutuhan di rumah.Kampung kecil ini berada di ketinggian. Curah hujan tidaklah terlalu tinggi. Perubahan cuacanya juga tidak menentu. Dalam keadaan panas, dalam sekejap bisa saja berubah mendung, lalu hujan akan turun dengan deras.Seperti hari ini. Siangnya terasa panas menggigit, bahkan Pak Uday tidak sanggup mengayunkan cangkul di tengah hari bolong. Dia memilih berteduh di dalam dangau dan tidur sampai sore menjelang.Sebenarnya Pak Uday masih memiliki seorang istri bernama Buk Nurni. Namun, penghasilan Pak Uday yang pas-pasan memaksa Buk Nurni harus ikut memutar otak untuk mencukupi kebutuha
Kasim mengkeret takut ketika melihat mata Pak Uday melotot penuh kemarahan. Dia merutuk di dalam hati kenapa tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Bocah itu buru-buru menghabiskan nasi di dalam piring, dia segera beranjak ke dapur untuk menaruh piring kotor tersebut. Sebelum keluar dari dapur, dia meneguk segelas air teh dingin. Salah satu ciri khas air minum orang di kampung ini, selalu menaruh air teh di dalam cerek mereka, bukan air putih bening. Pak Uday menghela napas berat ketika Kasim kembali duduk di depannya. Bocah itu menatapnya seperti menunggu sesuatu. Hal itu membuat Pak Uday mengambil keputusan untuk menceritakan apa yang terjadi. “Mulai besok, wa’ang tidak usah bergaul lagi dengan si Khairul. SI Fikri kan ada. Tidak perlu berteman dengan anak orang kaya, kalau orang tuanya tidak bisa menghargai orang miskin. Aku terpaksa bertarung dengan si Anwar demi membela wa’ang, Kasim. Kalau saja Datuak Rajo Balang tidak muncul, mungkin Karih Datuak Itam sudah bersarang
Kasim masih terisak-isak di dalam kamar. Dia semakin takut dengan Pak Uday. Rencana jahat dan niat busuk ayahnya itu membuatnya cemas. Pak Uday telah memanfaatkan kemarahan Pak Abdul untuk menghabisi Pak Anwar. Jika benar terjadi, Kasim tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya.“Ayah seharusnya tidak melakukan hal itu. Bagaimana jika hal buruk menimpa Pak Anwar? Apa Ayah mau bertanggung jawab? Atau bagaimana jika Pak Abdul tidak mampu melawannya, dan dia yang tewas di tangan Pak Anwar? Bagaimana, Ayah?”Pak Uday baru saja membuka pintu langsung diserbu pertanyaan oleh Kasim. Bocah itu meluapkan kegundahan hatinya sambil mengepalkan tinju. Tampaknya rasa kesal sedang memuncaki hati lelaki kecil itu. Melihat Pak Uday yang timbul di pikirannya saat ini hanya rasa benci.Lelaki berbadan tegap dan bagus itu membusungkan dada sambil tersenyum dingin. Dia menghenyakkan pantatnya di samping putra semata wayangnya tersebut. Tangannya memegang bahu Kasim lembut.
Kita kembali dulu pada saat Fikri dan Kasim meninggalkan Khairul dan Pak Anwar.Kasim merangkul Fikri yang berjalan sambil memegang perutnya.“Perutku sakit sekali, Sim.” Fikri mengeluh dengan tubuh bergetar. Tidak pernah dia merasakan sesakit ini. Tendangan Anwar di perutnya membuat dadanya sesak. Dia meludah ketika merasakan air liurnya terasa asin. Kasim yang juga merasakan badannya sakit dan pegal, hanya bisa mengusap lembut punggung Fikri. “Sabar, Fik. Aku antarkan wa’ang sampai rumah. Mulai saat ini, kita tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah setan ini. Hanya gara-gara ubi, dia tega menjatuhkan tangan kasar. Aku tidak menyangka ayahnya si Khairul akan sekejam itu. Jangankan ke kita, ke anaknya saja dia tidak ragu-ragu memukul. Tadiny aku mengira, ayahku sudah paling kejam di dunia ini, ternyata ada yang lebih jahat.”Amarah dan kebencian sedang menguasai hati dan pikiran Kasim. Fikri di sampingnya terbatuk. Asin darah semakin pe